Aku Mata Hari 
                                                                      Rabu, 2 Juni 2010 | 02:52 WIB
             
Saking terharu oleh tangisnya—dan bersamanya timbul rasa menyesal karena aku terpaksa harus menyuruhnya pergi, dibayang-bayangi ketakutan pada diriku sendiri—aku menarik jarit yang dipakainya, supaya badannya berdiri sama tegak, tidak perlu berlutut begitu di hadapanku. Dia memang babuku —dan di masa ini, akhir abad ke-19, orang-orang Belanda di Indonesia memperlakukannya sebagai mesin—tapi bagiku dia tetap manusia.
Aku tidak mau seperti Belanda-Belanda kolonialis umumnya yang sengaja menajamkan perbedaan rasial sebagai hukum alam dan memperlakukan babu seperti hewan terhina. Mana mungkin aku bersikap rasis seperti penguasa-penguasa Belanda itu, sementara dalam sadarku aku tahu ibuku berdarah Jawa.
Jelas sikapku, benci pada orang-orang yang berprasangka rasial. Aku benci semua pandangan orang tentang kebangsaan semu, seperti pandangan Ruud juga sebagai ujungtombak kekuasaan kolonial. Pikiran Ruud yang hendak memanfaatkan tubuh Nyai Kidhal itu juga termasuk bagian dari perilaku kolonial: bagaimana mengeksploitasi manusia di bawah latar sikap rasialis dan kebanggaan semu tentang kebangsaan.
Aku tahu, kebangsaan merupakan suatu realitas yang harus dipertahankan. Bahwa, ya, kebangsaan dasarnya memang suatu anugrah, sekaligus juga barangkali kutukan, dalam mana manusia mendaulat haknya atas sebuah tanah air dan mempertahankannya sebagai tanggungjawab. Tapi aku harus menganggap kemanusiaan lebih dibya dari acuan idealitas kebangsaan dengan perjanjian- perjanjian wilayah negerinya. Dengan demikian, aku lebih suka mengatakan, kesadaran kemanusiaan merupakan realitas yang paling cantik dari gagasan sebuah bumi yang damai dihuni oleh bangsa-bangsa.
Di bawah kesadaran kemanusiaan itulah yang membuat aku tidak kuasa menahan haru atas kepergian Nyai Kidhal, berjalan kaki dengan langkah berat, meninggalkan aku yang menggendong anakku di depan rumah.
Aku lekas-lekas masuk ke dalam rumah. Tinggal menunggu pulangnya Ruud menjelang senja, dan bertanya di mana Nyai Kidhal.
Benar dugaanku, sepulang Ruud ke rumah menjelang matahari terbenam di balik Gunung Ungaran, dia bertanya di mana Nyai Kidhal. Kelihatannya pertanyaannya sekadar iseng, walaupun sebenarnya tidak begitu, bahwa dia melihat aku melakukan pekerjaan di dapur sambil menggendong Norman John dengan cara membuaikannya dengan batik seperti yang biasa dilakukan oleh Nyai Kidhal. Aku menggendong anak ini dengan batik yang bercorak sama dengan batik yang aku pakai sebagai sarung.
”Kenapa kamu tidak menyuruh Nyai Kidhal melakukan pekerjaan itu?” kata dia, mata melihat ke kiri dan kanan. ”Di mana Nyai Kidhal?”
Aku akan menjawab pertanyaannya dengan lancar—artinya, kalimat yang bakal keluar dari mulutku tidak akan tersendat, walaupun seluruhnya imajinasi—karena kata-kata ini sudah tersimpan sebagai hafalan di dalam ingatanku. Yang akan aku jawab dengan lancar ini adalah memerintahkan daya ingatanku tersebut melalui cara bicara yang pintar, kreatif, dan meyakinkan.
Untuk hal itu aku yakin pada bakatku. Aku berbakat dalam berimajinasi. Dan menurut pengetahuanku, imajinasi yang paling seru adalah yang berhubungan dengan kepekaan terhadap keindahan puisi. Aku ingat, waktu kecil di Leeuwarden, aku sudah bisa membuat puisi dan menadakannya di depan teman- teman dan guru Sekolah Minggu. Ya, aku ingat betul lembar masa laluku itu. Tatkala anak- anak seusiaku masih membaca puisi satu-satunya yang populer, Mazmur, dengan bahasa Belanda ”De Heere is mijn herder”, aku bahkan sudah menghafal bahasa Prancisnya ”L’Éternel est mon berger” dan bahasa Inggrisnya ”The Lord is my shepherd”.
49) mati-hidup ikut Nyonya
50) Tuhan adalah gembalaku
51) idem
52) idem
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/02/02522028/aku.mata.hari.24
         
                                                                   
Oleh Remy Sylado
”Mevrouw  baik sekali,” katanya. ”Sebenarnya saya sudah berjanji pada diri saya,  pejah gesang nderek Mevrouw.”Saking terharu oleh tangisnya—dan bersamanya timbul rasa menyesal karena aku terpaksa harus menyuruhnya pergi, dibayang-bayangi ketakutan pada diriku sendiri—aku menarik jarit yang dipakainya, supaya badannya berdiri sama tegak, tidak perlu berlutut begitu di hadapanku. Dia memang babuku —dan di masa ini, akhir abad ke-19, orang-orang Belanda di Indonesia memperlakukannya sebagai mesin—tapi bagiku dia tetap manusia.
Aku tidak mau seperti Belanda-Belanda kolonialis umumnya yang sengaja menajamkan perbedaan rasial sebagai hukum alam dan memperlakukan babu seperti hewan terhina. Mana mungkin aku bersikap rasis seperti penguasa-penguasa Belanda itu, sementara dalam sadarku aku tahu ibuku berdarah Jawa.
Jelas sikapku, benci pada orang-orang yang berprasangka rasial. Aku benci semua pandangan orang tentang kebangsaan semu, seperti pandangan Ruud juga sebagai ujungtombak kekuasaan kolonial. Pikiran Ruud yang hendak memanfaatkan tubuh Nyai Kidhal itu juga termasuk bagian dari perilaku kolonial: bagaimana mengeksploitasi manusia di bawah latar sikap rasialis dan kebanggaan semu tentang kebangsaan.
Aku tahu, kebangsaan merupakan suatu realitas yang harus dipertahankan. Bahwa, ya, kebangsaan dasarnya memang suatu anugrah, sekaligus juga barangkali kutukan, dalam mana manusia mendaulat haknya atas sebuah tanah air dan mempertahankannya sebagai tanggungjawab. Tapi aku harus menganggap kemanusiaan lebih dibya dari acuan idealitas kebangsaan dengan perjanjian- perjanjian wilayah negerinya. Dengan demikian, aku lebih suka mengatakan, kesadaran kemanusiaan merupakan realitas yang paling cantik dari gagasan sebuah bumi yang damai dihuni oleh bangsa-bangsa.
Di bawah kesadaran kemanusiaan itulah yang membuat aku tidak kuasa menahan haru atas kepergian Nyai Kidhal, berjalan kaki dengan langkah berat, meninggalkan aku yang menggendong anakku di depan rumah.
Aku lekas-lekas masuk ke dalam rumah. Tinggal menunggu pulangnya Ruud menjelang senja, dan bertanya di mana Nyai Kidhal.
Benar dugaanku, sepulang Ruud ke rumah menjelang matahari terbenam di balik Gunung Ungaran, dia bertanya di mana Nyai Kidhal. Kelihatannya pertanyaannya sekadar iseng, walaupun sebenarnya tidak begitu, bahwa dia melihat aku melakukan pekerjaan di dapur sambil menggendong Norman John dengan cara membuaikannya dengan batik seperti yang biasa dilakukan oleh Nyai Kidhal. Aku menggendong anak ini dengan batik yang bercorak sama dengan batik yang aku pakai sebagai sarung.
”Kenapa kamu tidak menyuruh Nyai Kidhal melakukan pekerjaan itu?” kata dia, mata melihat ke kiri dan kanan. ”Di mana Nyai Kidhal?”
Aku akan menjawab pertanyaannya dengan lancar—artinya, kalimat yang bakal keluar dari mulutku tidak akan tersendat, walaupun seluruhnya imajinasi—karena kata-kata ini sudah tersimpan sebagai hafalan di dalam ingatanku. Yang akan aku jawab dengan lancar ini adalah memerintahkan daya ingatanku tersebut melalui cara bicara yang pintar, kreatif, dan meyakinkan.
Untuk hal itu aku yakin pada bakatku. Aku berbakat dalam berimajinasi. Dan menurut pengetahuanku, imajinasi yang paling seru adalah yang berhubungan dengan kepekaan terhadap keindahan puisi. Aku ingat, waktu kecil di Leeuwarden, aku sudah bisa membuat puisi dan menadakannya di depan teman- teman dan guru Sekolah Minggu. Ya, aku ingat betul lembar masa laluku itu. Tatkala anak- anak seusiaku masih membaca puisi satu-satunya yang populer, Mazmur, dengan bahasa Belanda ”De Heere is mijn herder”, aku bahkan sudah menghafal bahasa Prancisnya ”L’Éternel est mon berger” dan bahasa Inggrisnya ”The Lord is my shepherd”.
49) mati-hidup ikut Nyonya
50) Tuhan adalah gembalaku
51) idem
52) idem
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/02/02522028/aku.mata.hari.24
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar