Selasa, 30 November 2010

haa iki Mulai Panas?

Penduduk DIY Akan Melawan
Selasa, 30 November 2010 | 02:29 WIB


Yogyakarta, Kompas - Pendukung keistimewaan Yogyakarta pro-penetapan marah dan bertekad melakukan perlawanan politik secara masif terhadap pemerintah pusat jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersikukuh memaksakan konsep pemilihan gubernur dan wakil gubernur DI Yogyakarta dalam Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY.
Pendukung pro-penetapan siap menggelar sidang rakyat untuk menetapkan sendiri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY.
Mereka yang Senin (29/11) menyatakan dukungan penetapan gubernur dan wakil gubernur adalah Paguyuban Dukuh Se-DIY Semarsembogo di Yogyakarta, Paguyuban Kepala Desa dan Perangkat Desa se-DIY, Gerakan Semesta Rakyat Jogja (Gentaraja), Forum Komunikasi Seniman Tradisi Se-DIY, Parade Nusantara, komunitas Duta Sawala Dewan Musyawarah Kasepuhan Masyarakat Adat Tatar Sunda di Kuningan Jabar, pakar hukum tata negara dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) Hestu Cipto Handoyo, serta dua guru besar emeritus administrasi pemerintahan dan sosiologi dari Universitas Airlangga Surabaya, Soetandyo Wignyosoebroto, dan Hotman Siahaan.
Di tingkat nasional, mayoritas fraksi di DPR pusat pun beberapa waktu lalu telah menyatakan mendukung penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
Komunitas dan organisasi kemasyarakatan, para ilmuwan, serta politisi di DPR menilai pemerintah pusat selama ini—oleh kepentingan politik praktis—cenderung mengabaikan fakta sejarah nasional dan sumbangsih besar Yogyakarta bagi tegaknya Republik Indonesia muda ketika itu sehingga tetap lestari dan kokoh sampai sekarang.
Ketua Duta Sawala Dewan Musyawarah Kasepuhan Masyarakat Adat Tatar Sunda Eka Santosa mengatakan, proses pengangkatan Sultan HB X menjadi Gubernur DIY oleh rakyatnya merupakan kearifan lokal.

Sumbangan Yogyakarta
Sosiolog Hotman Siahaan dari Unair Surabaya menyebut keistimewaan Yogyakarta tidak patut dipertanyakan lagi. Pemerintah pusat juga tidak sepatutnya menyebut Keraton Yogyakarta sebagai bagian dari monarki. ”Mereka yang mempertanyakan keistimewaan Yogyakarta tidak mengerti sejarah dan sumbangsih Yogyakarta,” kata Hotman.
Menurut Hotman, menilai sistem pemerintahan di Provinsi DIY bersifat monarki jelas salah alamat. Kalau toh ada anggapan monarki, istilah itu dalam konteks simbolisasi kultural Jawa. Monarki itu jelas bukan monarki politik.
”Pemerintahan di Yogyakarta menerapkan semua prinsip demokrasi dan administrasinya seperti halnya provinsi lain. Karena itu, tidak tepat jika Presiden tidak segera mengesahkan keistimewaan Yogyakarta.”
Soetandyo mengatakan, mereka yang beranggapan bahwa monarki Yogyakarta bertentangan dengan demokrasi menyakiti rakyat. Pernyataan seperti itu tidak sesuai dengan fakta sejarah. ”Yogyakarta telah menyelamatkan RI di masa-masa sulit tatkala penguasa negeri ini lahir saja belum. Saat baru berdiri, Republik hampir ambruk karena Belanda datang lagi. Sultan menawarkan ibu kota pindah ke Yogyakarta dan Republik terus berlanjut,” paparnya.
Senada dengan Hotman, pakar hukum tata negara UAJY Hestu Cipto Handoyo menilai Amanat 5 September 1945 menguatkan status keistimewaan DIY dari sisi hukum dan historis.
Mayoritas fraksi di DPR pun menyepakati penetapan Sultan HB dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY. Selain diinginkan rakyat, konstitusi juga telah menjamin keistimewaan sebuah daerah sehingga penetapan Sultan dan Paku Alam sebagai kepala daerah bukanlah bentuk monarki politik.
Anggota Komisi II dari F-PDIP Arif Wibowo di Jakarta menyatakan, keistimewaan sebuah daerah sudah dijamin dalam konstitusi, tepatnya dalam Pasal 18 UUD 1945.
Sekretaris F-PAN Teguh Juwarno menambahkan, Pemprov DIY tidak menganut sistem monarki. Kedudukan Gubernur dan Wagub DIY sama persis dengan gubernur-wagub di daerah lain.
Sementara anggota Komisi II dari F-Partai Golkar Idrus Marhan mengatakan, seharusnya DIY tetap tunduk pada UU Pemerintahan Daerah, dan gubernur-wagub ditetapkan melalui pemilihan langsung dalam pilkada. ”Saya setuju dengan keistimewaan Yogya. Tetapi keistimewaannya itu pada budaya, bukan pada tata kelola pemerintahan,” katanya.
Namun, mantan anggota Komisi II DPR dari F-Partai Golkar, Ferry Mursyidan Baldan, mengatakan keistimewaan Yogyakarta tidak boleh dihilangkan.
Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Vernando Wanggai, kepada Kompas kemarin mengemukakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam RUUK Keistimewaan Yogyakarta masih belum menetapkan peranan Sultan sebagai kepala daerah atau gubernur, atau tetap sebagai Sultan.
Prinsip yang dipegang Presiden Yudhoyono, kata Velix, adalah mewujudkan format dan konstruksi kelembagaan daerah yang arif guna menggabungkan warisan tradisi Keraton dengan sistem demokrasi yang telah berkembang selama satu dekade di era reformasi ini.
”Karena itu, tidak ada maksud untuk membenturkan konteks sejarah dan tradisi dengan sistem demokrasi dan hukum,” ujar Velix.
(Tim Kompas)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/11/30/02294566/penduduk.diy.akan.melawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar