Rabu, 27 Juni 2012

haa iki : Dan, karena pembangunan ekonomi dianggap sebagai jawaban, logis saja jika jalannya pembangunan itu didasarkan pada diktum penalaran ilmu ekonomi

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2012/06/27/12470193/Doed.Joesoef.Jangan.Hanya.Membangun.Ekonomi

Doed Joesoef: Jangan Hanya Membangun Ekonomi
Heru Margianto | Rabu, 27 Juni 2012 | 12:47 WIB

KOMPAS/ARBAIN RAMBEY : Daoed Joesoef. 
 
KOMPAS.com - Bangsa Indonesia kini tengah mengalami multikrisis. Tidak hanya krisis di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang politik, sosial, dan kultural. Tantangannya adalah bagaimana memecahkan persoalan yang multikompleks ini.
”Sayangnya, para pemimpin negeri ini tidak, atau tidak mau, menyadari hal itu. Mereka menganggap kesulitan kita sekarang ini terjadi hanya karena ekonomi kita ini belum terbangun dengan baik. Akibatnya, perhatian hanya dipusatkan pada pembangunan ekonomi. Dan, karena pembangunan ekonomi dianggap sebagai jawaban, logis saja jika jalannya pembangunan itu didasarkan pada diktum penalaran ilmu ekonomi,” kata Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1978-1983).
Ia menambahkan, sesungguhnya, pendapat yang menyatakan bahwa pembangunan ekonomi dapat menyelesaikan persoalan yang dialami bangsa ini adalah pendapat yang picik.
Semasa menjadi anggota Kabinet Pembangunan III, kata Daoed Joesoef, dirinya sudah mengingatkan Presiden Soeharto bahwa pembangunan yang berorientasi pada ekonomi itu akan gagal. Namun, itu tidak ditanggapi.
”Yang saya herankan adalah Orde Reformasi itu mengkritik pembangunan ekonomi yang dilakukan Orde Baru, bahkan kemudian juga menjatuhkannya, tetapi tetap meneruskan kebijakan Orde Baru di bidang yang dikritiknya,” ujarnya.
Daoed Joesoef mengemukakan, ia menaruh harapan tinggi ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono terpilih. Persoalannya, Boediono, pada waktu menjadi dosen, bersama Profesor Mubyarto (almarhum) ikut menggagas ekonomi Pancasila. ”Saya pikir pada saat menjadi wakil presiden, ia akan menerapkan ekonomi Pancasila mengingat zaman dulu mungkin ia tidak mempunyai kesempatan untuk menerapkan gagasannya itu. Namun, ternyata kini, ia juga tidak menerapkannya,” katanya menambahkan.
Menurut Daoed Joesoef, seharusnya yang dilakukan adalah pembangunan nasional yang mencakup semua bidang. Untuk itu, Presiden Soekarno sudah mendirikan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Memang, Bappenasnya ada, orang-orang yang bekerja di sana ada, tetapi yang dijalankan adalah pembangunan ekonomi. Pembangunan nasional direduksi menjadi pembangunan ekonomi.
Pembangunan nasional itu meningkatkan kehidupan manusia (to enrich man) dan itu tidak hanya dalam artian materi. Jadi tidak hanya meningkatkan ekonomi di mana manusia itu hidup. ”Dulu, ini yang saya ingatkan kepada Pak Harto. Nah, Pak Harto berang sehingga saya dikeluarkan dari kabinet,” katanya.
Saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, janji yang diberikan kepada rakyat Indonesia adalah mereka akan mengalami kehidupan yang lebih baik dan lebih dihargai sebagai manusia. Namun, pembangunan ekonomi itu tidak berbuat demikian karena ekonomi itu mereduksi multiaspek dari manusia.
”Resep itu sudah begitu jelas, ukuran yang digunakan adalah produk nasional bruto (GNP). Jadi, kalau GNP naik, itu dianggap kesejahteraan naik dan rakyat makmur. Padahal, kan, tidak seperti itu. Jadi rakyat di daerah itu melihat bumi mereka dieksploitasi supaya GNP naik, tetapi mereka tidak dapat apa-apa. Mereka hanya jadi penonton. Bumi mereka dikorek, hutannya dibabat,” tuturnya.
Ekonomi moneter
Walaupun Daoed Joesoef pernah menjabat sebagai Mendikbud, sejatinya pada tahun 1960-an ia satu-satunya dosen moneter di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI).
Keahlian moneter inilah yang antara lain menjadikan dia dapat memiliki rumah di atas tanah seluas 8.500 meter persegi. Semula ia hanya membeli yang di atas saja. Di dekatnya ada tanah milik Departemen Keuangan (Depkeu) yang sedianya disiapkan untuk rumah bagi pegawainya. Namun, pegawai Depkeu tidak tertarik tinggal di wilayah itu karena transportasi ke wilayah itu masih sulit.
”Oleh karena saya meng-up grade pengetahuan mereka (Depkeu) tentang bagaimana menghitung GNP, produk domestik bruto (GDP), dan lain-lain, saya ditawari untuk membeli tanah Depkeu. Kebetulan istri saya (Sri Soelastri) senang bertaman, maka saya beli tanah itu,” kisahnya.
Kemudian, Daoed Joesoef juga membeli sawah petani yang terletak di belakang. Istrinya pernah menanam padi di sana. ”Totalnya saya memiliki 10 sertifikat,” ujarnya.
Tahun 1964, ia dan keluarga pergi ke Paris, Perancis. Ia menempuh pendidikan di Universite Pluridisciplinaires de Paris I, Pantheon-Sorbonne (1964-1972). Sewaktu pergi, tanahnya tidak dipagari karena keterbatasan uang. Ketika kembali ke Tanah Air tahun 1973, tanahnya sudah diduduki orang, termasuk di antaranya oleh militer. ”Saya terpaksa mengeluarkan uang dari tabungan untuk memindahkan orang-orang tersebut. Tahun 1975, urusan itu bisa diselesaikan,” ucapnya. Tahun 1978, ia diangkat oleh Presiden Soeharto menjadi Mendikbud.
Putrinya, Sri Sulaksmi Damayanti (Yanti), doktor dalam bidang mikrobiologi, menjadi dosen di Institut Pertanian Bogor (IPB). Namun, 8 tahun lalu, Yanti mengundurkan diri karena menganggap IPB kehilangan idealisme dengan mendukung Badan Hukum Pendidikan, yang memungkinkan universitas mengambil pungutan lebih besar dari mahasiswa.
Yanti bersama rekan-rekannya kemudian membangun sekolah dasar di halaman rumahnya, yang diberi nama SD Kupu-Kupu yang merupakan lanjutan ideal dari TK Kepompong yang letaknya tidak jauh. Dua tahun lalu, tokoh pendidikan Arief Rahman mendatangi Daoed Joesoef untuk meminta izin mendirikan SMP dan SMA Garuda. Daoed Joesoef setuju asalkan administrasinya terpisah dengan SD Kupu-Kupu.
Membaca buku
Daoed Joesoef menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Ia mengemukakan, ”Membaca itu kebutuhan buat saya, dan bukan hobi.”
Kebiasaan itu dibangkitkan ibundanya, yang dipanggilnya ”Emak”. Ibundanya rela memberikan tambahan uang saku untuk meminjam buku di perpustakaan swasta. Soalnya, buku di Balai Pustaka kurang lengkap.
Di malam-malam tertentu, terutama saat bulan purnama, ia diminta untuk menceritakan isi buku yang dibacanya di depan sanak keluarga. Salah satu buku yang dibacanya adalah karangan Jules Verne tentang perjalanan manusia ke Bulan. ”Lucunya saat saya bercerita, seorang paman bertanya, kalau orang belum pernah ke Bulan, bagaimana dia tahu bahwa tempat yang didatanginya adalah Bulan. Pikirannya sederhana, tapi logis,” ceritanya.
”Kata Emak, kalau menceritakan apa yang kamu ketahui kepada orang lain, kamu tidak akan kehilangan apa-apa,” kata Daoed Joesoef. Dan, itu pula yang menjelaskan mengapa Daoed Joesoef senang menulis. Pamannya, Soelaiman, mendesak ibundanya untuk mengikutsertakan putranya dalam kursus mengetik dengan 10 jari.
Uniknya, sampai sekarang ia tetap menggunakan mesin tik. Kalau tidak mendengar suara mesin ketik… tik… tik… tik... seperti hujan rintik-rintik, ide-idenya tidak keluar. Ia mengatakan, ”Cucu selalu menertawakan saya. Dia bilang, saya kuno. Saya jawab, emang saya kuno... he-he-he.”
Kegemaran menulis ini mendekatkan dirinya dengan Mohammad Hatta. Sebagai mahasiswa, ia pernah seperti bersahut-sahutan tulisan dengan Bung Hatta soal moneter. Khususnya tentang rasionale dari keberadaan jaminan emas wajib dan masalah stabilitas moneter yang berkaitan dengan itu.
Tulisan pertama adalah wawancara Bung Hatta yang ditulis di harian Pedoman, 25 Februari 1955. Daoed Joesoef menanggapinya dengan menurunkan artikel di majalah Mimbar Indonesia.
Sebulan kemudian, ia diundang untuk turut serta dalam rombongan Wakil Presiden Hatta meninjau perekonomian di daerah Cirebon, Tegal, dan Pekalongan. Ia dari FE-UI diundang bersama dua mahasiswa lagi, dari Fakultas Pertanian UI Bogor (sekarang IPB) dan FE Universitas Gadjah Mada. Dalam perjalanan itu, Bung Hatta mengajaknya berdebat. Hasilnya, keduanya sepakat untuk tidak sepakat, dan Bung Hatta tidak keberatan dengan itu.
Ia menceritakan, visi besar Bung Hatta lewat ungkapan yang sesekali dilontarkannya. Walaupun Bung Hatta seorang ekonom, ia mengutip ucapan Charles Fourier, seorang sosialis Perancis yang berbunyi, ”Kami mau membangun satu dunia yang di dalamnya semua orang hidup bahagia.”
Bahagia ini, kata Daoed Joesoef, tidak ada dalam kamus ekonomi. Yang ada welfare (sejahtera), yang ukurannya GNP. Sayangnya, ia tidak sempat bertanya kepada Bung Hatta apa ukuran dari bahagia.
Selain menulis, ia juga mengisi waktu luang dengan melukis sketsa. Kemahiran melukis sketsa dimulainya dari sebelum sekolah. Bahkan, ada masa ia hidup dengan menjual sketsa, atau melukis iklan film di bioskop Grand dan panggung pertunjukan Miss Tjitjih. Ia bercerita dengan sangat lancar, dengan bahasa gado-gado, Inggris, Belanda, Perancis, dan Indonesia tentunya.
Dalam soal lukisan ini, semasa merantau di Yogyakarta, saat SMA, ia bertemu Bung Karno, Bung Sjahrir, dan Bung Hatta, yang ditemuinya lagi sewaktu kuliah di FE-UI. Ia amat terkesan dengan pemahaman Sjahrir tentang lukisan. (James Luhulima)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar