Senin, 28 Februari 2011

haa iki Kemiskinan adalah kewajiban kapitalisme

Senin, 28 Februari 2011

Kelas dalam Diri Kita

Radhar Panca Dahana

Kemiskinan adalah kewajiban kapitalisme. Dalam sistem ekonomi yang mengedepankan kapital sebagai daya gerak utama, di mana pasar bebas seolah kenyataan yang tak terhindarkan, kemiskinan pun jadi satu hal yang inheren di dalamnya.
Kenyataan teoritik dan praktik ini menjelaskan bagaimana bukan hanya petani gurem dan nelayan, melainkan juga penarik ojek, sopir angkot, pedagang kecil hingga kuli bangunan tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, haknya untuk hidup sebagai manusia.
Rakyat kecil, mereka yang berakar di padang rumput negeri kita, adalah bagian paling tragis dari drama modernisme ekonomi yang kini terjadi, sebagai buah perubahan dan ”peradaban” baru sejak lahirnya Orde Baru hingga Reformasi. Mereka tidak lain hanya batang besar yang segera mengering karena benalu-benalu gemuk yang mengisap dengan kuat menggunakan ilmu, teknologi, dan sistem yang memang berpihak padanya.

Realitas artifisial
Sebuah perhitungan baru memang secara imperatif harus dilakukan. Dengan sadar, dengan sabar, dan dengan kerendahan hati, kelapangan jiwa, serta kebersihan pikiran kita.
Perhitungan itu bisa dimulai dengan memeriksa premis atau logika dasar yang sederhana dari kapitalisme itu sendiri. Pertama, kapitalisme memiliki diktum yang diterima semua pihak bahwa ”semua manusia memiliki peluang atau kesempatan yang sama”. Untuk aktualisasi diri, berkembang, memiliki kuasa atau—tentu—menjadi kaya. Namun, kita mengerti benar, realitas sosial-politik-ekonomi-kultural kita—juga di mana saja—membantah dengan keras premis itu. Karena peluang atau kesempatan itu ternyata harus berhadapan dengan prasyarat keras berupa relasi, kecerdasan, jaringan, teknologi, pengaruh, dan tentu saja modal hingga regulasi yang berpihak.
Akses atau kepemilikan prasyarat di atas menentukan kuat- lemah atau besar-kecilnya peluang seseorang. Maka, tak terelakkan, seseorang harus menyadari dirinya ada pada tingkatan atau kelas tertentu. Kelas yang menyebabkan ia tak memiliki peluang atau kesempatan yang sama dengan penghuni kelas yang lain. Tentu saja, pengusaha kecil bermodal Rp 1 juta tidak mungkin berkompetisi atau memiliki peluang yang sama dengan pengusaha bermodal Rp 1 miliar, terlebih dengan Rp 1 triliun.
Kedua, sistem semacam ini juga dilandasi tujuan dasar untuk meraih profit, keuntungan yang imperatif juga harus tumbuh, berlipat ganda dalam satu satuan waktu tertentu. Keuntungan pengusaha ”1 T” tentu akan berlipat dari modal dasar pengusaha ”1 M”, begitu pun pengusaha ”1 M” akan berusaha mendapatkan keuntungan lebih dari modal dasar pengusaha ”1 Jt”, dan seterusnya. Maka, dari struktur modal saja, peluang itu pun semakin memperlebar jurang perbedaannya, jarak antarkelasnya.
Tidak mengherankan bila kapitalisasi ekonomi sebuah negara pada akhirnya akan menumpuk pada pengusaha dengan modal- modal raksasa. Lebih menggiriskan ketika target pertumbuhan profit membuat raksasa modal itu harus melakukan invasi, mengisap potensi-potensi profit dari para pengusaha liliput.
Pemiskinan pun tidak terhindarkan, bahkan jadi konsekuensi logis dari sistem dan logika seperti ini. Kerakusan dan imperialisasi modal mendapatkan legitimasi, juga legislasi dalam regulasi di semua level. Rumput rakyat pun jadi bagian rumah bangsa yang seolah bernasib harus diinjak atau diratakan oleh buldoser modal, sebelum ia dapat tumbuh dengan baik.
Dengan mencermati dua saja dari logika dasar di atas—dari beberapa hal lain yang bisa disebutkan—kita sudah dapat memahami bagaimana ekonomi yang berkembang di negeri ini, dengan data-data statistik yang seksi, hanya menghadirkan realitas artifisial, jika bukan sebuah kebohongan intelektual atas kenyataan yang ada. Namun, kita bersama—termasuk mereka yang menciptakan dan memutuskan kebijakan—”telanjur” menempatkan semua sukses yang seksi itu sebagai ukuran utama, dasar pemahaman kita pada hidup, pada cara kita bereksistensi.
Sementara, sesungguhnya, dasar-dasar itu menyimpan paradoks, di mana realitas yang hidup ternyata bertentangan dengan premis-premis dasar sistem kapitalistis di atas. Bertentangan dengan perdebatan historisnya dengan Marxisme yang melihat masyarakat berada dalam kelas-kelas yang berada dalam konflik kepentingan (merebut akses atau kuasa pada berbagai sumber daya), tanpa jargon atau pengakuan secara teoritik kapitalisme pun sebenarnya mengakui bahkan menciptakan kelas-kelas itu secara sengaja.
Dengan menyatakan ”semua manusia berpeluang sama” untuk kaya dan berkuasa, sesungguhnya kapitalisme berada dalam utopia. Tentu saja kita paham, keduanya gagal total. Namun, satu hal yang dapat kita terima, sadar atau tidak sadar, keduanya—termasuk dalam turunannya: kapitalisme regulatif atau protektif, dan sosialisme—mengakui kenyataan manusia yang ada dalam kelasnya masing-masing.

Keadilan sosial
Hidup masa kini dan masa depan adalah hasil usaha dan pengabdian dari potensi terbaik kita sebagai manusia. Pertumbuhan dan perkembangan tentu terjadi tanpa harus dengan kerakusan akan dunia (harta). Karena usaha atau kerja bagi kita, masyarakat Nusantara, bukan sekadar cara memenuhi kebutuhan hidup, melainkan bagian dari ibadah kepada-Nya, Yang Mahakuasa, apa pun yang dipercaya oleh masing-masing kita.
Sebuah commune yang dibayangkan Marxisme atau ”peluang yang sama untuk berkuasa dan berharta” dalam kapitalisme sesungguhnya menjadi candu yang memabukkan kesadaran kita akan kenyataan. Tidak haram untuk berlebih harta atau kuasa, tetapi tidak berlebih pun, hidup dengan kepantasan dan kesederhanaan, tentu juga bukan sebuah dosa, bahkan mungkin mulia.
Maka, tidak perlu si pandir jadi pejabat, penipu jadi bangsawan, atau pencuri jadi hartawan; tak perlu Petruk menjadi raja, apalagi dengan cara-cara yang keji, yang mengkhianati kemanusiaannya sendiri. Setiap orang memiliki tugas hidupnya sendiri-sendiri, kewajiban historis, keilahian, dan tuntutan kulturalnya sendiri-sendiri.
Prestasi adalah hasil sebuah disiplin dan perjuangan. Mereka yang tidak cukup kuat berjuang dan disiplin tidak harus merebut prestasi orang lain, atau meraihnya dengan cara-cara yang tidak beradab.
Maka, bila yang berkuasa dan berharta pun menyadari ini, ia akan melihat imperasi kapitalisme, misalnya, yang meminta kita untuk terus meningkatkan laba dan penghasilan, sebagai sebuah imperialisme terhadap kedaulatan dirinya, kemanusiaannya. Bila para petinggi atau raksasa itu mau ”berhenti berprofit”, mencukupkan apa yang sudah dimilikinya, secara tidak langsung ia telah memberikan peluang profit itu kepada orang lain, kepada rakyat hingga di akar rumputnya.
Mungkin di sini keadilan sosial dapat tercipta, di mana kita yang mengupayakannya, pemerintah yang menjaganya.

Radhar Panca Dahana Budayawan
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/28/04300133/.kelas.dalam.diri.kita.
 

haa iki MASS RAPID TRANSIT

Senin, 28 Februari 2011

Berkacalah pada Manila dan Bangkok

Moda angkutan umum massal atau mass rapid transit berbasis rel jenis heavy rail transit dijanjikan akan segera dibangun di Jakarta. Untuk menikmati layanan MRT secara lengkap, yaitu jalur selatan utara dan timur barat sepanjang kurang lebih 109 kilometer, warga harus menunggu hingga tahun 2027 atau 16 tahun lagi.
Di Manila, Filipina, MRT sepanjang 16,95 km dengan 13 stasiun terselesaikan dalam waktu kurang dari 3 tahun. Pembangunan MRT di Manila dimulai pada 16 September 1997. Tahap pertama MRT dari North Avenue ke Buendia dibuka pada 15 Desember 1999. Tahap kedua dari Buendia ke Taft Avenue dibuka tujuh bulan kemudian, yaitu pada 20 Juli 2000.
MRT Manila atau dikenal sebagai Blue Line melengkapi jaringan kereta rel listrik yang telah lebih dulu ada.
MRT di Manila yang dioperasikan oleh Metro Rail Transit Corporation, sebuah perusahaan swasta yang bermitra dengan Kementerian Transportasi dan Komunikasi Filipina, kini mampu mengangkut 400.000 penumpang per hari.
Di Bangkok, MRT yang biasa disebut Bangkok Metro, beroperasi di bawah tanah dan juga memiliki jaringan rel melayang yang disebut BTS atau sky train.
Secara informal, proyek MRT Bangkok dimulai pada 19 November 1996. Namun, sempat tertunda karena krisis finansial yang melanda Asia tahun 1997. Meskipun demikian, dalam waktu delapan tahun jalur sepanjang 21 km—kurang lebih separuh dari MRT tahap pertama di Jakarta—dengan 18 stasiun dari Bang Sue ke Hua Lamphong, terselesaikan.
”Raja Thailand kala itu menegaskan MRT harus cepat diselesaikan karena angkutan umum massal yang cepat, nyaman, dan murah akan membantu rakyat. Pemulihan ekonomi negara pun bisa dipercepat,” kata Kepala Laboratorium Transportasi Fakultas Teknik Universitas Indonesia Ellen SW Tangkudung, akhir pekan lalu.
Situs resmi Mass Rapid Transit Authority of Thailand menyebutkan, tahun 2004 itu juga rencana perluasan MRT telah disetujui. Jalur baru sepanjang 247,3 km dibangun dalam 6 tahun. Bandingkan dengan perluasan jalur MRT koridor timur-barat sepanjang 87 km yang baru rampung tahun 2027. (Fransisca Romana Ninik/ neli triana)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/28/03542074/berkacalah.pada.manila.dan.bangkok
 

haa iki Pungutan liar di Merak, berdasar penuturan sejumlah sopir angkutan barang, sudah berlangsung cukup lama dan sulit dilawan

Senin, 28 Februari 2011

Sudah Macet, Jadi Obyek Perahan Pula

KOMPAS/AGNES RITA SULISTYAWATY
Sopir truk yang akan menyeberang ke Lampung di Pelabuhan Merak berdiri untuk melihat panjangnya antrean kendaraan, Minggu (27/2).

Antony Lee

Sejumlah laki-laki langsung mendekat ketika truk yang disopiri Widodo (40) melintasi kolong Jembatan Cikuasa Atas, Sabtu (26/2) pagi. ”Deden... Deden,” ujar Harto menyebut nama seseorang, menolak calo-calo yang menawarkan ”jasa” penyeberangan di Pelabuhan Merak.
Jembatan itu hanya beberapa ratus meter dari pintu masuk Pelabuhan Merak. Tidak lama kemudian, laki-laki yang namanya disebut oleh Harto muncul. Ia langsung naik ke truk. Usianya terbilang muda, awal 20 tahun, dengan tubuh kurus. Kepada pemuda itu, Harto menyodorkan uang Rp 410.000.
”Bawa apa lek (panggilan paman dalam bahasa Jawa), cabe ya?” kata Deden, mencoba meniru logat Jawa.
”Bukan, tapi lombok (cabai),” canda Harto. Ia beberapa kali menggunakan jasa Deden.
Harto yang ditemani kernet, Sukiyo (34), membawa muatan 4 ton cabai rawit hijau dari Temanggung, Jawa Tengah, menuju Metro, Lampung. Ia berangkat dari Temanggung, Jumat malam, dan ditarget tiba di Metro, Sabtu pukul 14.00.
”Enggak bisa bayar sendiri, soalnya bakal dikerjain sama calo. Bisa dipalakin juga. Aneh, pemerintah enggak bisa menghentikan,” tutur Harto.
Memasuki Pos II, Pelabuhan Merak, truk itu diberhentikan seseorang berseragam polisi. Deden langsung menghampirinya. Tak lama, ia naik lagi dan meminta Harto melaju ke pintu nomor tiga gerbang pembayaran biaya, mengekor di belakang sebuah bus. Di gerbang itu, ia kembali turun. Membayar di loket dan berbicara kepada petugas berseragam loreng.
Di gerbang itu, petugas mencatat nomor polisi truk, nama, usia, serta asal sopir. Deden kembali naik, sambil menyodorkan bukti pembayaran penyeberangan dengan nominal tercetak Rp 362.000. Baru beberapa meter dari gerbang pembayaran, truk itu kembali distop dua petugas berseragam satuan pengamanan yang mengendarai sepeda motor.
”Mana surat jalannya. Action, action,” ujar petugas itu sambil tertawa. Deden menyerahkan surat jalan yang menjelaskan barang yang diangkut cabai, serta menyelipkan uang Rp 10.000 di bawah amplop surat.
Truk kemudian diarahkan ke dermaga IV, tetapi sudah terlalu penuh, akhirnya antre di dermaga III. Deden lalu turun dari truk, meminta tambahan Rp 30.000, nominal uang yang disetorkannya kepada petugas. Ia lalu meninggalkan truk.
Sudah mengeluarkan uang lebih dari ketentuan tidak membuat Harto bisa langsung masuk ke kapal. Lebih kurang 3,5 jam, Harto dan Sukiyo harus menunggu sampai bisa menumpang Kapal BSP III menuju Pelabuhan Bakauheni, Lampung.
Baru hendak masuk ke kapal, Harto kembali harus menyodorkan Rp 1.000 untuk parkir. Masuk ke lantai dasar kapal, masih dimintai Rp 1.000 oleh petugas kapal. Di lantai dua kapal tempatnya parkir, ia kembali menyerahkan Rp 1.000 kepada orang yang mengarahkan posisi truknya.

Berlangsung lama
Pungutan liar di Merak, berdasar penuturan sejumlah sopir angkutan barang, sudah berlangsung cukup lama dan sulit dilawan. Mereka sudah antre, berhari-hari, jadi ”sapi perahan” pula. Padahal, setiap hari ada ribuan truk melintas. Akhir pekan lalu, ada 2.209 truk yang menyeberang dari Merak ke Bakauheni. Dengan jumlah itu, perputaran uang pungli bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta per hari.
Kondisi ini lebih parah setelah terjadi antrean panjang di Merak sebulan terakhir karena ada kebutuhan untuk menghindari macet. Hingga Minggu siang, misalnya, antrean truk dan tronton mencapai 12 kilometer dari pelabuhan hingga Tol Merak karena kekurangan kapal penyeberangan.
Budiman (28), pengangkut barang pecah belah dari Jakarta menuju Lampung, misalnya, sudah antre dari Kamis sore, dan baru dapat giliran naik kapal Sabtu sore. Ia juga mengaku turut membayarkan sejumlah uang, termasuk menggunakan jasa calo, seperti Harto, tetapi tak bisa juga dapat giliran cepat.
”Kemarin, masih ada yang bisa nembak langsung naik kapal bayar Rp 50.000-Rp 60.000 lewat jalan pintas, tetapi sekarang enggak berani lagi,” katanya.
Jalan pintas itu ialah keluar dari jalan Tol Cilegon Timur. Dengan mengeluarkan uang lebih, mereka mengakses jalur sembako, padahal mengangkut nonsembako. Dari pintu tol lalu belok ke arah Bojonegara, tembus ke Merak.
Hal ini menimbulkan kecemburuan pengemudi truk yang antre berhari-hari. Akibatnya, mereka sempat meluapkan emosi dengan melempari truk itu dengan batu.
”Memang kondisinya melelahkan, jadi gampang tersulut emosi. Istri saya saja yang menonton di televisi, menelepon saya sambil menangis karena kasihan,” tutur Budiman.
Pasalnya, sang istri melihat sopir-sopir tidur di pinggir jalan, atau di atas muatan berhari-hari. Padahal, hasil yang diperoleh tak seberapa. Misalnya, untuk rute Temanggung-Metro pergi-pulang, Harto hanya dapat Rp 3 juta untuk penyeberangan, tol, solar, dan makan. Kali ini, untuk sekali jalan ia sudah menghabiskan Rp 1,5 juta. Ia terpaksa harus mencari muatan dengan bayaran baik dari Lampung-Temanggung agar menutup setoran Rp 1,7 juta, serta upah mereka.
Pungutan disertai kemacetan semakin membebani mereka di tengah persaingan transportasi barang yang kian ketat. Jumlah armada yang bertambah membuat persaingan harga jadi tak sehat.
Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono, saat mengunjungi Pelabuhan Merak, Minggu, menegaskan, tidak boleh ada pungutan liar. Pemerintah akan mencoba menghilangkannya dengan mendorong pengelolaan yang lebih profesional untuk mengurangi antrean kendaraan.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/28/04244512/sudah.macet.jadi.obyek.perahan.pula.
 

Minggu, 27 Februari 2011

haa iki Tanpa banyak pertimbangan, ia memutuskan untuk mencari peluang melalui ”jalan belakang”.

Minggu, 27 Februari 2011

Benih Itu Tumbuh dalam Keluarga

FOTO-FOTO: KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Upaya pemberantasan korupsi tidak hanya melalui aspek hukum saja, tetapi juga melalui pembentukan moral sejak dini. Salah satunya lewat kantin kejujuran, seperti yang ditemui di SMP Negeri 75 Kebun Jeruk, Jakarta Barat, Kamis (24/2).

Oleh Myrna Ratna dan Nur  Hidayati

Sering tidak disadari, benih-benih yang mengarah pada perilaku koruptif justru ditebar dari dalam keluarga. Hal-hal yang dianggap sepele, ketika dilanggar dan dibiarkan, akhirnya menjadi kebiasaan yang bebas dari rasa salah.
Ketika anak sulungnya tidak lulus tes masuk untuk sekolah menengah atas favorit di kawasan Kebayoran, Jakarta, Andra (50)—bukan nama sebenarnya—sangat kecewa. Tanpa banyak pertimbangan, ia memutuskan untuk mencari peluang melalui ”jalan belakang”.
Ia langsung menghubungi beberapa kenalannya yang kebetulan menjadi dewan pengurus di sekolah itu dan minta tolong agar anaknya bisa memperoleh ”bangku cadangan”. Singkat kata, sang anak bisa diterima di sekolah itu, namun dengan imbalan jumlah ”sumbangan gedung” yang lebih tinggi dibandingkan orangtua lainnya yang diterima lewat jalur normal.
Namun, Andra tidak merasa apa yang dilakukannya itu keliru. ”Loh, saya kan melakukan itu karena saya sayang sama anak. Saya ingin dia belajar di sekolah terbaik. Kalau sekolahnya tidak jelas reputasinya, mau jadi apa anak saya nanti?” kata Andra dengan nada tinggi.
Kadang, atas nama ”cinta pada anak”, orangtua rela menabrak rambu-rambu yang kebetulan di negeri ini dimungkinkan untuk dibengkokkan. Mereka sering lupa bahwa perilaku itu akan diinternalisasi oleh anak-anaknya.
Ari (20)—bukan nama sebenarnya—kecewa ketika orangtuanya tidak memberinya izin untuk mengikuti tes masuk di sebuah perusahaan swasta. Rupanya orangtua Ari lebih menginginkan putranya menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
Untuk memuluskan keinginannya itu, ayah Ari yang pensiunan PNS sudah ”menitipkan” anaknya buat bekerja di tempat ia bekerja dulu. Lewat bantuan para kenalan ayahnya, Ari memperoleh pekerjaan sebagai tenaga magang. ”Sebenarnya saya ingin mencoba merasakan ikut tes kerja dan mencoba mandiri. Tetapi, saya juga tidak berani melawan orangtua,” kata Ari pasrah.

Menumbuhkan kepercayaan
Psikolog Theresia Sapto (49) menyadari bahwa keluarga menjadi benteng pertama untuk menanamkan nilai antikorupsi dan orangtua menjadi sosok paling penting untuk mentransfer nilai-nilai itu.
”Ketika anak saya sekarang sudah cukup dewasa, masalah itu bisa kita diskusikan dengan terbuka. Jadi, kita sering bareng-bareng membahas kasus-kasus korupsi yang ada di televisi atau koran,” katanya.
Namun, nilai-nilai itu secara kontinu telah ditanamkannya sejak anak-anaknya masih kecil. ”Intinya saya selalu mengatakan kepada mereka untuk melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Kalau diberi uang untuk bayar uang sekolah, ya untuk uang sekolah, tidak boleh 'dipinjam' untuk jajan dulu. Juga dalam mengatur waktu, kalau pas jam untuk belajar ya untuk belajar, bukan untuk main,” tambahnya.
Ketika memasuki masa sekolah, anak-anak sebetulnya telah dihadapkan pada tantangan yang paralel dengan dunia orang dewasa. Misalnya saja, mereka harus menghadapi godaan menyontek, menjiplak, perlakuan diskriminatif, bahkan ancaman bully.
”Intinya, itu adalah perilaku yang curang karena ada pihak yang dirugikan. Cara saya mengatakan kepada anak-anak bukanlah ”jangan menyontek”, tapi saya katakan bahwa ketika kamu bisa melakukan sesuatu karena upaya sendiri, itu akan membuat kita percaya diri,” kata Theresia.
Demikian juga dengan berbohong. ”Anak-anak sudah mengerti bahwa ketika mereka berbohong maka yang tidak bisa mereka bohongi adalah diri mereka sendiri,” tuturnya.

Serius
Ketika dewasa, dorongan menyontek itu tidak mustahil berkembang menjadi plagiarisme, bahkan yang lebih luas lagi pembajakan. Sikap ”titip-menitip” itu bisa mengarah pada perilaku nepotisme dan kolusi dan semua itu akhirnya menggenapkan perilaku koruptif.
Lily (36)—bukan nama sebenarnya— manajer divisi sebuah perusahaan di Jakarta, menggambarkan mengapa tas bajakan dari merek-merek terkenal yang ia perjualbelikan selalu laku keras. ”Masalahnya, selera itu enggak equal dengan uang. Jadi, yang 'kawe-kawe' (istilah untuk produk bajakan yang berkualitas) itulah yang terbeli, itu pun pakai kredit,” kata Lily.
Ia tahu persis bahwa menjual atau membeli produk bajakan itu menyalahi aturan. ”Akan tetapi, apa boleh buat... kantong yang bicara,” kata Lily, yang memperoleh pasokan dari penyuplai yang berada di Batam. Produk tas dan dompet itu kebanyakan buatan China, Hongkong, dan Korea.
Menurut Lily, tas-tas bermerek itu dibajak dalam beberapa tingkat kualitas. Dari pengalamannya, ia bisa membedakan tas bajakan dengan kualitas KW II sampai kualitas ”premium”. KW II biasanya dijual dengan kisaran harga Rp 300.000-Rp 400.000 per buah. KW I dijual mulai harga Rp 500.000- Rp 1 juta. Sedangkan kualitas premium sebuah tas bisa dijual dengan harga Rp 2 juta-Rp 3 juta; bandingkan dengan tas bermerek asli yang harganya Rp 20 juta-Rp 30 juta.
Di Jakarta, tas-tas bajakan seperti itu dapat dibeli bebas di sejumlah mal. Budi (43) yang siang itu membeli dompet di sebuah gerai di kawasan Sudirman mengatakan, ia tahu barang yang dijual di situ bajakan, namun ia tak peduli. ”Saya beli karena dompet ini murah, model dan bahannya juga lumayan,” katanya.
Sementara Dhea (34) yang rajin mengoleksi DVD film impor bajakan sejak lima tahun terakhir menilai, tindakannya itu bukan hal keliru sepanjang ia tidak membeli bajakan film ataupun musik produksi negeri sendiri.
”Aku enggak pernah nyontek, enggak pernah nyogok termasuk kalau bikin KTP atau apa pun. Aku cuma beli DVD bajakan karena rasanya enggak salah-salah amat. Soalnya negara-negara Barat, termasuk produsen Hollywood, itu sudah banyak banget ambil untung dari pasar negeri ini,” ujar karyawati swasta ini.
Namun, Karlina Supelli, pengajar di Program Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta, dalam diskusi ”Korupsi yang Memiskinkan”, Selasa (22/2) lalu di Hotel Santika Jakarta, mengingatkan bahwa perilaku menyontek, menjiplak, ataupun sesamanya merupakan korupsi. Kelihatannya seperti ”bukan korupsi” karena kita menganggapnya sebagai hal biasa. ”Saya mohon, jangan beri toleransi untuk kecurangan,” katanya. (YULIA SAPTHIANI)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/27/04451772/benih.itu.tumbuh.dalam.keluarga
 

haa iki ”Saya tidak menutup mata kalau korupsi memang terjadi di lingkungan PNS. Perlawanan terhadap korupsi saya mulai dari diri sendiri, staf saya, lalu ke bagian lain,”

Minggu, 27 Februari 2011

"Ayo Jujur Setiap Hari"

FOTO-FOTO: KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Warga melintas di depan mural tentang lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap para pekerja publik di Jalan Sultan Agung, Jakarta Pusat, Kamis (24/2).

OLEH NUR HIDAYATI DAN YULIA SAPTHIANI

Di tengah perilaku koruptif yang mengepung kita, masih ada orang-orang yang memilih bersikap antikorupsi. Dimulai dari hal-hal sederhana yang dilakukan diri sendiri, prinsip antikorupsi lalu disebar ke lingkungan sekitar.
Ketika menemukan uang tak bertuan di lingkungan sekolah, Corrie Susanto (14) segera memungut dan memasukkannya ke kotak temuan yang diletakkan di kantin kejujuran. Siswa kelas IX SMP Negeri 75 Kebon Jeruk, Jakarta, itu mengaku telah terbiasa jujur, bahkan ketika peluang untuk tidak jujur itu terbuka lebar.
Sebagai wujud perlawanan terhadap korupsi, sekolah menanamkan kejujuran pada siswa, antara lain dengan membuka kantin kejujuran. ”Rasanya enggak enak banget kalau sampai berbuat tidak jujur,” ujar Corrie.
Kantin kejujuran di SMP Negeri 75 hanya berupa bangku sepanjang sekitar 5 meter. Tiap pagi, aneka makanan seperti lontong sayur, risol, hingga alat tulis dijajar di bangku, tanpa penjaga. Siswa bebas mencomot makanan dan membayar dengan meletakkan uang di kotak kasir. Di sisi lain dari bangku itu juga diletakkan kotak temuan. Menurut Kepala SMP Negeri 75 Akhmad Sumardi, sejak hadir tahun 2006, kantin kejujuran tak pernah bangkrut.
Satu kali sepekan, setiap Rabu pagi, siswa juga dibekali dengan pendidikan motivasi. Kejujuran, lanjut staf humas SMP Negeri 75, Sagino, menjadi salah satu topik yang terus-menerus ditanamkan kepada siswa.
Kantin kejujuran juga ada di SMA Negeri 78 Kemanggisan. Menurut Wakil Kepala Sekolah Bidang Komunikasi dan Kerja Sama Nursyamsudin, kantin ini efektif mengubah perilaku siswa. ”Kejujuran sempat terdegradasi, tapi kini mulai pulih,” katanya.
Perlawanan terhadap korupsi juga dilakukan orangtua siswa dari lima sekolah di Jakarta, yang Selasa (22/2) lalu mendeklarasikan Aliansi Orangtua Peduli Pendidikan Indonesia (APPI) di Gedung Perintis Kemerdekaan. Mereka bertekad mewujudkan pendidikan zero korupsi, zero diskriminasi, dan zero intimidasi.
Di tingkat perguruan tinggi, Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada pernah membuat program kuliah kerja nyata (KKN) antikorupsi bekerja sama dengan Universitas Atma Jaya dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dalam pelaksanaannya, mahasiswa bertugas mengawasi pengadilan yang berada di 15 kabupaten/kota di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Hasilnya, seperti dikatakan Direktur Pukat Zainal Arifin Mochtar, ditemukan banyak pelanggaran, seperti sidang yang dilaksanakan di ruang hakim. Menurut Zainal, program tersebut mendekatkan mahasiswa dengan realitas sesungguhnya, dengan dunia yang akan mereka geluti usai kuliah. Sayang, karena keterbatasan dana, KKN antikorupsi hanya berlangsung di satu angkatan. ”Sebenarnya Komisi Yudisial mau mengambil program ini, tetapi belum dilaksanakan,” kata Zainal.

Antikorupsi PNS
Gerakan antikorupsi juga dilakukan sekelompok pegawai negeri sipil (PNS) melalui Aliansi PNS Antikorupsi di Facebook. Adalah M Ali (38), seorang PNS, yang menjadi penggagas gerakan di dunia maya tersebut.
Gundah dengan perilaku koruptif yang lekat dengan PNS, Ali mengajak rekan seprofesi untuk hidup bersih. Hampir setiap hari di dinding Facebook terdapat ajakan untuk menjauhi korupsi. Jumat (25/2), misalnya, tertulis ”Ayo jujur setiap hari”.
Awalnya, Ali hanya mengundang sesama PNS untuk bergabung. Namun, di antara lebih dari 1.500 anggota yang sudah bergabung, ada juga yang tidak berprofesi sebagai PNS.
”Saya tidak menutup mata kalau korupsi memang terjadi di lingkungan PNS. Perlawanan terhadap korupsi saya mulai dari diri sendiri, staf saya, lalu ke bagian lain,” kata Ali.
Korupsi di lingkungan kerjanya, yang memberi pelayanan kepada masyarakat, menurut Ali, terjadi karena kurangnya informasi yang disampaikan kepada masyarakat. ”Misalnya, banyak masyarakat tidak tahu tahapan membuat KTP atau surat lain karena memang tidak disosialisasikan. Hal inilah yang membuka peluang terjadinya negosiasi,” tutur Ali.
Untuk menutup pintu negosiasi ini, sistem pun dibenahi. Semua informasi disosialisasikan kepada publik, di antaranya dengan membagikan brosur, termasuk pada stafnya.
Apa yang dilakukan Pemerintah Kota Surabaya yang menerapkan sistem berbasis internet juga bisa menjadi contoh sikap antikorupsi di tingkat pemerintah. Salah satunya adalah electronic procurement service (E-Proc) yang bertujuan mempermudah sekaligus menjamin transparansi lelang tender pengadaan barang dan jasa.
Sebelum E-Proc juga ada E-Bud- geting untuk membantu dinas dan tim anggaran dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berbasis kinerja. Ada pula E-Controlling, sistem aplikasi lanjutan E-Budgeting.
Pengajar di Badan Diklat Provinsi DKI Jakarta, Darmono Bajuri, berpendapat, korupsi yang melekat pada PNS bisa hilang jika mereka memulai dengan hal sederhana. ”Jelaskanlah kepada orang rumah penghasilan setiap bulan bersumber dari mana. Begitu pula saat kita membawa sesuatu ke rumah,” kata Darmono, yang mengajar etika organisasi pemerintah, etika moral, dan kepemimpinan aparatur.
Tanggung jawab moral
Tanggung jawab moral, seperti dicontohkan Darmono, memang menjadi salah satu faktor seseorang memilih bersikap antikorupsi.
Miranti (34), bukan nama sebenarnya, mengubah apa yang dilakukan orangtuanya selama puluhan tahun dalam mengelola grosir buku pelajaran di sebuah kota di Jawa Tengah.
Sebelum dikelola Miranti, grosir tersebut tak hanya menjual buku legal, tetapi juga bajakan. Namun, sejak empat tahun lalu, Miranti memutuskan menghentikan penjualan buku bajakan.
Meski ditentang karyawan dan keluarga, Miranti teguh dengan prinsipnya. Dia pun mengurai cerita.
Beberapa tahun sebelum mengambil alih toko, Miranti mengikuti orangtuanya mengunjungi penerbit yang memproduksi versi asli dari buku bajakan.
”Dari situ, aku tahu kalau sebagian penghasilan penerbit disisihkan buat kegiatan sosial seperti anak yatim piatu. Nah, kalau aku jual bajakan, aku mencuri apa yang jadi hak orang lain, bahkan bisa juga hak anak-anak yatim,” ujar Miranti.
Meski sempat dianggap bos ”gila”, kini Miranti justru berhasil mengembangkan tokonya dengan omzet mencapai miliaran rupiah per tahun. Dengan modal kejujuran, tanpa penjualan barang bajakan. Maka, ”Ayo jujur setiap hari...!” (ETA/WKM)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/27/05012545/ayo.jujur.setiap.hari
 

Jumat, 25 Februari 2011

haa iki otoritatif dan transformatif

Pemerintahan Godal Gadul

Jum'at, 25 Februari 2011 - 11:14 wib
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1968-1990) Kiai Haji AR Fachruddin pernah mengingatkan Muhammadiyah agar tidak menjadi organisasi dan gerakan yang godal-gadul.

Di dalam tata bahasa Jawa, godal-gadul adalah kata dasar yang diulang dengan perubahan bunyi (dwi lingga salin swara). Tanpa bermaksud melakukan “Jawanisasi”, penggunaan istilah godal-gadul sengaja dipilih karena tidak ada ekspresi yang pas dalam Bahasa Indonesia. Pengertian yang tepat dalam bahasa Jawa pun tidak dapat dikemukakan secara pasti. Pengertian godal-gadul hanya dapat ditafsirkan dari konteks (siyahu al kalam) dan setting pada saat Pak AR–nama populer KH AR Fakhruddin– menggunakannya di lingkungan Muhammadiyah. Godal-gadul berarti tidak bersungguh-sungguh, amanah, dan profesional. Suatu ketika ada seorang kader Muhammadiyah di Jawa Tengah yang menamatkan studinya di Institut Pertanian Bogor.

Dengan semangat berapi-api lazimnya seorang fresh graduate, dia memaparkan gagasan pembaharuan pertanian (tajdidu al-falahiyyah) di depan pimpinan Persyarikatan. Walhasil, gagasan pembaharuannya diterima dengan baik. Setelah ditunggu sekian lama, tidak satu pun gagasan pembaharuan yang terwujud. Dia tidak mengingkari janji. Hanya saja, dia tidak segera melaksanakan. Sang kader tidak melaksanakan prinsip fastabiqu al-khairat: berlomba-lomba berbuat kebajikan. Sesuai konteks ini, godal-gadul hampir sama pengertiannya dengan gobal-gabul. Anak muda sekarang menyebutnya “Omdo” (omong doang) atau “NATO”(no action, talk only). Godal-gadul serupa dengan ”gedebus” yang dipopulerkan Gepeng, komedian Srimulat 1980-an.

Pengertian lain godal-gadul adalah ”pepesan kosong” sebagaimana pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan rapat kerja pemerintahan yang membahas Program Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (P3EI) di Bogor (21/2/2011). Presiden SBY mengkritik pemerintah daerah (pemda) yang banyak menyampaikan komitmen pembangunan, tetapi miskin realisasi karena tidak realistis dan terencana dengan baik dan terukur.

Pemerintahan Godal-Gadul

Suatu lembaga, organisasi bisa menjadi godal-gadul kalau tidak memenuhi tiga “T”. Pertama, temen: bersungguh-sungguh, konsisten, istiqamah. Kedua, teges: kompeten, mumpuni, profesional. Ketiga, trengginas: proaktif, progresif, berkemajuan, dan kreatif. Akibat tidak terpenuhinya tiga persyaratan tersebut, pemerintah sekarang ini terlihat mulai godal-gadul. Gejala ini dikemukakan sendiri oleh Presiden SBY, yang menyatakan ada fenomena “pepesan kosong” dalam pembangunan ekonomi. Presiden SBY menyebutkan fenomena “pepesan kosong” disebabkan oleh berjangkitnya lima penyakit (Republika, 22 Februari 2011).

Pertama, penyakit birokrasi. Presiden menyebut birokrasi pemerintah pusat yang lambat di tingkat kementerian menyebabkan banyak program pembangunan yang tidak terlaksana. Banyak keputusan dalam sidang kabinet yang terhenti di kementerian sehingga tidak dapat dilaksanakan sesuai rencana. Penyakit yang kedua terjadi di tingkat pemda. Terdapat banyak jajaran pemda yang sengaja menghambat pembangunan demi membela kepentingan pribadi. Masalah ketiga terjadi di kalangan investor. Banyak investor yang telah mengingkari janji sehingga gagal memenuhi komitmen dan kontrak kerja yang direncanakan. Keempat, banyaknya masalah regulasi yang tidak segera diperbaiki.

Akibatnya, agenda-agenda pembangunan ekonomi terkunci. Masalah kelima adalah proses politik tidak sehat yang terjadi di lini pemerintahan pusat dan daerah. Kritik yang disampaikan Presiden SBY di depan peserta rapat P3EI tersebut memiliki dua makna penting. Pertama, ada pemahaman dan kesadaran tentang masalah-masalah pembangunan dan akar-akarnya. Di dalam teori problem solving, pemahaman atas masalah (problem definition) merupakan kunci keberhasilan pemecahan (problem solution). Kedua, walaupun lebih ditujukan kepada pihak lain (kabinet, pemda, investor, regulasi, dan iklim politik), penjelasan Presiden tentang hambatan, masalah, dan penyakit pembangunan menunjukkan bahwa pemerintahan tidak berjalan sebagaimana idealnya.

Kritik Presiden kepada aparatur kementerian dan pemda adalah wujud keterbukaan di mana Presiden “mengakui” kekurangannya sendiri (self-criticism). Pengakuan atas kekurangan sendiri adalah sikap mulia yang dimiliki mayoritas pemimpin besar dunia. Ibarat kapal, Presiden adalah nakhoda tunggal yang menentukan arah perjalanan. Para menteri adalah anak buah kapal (ABK) yang secara sistemik harus tunduk sepenuhnya kepada kepemimpinan nakhodanya. Kementerian bukanlah lembaga mandiri yang terlepas dari pemerintahan. Meskipun berasal dari partai politik yang berbeda, para menteri tidak boleh berseberangan dengan presiden baik dalam kebijakan maupun visi pemerintahan.

Demikian halnya dengan jajaran pemda. Walaupun secara politik para kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada presiden, secara hukum dan kenegaraan mereka wajib taat kepada presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden bisa menggunakan hak konstitusional dan politiknya untuk mengarahkan dan membina gubernur, bupati/wali kota, camat, kepala desa, dan seluruh jajaran aparatur negara. Dengan logika ini, lambatnya birokrasi dan buruknya kinerja kementerian tidak bisa dialamatkan sepenuhnya kepada para menteri dan jajaran pejabatnya. “Pembangkangan” jajaran pemda memiliki tali-temali dengan hierarki pemerintahan di atasnya. Secara langsung atau tidak langsung, pemerintahan yang godal-gadul dan pemda “pepesan kosong” bertaut erat dengan karakter kepemimpinan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Lebih Otoritatif

Agar pemerintahan lebih progresif dan tidak godal-gadul, Presiden sudah seharusnya menggunakan otoritasnya sebagai kepala negara dan pemerintahan. Walaupun kekuasaan Presiden tidak tak terbatas, secara konstitusional dan politik kedudukan dan kewenangan Presiden sungguh luar biasa. Sudah waktunya Presiden mengakhiri gaya kepemimpinan persuasif. Sebagai nakhoda pemerintahan, Presiden adalah pemegang jabatan eksekutif tertinggi. Presiden adalah pembuat kebijakan sekaligus pelaksana dan pemimpin. Presiden bukanlah konsultan pemerintah, analis politik, atau pakar ketatanegaraan yang berperan sebagai outsider. Analog dengan kepemimpinan agama, Presiden adalah seorang imam, bukan seorang muazin.

Lebih dari 60% rakyat yang memilih Presiden SBY dalam Pemilu 2009 mendambakan kepemimpinan yang otoritatif dan transformatif. Kepemimpinan otoritatif bukanlah kepemimpinan otoriter, dictatorship, atau tirani. Pemimpin yang otoritatif adalah pemimpin yang memangku mandat secara konstitusional dan melaksanakan hak, wewenang, dan kewajiban sesuai hukum yang berlaku. Jika terdapat kementerian yang menghambat program pemerintah, tidak sejalan dengan kebijakan negara atau kinerjanya buruk, Presiden bisa menggunakan otoritasnya dengan memberhentikan menteri yang bersangkutan. Kepentingan bangsa dan negara harus lebih diutamakan di atas usaha mempertahankan harmoni personal dan partai koalisi.

Kepemimpinan transformatif adalah kepemimpinan yang visioner, kuat, dan tegas sehingga mampu membawa perubahan dan kemajuan. Laksana kepemimpinan profetik, kepemimpinan transformatif memerlukan sosok pemimpin yang mampu meneruskan peran kenabian. Selain jujur, dapat dipercaya, komunikatif, dan cerdas, kepemimpinan transformatif juga meniscayakan sosok pemimpin yang berani mengambil risiko (risk taker) demi membela kebenaran. Dalam literatur Islam, pemimpin risk taker disebut sebagai ulul azm sebagaimana Nabi Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad saw. Pemimpin transformatif senantiasa hadir di tengah problematika hidup, memandu, mendampingi, dan memberikan contoh penyelesaiannya.

Kewibawaan seorang pemimpin akan hilang bersamaan dengan hilangnya keteladanan dan ketidakhadiran. Beberapa survei menunjukkan turunnya popularitas Presiden SBY. Walau demikian, Presiden SBY tetap merupakan figur terpopuler. Selain karena kepemimpinannya yang terlalu persuasif dan agak melankolis, berkurangnya dukungan terhadap Presiden SBY antara lain disebabkan oleh pemerintahan yang godal-gadul. Rakyat masih setia mendukung presidennya yang mahir berpidato dengan untaian kata indah dan janji-janji baru penuh asa. Tetapi, rakyat akan lebih berbahagia jika Presiden memimpin langsung pemberantasan korupsi yang pernah dijanjikannya dengan penuh bersahaja.

Selain memberikan kabar gembira pertumbuhan ekonomi, rakyat sesungguhnya lebih mendambakan kehadiran Presiden sebagai pahlawan yang membebaskan mereka dari kepungan kesulitan ekonomi. Di tengah rasa aman yang semakin mahal, rakyat merindukan Presiden yang menjelma layaknya Superman, sang pembasmi kejahatan. Presiden memiliki kesaktian hukum dan politik yang memungkinkannya menjadi Superhero bagi rakyat jelata di negeri Indonesia yang penuh misteri. Sudah banyak aktivis yang hilang. Karena itu, jangan lagi ditambah dengan kasus-kasus yang hilang. Sesungguhnya rakyat prihatin dengan Presiden yang tidak dipatuhi oleh para pembantunya.

Rakyat sedih jika 12 Instruksi Presiden tentang Gayus tidak terlaksana. Rakyat akan semakin lantang menjerit jika perintah sang Jenderal agar ormas anarkistis justru ditentang oleh prajuritnya. Masyarakat sesungguhnya tidak tega menyaksikan Presiden pilihannya dirusak citranya oleh birokrat yang sibuk menjilat-jilat. Demokratis tidak berarti menoleransi pelaku dan pengancam gerakan makar. Tetapi, semuanya terserah pada Presiden. Rakyat menyaksikan Presiden berhenti mengeluh dan prihatin terhadap keadaan dan tabiat punggawa pemerintahan yang cenderung autis, apologetik, dan defensif terhadap kritik.

Rakyat mendukung jika Presiden menjewer aparatnya yang arogan, feodalistik, dan suka mengadu domba. Jika pemerintahan tetap godalgadul, negeri ini akan semakin amburadul.(*)

Abdul Mu’ti
Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber : http://suar.okezone.com/read/2011/02/25/58/428738/pemerintahan-godal-gadul

haa iki Negeri Seribu Warung Kopi

Jumat, 25 Februari 2011

Aceh, Negeri Seribu Warung Kopi

Ngang...nging...ngung…. Gemuruh itu bagaikan suara gerombolan tawon. Tak henti pagi, siang, dan malam. Mereka keluar-masuk silih berganti. Meski bising, mereka terus berdatangan. Ruangan yang agak luas itu selalu penuh. Inilah suasana di Warung Kopi Jasa Ayah alias Solong Coffee di Ulee Kareng, Banda Aceh, di Negeri Seribu Warung Kopi.
Pemilik warung kopi, H Nawawi, tampak sibuk melayani pengunjung. Karyawannya hilir mudik membawa gelas-gelas kopi dan kue. Pengunjungnya pun tak kalah sibuk. Mereka mencari tempat duduk. Saking penuhnya, kadang mereka tak mudah mendapat tempat duduk. Ada yang duduk berjam-jam, tapi ada juga yang duduk hanya beberapa menit, sekadar minum kopi terus pergi.
”Usaha ini diawali oleh ayah saya tahun 1974. Saya melanjutkannya,” kata Nawawi menceritakan awal warung kopi itu. Warung Kopi Jasa Ayah merupakan warung kopi yang tergolong tua. Warung kopi sejenis inilah yang tergolong warung kopi tradisional di Banda Aceh dan sekitarnya.
Warung kopi tradisional yang dimaksud mulai dari cara pembuatan minuman kopi yang direbus dan menggunakan saringan saat hendak disajikan, fasilitas yang tak lebih dari meja dan kursi, jenis minumannya, dan juga tipe-tipe orang yang datang ke tempat itu. Bila kita menggunakan sebutan warung tradisional, tentu ada warung jenis lain.
”Kini banyak warung kopi baru bertumbuhan di Banda Aceh dan di kota lainnya, seperti Lhokseumawe dan Takengon. Warung kopi tradisional seperti Warung Kopi Jasa Ayah bisa digolongkan generasi pertama. Generasi kedua adalah warung kopi yang dikembangkan dengan waralaba. Generasi ketiga adalah warung kopi yang memberi fasilitas tak hanya minuman dan makanan, tetapi juga musik, televisi satelit, hingga akses internet,” kata antropolog Teuku Kemal Fasya.

Pascatsunami
Pascatsunami dan perjanjian damai Helsinki di Banda Aceh dan juga kota-kota lain di pantai timur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) banyak sekali bertumbuhan tempat duduk dan tempat minum itu, baik yang tetap menyebut warung kopi ataupun kafe. Jumlah pasti warung kopi itu tidak diketahui, tapi kita bisa melihat jalan-jalan di Banda Aceh dan beberapa kota lainnya dipenuhi warung kopi. Salah satunya di jalan lingkar yang belum lama dibuka dan kini setidaknya sudah ada sekitar 10 warung kopi atau kafe.
Fasya mengatakan, menjamurnya warung kopi atau kafe terkait dengan kedatangan sukarelawan dan pekerja, baik dari dalam maupun luar negeri, ke NAD. Mereka membutuhkan tempat untuk duduk dan minum serta untuk relaksasi dan bertemu relasi. Perubahan lainnya yang tampak adalah jam buka warung kopi yang semula tak sampai 24 jam kini telah muncul warung kopi yang buka 24 jam.
”Para pendatang juga merasa membutuhkan ruang publik yang nyaman. Perkembangan warung kopi atau yang modern disebut kafe belakangan ini karena adanya peluang ekonomi yang terkait dengan kebutuhan ruang publik itu. Orang Aceh menangkap peluang itu,” kata Fasya.
Kebiasaan minum kopi yang sudah ada dan mengakar di kalangan masyarakat di Banda Aceh dan sekitarnya makin berkembang ketika para sukarelawan dan pekerja itu menikmati suasana warung kopi. Akar tradisi minum kopi dan duduk di warung kopi boleh dibilang sudah cukup lama. Melihat fakta sejarah mengenai komunikasi yang intens antara Kesultanan Aceh dan Kesultanan Ottoman yang sekarang berada di Turki, mungkin kebiasaan mengunjungi warung kopi sudah lama ada di kalangan masyarakat Aceh.
”Sehabis shalat subuh hingga malam hari kita bisa menemui orang dari berbagai kalangan berada di warung kopi. Obrolan apa saja ada di warung kopi, dari soal politik, ekonomi, sampai urusan kesenian ada di situ,” kata budayawan LK Ara. Ia menuturkan, kadang orang duduk berjam-jam di warung kopi.
Di mata Ara, memang tidak bisa dimungkiri ada orang yang bermalas-malas di tempat itu sehingga kadang ada yang mengkritik warung kopi tempat bermalas-malas. Namun, menurut dia, banyaknya orang di warung kopi karena juga menjadi tempat untuk menggali ide atau menambah informasi.
”Dari warung kopi kemudian ke tempat kerja. Di tempat kerja mereka bisa mengembangkan ide-ide yang didapat dari warung kopi,” kata Ara sambil menyebut wartawan dan juga sastrawan pemenang Nobel asal Mesir yang mendapat ide-ide di warung kopi sebelum berangkat bekerja.
Fasya mengatakan, orang dengan latar belakang bermacam-macam profesi kerap kali bertemu di warung kopi. Meski tidak ada pembedaan yang jelas, ia menyebutkan kalangan aktivis mahasiswa dan partai politik lebih menyenangi warung kopi tradisional. Namun, kalangan remaja dan muda memilih kafe-kafe yang baru bermunculan dengan fasilitas internet, nonton bareng, hingga musik.
Pembedaan lainnya yang juga terlihat adalah cara penghitungan pembayaran minuman. Di warung tradisional kopi kerap kali penghitungan hanya berdasarkan ingatan pegawai warung kopi. Ketika kita menanyakan jumlah yang harus dibayar, si pegawai warung kopi langsung mengatakan angka tertentu. Sebaliknya di warung kopi atau kafe, pemilik menyediakan bukti pembayaran yang akurat dan rinci.
”Kadang kita datang ke warung kopi tradisional pada waktu yang berbeda, harga yang harus dibayar berbeda meski minuman dan kue yang kita beli sama,” kata Fasya mencontohkan hal kecil tersebut yang ternyata diamati oleh para pengunjung warung kopi.

Identitas
Ada yang menarik dari maraknya warung kopi di NAD. Ketika proyek rehabilitasi hendak berakhir dan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD Nias akan ditutup pada awal 2009, banyak kalangan menduga ekonomi NAD akan anjlok karena aliran dana akan berkurang banyak. Otomatis, usaha warung kopi diduga akan ambruk karena para pendatang juga berkurang. Akan tetapi, yang aneh dari warung kopi, pengunjung tetap marak dan tidak berubah meski pendatang sudah berkurang.
Beberapa kalangan menduga, secara tradisi minum kopi telah mengakar di kalangan rakyat Aceh. Kebiasaan ini mungkin pada suatu massa berkurang, tapi akan muncul kembali pada masa berikutnya. Saat ini gairah itu memuncak lagi. Di sisi lain, perkembangan kafe modern berhasil menarik anak-anak muda untuk memasuki ruang publik itu. Layaknya di kota besar, kafe menjadi bagian identitas anak-anak muda. Kerumunan anak muda mudah ditemui di tempat-tempat itu.
Jadi, meski proyek banyak yang telah selesai dan diikuti pendatang yang kembali ke tempat asal, warung kopi tetap marak. Kopi dan kehadiran warung kopi bisa menjadi simbol dan mercu tanda baru bagi NAD.
”Banyak identitas dan simbol terkait dengan Aceh. Ada yang bilang Serambi Mekah, Tanah Rencong, dan juga Cakra Dunia. Kini Aceh mendapat identitas baru terkait dengan warung kopi,” kata Fasya. Beberapa seniman dan budayawan di NAD pun telah banyak yang menyebut Aceh sebagai Negeri Seribu Warung Kopi. Sebuah identitas yang bisa digunakan untuk menggerakkan pariwisata. Suatu saat bisa saja dibikin Festival Minum Kopi.
(ANDREAS MARYOTO/MAHDI MUHAMMAD)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/25/0553454/aceh.negeri.seribu.warung.kopi
 

haa iki ”Dia selalu membawakan diri sebagai subyek tatapan publik, bukan yang mengurusi publik,”

Jumat, 25 Februari 2011

Ketika Negara Terasing dari Rakyatnya

KOMPAS/DANU KUSWORO | Ribuan pengunjuk rasa dari berbagai elemen masyarakat berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta. Mereka menggugat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang mereka anggap tidak memihak kepentingan rakyat banyak.
Kurang dari 36 jam setelah Hosni Mubarak mengundurkan diri, dua jenderal penting berdialog dengan pentolan demonstran. Satu hal yang mengejutkan, kedua jenderal senior itu menunjukkan respek atas pendapat kelompok muda.
Dalam kultur Mesir yang sangat kaku dalam hierarki kelas dan usia, sikap jenderal senior yang mau mendengar itu jauh dari lazim. Kekuasaan puluhan tahun membentuk budaya patriarki yang begitu lekat dalam rezim penguasa.
Sikap kelompok tua itu sangat jelas ditunjukkan oleh sang presiden tersingkir, Hosni Mubarak, yang bergeming meskipun jutaan warga terus-menerus berdemo di Alun-alun Tahrir. Sikap yang sama saat ini ditunjukkan pemimpin Libya, Moammar Khadafy.
Majalah The Economist edisi 19 Februari 2011 memberikan perumpamaan menarik atas situasi Timur Tengah. Satu per satu patriark—yang terlalu lama berkuasa—berjatuhan seperti daun di musim gugur. Para patriark itu berwujud sebagai presiden seumur hidup, pemimpin suku yang menindas suku yang lain, ataupun pemuka agama.
Para patriark itu memastikan kekuasaan mereka stabil dengan berusaha menguasai parlemen, partai politik, bahkan organisasi kemasyarakatan. Pengamat politik Universitas Indonesia, Boni Hargens, mengatakan, karena yakin telah menguasai semua sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat, rezim otoritarianisme hidup dalam imajinasi yang mereka bangun.
Sementara peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti, berpendapat, semua pemerintahan yang sudah lama berkuasa biasanya mengalami kelelahan. Kelelahan ini membuat pemerintahan kehilangan fokus dan tidak peka lagi terhadap realitas yang terjadi di masyarakat.
”Masyarakat menginginkan ada kebebasan dari tindakan kesewenang-wenangan rezim yang represif. Masyarakat ingin bebas bersuara, bebas berusaha, bisa mendapat penghidupan yang lebih baik. Dalam kasus Mesir, ketidakmerataan kesejahteraan menjadi salah satu sumber kegelisahan warga. GDP per kapita memang mencapai 6.000 dollar AS, tetapi sekitar 40 persen rakyat Mesir hidup di bawah garis kemiskinan,” kata Ikrar.

Ilusi
Dalam konteks Indonesia, keberjarakan antara ilusi yang dianggap realitas oleh penguasa dan realitas yang terjadi di masyarakat bermuara pada satu ungkapan kegemasan: pemerintah bohong.
Ketika pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terbentuk, ia menjual janji mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, mewujudkan pemerintahan yang baik, menegakkan hukum, memberantas korupsi, dan pembangunan yang inklusif.
Pemerintah mengklaim bahwa program pengentasan sudah berjalan, ditandai dengan alokasi anggaran untuk orang miskin yang meningkat dari Rp 23 triliun (tahun 2005) menjadi Rp 92 triliun (tahun 2010). Kenyataannya, kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan miskin semakin lebar, ditunjukkan dengan koefisien gini yang meningkat dari 0,288 (tahun 2002) menjadi 0,345 (tahun 2006).
Sebagai acuan berefleksi, baik kita melihat hasil survei Lembaga Survei Indonesia. Dalam rilisnya awal Januari lalu, disebutkan pada Juli 2009 tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih mencapai 85 persen. Tingkat kepuasan itu anjlok hingga 62 persen pada Oktober 2010.
Menurut kesimpulan LSI, publik menilai kondisi politik, penegakan hukum, dan ekonomi sepanjang tahun 2010 memburuk. LSI mencatat, evaluasi negatif publik atas ketiga kondisi kemasyarakatan itu mengakibatkan menurunnya tingkat kepuasan mereka atas kinerja Susilo Bambang Yudhoyono.

Terasing
Meski di atas kertas program pemerintahan Presiden Yudhoyono dinilai paling baik—seperti memberikan perhatian serius pada hak-hak ekonomi, sosial, budaya, serta sipil dan politik—ini semua hanya berhenti pada wacana, minim implementasi. Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, berpendapat, Presiden seperti terasing dari pikiran publik. ”Ia seperti terisolasi,” katanya.
Hal itu tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan politik imagologi Susilo Bambang Yudhoyono. Inilah salah satu dari dua dimensi keterasingan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. ”Dia selalu membawakan diri sebagai subyek tatapan publik, bukan yang mengurusi publik,” lanjutnya.
Dimensi kedua adalah persoalan struktural terkait dengan desain ketatanegaraan dan sistem politik yang, menurut Robet, menghasilkan kombinasi yang tidak mungkin, yaitu presidensialisme dan multipartaisme. Dampaknya, meskipun Susilo Bambang Yudhoyono menang mutlak dalam pemilu–dengan suara 64 persen–untuk menjalankan kekuasaan dengan stabil ia selalu berupaya mendapat jaminan dari parlemen.
Selayaknya, sebagai pemimpin yang dipilih oleh mayoritas rakyat, ia seharusnya tidak bersikap seperti itu, apalagi jika ia cenderung meninggalkan rakyat dan lebih memerhatikan aspirasi partai politik. ”Keterasingan paling awal adalah saat membentuk kabinet,” kata Robet memberikan contoh.

Menghantam keadaban
Persoalannya, keterasingan itu ternyata memiliki dampak yang sama dengan rezim otoriter, terutama terhadap nilai keadaban publik, seperti kesetaraan, keadilan, keterbukaan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dalam rezim otoriter, ketika semua hal hendak diatur oleh negara, ada kecenderungan intervensi negara menjadi demikian masif hingga memasuki ranah privat. Bahkan, hukum pun dibentuk untuk melayani kepentingan itu sehingga keadaban publik kian terancam.
Beberapa kasus kekerasan bernuansa agama yang terjadi akhir-akhir ini dan lemahnya sikap pemerintah dalam menanggapi persoalan itu menjadi contoh jelas atas kecenderungan yang sama. Itu adalah ironi terbesar dalam sejarah demokrasi kontemporer di Indonesia, di mana negara justru cenderung tidak berbuat apa pun, terutama untuk menjamin dan melindungi hak masing-masing warga negaranya. Padahal, dalam demokrasi, hal substantif yang harus sengaja dikembangkan adalah kesetaraan, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Saat ini, perlahan tetapi pasti, Indonesia dihadapkan pada ancaman terhadap lestarinya keadaban publik dan komitmen pada kebangsaan serta hidup bersama yang terus dihantam oleh kekerasan dan intoleransi. Jaminan negara atas pelaksanaan hak-hak warga negara pun kian minim.
Hal itu tidak hanya menyuburkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara, tetapi juga menjadi lahan subur untuk tumbuhnya benih pesimisme terhadap demokrasi. Kondisi itu tentu sangat berbahaya karena musuh- musuh demokrasi akan menelikung dan mengambil alih.
Ujungnya, demokrasi di Indonesia bisa mati muda seperti terjadi terhadap negara-negara Balkan atau tergoda untuk kembali kepada rezim totaliter. Dulu, tutur Robertus Robet, banyak orang berharap dan meletakkan kepercayaan kepada sosok Susilo Bambang Yudhoyono. Tetapi, sayang ia tidak banyak berbuat....
(DOT/JOS)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/25/05494276/ketika.negara.terasing.dari.rakyatnya
 

Kamis, 24 Februari 2011

haa iki Sepak bola Indonesia kemungkinan besar sedang memasuki periode yang paling kelam

Kamis, 24 Februari 2011

Tirani Kekuasaan Absolut

Anton Sanjoyo

”Power tend to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. ” Lord Acton (1834-1902)

Sepak bola Indonesia kemungkinan besar sedang memasuki periode yang paling kelam. Ketika kekuasaan otoritas sepak bola cenderung mampu menyelingkuhi semua aturan, ketika kekuasaan mutlak mampu mengendalikan pikiran, dan terutama tindakan, ketika itulah nilai-nilai universal olahraga, sportivitas dan kejujuran, dieksekusi di tiang gantungan. Mati!
Lebih dari satu abad lalu, John Emerich Edward Dalberg-Acton, sejarawan dan penulis Inggris, pada April 1887 mengirimkan surat kepada Uskup Mandell Creighton. Pemikir yang juga populer dengan nama Lord Acton itu mengecam kekuasaan Paus yang cenderung absolut, bahkan Paus sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik distigmakan tidak bisa berbuat salah. Dalam suratnya tersebut muncullah petikan yang hari-hari ini terngiang kembali saat gonjang-ganjing dalam persepakbolaan nasional: ”Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut korup pula secara mutlak!”
Sulit untuk tidak menduga bahwa kekuasaan absolut PSSI di bawah kepemimpinan Nurdin Halid tidak mengendalikan Komite Pemilihan (KP) untuk menjegal pencalonan George Toisutta dan Arifin Panigoro. Sedianya, dua tokoh sepak bola dari luar lingkaran dalam (inner circle) PSSI itu akan maju sebagai kandidat ketua umum PSSI periode 2011- 2015. Namun, alih-alih menjunjung nilai-nilai sportivitas dan fair play, KP yang diisi oleh orang-orang dengan rekam jejak sepak bola yang amat terbatas justru menghantam sendi-sendi demokrasi dengan menggugurkan Toisutta dan Arifin.
Berlagak buta dan tuli terhadap aspirasi masyarakat yang berkembang, terutama di luar lingkungan PSSI, KP bersikukuh hanya berpegang pada Statuta FIFA yang versi ratifikasinya sudah direkayasa untuk kepentingan incumbent. Namun, memang sulit menanggungkan semua tragedi ini pada KP yang meski diisi orang-orang terhormat, kepekaannya terhadap krisis sepak bola begitu memprihatinkan. Mereka bekerja berdasarkan pedoman yang sudah diputarbalikkan maknanya dari standar Statuta FIFA.
Pemutarbalikan makna itu terutama pada Pasal 32 Ayat 4 tentang Syarat Anggota Komite Eksekutif yang berbunyi: ”They shall have already been active in football, must not have been previously found guilty of criminal offence”. Dalam bahasa Indonesia, ayat ini berbunyi: ”Mereka telah aktif dalam sepak bola dan tidak pernah dinyatakan bersalah dalam tindak pidana”. Dalam pedoman yang diratifikasi PSSI (Pasal 35 Ayat 4), dua syarat dasar ini kemudian direkayasa menjadi: ”Telah aktif dalam kegiatan sepak bola sekurang-kurangnya lima tahun”. Lebih menyedihkan, pasal ini masih ditambah lagi dengan: ”di lingkungan PSSI”, yang kemudian menjadi senjata untuk menggugurkan Toisutta dan Arifin.
Akan halnya makna ”tidak pernah dinyatakan bersalah sebelumnya dalam tindak pidana”, dipelintir menjadi ”tidak pernah dinyatakan bersalah atas tindakan kriminal pada saat kongres”!
Pasal ini sangat boleh jadi dibuat sedemikian rupa untuk melindungi Nurdin Halid yang pernah menjadi narapidana untuk kasus korupsi.
Bagi orang awam, sulit untuk bisa mengerti bagaimana mungkin FIFA sebagai organisasi tertinggi sepak bola dunia bisa meloloskan ratifikasi yang penuh rekayasa tersebut. Namun, melihat betapa berkuasanya (absolute power) federasi, konfederasi, dan FIFA dalam kaitan organisasi sepak bola dunia, ”perselingkuhan” seperti ini sangat mungkin terjadi. Sudah menjadi rahasia umum, antara federasi (PSSI), konfederasi (AFC), dan FIFA terjalin semacam simbiosis mutualisme untuk saling melindungi kepentingan. Yang paling gamblang barangkali soal dukung-mendukung dalam pemilihan komite eksekutif. Pertukaran (trade off) dukungan dan suara dalam kaitan ini sangat mungkin dan lumrah di kalangan mereka.
Kekuasaan mutlak organisasi sepak bola yang melindungi dirinya dengan statuta inilah yang kemudian menjadi bibit dari segala kekisruhan sepak bola yang belakangan ini terjadi di Indonesia. Seperti kata Profesor Tjipta Lesmana, pakar komunikasi politik, FIFA seperti ”yang mahakuasa” dalam mengendalikan sepak bola dunia. Mereka punya kekuasaan mutlak sampai-sampai negara atau pemerintah dilarang untuk melakukan intervensi, betapapun karut-marutnya federasi sepak bola di negara tersebut.
Oleh sebab itu, sangat melegakan menyimak respons pemerintah dan KONI-KOI dalam menyikapi kemelut PSSI. Keberanian Menpora Andi Mallarangeng dan Ketua Umum KONI Rita Subowo ”menghardik” PSSI harus mendapat dukungan penuh dari pemangku kepentingan sepak bola. Dalam salah satu pernyataannya, Menpora bahkan tegas menyatakan, selama masih ada akhiran ”I”, yang berarti ”Indonesia” dalam ”PSSI”, tetap harus tunduk pada undang-undang Indonesia. Menpora tentu saja merujuk pada Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional Tahun 2005. UU ini jelas-jelas mengatakan bahwa pemerintah punya kewenangan untuk mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan olahraga secara nasional.
Artinya, seperti kata Menpora, PSSI yang selalu berlindung pada Statuta FIFA pun harus tunduk pada undang-undang karena organisasi ini berdiri, berada, dan berkegiatan di bumi Indonesia, bukan di ”negara FIFA”. Dalam konteks kekuasaan mutlak FIFA, Menpora dan KONI-KOI sudah berani mendobrak barikade Statuta FIFA yang sangat absurd dalam konteks karut-marut PSSI.
Seperti Lord Acton yang berani menentang kekuasaan mutlak Paus, seharusnyalah kita yang lebih maju lebih dari satu abad dengan peradaban yang lebih modern dan demokratis juga berani mengambil sikap-sikap menentang tirani kekuasaan absolut PSSI dan FIFA. Tampaknya ancaman sanksi FIFA terhadap intervensi pemerintah juga diabaikan saja karena bagaimanapun undang-undang negaralah yang mengatur hajat hidup orang Indonesia, bukan Statuta FIFA!

Sumber :  http://cetak.kompas.com/read/2011/02/24/02433164/tirani.kekuasaan.absolut
 

haa iki ”Saya juga ingin melaut secara legal. Namun, karena minim informasi untuk mengurusnya, mau tak mau pakai calo,”

Kamis, 24 Februari 2011

Mau "Bener", Kok Repot

Sudah setahun ini Abdul Wahab menginginkan tiga kapal motor penumpang jurusan Muara Angke-Kepulauan Seribu yang dinakhodainya memiliki sertifikat kapal. Namun, karena informasi yang minim terkait pembuatan sertifikat itu, dia memilih calo untuk mengurusnya.
Dan, untuk itu, dia harus merogoh kocek cukup dalam, sampai Rp 9 juta. Informasi dari Pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai Kelas I Tanjung Priok, tidak ada biaya untuk pembuatan sertifikat tersebut. Biaya hanya dibutuhkan untuk membayar pajak yang diatur dalam pendapatan negara bukan pajak.
”Saya juga ingin melaut secara legal. Namun, karena minim informasi untuk mengurusnya, mau tak mau pakai calo,” katanya.
Ada 36 kapal motor penumpang (KMP) tujuan Muara Angke-Kepulauan Seribu lainnya yang bersandar di Pelabuhan Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara. Namun, sejak 10 tahun kapal-kapal itu beralih fungsi dari kapal penangkap ikan menjadi kapal penumpang, tidak ada satu pun yang memiliki sertifikat kapal.
Baru pada Sabtu (12/2) lalu, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan membuatkan surat ukur kapal bagi 17 KMP yang kebetulan sedang bersandar di Muara Angke. Surat ukur kapal itu menjadi dasar pembuatan sertifikat kapal.
Pada hari itu pula, secara simbolis sertifikat kapal itu diberikan kepada nakhoda. Namun, surat yang diserahkan hanya berupa resi salinan surat sertifikat kapal. Abdul Wahab yang kebetulan sedang tidak berada di Pelabuhan Muara Angke tidak ikut menerima sertifikat itu.
Namun, saat dijumpai pada Jumat (18/2), sejumlah nakhoda yang menerima resi salinan surat itu pun mengaku tidak tahu harus ke mana menukar surat resi tersebut dengan sertifikat yang asli. Mereka hanya mengetahui bahwa surat ukur kapal yang menjadi salah satu syarat pembuatan sertifikat kapal dikeluarkan oleh Syahbandar Sunda Kelapa.
”Selanjutnya, kami tidak tahu mau ditukar ke mana surat ini,” ujar Muhamad Zein, nakhoda KMP Raksasa.
Kepala Pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai Kelas 1 Tanjung Priok Nafri mengatakan, yang dilakukan Ditjen Perhubungan Laut membuatkan sertifikat kapal kolektif itu sudah menjadi niat baik pemerintah.
”Namun, nyatanya, seluruh kapal penumpang ke Kepulauan Seribu itu tidak ada yang punya sertifikat. Apalagi, kapal itu hasil modifikasi dari kapal ikan menjadi kapal penumpang. Itu saja sudah tidak memenuhi syarat,” ujarnya. (MDN)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/24/0338289/mau.bener.kok..repot.
 

haa iki Chong Wei tetap bermain mengesankan dan memukau penonton

Kamis, 24 Februari 2011

Semangat Chong Wei

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Yao Jie dari Jaya Raya Suryanaga Surabaya saat berlaga melawan Fransiska Ratnasari dari Djarum Kudus pada Djarum Super Liga Badminton Indonesia 2011 di DBL Arena, Kota Surabaya, Jawa Timur, Rabu (23/2). Yao Jie menang 21-17, 16-21, 21-15.
Surabaya, Kompas - Lee Chong Wei tidak hanya membantu SGS PLN Bandung meraih kemenangan keempat, tetapi juga menggairahkan Djarum Super Liga Badminton di Surabaya, Jawa Timur. Tampil sebagai tunggal pertama, pemain peringkat pertama dunia itu membuka kemenangan 5-0 SGS atas Jaya Raya Jakarta, Rabu (23/2).
Meski baru tiba di Surabaya sekitar pukul 10.00 dan harus tampil pada pukul 17.00, Chong Wei tetap bermain mengesankan dan memukau penonton. Pemain nomor satu dunia ini tetap mengeluarkan permainan terbaiknya untuk mengalahkan Adi Pratama, 21-15, 21-13.
Chong Wei baru bisa tampil pada Rabu kemarin karena sebelumnya harus bermain di Sirkuit Nasional di negaranya. ”Saya senang bisa bermain di Super Liga ini. Liga ini tetap penting artinya, selain untuk menambah pengalaman dan persiapan untuk All England. Saya juga ingin membantu membangkitkan semangat bulu tangkis Indonesia,” ujar Chong Wei seusai tampil.
Sebagai pemain nomor satu dunia, Chong Wei mengaku tidak merasa turun kelas tampil di Super Liga. ”Saya berkawan baik dengan Taufik. Saya ingin membantu timnya dan bulu tangkis Indonesia,” katanya.
SGS akhirnya menang 5-0 setelah mengambil poin lagi di empat partai lainnya, masing-masing lewat ganda Hendri Saputra/Hendra AG, Taufik Hidayat, pasangan Flandi Limpele/Andika Anhar, dan Tommy Sugiarto.
Dengan kemenangan ini, SGS hampir dipastikan ke final meski masih menyisakan dua partai lagi, yaitu melawan Djarum Kudus dan Musica Champion Kudus.
Pada laga lainnya, Jaya Raya Suryanaga memperbesar peluang lolos ke final dengan melibas Mutiara Bandung, 5-0. Suryanaga yang pada Selasa lalu kalah untuk pertama kali dari SGS masih punya dua sisa laga, yakni melawan Musica dan Tangkas Alfamart.
Nasib buruk dialami Tangkas Alfamart. Di luar dugaan, Tangkas dikalahkan PB Djarum, 2-3. Dengan kekalahan ini, peluang Tangkas ke final semakin berat karena sebelumnya mereka sudah tumbang dari SGS PLN. Mereka harus bisa menang di dua laga terakhir melawan Mutiara Bandung dan laga hidup mati versus Suryanaga, Jumat.
Kunci kemenangan Djarum atas Tangkas berada di tunggal kedua saat Andre Kurniawan mengalahkan Simon Santoso. Kemenangan Andre membalikkan keunggulan menjadi 2-1 sebelum akhirnya memastikan kemenangan lewat pasangan Fran Kurniawan/Muhammad Ahsan yang mengalahkan Nova Widianto/Devin Lahardi.

Tiket ke final
Di bagian putri, tiket ke final dipastikan menjadi milik Jaya Raya Suryanaga dan Jaya Raya Jakarta. Kedua tim sama-sama belum terkalahkan. Keduanya baru akan bertemu pada Kamis ini dalam laga yang sudah tidak menentukan lagi karena nilai mereka tidak terkejar tim lain.
Pada hari Rabu, Jaya Raya Suryanaga memukul Djarum Kudus, 4-1. Sementara Jaya Raya Jakarta melibas Mutiara Bandung, 3-2.
(OTW)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/24/04164829/semangat.chong.wei..
 

haa iki Indonesia sebaiknya memfokuskan diri ke level Asia Tenggara terlebih dahulu

Kamis, 24 Februari 2011

Tudingan ke Lini Bertahan

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Pemain Turkmenistan meluapkan kegembiraan setelah mengalahkan tim Indonesia, 3-1, dalam laga Pra-Olimpiade 2012 di Stadion Gelora Sriwijaya, Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (23/2).
Palembang, Kompas - Kesalahan individu pemain bertahan menjungkalkan Indonesia, 1-3, pada laga pertama pra-olimpiade melawan Turkmenistan di Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (23/2). Karena hilang konsentrasi, Indonesia kecolongan dua gol dalam lima menit.
”Tim bermain bagus, tetapi ada beberapa pemain yang melakukan kesalahan. Dua gol terakhir terjadi karena kesalahan individu pemain,” ujar Pelatih Indonesia Alfred Riedl.
Riedl menilai, hasil imbang yang dicapai pada babak pertama merupakan hasil yang adil. Indonesia tidak bisa berharap terlalu banyak karena melawan tim yang tangguh dan unggul dari sisi fisik. Strategi serangan melalui sayap juga tidak berjalan karena pemain Turkmenistan yang berpostur tinggi besar menutup ruang gerak Oktovianus Maniani di sayap kiri.
Sementara sayap kanan Dendi Santoso sudah berusaha maksimal menghambat pergerakan kapten Turkmenistan, Amanov Arslanmyrat. Duet gelandang Egi Melgiansyah dan Hendro Santoso pun bekerja keras menembus dua bek tengah Shoyunov Shohrat dan Atayev Ahmet yang tingginya di atas 180 cm.
”Para pemain sudah tampil maksimal dan berusaha sekuat mungkin. Saya berterima kasih kepada para pemain yang telah bekerja keras,” ujar Riedl.
Kekalahan ini, dinilai oleh Riedl, sebagai introspeksi bahwa Indonesia sebaiknya memfokuskan diri ke level Asia Tenggara terlebih dahulu. Indonesia tidak bisa langsung meloncat ke level Asia. Ia pun menilai konflik di PSSI juga tidak bagus bagi Indonesia yang sedang berbenah. Mengenai masalah di PSSI apakah memengaruhi para pemain, Riedl mengaku tidak tahu.
Pelatih Turkmenistan Kochumov Amanklych menilai, kunci kemenangan Turkmenistan pada laga pertama ini adalah persiapan aklimatisasi di Thailand selama sepekan. Para pemain menjalani penyesuaian dengan udara panas supaya bisa bermain maksimal. Mereka juga baru berlatih bersama-sama selama sebulan sehingga perlu persiapan ekstra.
”Persiapan di Thailand selama seminggu sangat penting. Liga nasional baru bergulir selama dua minggu dan para pemain perlu bermain bersama-sama,” ujar Amanklych.
Indonesia sempat unggul pada menit ke-13 melalui sontekan tumit belakang Titus Bonai. Pemain muda Persipura Jayapura ini mengecoh dua pemain bertahan Turkmenistan yang menempelnya dengan menyontek bola mendatar hasil tendangan bebas Okto. Bola membentur dada pemain Turkmenistan dan masuk ke gawang.
Gol pembuka itu disambut teriakan gembira sekitar 20.000 penonton di stadion.
Keunggulan Indonesia 1-0 hanya bertahan tiga menit. Kapten Turkmenistan, Amanov Arslanmyrat, menyamakan kedudukan 1-1 melalui tendangan bebas mendatar.
Pada babak kedua, Turkmenistan meningkatkan tempo permainan dan agresif menyerang.
Gol kedua Turkmenistan lahir pada menit ke-80 melalui Boliyan Aleksandr, diikuti gol ketiga oleh Vahyt, lima menit menjelang bubaran. (ANG)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/24/04230660/tudingan.ke.lini.bertahan
 

haa iki Keisuke Honda, bintang baru sepak bola Jepang

Kamis, 24 Februari 2011

Saatnya Menoleh ke (Keisuke) Honda

GETTY IMAGES/KOKI NAGAHAMA
ADI PRINANTYO

Piala Asia 2011 di Qatar baru saja usai dengan kesebelasan ”Samurai Biru” Jepang tampil sebagai juara. Di final, Jepang melibas tim favorit Australia dengan skor tipis 1-0. Salah satu kunci sukses Jepang adalah karena penampilan Keisuke Honda, bintang baru sepak bola Jepang setelah era Hidetoshi Nakata dan Shunsuke Nakamura.
Tak salah bila Honda, yang kini bermain di klub Rusia, CSKA Moskwa, terpilih sebagai pemain terbaik Piala Asia 2011. Tak bisa dimungkiri, Honda (24) adalah inspirator serangan Jepang. Dua gol dari titik penalti ia sumbangkan untuk ”Samurai Biru”. Satu ke gawang Suriah saat Jepang unggul 2-1. Satu lagi ke gawang Korea Selatan pada semifinal saat mereka unggul 3-0 dalam adu penalti (skor seri 2-2 hingga perpanjangan waktu).
Trio gelandang Jepang, yang diperkuat Honda bersama kapten Makoto Hasebe dan gelandang energik Yasuhito Endo, adalah lini tengah terbaik dari 16 kontestan Piala Asia 2011. Kekuatan ”trisula” gelandang ini sudah terasa sejak Piala Dunia 2010 Afrika Selatan ketika Jepang lolos ke babak kedua sebelum tersingkir Paraguay.
Aksi Honda di Piala Dunia 2010 adalah lompatan besar dalam kariernya sebagai pemain bola. Waktu itu tergabung di Grup E bersama Kamerun, Belanda, dan Denmark, tim Jepang dipandang sebelah mata.
Kamerun? Sudah langganan lolos ke Piala Dunia, dengan salah satunya, pada tahun 1990, lolos ke perempat final. Denmark dan Belanda sama- sama raksasa Eropa. Tim ”Dinamit” Denmark juara Eropa 1992. Sedangkan Belanda juara Eropa 1988 dan tiga kali finalis Piala Dunia, salah satunya pada tahun 2010.
Semua asumsi itu porak-poranda oleh Jepang. Pada laga pertama, mereka mengalahkan Kamerun 1-0 lewat gol Honda, memanfaatkan umpan lambung Shinji Okazaki. Orang terperangah saat Jepang, macan Asia—kekuatan ketiga di jagat sepak bola—melibas Kamerun dalam perhelatan akbar di benua mereka. Pada laga kedua, upaya mereka mengimbangi Belanda berakhir dengan kekalahan tipis 0-1.
Pada laga ketiga fase grup, Jepang lagi-lagi membuat dunia tercengang dengan kemenangan 3-1 atas Denmark. Lagi-lagi Honda menjadi bintang. Satu gol ia ciptakan pada menit ke-17, hasil tendangan bebas dari titik berjarak sekitar 30 meter dari garis gawang. Diselingi gol Yasuhito Endo, Honda lagi-lagi menjadi aktor di balik gol ketiga ”Samurai Biru”.
Tim Jepang terhenti di 16 besar setelah kalah adu penalti dari Paraguay. Banyak pengamat memuji penampilan heroik Jepang. Tetapi, puaskah Honda? ”Tidak. Saya malah kecewa berat karena kami punya peluang, sebuah kesempatan emas di babak 16 besar melawan Paraguay. Kami masih bisa berkembang lebih baik lagi,” ujarnya.

Gagal di Gamba
Karier Honda berawal saat dia bergabung dengan klub lokal Settsu FC sewaktu duduk di bangku kelas II SD. Selepas dari Settsu, ia mendaftar ke Gamba Osaka, klub raksasa di Jepang. Sayang sekali kemampuannya tak terpantau sehingga ia tidak dipromosikan ke Gamba yunior.
Terlecut semangatnya untuk maju, Honda bergabung dengan Seiryo High School FC di Ishikawa dan mulai bermain untuk tim sekolah itu. Dialah bintang tim Seiryo dalam turnamen antar-SMA di Jepang. Sebelum lulus SMA, Honda bergabung dengan Nagoya Grampus Eight sehingga bisa memperkuat Nagoya dan Seiryo. Selepas lulus SMA, dia 100 persen memperkuat Nagoya.
Kariernya berkembang saat klub Belanda VVV Venlo merekrutnya pada 16 Januari 2008. Aksinya yang memesona membuat dia digelari Keizer Keisuke, atau Kaisar Keisuke, oleh penggemar Venlo, yang musim itu bermain di Divisi 2 Liga Belanda. Penampilannya di Venlo mencapai puncak saat ia terpilih menjadi pemain terbaik Divisi 2 Belanda musim 2008-2009.
Klub Rusia, CSKA Moskwa, lalu tertarik menggaetnya dan sukses mentransfer Honda dari Venlo akhir Desember 2009. Nilai transfer Honda ke CSKA sekitar 6 juta euro (Rp 72,9 miliar), dengan masa kontrak empat tahun.
Debutnya di CSKA pun mengesankan, yakni saat berlaga melawan Sevilla pada leg kedua perdelapan final Liga Champions Eropa, ”panggung” mewah untuk pemain Asia. Apa yang diraih Honda? Satu gol dari tendangan bebas dan satu assist untuk gol pertama CSKA oleh Tomas Necid.
Kontribusi Honda membawa CSKA unggul 2-1 (3-2 dalam agregat gol) atas Sevilla, sekaligus mengantar mereka ke perempat final Liga Champions. Kesuksesan ini membuat ia menjadi pemain Jepang pertama yang tampil di perempat final Liga Champions Eropa, sekaligus mencetak gol di fase knock out turnamen antarklub Eropa itu.
Terhadap segala sukses bersama CSKA, Honda mengakui, awalnya ada sedikit kesulitan beradaptasi karena ada perbedaan budaya antara Jepang, Belanda (saat di VVV Venlo), dan Rusia, ketika di CSKA Moskwa. ”Memang ada sedikit kesulitan, tetapi ya itulah hidup di sepak bola,” kata Honda. ”Saya tidak bisa bahasa Rusia,” katanya.
Keberadaan Honda yang penting bagi CSKA Moskwa setidaknya bisa diketahui dari aksinya selama setahun di klub itu, yang terus mengilap. Ditunjang permainan di tim nasional yang mengesankan, CSKA masih diprediksi akan mempertahankan Honda hingga kontraknya berakhir, tahun 2014 nanti.

Klub Inggris
Soal keinginannya bergabung dengan klub lebih mendunia, Honda tak memungkirinya. Apalagi, kualitasnya bakal tertunjang oleh predikatnya sebagai pemain terbaik Piala Asia 2011. Satu lagi, Honda juga tercatat sebagai satu-satunya pemain Asia dalam 100 pemain terbaik dunia versi majalah Four Four Two terbitan Februari 2011. Daftar 100 pemain itu didominasi pemain Eropa dan Amerika Latin dan sebagian kecil asal Afrika, serta Amerika Utara dan Tengah.
”Klub besar mana pun saya mau. Tapi, kalau memungkinkan, saya ingin bermain di Inggris. Saya sering bertanya soal Liga Primer (Inggris) kepada Zoran Tosic dan Mark Gonzalez (keduanya rekan Honda di CSKA), yang pernah bermain di Liverpool dan Manchester United,” ujar Honda.
Ia juga yakin mampu bermain untuk Real Madrid. ”Tetapi, saya butuh keberuntungan besar supaya bisa pindah ke klub besar seperti itu,” katanya.
Praktis, setelah Nakata yang malang melintang di Liga Italia serta Nakamura yang bersinar di Celtic, orang kini menoleh ke Keisuke Honda bila membahas sepak bola Jepang.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/24/03361667/saatnya.menoleh.ke.keisuke.honda

haa iki Wong tani wis mblenger

Kamis, 24 Februari 2011

Tak Bangga Lagi Disebut Pak Tani...

KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Sebagian tanaman padi terserang penyakit yang menyebabkan bulir padi hampa di Desa Pilang Wetan, Kecamatan Kebonagung, Demak, Jawa Tengah, Rabu (23/2). Tanaman yang terserang penyakit tersebut tidak dipanen petani atau dibiarkan kering karena petani harus mengeluarkan biaya buruh untuk memanen.

Gregorius Magnus Finesso dan Sri Rejeki

Bertani, bagi Daldiri (67), kini tak ubahnya bak perjudian. Bekal ilmu bercocok tanam ataupun strategi menaksir cuaca tak bisa lagi diandalkan. Cuaca ekstrem dan merebaknya hama membuat bulir-bulir padi di sawah petani hampa. Di tengah harga gabah yang tak berpihak kepada petani, ia merasa dimiskinkan.…
” Saya sampai tak bangga lagi kalau ada yang menyebut saya ini Pak Tani. Beda dengan 30-an tahun lalu saat banyak orang naik haji dari hasil bertani. Sekarang, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya lebih sering utang kepada tengkulak,” tutur petani di Desa Pesawahan, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, itu, Selasa (22/2).
Saat ditemui, Daldiri sedang menanam benih padi di sawah seluas setengah bau atau 3.548 meter persegi (m) miliknya (1 bau sama dengan 7.096 meter persegi atau sekitar 0,7 hektar).
Masalah harus utang agar bisa menanam rupanya makin banyak dialami kaum tani. Dono (65), petani di Dusun Mojorejo, Laban, Sukoharjo, Jateng, misalnya. ”Ini ikhtiar kami sebagai petani, tetap bertanam. Coba-coba siapa tahu nasib baik meski harus berutang. Utang saya masih tersisa Rp 1 juta dan belum bisa saya lunasi sampai sekarang,” kata Dono yang baru saja menyemprot tanaman padinya dengan pestisida. Sebelum pulang, ia sempatkan juga mencari rumput untuk pakan sapinya. Meski sudah tiga kali gagal panen, Dono tak kapok kembali menanam padi. Bertani terpaksa dijalani meski terpaksa berutang untuk membeli pupuk serta ongkos tanam dan membajak.
Dono mengaku dapat pinjaman dari seseorang. Dari jumlah utang Rp 1 juta, ia harus mencicil Rp 100.000 per bulan selama 12 kali. Selama tidak ada pemasukan karena padinya gagal panen akibat serangan wereng serta virus kerdil hampa dan kerdil rumput, Dono bekerja serabutan untuk menutup kebutuhan hidup sehari-hari, seperti menjadi buruh bangunan. Upah Rp 25.000 per hari digunakan untuk makan Rp 15.000 dan disimpan untuk membayar cicilan Rp 10.000.
Dono bercerita, sekarang ini biaya garap untuk satu musim tanam mencapai Rp 2 juta untuk satu patok lahan seluas 5.500 m. Jika panen bagus, petani bisa memperoleh Rp 10 juta-Rp 12 juta.
Sukimin, petani di Desa Wirun, Mojolaban, Sukoharjo, mengakui, bertanam padi dalam kondisi saat ini rentan terhadap serangan wereng coklat serta virus kerdil hampa dan kerdil rumput. Itu sebabnya bertani mirip orang berjudi.
”Niki separone kados wong lotere. Wong tani wis mblenger (Setengahnya kami ini seperti berjudi. Petani sudah muak) karena gagal terus. Rata-rata petani pasti punya utang untuk modal tanam,” kata Sukimin.
Itu sebabnya tak semua petani masih bersemangat seperti Dono. Ada yang menyerah, membiarkan sawah terbengkalai karena kehabisan modal, sebagaimana dialami petani Dusun Menggungan, Desa Telukan, Kecamatan Grogol, Sukoharjo. Para petani di sana memilih menjadi buruh tani, buruh bangunan, atau mencari buah-buahan dari kampung dan dijual lagi ke pasar.
Kesulitan hidup yang dihadapi Daldiri mirip dengan Dono dan Sukimin. Saat waktu ashar tiba, Daldiri menepi ke pematang sawah dan mereguk teh pahit yang dibawa Mufaridah (6), cucunya.
Lebih dari 40 tahun, Daldiri bercucur keringat di sawah. Ayah lima anak dan kakek tujuh cucu itu dulu seorang juragan tani di desanya. Luas sawahnya pada medio 1980-an bahkan mencapai 5 hektar (ha). Jumlah yang sangat banyak dibandingkan dengan rata-rata petani di eks Karesidenan Banyumas yang kepemilikan lahannya saat ini hanya 0,25 ha hingga 0,5 ha.
”Banyak petani kaya saat itu. Bahkan, karena masih banyak lumbung padi, kami biasa menyimpan sebagian hasil padi untuk dijual lagi saat harga tinggi. Namun, sekarang semuanya diatur tengkulak,” kata Daldiri.
Daldiri ingat betul, 15 tahun lalu, 1 bau sawah miliknya masih menghasilkan gabah 5 ton. Namun, 5 tahun terakhir, produktivitas sawah menyusut jadi 3 ton. Penyebabnya serangan hama wereng batang coklat dan tikus yang kian ganas.
Musim tanam hujan yang dimulai September lalu pun ia sampai tiga kali tanam ulang karena benih padi yang sudah ditanam diserang wereng saat berumur 25 hari. Saat musim panen rendeng ini, Daldiri menjual gabahnya Rp 2.400 per kilogram. Dari 3.500 m sawah miliknya, Daldiri mengaku hanya meraup pendapatan sekitar Rp 3,2 juta.
Namun, ia harus menyisihkan Rp 1,5 juta untuk modal tanam musim selanjutnya. Selain itu, ia juga harus membayar Rp 700.000 ke kios, koperasi unit desa, dan rentenir untuk menutup utang pupuk, pestisida, dan ongkos bajak. Sisanya hanya Rp 1 juta. Artinya, pendapatan Daldiri selama bertani pada September-Januari hanya Rp 250.000 per bulan.
Kondisi inilah yang membuat Daldiri dan Saniyem (63), istrinya, menjual satu per satu petak sawah mereka sejak 10 tahun terakhir. Mereka bahkan hanya bisa membagi sawah 1 hektar sebagai warisan kepada lima anaknya masing-masing seluas 2.000 meter persegi. ”Kini sisa utang saya masih Rp 7 juta. Semoga bisa dilunasi sebelum saya meninggal,” katanya.
Pemiskinan serupa dialami Guyub Winaryo (54), petani di Desa Sukawera Kidul, Kecamatan Patikraja, Banyumas. ”Pada 1980-an, setiap kali panen, orangtua saya selalu membeli emas dan sawah baru. Dulu, untuk membeli emas 3 gram hanya butuh gabah 1 kuintal. Sekarang 1 kuintal gabah belum bisa beli 1 gram (asumsi harga emas Rp 330.000 per gram),” katanya.
Setelah era pertanian pupuk kimia, tabiat tanah pun berubah tak ramah. Iklim ekstrem kini membuyarkan irama alam yang pemurah. Hama mengganas tak terbasmi, sedangkan biaya produksi kian tinggi....

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/24/02393270/tak.bangga.lagi.disebut.pak.tani...
 

haa iki dia mengatakan 'kamu dapat apa dari Ical',

Polhukam

Kesaksian Pendukung Angket

"Kamu Dapat Apa dari Ical?"

Kamis, 24 Februari 2011 - 05:30 wib
JAKARTA - Sikap Lily Wahid dan Effendy Choirie atau Gus Choi dalam dalam rapat paripurna DPR tentang angket mafia pajak, Selasa (22/2) membuat gerah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Dalam voting rapat paripurna DPR pada Selasa (22/2), Lily dan Gus Choi mendukung opsi penggunaan hak angket mafia pajak. Sikap itu berseberangan dengan instruksi partainya yang menolak hak angket.

Menyikapi ancaman sanksi partai, baik Lily maupun Gus Choi sama sekali tidak khawatir.  "Saya akan gentle. Saya justru menunggu apa yang akan dilakukan partai," tegas Lily ketika dihubungi, Rabu (23/2/2011).

Dia menegaskan, sikapnya mendukung angket adalah konsekuensi logis dari  profesionalitasnya  sebagai anggota DPR yang merasa prihatin terhadap persoalan pajak.

Lily menegaskan, sikap partai yang serta merta terus mengikuti keinginan pemerintah termasuk menolak angket telah mengerdilkan PKB.

Dia mempersilahkan apabila partai memutuskan untuk merecall dirinya. Namun, dirinya tidak akan tinggal diam. "Saya akan menggunakan hak hukum saya," katanya.

Sama dengan Lily, Gus Choi juga mengaku tidak khawatir terhadap ancaman sanksi. . "Mereka punya kuasa, ya silahkan saja, tidak ada masalah," ujarnya.

Dia mengatakan tidak pernah menyesal mendukung angket. Pasalnya, sikap itu merupakn itjihad yang didasarkan hati nurani, kepentingan rakyat dan negara.

Menurut dia, permasalahan pajak sangat mendasar atau fundamental. Sebab, pajak merupakan sumber terpenting bagi kelangsungan sebuah negara.

Sejak orde baru, kata dia, pemerintah tidak pernah beres mengelola pajak dan terkesan. Bahkan pajak dikorupsi seperti yang dilakukan Gayus Tambunan dan lainnya.

Atas dasar itu, Gus Choi menilai angket sangat penting dan strategis untuk membongkar mafia perpajakan. "Kalau saya dianggap melanggar keputusan partai, mungkin iya. Tapi saya tidak melanggar visi partai," tegasnya.

Dia menegaskan siap mengambil langkah hukum apabila partai merecallnya. Menurut dia, tidak mudah bagi parpol memecat anggotanya. "Konsekuensi logis dari pemilihan suara langsung, anggota DPR tidak mudah dipecat," katanya.

Gus Choi mengakui  Ketum PKB Muhaimin Iskandar menanyakan alasannya mendukung angket melalui pesan singkat.

"Dia mengatakan 'kamu dapat apa dari Ical', saya jawab wong kenal Ical saja tidak. Keputusan saya didasarkan hati nurani. Saya selalu menjaga integritas sebagai anggota DPR," pungkasnya.(abe)
(Adam Prawira/Koran SI/hri)
Sumber : http://news.okezone.com/read/2011/02/24/339/428164/kamu-dapat-apa-dari-ical

Rabu, 23 Februari 2011

haa iki perintah boikot bisa menjadi bumerang

Rabu, 23/02/2011 10:01 WIB

Humas se Eks Karesidenan Kediri Tolak Boikot Media

Samsul Hadi - detikSurabaya
 
Kediri - Sekretaris Sekretariat Gabungan (Setgab) Dipo Alam telah memerintahkan instansi pemerintah, termasuk di dalamnya bagian kehumasan untuk memboikot media yang dianggap terlalu kritis dalam pemberitaannya. Sayangnya, permitaan itu ditolak bagian Humas dari pemerintah daerah se Eks Karesidenan Kediri.

Plt Kepala Bagian Humas Pemkab Kediri, Edi Purwanto mengawali penolakan tersebut. Dia beralasan perintah boikot bisa menjadi bumerang, karena justru akan menjadikan hubungan baik antara pemerintah daerah dengan media yang selama ini terjalin berubah renggang.

"Jujur kami butuh media dalam menyampaikan program kerja kami, dan selama ini yang kami alamai adalah hubungan yang baik-baik. Termasuk media yang disebutkan Pak Dipo Alam, meski sebenarnya kami belum terima perintahnya secara resmi, kami tidak ada masalah dengan mereka," kata Edi, kepada detiksurabaya.com di ruang kerjanya, Rabu (23/2/2011).

Edi menambahkan, dalam kerjasama dengan sejumlah media memang tak jarang didapati adanya permasalahan. Meski demikian semua permasalahan bisa diselesaikan melalui mekanisme yang diatur dalam UU Pers. "Kami bisa mengajukan hak jawab, kenapa mesti memboikot," tegas Edi.

Pernyataan yang sama disampaikan Kasubbag Pemberitaan Humas Pemkot Kediri, Afif Permana. Diakuinya, boikot media bukan solusi terbaik dari kemungkinan munculnya masalah dalam sebuah pemberitaan.

"Rasanya kok tidak arif kalau sampai harus memboikot. Masih ada cara baik-baik yang bisa ditempuh, dan selama ini itu juga yang kami gunakan," ungkap Afif.

Sementara Kepala Bagian Humas Pemkab Trenggalek, Nganjuk dan Tulungagung juga menyampaikan pernyataan yang hampir sama dengan apa yang dikatakan rekan sejawatnya di Pemkab dan Pemkot Kediri. Mereka mengaku siap menolak menjalankan perintah yang dinilai aneh tersebut.

"Secara resmi, yang artinya dalam bentuk tertulis, saya belum terima perintahnya. Tapi secara lisan saya sudah melihat di siaran televisi dan saya tegaskan todak akan menjalankannya," tandas Kabag Humas Pemkab Trenggalek Yoso Mihardi melalui sambungan telepon.

Yoso menambahkan, pihaknya selama ini justru mendorong media membuat berita yang kritis, karena dianggap menjadi koreksi dan pelecut semangat kerja sejumlah satuan kerja. "Asalkan datanya benar dan faktanya memang ada kenapa mesti kebakaran jenggot. Kami anggap berita kritis sebagai koreksi," pungkasnya.

Sebelumnya, Sekretaris Sekretariat Gabungan Partai Koalisi Dipo Alam, Senin (21/2/2011) menyampaikan perintah agar instansi pemerintahan dan bagian kehumasan memboikot sejumlah media yang terlalu kritis dalam pemberitaannya mengenai pemerintah. Dia beralasan berita kritis justru menyudutkan pemerintah, termasuk menjadikan investor kabur dari Indonesia.

(bdh/bdh)
Sumber : http://surabaya.detik.com/read/2011/02/23/100118/1576857/475/humas-se-eks-karesidenan-kediri-tolak-boikot-media?y991101465 

Selasa, 22 Februari 2011

haa iki sudah benarkah pola latihan fisik yang diterapkan pelatnas Cipayung?

Selasa, 22 Februari 2011

CATATAN BULU TANGKIS

Menunggu Sulap ala Li Mao

Pada acara diskusi bulu tangkis di kantor Kompas beberapa waktu lalu, Sekjen PB PBSI Jacob Rusdianto kembali menegaskan bahwa pelatih asal China, Li Mao, diboyong ke Cipayung untuk memperbaiki prestasi atlet. Sektor tunggal menjadi fokus perhatian Li Mao dan Olimpiade London 2012 jadi target pencapaiannya.
Awalnya, PB PBSI sempat ragu untuk mendatangkan pelatih asing seperti Li Mao. Namun, dengan adanya bantuan dari seorang pengusaha yang mau membayar kontrak dan gaji Li Mao selama dua tahun, Li Mao pun akhirnya bergabung di Cipayung.
Li Mao sendiri bukan sosok asing di bulu tangkis. Reputasinya sebagai pelatih sudah teruji. Tangan dingin Li Mao ikut membidani permainan Lee Chong Wei dan Wong Mew Choo saat menangani tim nasional Malaysia.
Hengkang dari Malaysia, Li Mao bergabung dengan tim nasional Korea Selatan. Hasilnya, Li Mao memberikan gelar Piala Uber pertama kalinya bagi Korea Selatan dengan mengalahkan China di partai final yang digelar di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 2010.
Masuknya Li Mao langsung mengubah struktur kepelatihan di Cipayung. Jika sebelumnya tidak ada pelatih kepala tunggal dan ganda, sejak masuknya Li Mao posisi ini dimunculkan.
Posisi pelatih kepala tunggal dipastikan milik Li Mao. Adapun pelatih kepala untuk sektor ganda dipercayakan kepada Christian Hadinata. Dengan peran itu, Li Mao bertanggung jawab untuk sektor tunggal putra dan putri. Untuk menjalankan tugasnya, di bagian putri, Li Mao dibantu Marleve Mainaky, Sarwendah Kusumawardani, dan Liang Chiushia. Di tunggal putra, Li Mao dibantu Agus Dwi dan Rony Agustinus.
Tugas Li Mao cukup berat. Materi pemain yang dia miliki sebagian baru direkrut dari seleksi nasional. Di bagian putra, pemain senior yang masih bertahan tinggal Sony Dwi Kuncoro, Simon Santoso, dan Dionysius Hayom Rumbaka. Di bagian putri tinggal Adriyanti Firdasari, Lindaweni, Maria Febe, Aprillia Yuswandari. Maria Kristin tidak lagi di Cipayung. Peraih medali perunggu Olimpiade 2008 ini dikembalikan ke klubnya, PB Djarum, karena alasan cedera yang tak kunjung pulih.
Olimpiade London kurang dua tahun lagi. Dengan sisa waktu yang cukup sempit, sepertinya Li Mao harus bisa memutar otak lebih keras. Sejauh ini, pola latihan yang diberikan Li Mao dititikberatkan kepada teknik permainan. Beberapa pemain diajari kembali teknik dasar bulu tangkis, seperti posisi badan dan raket saat memukul backhand atau forehand. Mengenai latihan fisik, belum ada perubahan dari pola sebelumnya.

Latihan fisik
Padahal, kalau mau jujur, kelemahan utama pemain Indonesia adalah kondisi fisik. Hasil Piala Thomas 2010 menunjukkan bagaimana pemain Indonesia tak berdaya menghadapi China karena kondisi fisiknya kedodoran. Tentu saja fakta ini membuat kita bertanya-tanya, sudah benarkah pola latihan fisik yang diterapkan pelatnas Cipayung? Sudahkah unsur ilmu dan teknologi diterapkan dalam pola latihan yang dijalankan di pelatnas?
Pengamat olahraga Fritz Simanjuntak mengingatkan, jika ingin berprestasi, hal mendasar yang harus ada ialah fasilitas dan teknologi. Menurut Fritz, runtuhnya atau menurunnya secara signifikan prestasi bulu tangkis Indonesia karena sistem kepelatihannya tidak optimal menggunakan teknologi modern. Jadi, fasilitas Cipayung sudah ada tetapi tidak cukup.
”Makanya saya tidak terlalu kaget dengan dominasi China dalam satu dekade terakhir ini. Mereka sudah mengombinasikan pola latihan dengan menggunakan teknologi. Jadi, kemampuan atletnya bisa diukur penampilan maksimalnya dan bahkan penyembuhan cederanya. Saya sendiri pernah ke China dan di sebuah sekolah menemukan bagaimana mereka menganalisis kekuatan otot Taufik Hidayat,” kata Fritz.
Jacob sendiri mengakui, sampai saat ini PB PBSI belum mempunyai fasilitas lengkap dan penerapan teknologi dalam sistem kepelatihan di pelatnas Cipayung. Sumber dana yang terbatas menjadi masalah utama PB PBSI. China, menurut Jacob, bisa seperti itu karena mereka mendapat dukungan penuh dari pemerintahnya.
Apa yang dikemukakan PB PBSI sebenarnya merupakan alasan umum yang sudah menjadi kondisi nyata dan dihadapi hampir semua pengurus cabang olahraga. Pemerintah memang seharusnya ikut membantu membangun fasilitas sarana dan prasarananya.
Akan tetapi, PB PBSI sendiri juga harus lebih kreatif sehingga tidak ada alasan pembinaan terhambat karena masalah dana. Kita tidak mungkin hanya berharap ada keajaiban prestasi atau ucapan sakti dari Li Mao, ”Simsalabim abrakadabra!”
(OTW)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/22/04155323/menunggu.sulap.ala.li.mao
 

haa iki Inilah Rahasia Kekuatan Laba-Laba

Kalahkan Baja, Inilah Rahasia Kekuatan Laba-Laba
Oleh: Ellyzar Zachra P.B
Teknologi - Senin, 21 Februari 2011 | 20:20 WIB
 
INILAH.COM, Jakarta- Serat sutra laba-laba dimanfaatkan untuk jaring sekaligus pertahanan diri. Ilmuwan berhasil membongkar mekanisme misterius jalinan yang lebih kuat dari baja ini.
Ilmuwan Jerman percaya rahasia kekuatan serat sutra laba-laba terletak pada kombinasi unik dari materi kristal abstrak yang membentuk serat itu sendiri. Secara terpisah, materi itu tidak terlalu mengesankan. Namun jika dikombinasikan dengan tepat dapat menjadi kekuatan serba guna.
Studi yang dipimpin Dr. Frauke Grdter dari Heidelberg Institute for Theoretical Studies menemukan informasi baru soal struktur molekul yang mendasari karakteristik mekanik dari bahan alami yang diproduksi laba-laba.
"Karena serat sutra laba-laba lebih unggul dari materi yang diciptakan oleh hewan lain maupun buatan manusia, banyak penelitian dilakukan untuk menjelaskan karakteristik mekanisme serat alami yang luar biasa itu," kata Grdter.
Para ilmuwan sebelumnya memahami serat sutra laba-laba terdiri dari dua jenis blok yaitu amorphous lembut dan komponen kristal kuat. Tim Grdter menerapkan pendekatan komputasi multi-skala pada tingkat atom untuk mencari tahu sub-unit amorphous yang bertanggung jawab atas elastisitas sutra and distribusi tekanan.
Ketangguhan maksimal sutra memerlukan sub-unit kristal dan bergantung pada bagaimana laba-laba mendistribusikan serat. Struktur arsitektur yang berbeda dari masing-masing sub-unit inilah yang bertanggung jawab atas kinerja mekanis yang optimal pada jalinan sutra laba-laba.

"Kami menyimpulkan bahwa susunan seri sub-unit kristal dan sub-unit amorphous yang acak atau paralel merupakan model struktur baru bagi sutra," kata Grdter dalam tulisan yang diterbitkan di Biophysical Journal. [mor]
Sumber : http://teknologi.inilah.com/read/detail/1256442/kalahkan-baja-inilah-rahasia-kekuatan-laba-laba