Senin, 31 Mei 2010

haa iki Catatan Kafilah Freedom Flotilla: Gaza Tidak Membutuhkanmu (1)

Senin, 31 Mei 2010 | 14:23 WIB
Freedom Flotilla dalam pelayaran menuju Gaza (electronicintifada.net)

TEMPO Interaktif, Jakarta - Salah satu dari 12 orang Indonesia yang ada di armada Freedom Flotilla yang diserang Israel adalah Santi Soekanto. Ia mantan wartawati harian the Jakarta Post. Suaminya, Wisnu Pramudya, juga ada di atas kapal. Wisnu, juga wartawan, sempat memimpin majalah Hidayatullah.

Berikut bagian pertama tulisan Santi, yang dibuat di atas M/S Mavi Marmara, di Laut Tengah, 180 mil dari Pantai Gaza, 29 Mei 2010.


Gaza Tidak Membutuhkanmu! (1)



Sudah lebih dari 24 jam berlalu sejak kapal ini berhenti bergerak karena sejumlah alasan, terutama menanti datangnya sebuah lagi kapal dari Irlandia dan datangnya sejumlah anggota parlemen beberapa negara Eropa yang akan ikut dalam kafilah Freedom Flotilla menuju Gaza. Kami masih menanti, masih tidak pasti, sementara berita berbagai ancaman Israel berseliweran.

Ada banyak cara untuk melewatkan waktu. Banyak di antara kami yang membaca Al-Quran, berzikir atau membaca. Ada yang sibuk mengadakan halaqah. Beyza Akturk dari Turki mengadakan kelas kursus bahasa Arab untuk peserta Muslimah Turki. Senan Mohammed dari Kuwait mengundang seorang ahli hadist, Dr Usama Al-Kandari, untuk memberikan kelas Hadits Arbain an-Nawawiyah secara singkat dan berjanji bahwa para peserta akan mendapat sertifikat.

Wartawan sibuk sendiri, para aktivis “terutama veteran perjalanan-perjalanan ke Gaza sebelumnya“ mondar-mandir; ada yang petantang-petenteng memasuki ruang media sambil menyatakan bahwa dia "tangan kanan" seorang politikus Inggris yang pernah menjadi motor salah satu konvoi ke Gaza.

Activism

Ada begitu banyak activism, heroism. Bahkan ada seorang peserta kafilah yang mengenakan kaus yang di bagian dadanya bertuliskan Heroes of Islam alias Para Pahlawan Islam. Di sinilah terasa sungguh betapa pentingnya enjaga integritas niat agar selalu lurus karena Allah Ta'ala.

Yang wartawan sering merasa hebat dan powerful karena mendapat perlakuan khusus berupa akses komunikasi dengan dunia luar sementara para peserta lain tidak. Yang berposisi penting di negeri asal, misalnya anggota parlemen atau pengusaha, mungkin merasa diri penting karena sumbangan material yang besar terhadap Gaza.

Kalau dibiarkan riya' akan menyelusup, na'udzubillahi min dzaalik, dan semua kerja keras ini bukan saja akan kehilangan makna bagaikan buih air laut yang terhempas ke pantai, tapi bahkan menjadi lebih hina karena menjadi sumber amarah Allah Ta'ala.

Mengerem
Dari waktu ke waktu, ketika kesibukan dan kegelisahan memikirkan pekerjaan menyita kesempatan untuk duduk merenung dan tafakur, sungguh perlu bagiku untuk mengerem dan mengingatkan diri sendiri.
Apa yang kau lakukan Santi? Untuk apa kau lakukan ini Santi? Tidakkah seharusnya kau berlindung kepada Allah dari ketidak-ikhlasan dan riya' Kau pernah berada dalam situasi ketika orang menganggapmu berharga, ucapanmu patut didengar, hanya karena posisimu di sebuah penerbitan? And where did that lead you? Had that situation led you to Allah, to Allah's blessing and pleasure, or had all those times brought you Allah's anger and displeasure?

Kalau hanya sekedar penghargaan manusia yang kubutuhkan di sini, Subhanallah, sungguh banyak orang yang jauh lebih layak dihargai oleh seisi dunia di sini. Mulai dari Presiden IHH Fahmi Bulent Yildirim sampai seorang muslimah muda pendiam dan shalihah yang tidak banyak berbicara selain sibuk membantu agar kawan-kawannya mendapat sarapan, makan siang dan malam pada waktunya. Dari para ulama terkemuka di atas kapal ini, sampai beberapa pria ikhlas yang tanpa banyak bicara sibuk membersihkan bekas puntung rokok sejumlah perokok ndableg.

Kalau hanya sekedar penghargaan manusia yang kubutuhkan di sini, subhanallah, di tempat ini juga ada orang-orang terkenal yang petantang-petenteng karena ketenaran mereka.

Semua berteriak, Untuk Gaza! Namun siapakah di antara mereka yang teriakannya memenangkan ridha Allah? Hanya Allah yang tahu.

SANTI SOEKANTO


Sumber :  http://www.tempointeraktif.com/hg/timteng/2010/05/31/brk,20100531-251510,id.html

haa iki Tenggelamnya Kapal Century

Tenggelamnya Kapal Century
Senin, 31 Mei 2010 | 02:35 WIB

Oleh Donal Fariz
Sekretariat Bersama Partai Koalisi bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak hanya berhasil membenamkan kasus Bank Century. Lebih dari itu, dalam konteks yang lebih luas keberadaannya amat berpotensi menyandera penegakan hukum jangka panjang.
Melalui Sekretariat Bersama, Aburizal Bakrie diplot oleh SBY sebagai pemecah ombak (breakwater) gelombang politik yang semakin membesar belakangan ini. Arus deras kelompok oposisi telah mengancam kursi kekuasaan SBY. Untuk meredam hal ini, terjadilah tawar-menawar kekuasaan (political bargaining). Alhasil, dengan sangat cepat Golkar berpindah ke lain hati jadi partai koalisi pemerintah. Walau dianggap melanggar fatsun politik, ini realitas. Publik pun jamak mengetahui bahwa dalam politik tak ada musuh yang abadi dan kawan yang sejati. Karena hanya kepentinganlah yang abadi.
Kini, dengan jubah Golkar, Aburizal jadi satu gerbong kereta dengan pemerintah. Jabatan sebagai ketua harian forum koalisi memberikan porsi kekuasaan besar. Bahkan, sebagian kalangan menilai teramat besar. Sebagai ketua, ia berwenang memanggil menteri untuk hadir pada rapat tertentu. Ini jelas telah menyusupi kekuasaan pemerintah.
Di sisi lain, sebagai ketua forum koalisi, Aburizal tentu berperan untuk merapikan barisan koalisi di parlemen. Di belakang layar, Aburizal bertugas sebagai invisible hand (tangan-tangan tak tampak) untuk ”menyeiramakan” suara parlemen yang belakangan bernada sumbang terhadap pemerintah.
Perkawinan kepentingan ini jelas telah menimbulkan politik kartel di negara ini. Secara teori, Meitzer berpendapat, politik kartel muncul dari sebuah koalisi besar di antara elite politik. Sistem ini digunakan untuk meminimalkan kerugian pihak yang kalah, entah dalam pemilu atau dalam koalisi. Kartel lebih mengutamakan mekanisme perangkulan (incorporation) dari elite yang memiliki latar belakang ideologi yang berbeda. Dalam politik kartel, dorongan berpartisipasi dalam kabinet dan struktur kepemimpinan di komisi, misalnya, adalah karena kepentingan partai-partai untuk mengamankan kebutuhan finansial bersama.
Apa yang terjadi saat ini mencerminkan sebuah kepentingan pragmatis yang jauh dari unsur ideologis. Partai oposisi versus partai pemerintah yang sebelumnya begitu sengit berkompetisi di satu hal akan dengan mudah menjadi kooperatif dalam hal lain. Intinya, mereka terlibat di pemerintah atau parlemen bukan demi perjuangan program atau ideologi partai, melainkan patut diduga demi mengamankan sumber-sumber rente.
Semakin meyakinkan kita jika melihat latar belakang para politikus Senayan. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), setidaknya 44 persen anggota DPR periode 2009-2014 merupakan pengusaha. Dominasi pengusaha di ranah politik semakin menguatkan akan ancaman persekongkolan antara penguasa dan pengusaha.
Dibentuknya Sekretariat Bersama (Sekber) tidak bisa dilepaskan dari pertautan di atas. Bagaimanapun publik tahu Sekber lahir dari benih megaskandal Century. Tak berlebihan rasanya jika Sekber memang sangat berpotensi menyandera penegakan hukum di negeri ini karena lembaga ini akan menjadi benteng kuat dalam menahan serangan hukum terhadap para politisi hitam.

Kapal Century

Jika kepentingan politik sudah menggumpal antarpihak ”bermasalah”, semua cara tentu bisa dihalalkan. Lihat saja pernyataan Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso yang siap memetieskan proses politik kasus Century (7/5). Jelas sangat kontraproduktif dengan semangat berapi-api partai beringin ini pada masa angket Century.
Memori publik masih sangat kuat merekam saat paripurna hak angket Century, dengan lantang 104 kader Golkar memilih opsi C. Pilihan dengan kesimpulan ada penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hukum dalam proses bail out Bank Century. Lompat pagar Golkar ke dalam partai koalisi sudah barang tentu diikuti peralihan sikap politik bahwa tidak ada yang bermasalah dengan Bank Century.
Manuver ini jelas membahayakan penuntasan kasus Bank Century secara keseluruhan. Kasus ini mustahil sampai pada Peradilan Konstitusi karena peta dan kalkulasi politik di parlemen sudah berubah secara drastis. Kondisi sekarang menunjukkan setidaknya 58 persen suara parlemen sudah berada pada opsi A. Jumlah ini jelas tidak memenuhi syarat untuk sampai pada hak menyatakan pendapat dan pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi. Apa yang dilakukan Lily Wahid untuk menguji pasal-pasal hak menyatakan pendapat dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 agaknya tak memiliki daya guna untuk kasus Century saat ini.
Bagitu pula halnya penuntasan kasus Bank Century di KPK. Tidak bisa dimungkiri proses penegakan hukum butuh dukungan politis. Jika melihat kondisi KPK saat ini, lembaga ini jelas sangat membutuhkan dosis besar untuk menyelesaikan kasus Century. Salah satu sumber dosis ini tentu berasal dari kekuatan parlemen.
Amat disayangkan kondisinya sekarang jauh berbeda. Bahkan, kekuatan koalisi tak mustahil justru akan memberikan warning kepada KPK agar kasus ini tak dilanjutkan hingga tahap berikutnya. Forum koalisi sebagai jurus politik Yudhoyono jelas tak ada manfaatnya bagi kepentingan publik. Keberadaannya jelas hanya sebagai ”bilik” kompromi elite politik. Hingga akhirnya hari ini, kita harus menerima kenyataan kasus Bank Century telah sampai pada titik antiklimaks.
Kisah Bank Century ini mengingatkan kita kepada roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka. Roman ini mengisahkan kisah cinta tak berbalas Zainuddin terhadap seorang gadis bernama Hayati. Berbeda halnya dengan cerita Bank Century. Tenggelamnya Kapal Century telah melahirkan kisah ”romantis” antara penguasaan dan pengusaha di negeri ini

Donal Fariz Peneliti Hukum Indonesia Corruption WatchDivisi Hukum dan Monitoring Peradilan 
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/31/02354453/tenggelamnya.kapal.century

haa iki Aku Mata Hari 23

Aku Mata Hari
Senin, 31 Mei 2010 | 02:34 WIB

Oleh Remy Sylado
Tapi segera aku berkata, jengkel, ”Kamu toh bukan nabi. Kamu cuma seorang vrijdenker.”
Dia membantah. ”Apa salahnya vrijdenker membaca Bijbel?”)
Aku benci, dia bertele-tele. Kataku, ”Te veel mond.”)
Dia cengengesan. Barangkali maunya bercanda, atau paling tidak sok-sosial.
”Jangan marah,” katanya.
”Tidak,” sahutku, tidak hirau dengan cengengesannya. ”Aku marah. Harus. Sumpah demi ibuku, aku tidak akan pernah bisa menerima ide gila-gilaan seperti itu.”
Anehnya dia berubah dengan cepat. Dia bersikap seperti kayu Norwegia. Ucapannya berikut ini terasa kaku dan menantang.
”Ya sudah. Kita lihat saja nanti.”
Aku berang, naik pitam. Sambil berdiri dari kursi di depan meja, aku berkata, ”Apa itu artinya kamu tidak mau mengubah pikiranmu?”
”Tolong, jangan bikin aku jadi bodoh,” katanya.
Dan dia pergi seenaknya keluar ke luar.
Sikap bedebah seperti itu karuan membuat aku tak sanggup mengendalikan diri dari emosi yang sudah mengepul. Maka aku sampluk cangkir kopi di meja. Cangkir itu jatuh ke lantai dan pecah berkeping. Aku masuk ke kamar, membanting pintu, menjatuhkan diri ke ranjang, terisak-isak, memeluk Norman John yang menangis karena kaget.

43) Alkitab bahasa Belanda
44) Terlalu banyak bacot

12

Siapa yang bisa menolongku mengatasi pikiran gila Ruud?
Aku pikir-pikir, kalau sampai ide Ruud itu terjadi, pertama dia jelas-jelas melukai hatiku, kedua dia jelas-jelas menggiring aku untuk berpikir membalas dendam, dan ketiga dia jelas-jelas mendorong aku untuk bercerai.
Pertanyaanku lagi, siapa yang bisa menolongku?
Mestinya, dalam tradisi bangsa-bangsa Barat, pertolongan yang dianggap ampuh, sebagai nasihat, adalah dari pihak gereja, yaitu dari gembalanya: di gereja Katolik disebut ’pastoor’ dan di gereja Protestan disebut ’dominee’.
Sementara, sosok seperti itu tidak ada di Ambarawa. Karena Ambarawa bagian dari Semarang, maka kalau aku hendak menemui sosok seperti itu, haruslah aku turun ke Semarang dengan keretaapi yang berhenti di Stasion Djoernatan.)
Tapi, pertanyaan berikut, adakah ’pastoor’ di Semarang yang bisa menolongku sebagai orang yang berlatar Katolik dan sekarang ikut-ikutan jadi vrijdenker?
Selain itu, dengar-dengar gereja Katolik tidak populer di Semarang. Yang terkenal adalah gereja Protestan berbentuk kubah di Heerenstraat,) di tempat mana pada dasawarsa kedua abad ini Thomas Stamford Raffles menyaksikan tentara Inggrisnya dibaptiskan oleh pendeta Jerman, Gottlob Brückner, dengan cara yang menyimpang dari ajaran Protestan garis Calvinis.
Dan, dengar-dengar juga, gereja Katolik di Semarang sering dihambat oleh penguasa-penguasa kolonial yang mengaku Protestan lantas memperalat pendeta-pendetanya.
Aku bilang ”penguasa-penguasa yang mengaku Protestan” sebab sebenarnya mereka itu adalah perampok-perampok necis. Sebagian mereka berasal dari Belanda utara yang banyak Protestannya, bukan Belanda selatan antara provinsi Limburg dan Brabant yang banyak Katoliknya. Aku kira, lebih pas para penguasa garong itu tidak disebut Protestan, tapi ’pro-setan’, sebab mereka licik menghitung- hitung keuntungan politik dengan ber-Protestan, mengingat bahwa keluarga Raja di Belanda sana adalah Protestan berurat kaku Calvinis. Istilah umum yang tak pernah mereka sadari, adalah mereka itu munafik.
Maka, percuma meminta pertolongan atau minta nasihat dari para munafik. Berbicara dengan orang munafik sama mubazirnya seperti memberi mutiara kepada babi.
 
45) sekarang jadi ruko-ruko, sampai 1970-an masih dimanfaatkan sebagai stanplat bus antarkota
46) sekarang Jalan Letjen Soeprapto, pernah juga bernama Jalan Mpu Tantular

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/31/02342560/aku.mata.hari.22

Minggu, 30 Mei 2010

haa iki "Pinter, Bener, Kober"


KOMPAS/FRANS SARTONO
 
Bhante Dhammasubho:
"Pinter, Bener, Kober"
Minggu, 30 Mei 2010 | 03:29 WIB

Oleh Maria Hartiningsih dan Frans Sartono
Bagaimana memahami yang sedang terjadi pada zaman di mana harga hidup sangat murah, di mana sikap ”paseduluran” atau persaudaraan yang dalam menguap dalam hubungan antarmanusia, di mana kekuasaan memangsa semua yang dipinjam dari kehidupan? 
Bhante Dhammasubho (54) menarik napas panjang. Ia tampaknya paham, pertanyaan-pertanyaan itu mencakupi banyak hal yang hendak menjadi bahan perbincangan empat jam di Wisma Theravada, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Seperti Gus Dur, sahabatnya, Bhante Dhammasubho juga dikenal merangkul semua yang dianggap ”berbeda” dari ”baju luar”-nya. Ia punya ketajaman melihat tanda-tanda zaman dan memaknai berbagai peristiwa sehingga terasa menguakkan lapis demi lapis tabir ketidaktahuan tentang kesejatian hidup.
Persahabatannya dengan Gus Dur awet terjalin sampai Gus Dur berpulang. Bagi Bhante, Gus Dur lebih dari sekadar sahabat. ”Persahabatan kami tidak diikat materi, pangkat, atau kedudukan. Kami saling menjaga, saling merawat dengan tulus dan ikhlas, dengan tali jiwa dan tali rasa. Di Jawa ada istilah sedulur sinarawedi, yang susah diterjemahkan....”
Hari itu juga ada Chusnul, aktivis kemanusiaan dari Sulawesi Selatan yang beberapa bulan terakhir sering mengunjungi Bhante untuk berdiskusi tentang masalah riil kemanusiaan dalam perspektif Buddhisme untuk bahan penelitiannya. Perbincangan sempat terputus pada pukul 11.00, jam makan terakhir hari itu. Baru keesokan harinya, ia boleh makan lagi. Kami menemaninya.

Jalan tengah

Purnama dan hari cuci Waisak seperti suatu kesatuan. Seperti dijelaskan Bhante, ”Siddharta Gautama lahir pada purnama bulan Waisak, mencapai pencerahan pada purnama bulan Waisak dan wafat pada purnama bulan Waisak. Trisuci Waisak, tiga peristiwa penting terjadi pada bulan yang sama.”
Sebagai umat Buddha, memperingati Waisak artinya kembali membangun spirit. ”Siddharta itu manusia biasa, bahan bakunya sama, terdiri dari unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur angin, yang semuanya adalah milik alam semesta. Ia meninggal juga dengan cara biasa, tidak moksa. Yang membedakan adalah kualitas kemanusiaannya.”
Bisa dijelaskan?
Kita baca sejarah, perjalanan keluar istana membuat Siddharta melihat empat peristiwa, yaitu orang tua renta, orang sakit, orang mati, dan seorang pertapa, yang diramalkan pertapa Asita dan ahli nujum Kondannnya, akan mengantarkan Siddharta menjadi Buddha, pelaku spiritual yang mendunia. Empat peristiwa yang lazim terjadi itu menyadarkan Siddharta, hal itu juga akan menimpa dirinya. Itulah yang mendorong Siddharta memutuskan bertapa selama enam tahun untuk menemukan jawaban.
Inti jawaban itu adalah empat kasunyatan mulia. Hidup adalah mengalami penderitaan; penderitaan terjadi karena nafsu-nafsu keinginan secara ekstrem; penderitaan berhenti kalau keinginan yang ekstrem itu berhenti; bagaimana menghentikannya adalah dengan ahimsa, anti kekerasan; jalan tengah berunsur delapan, antara lain, pengertian benar, pikiran benar, ucapan benar, mata pencaharian benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Kebenaran yang dimaksud adalah benar untuk diri sendiri, benar untuk orang lain, benar untuk diri sendiri dan orang lain, juga benar untuk lingkungan.
Bagaimana konteks kekiniannya?
Siddharta adalah manusia besar yang kebesarannya bertahan berabad-abad. Ia bersentuhan dengan kehidupan masyarakat luas, sangat peduli kepada orang kecil, berbudi luhur, mengajarkan ikhlas dan sentuhan jiwa nurani yang tulus. Ia menjadi ikon zaman, kehadirannya diterima melintasi batas-batas zaman. Hidupnya memberi contoh tentang menyatunya pikiran, perkataan, dan perbuatan, tentang nonkekerasan atau ahimsa, cinta kasih, kesederhanaan, serta ajek konsisten dalam pernyataan dan style.
Style?
Style biku yang digariskan Siddharta sampai sekarang masih ditaati sesuai pola dan ukurannya (ia menunjukkan petak-petak jubahnya). Ini seperti petak sawah, hanya 30-40 cm setiap petak. Artinya, para pertapa, pelaku spiritual itu, hendaknya seperti sawah, seperti ladang, seperti bumi yang subur. Ia menjadi pengayom dan pengayem, menjadi sahabat rohani masyarakat, dan hendaknya bisa memberi keluhuran, ketenteraman, dan kemakmuran bagi kaumnya.
Pemimpin yang diidamkan saat ini juga diharapkan bisa menjadi pengayom dan pengayem. Pertama, berjiwa bersih dan berwibawa, berkemanusiaan dan berkeadilan, setidaknya berakal budi suci seperti Buddha.
Kedua, pinter, bener, kober. Pinter artinya pandai, bener artinya benar; yang ukurannya ada empat; kebenaran itu bisa diterima diri sendiri, diterima orang lain, diterima diri sendiri dan orang lain, serta diterima lingkungan. Kober itu peduli atau sempat. Tiga akar kata dari bahasa Jawa itu menjadi titik sentral dunia sekuler maupun dunia spiritual, dayanya mampu menembus sekat-sekat zaman, batas-batas nusa, manusia, bangsa, budaya, dan agama.
Negara akan utuh dan tenteram apabila bangsanya tidak melupakan sejarah, rakyatnya tidak meninggalkan sastra dan budayanya, para pemimpinnya malu berbuat jahat karena takut (karena tahu) akibatnya. Itu penemuan Siddharta yang penting.

Empat zaman 

Bhante Dhammasubho mengatakan, kualitas kemanusiaan mengalami perubahan. Dari zaman Siddharta sampai sekarang, bisa dibagi menjadi empat masa, seperti simbol Swastika yang terdiri dari empat kolom, menggambarkan perjalanan sang waktu.
Kolom pertama menggambarkan zaman keemasan, kemudian perak, lalu perunggu, dan yang terakhir besi. Ketika semua dalam keadaan baik, damai, dan tenteram, itulah zaman keemasan. Tetapi, semua tidak langgeng, kualitas manusia pun menurun dan terus menurun.
”Ketika zaman besi, semua menjadi keras, perilaku keras, tangan saja harus besi. Mungkin sekarang ini zaman besi, besi pun rongsokan,” ia menambahkan, ”Sekarang orang yang kualitasnya baik malah tersingkir.”
Namun, diingatkan, setiap zaman akan terjadi titik kulminasi. ”Kalau ada puncak kejayaan pada zaman keemasan, zaman besi pun akan mengalami puncak kebrengsekan, begitu kira-kira sebelum akhirnya terjadi akumulasi kesadaran. Dengan kesadaran itu, mereka akan membangun kembali pola pikirnya, perilakunya, mau memaafkan, karena ada kesadaran bahwa kekerasan tidak menyelesaikan persoalan. Sekarang sudah mulai.”
Bagaimana kualitas manusia dihubungkan dengan semua ini?
Manusia berkualitas mampu menempatkan harga hidup di atas harga diri, menempatkan harga diri di atas harga materi. Pada zaman keemasan spiritualitas, individu-individu mampu dan berupaya menghargai hidup sekecil apa pun.
Yang terjadi sekarang, sebaliknya; banyak orang menempatkan harga materi di atas harga diri karena mengira materi adalah segalanya, dipuja seperti dewa, tak soal harga dirinya jatuh asal bisa mendapatkan materi dengan segala cara. Kemudian, menempatkan harga diri di atas harga hidup. Akibatnya, hidup menjadi murah, pembunuhan terjadi di mana-mana, kadang dengan mengatasnamakan agama.
Bagaimana supaya selamat dari ontran-ontran zaman?
Di sini kita disadarkan akan gunanya nilai-nilai spiritual. Kalau manusia itu kejiwaannya lentur, pinter, bener, kober, dekat dengan lingkungannya, dengan masyarakatnya, jiwa kemanusiaannya itu yang memanggil.
Lalu, ada petuah orang-orang tua supaya kita eling dan waspada, yang dalam bahasa Buddhisme adalah satti sampajanna, artinya sadar setiap saat. Pikiran, perkataan, dan perbuatannya satu.
Apa yang masih menjadi keprihatinan Anda?
Di mana-mana saya bicara untuk mengajak mengembalikan nilai-nilai dan menghidupkan kembali yang namanya budaya puja. Dulu kita makmur karena perilaku manusia yang merawat alam, menjaganya, sehingga kehidupan pun tenteram dan damai. Ketika perilaku manusia berubah dan meninggalkan tradisi budaya puja, kemakmuran dan keberkahan menjadi surut.
Budaya puja adalah tindakan untuk berlaku hormat (dengan kesungguhan hati) kepada siapa saja, termasuk kepada alam dan lingkungan hidup, dimulai dengan menghormati diri sendiri. Orang yang berlaku hormat adalah orang yang punya moralitas karena puja berkaitan dengan moral dan spirit. Membangun spiritualitas, moral, dan kemanusiaan bisa dimulai dari budaya puja.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/30/0329048/pinter.bener.kober

haa iki Cobaan untuk Kong Tjoan


KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Warga Tionghoa Tangerang di daerah Pasar Lama merayakan Waisak, Jumat, 28 Mei 2010.
 
Cobaan untuk Kong Tjoan
Minggu, 30 Mei 2010 | 04:34 WIB

Budi Suwarna danIwan Santosa

Belakangan ini Oen Kong Tjoan (67) sering gusar. Dia takut rumah dan sawahnya tergusur proyek perumahan. Kalau itu terjadi, hidupnya bisa keblangsak alias sengsara. 
Laki-laki yang lahir, besar, dan kini menua di kampung Cukanggalih, Panongan, Banten, itu ingat benar beberapa temannya yang menjual tanah dan pindah ke kota hidupnya keblangsak. ”Gimana kagak keblangsak, itu orang bisanya cuma macul (bertani) doang, dagang kagak becus, kerja lain kagak bisa,” ujar Kong Tjoan dengan nada tinggi, Rabu (19/5) pagi.
Sebagian besar warga komunitas Cina Benteng di Cukanggalih secara turun-temurun adalah petani. Kong Tjoan, misalnya, menggarap sekitar 1 hektar sawah dan kebun warisan orangtuanya. Pagi itu, selepas menandur padi, dia istirahat di bale-bale bambu depan rumahnya yang berlantai tanah. Istrinya, The Pin Nio (48), sibuk di samping rumah mengurus tiga babinya yang gemuk-gemuk.
Buat Kong Tjoan, petani itu harus punya tanah. Kalau tidak ada tanah, berarti dia tidak bisa macul. Karena itu, kalau ada yang menggusur sawah dan rumahnya, itu sama saja dengan membunuh dia secara perlahan. ”Saya ge kagak bisa dagang. Kalau digusur terus pindah ke kota, saya mau kerja apaan? Pan di kota kagak ada sawah,” tutur Kong Tjoan dengan dialek Betawi medok.
Apa mau dikata, bayang-bayang penggusuran itu justru kian jelas dari tahun ke tahun. Proyek perumahan modern bahkan telah mencaplok sebagian sawah milik komunitas Cina Benteng di sekitar Cukanggalih. Kini, perumahan tersebut jaraknya tidak lebih dari 1 kilometer dari tempat tinggal Kong Tjoan.
Buat laki-laki beranak enam itu, perumahan tersebut seperti ”dunia lain”. Rumahnya bagus-bagus, lengkap dengan taman. Jalannya pun beraspal mulus. ”Itu, mah, tempatnya orang gedongan,” katanya.
”Dunia” Cukanggalih sangat berbeda. Jalan-jalan kampung sebagian besar tanah. Sebagian rumah masih berlantai tanah dan berdampingan dengan kandang babi.
Kong Tjoan makin gusar karena televisi bulan lalu gencar memberitakan penggusuran permukiman penduduk yang sebagian penghuninya orang Cina Benteng di sepanjang aliran Kali Cisadane, Tangerang. Dia bertanya, ”Apa penggusuran nantinya sampe ke sini? Saya, mah, udah pasrah sama cobaan ini.”
Tidak hanya Kong Tjoan, Yadi (22) juga khawatir rumah engkongnya (kakek), Lim Tjoan Lie, di Kampung Baru, Legok, Banten, terkena pelebaran jalan. Rumah engkongnya hanya sekitar 15 meter dari jalan. Kalau dilebarkan, hampir pasti sebagian halaman rumah engkongnya bakal tergerus.

Tergilas

Komunitas Cina Benteng, seperti juga komunitas-komunitas lokal lainnya di Indonesia, belakangan ini terancam rancangan pembangunan dengan kacamata ”kartografis”. Pendekatan ini, kata Iwan Meulia Pirous dari Pusat Kajian Antropologi FISIP-UI, sering diterjemahkan menjadi ”politik zoning”.
Pada masa Belanda, cara ini dilakukan dengan mengatur lokasi permukiman berdasarkan etnis. Tujuannya untuk mencegah konflik etnis dan memudahkan kontrol.
Pada masa kini, seperti di Tangerang, kata Iwan, ”politik zoning” terjadi demi menunjang kepentingan modal dan prestasi fisik penguasa. Kota dibayangkan sebagai master-plan di atas kertas yang harus mengikuti skala, indeks, dan hitung-hitungan ekonomis. Pendekatan ini ramah pada investor meski kerap mengorbankan hak ekonomi, sosial, dan kultural masyarakat kecil.
Penggusuran sesungguhnya bukan sekadar urusan memindahkan orang secara fisik. Bagi komunitas yang hidup komunal selama beradab-abad seperti sebagian warga Cina Benteng, penggusuran sama dengan mencabut mereka dari ruang sosial, sejarah, ingatan kolektif, dan tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Hendra alias Acong, Ketua Ikatan Pemuda Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Cabang Banten, tahu benar jika komunitas Cina Benteng tercerai-berai, tradisi mereka yang masih tersisa lambat laun akan habis. ”Orang Cina Benteng, terutama di udik, enggak bisa tinggal jauh-jauh dari kampungnya,” kata Acong, yang juga berasal dari komunitas Cina Benteng.
Selain pembangunan, kata Acong, ada faktor lain yang mengancam tradisi Cina Benteng. Pertama, konversi agama. Kedua, kurang sadarnya generasi muda Cina Benteng bahwa tradisi mereka sangat berharga untuk dipelihara.
Generasi muda Cina Benteng di udik sendiri kini menghadapi dilema. Mereka mau macul, tetapi juga tidak pandai berdagang. Pendidikan pun pas-pasan. Akhirnya, mereka hanya bisa bekerja di pabrik. ”Yang perempuan banyak kerja nyuci di rumah orang-orang gedongan,” kata Kong Tjoan.
Pusaka hidup atau Living heritage memang sedang diuji zaman. Seharusnya, kata Iwan, komunitas lokal, seperti Cina Benteng, benar-benar dijaga. Pasalnya, keberadaan mereka menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia mengalami proses sejarah yang panjang. Keberadaan Cina Benteng menyimpan jejak generasi dulu yang memiliki semangat multikultural, siap menerima perbedaan, dan melakukan dialog budaya, bahkan berakulturasi secara sempurna.
”Ini penting untuk memperkuat otoritas Indonesia sebagai bangsa yang plural sejak dulu,” kata Iwan.
Jika jejak Cina Benteng itu hilang ditelan zaman, berarti sebagian jati diri bangsa ini juga hilang. Barangkali gambang kromong, tarian cokek, dan upacara Chio-Thau pun tinggal menjadi kenangan. (Pinkan Elita Dundu)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/30/04344725/cobaan.untuk.kong.tjoan

haa iki BERSATU DALAM GAMBANG KROMONG


KOMPAS/BUDI SUWARNA
The Pin Nio (58) beraktivitas di dapur rumahnya yang masih tradisional Rabu (19/5), di Kampung Cukanggalih, Desa Ciakar, Kecamatan Panongan, Tangerang, Banten. Kehidupan warga Cina Benteng tampak bersahaja.
BERSATU DALAM GAMBANG KROMONG
Minggu, 30 Mei 2010 | 04:35 WIB

 Iwan Santosa dan Budi Suwarna

Irama gambang kromong terdengar merdu di pesisir pantai Tangerang. Petang itu, warga Cina Benteng dan Betawi bersama-sama hanyut dalam pesta ”shejit” (ulang tahun) Kelenteng Tanjung Kait. 
Begitulah gambaran harmonisnya hubungan masyarakat Cina Benteng dan Betawi di Tangerang yang terekam tiga tahun lalu. Hingga sekarang, hubungan harmonis yang telah berusia ratusan tahun itu masih terjaga.
Setiap acara shejit digelar, pelataran kelenteng yang berada satu kompleks dengan Kramat Dewi Neng—tempat ziarah sebagian warga Betawi—itu menjadi tempat berkumpul masyarakat Cina Benteng dan Betawi. Sepanjang siang hingga malam, mereka bersama-sama menonton pentas seni Betawi dan Tionghoa yang tampil silih berganti di beberapa panggung.
Ada lenong, gambang kromong, keroncong, wayang potehi, hingga barongsai dan liong.
Mereka sama-sama antusias. Adu cepat memesan lagu dan juga ”menyawer” si penyanyi yang aduhai.
Di luar pesta semacam itu, warga Cina Benteng dan Betawi juga hidup berbaur. ”Saya sudah keturunan ke-14 yang lahir di sini. Sebagian besar Tionghoa Mauk adalah petani. Betawi Mauk jadi nelayan atau pemilik empang. Semua hidup rukun, bahkan banyak yang memiliki kekerabatan,” kata Tan Kian Hok.
Armeni (64), sesepuh Betawi, mengamini ucapan Tan (69). ”Saya sendiri masih berkerabat dengan Kin Siang keturunan keluarga tetua kelenteng. Kami berbeda, tetapi jadi satu di Mauk,” kata Armeni.
Para seniman Tionghoa dan Betawi pun berbagi panggung di acara kelenteng atau pesta di rumah warga dan rumah kawin. Mail alias Sumo (45), pria Betawi asal Kecamatan Dadap, misalnya, biasa manggung bersama seorang penyanyi Cina Benteng. ”Kalau diminta lagu Mandarin, kami layani,” kata Sumo.
Suasana seperti itu tidak hanya terjadi di Tanjung Kait, tetapi hampir di semua kantong permukiman Cina Benteng dari daerah pesisir hingga udik (pedalaman), seperti Legok, Cikupa, Serpong, Gunung Sindur, Citayam, dan kawasan hulu Sungai Cisadane.
Kunci keakraban Cina Benteng-Betawi, terutama yang tinggal di udik, mula-mula memang perkawinan campur. Sekarang, di zaman serba modern dan materialistis ini, mereka juga disatukan oleh perasaan senasib: sama-sama hidup pas-pasan.

Teluk Naga 

Bagaimana komunitas Tionghoa Peranakan itu bisa di Tangerang? Edi Prabowo, pengamat Tionghoa Peranakan yang mengajar bahasa Indonesia di Beijing, mengatakan, orang Tionghoa datang ke Teluk Naga sekitar zaman transisi dari Kerajaan Islam ke Kesultanan Islam di tanah Jawa (abad ke-15). Jadi, mereka datang jauh sebelum Portugis dan Belanda datang ke Batavia.
Nama Teluk Naga di pesisir Tangerang, kata Edi, berasal dari perahu-perahu Tiongkok yang bagian kepalanya berhiaskan naga.
Orang-orang Tionghoa ini, lanjut Edi, kawin campur dengan perempuan setempat. Perkawinan itulah yang membentuk komunitas Tionghoa Peranakan yang lambat laun berkembang di Tangerang. Mereka membuka perkebunan tebu dan persawahan.
Sejarawan Mona Lohanda dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menambahkan, kedatangan orang Tionghoa di sekitar Tangerang dan Indonesia terbagi dalam beberapa gelombang yang terjadi pada dinasti yang berbeda jauh sebelum kedatangan orang Eropa.
Sebutan Cina Benteng, lanjutnya, baru muncul setelah Belanda hadir di Batavia. Sebutan itu berasal dari keberadaan komunitas Tionghoa Peranakan yang bermukim di dekat Benteng Kompeni. ”Dari situ ada sebutan Cina Benteng sampai sekarang,” katanya.
Mona yang juga berasal dari komunitas Cina Benteng menambahkan, masyarakat Cina Benteng sendiri terbagi dua. Ada yang disebut warga udik, ada yang warga perkotaan. ”Kami di Tangerang kota menyebut warga Cina Benteng di Cukang Galih, Legok, dan pedalaman lainnya sebagai orang udik,” ujar Mona.
Masyarakat Cina Benteng baik di udik maupun perkotaan sama-sama berakulturasi secara alami selama berabad-abad dengan budaya setempat. Hasilnya, unsur budaya Tionghoa Peranakan mewarnai budaya Betawi dan sebaliknya.
Cina Benteng juga memberi warna dalam toponimi (asal-usul penamaan tempat). Mona Lohanda bercerita, salah seorang guru sekolah dasarnya yang asli Betawi pernah berkisah, nama Karawaci berasal dari istilah Kurawa Cina (bala tentara Tionghoa).
”Mungkin itu berdasarkan ingatan kolektif masyarakat waktu terjadi gerombolan Tionghoa Peranakan yang melakukan keributan dan memicu pembantaian Tionghoa di Batavia 1740,” ujar Mona.
Hubungan harmonis Cina Benteng dan masyarakat setempat juga mengakar sejak lama. Sultan Banten, misalnya, memberi gelar Tubagus kepada Encek Ban Cut, pendiri Menara Masjid Banten, dan beberapa keluarga Tionghoa Peranakan. Sampai sekarang, gelar Tubagus masih dipakai beberapa keluarga Tionghoa Peranakan keturunan Encek Ban Cut.
Jadi, sungguh ironis jika masih ada yang menganggap Cina Benteng sebagai orang asing di tanah kelahirannya sendiri.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/30/04355349/bersatu.dalam.gambang.kromong

haa iki Paman Kagak Bisa "Macul" Lagi


KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Warga Tionghoa Tangerang di daerah Pasar Lama merayakan Waisak, Jumat 28 Mei 2010.
 
GEGAR BUDAYA
Paman Kagak Bisa "Macul" Lagi
Minggu, 30 Mei 2010 | 04:36 WIB

Encek atau paman Lim Ek Ceng (70) hanyalah seorang petani Cina Benteng,
Tangerang, Banten. Seperti mimpi, tiba-tiba Encek harus tinggal di perumahan modern kelas menengah-atas. Dia pun bingung.
Perumahan menengah-atas itu dulunya tanah kelahiran Ek Ceng sekaligus satu dari banyak kantong permukiman Cina Benteng. Dia tumbuh dan besar di sana sebagai petani produktif. Tahun 1990-an, kampung, termasuk sawah dan tanahnya, tergusur. Namun, Ek Ceng tidak sampai terlempar dari situ.
Di perumahan modern itu, Ek Ceng mendapat rumah pengganti. Sejak saat itulah dia harus menyesuaikan diri dengan gaya hidup orang kota yang jadi tetangganya.
Akan tetapi, Ek Ceng tidak bisa sebab dia hanya petani yang akrab dengan tanah dan lumpur. Persoalannya, dia tidak punya lagi tanah untuk diolah. Ek Ceng pun nekat bercocok tanam di taman perumahan, tanah kosong, dan halaman rumah tetangga. Dia mengganti tanaman bunga di taman perumahan dengan tanaman kebun, seperti singkong, ubi, cabai, dan pepaya. Dia juga beternak ayam di perumahan.
Sebagian tetangganya sewot. Macam mana taman dijadikan kebun? Namun, Ek Ceng tidak ambil pusing. ”Saya pan cuma bisa macul doang,” jawab Ek Ceng, seperti diceritakan tetangganya, Diah Prakasa Yudha, beberapa waktu lalu.
Hari berganti, Ek Ceng pun kehabisan daya karena termakan usia. Ketika ditemui pada Rabu (19/5) lalu, Ek Ceng yang mengenakan kaus kampanye partai politik duduk mencangkung di bangku kayu dekat kandang ayam di samping rumahnya. Tatapan matanya kosong. Sementara itu, tanah kosong di perumahan itu yang dulu dia tanami tanaman kebun kini ditumbuhi ilalang. Rumahnya pun seperti tidak terawat, kontras dengan rumah tetangganya yang tampak kinclong.
Menantunya bilang, Ek Ceng sudah pikun dan tangannya bergetar. Dia tidak bisa macul lagi sejak dua tahun terakhir. Barangkali, Ek Ceng adalah petani Cina Benteng terakhir di kampung yang telah berubah menjadi perumahan modern itu. (Ong/Bsw)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/30/04363781/paman.kagak.bisa.macul.lagi

haa iki Pusaka Hidup Cina Benteng


KOMPAS/BUDI SUWARNA
Lim Tjoan Lie (73) sedang bercukur di depan rumah kebaya kediamannya, Rabu (19/5). Rumah kebaya dengan hiasan aksara China merupakan ciri rumah peranakan Tionghoa di Tangerang yang lebih sering disebut Cina Benteng.
Pusaka Hidup Cina Benteng
Minggu, 30 Mei 2010 | 04:49 WIB

Oleh Budi Suwarna dan Iwan Santosa

Lie Soen Nio (43) mengangkat hio tinggi-tinggi di atas kepalanya tepat di depan meja abu leluhur. Dia tidak mengerti benar makna ritual yang dia lakukan pagi itu, tapi dia menjalaninya secara khusyuk. 
Itulah sejumput tradisi leluhur yang masih dipegang teguh Tionghoa peranakan di Tangerang, Banten, yang sering disebut Cina Benteng. Di luar itu, ada seabrek tradisi lainnya yang juga mereka pelihara. Tidak heran jika komunitas yang leluhurnya datang ke Batavia jauh sebelum Republik Indonesia berdiri ini menjadi semacam pusaka hidup, living heritage, di wilayah Tangerang dan sekitarnya.
Di pintu depan rumah, Soen Nio menempatkan hio lo (tempat dupa), kwee cang (kue ketan), dan kertas beraksara China. Tepat di depan pintu masuk, ada meja abu lengkap dengan guci-guci kecil, hio lo, dan foto para leluhur. Meja abu menjadi perekat persaudaraan antarwarga Cina Benteng.
”Kalau enggak ada meja abu, enggak bakal ada famili yang datang ke rumah pas imlek,” ujar Soen Nio di rumahnya, Kampung Inggung, Rancakelapa, Panongan, Tangerang, Banten, Rabu (19/5).
Di kampung itu, komunitas Cina Benteng juga masih menjalankan upacara perkawinan Chio-Thau—upacara perkawinan tradisional yang di China Daratan sendiri konon sudah jarang ditemukan.
”Kapan pengantin laki-laki keluar rumah, kapan ngelangkah, kapan upacara perkawinan (digelar), semua ada hitungannya. Kadang Chio-Thau jatuh siang, kadang subuh, kadang tengah malam, tergantung hitungan,” kata Soen Nio sambil menunjukkan album foto perkawinan seorang anaknya.
Pengantin perempuan mengenakan baju tradisional hwa kun, semacam blus dan bawahan lengkap dengan hiasan kepala serta tirai penutup wajah. Pengantin pria memakai semacam baju koko hitam dan celana panjang serta topi caping petani, mirip ”kostum vampir” pada film horor China.
Seusai upacara, acara dilanjutkan dengan pesta yang dimeriahkan gambang kromong dan cokek. ”Kalau orang punya (kaya), pestanya bisa tujuh malem,” kata Soen.
The Pin Nio (48), warga Kampung Cukang Galih, Panongan, menambahkan, mereka juga masih menjalankan upacara kematian sesuai tradisi nenek moyang. Peti matinya masih berbentuk siu pan—peti mati tradisional China. ”Kapan nguburnya harus benar-benar dihitung. Kalau hitungan salah, yang mati bisa narik yang hidup ke akhirat,” ujar Pin Nio.

Dari ”sononya”

Tradisi leluhur itu masih hidup terutama di kantong-kantong Cina Benteng di udik (pedalaman) Banten seperti Panongan, Curug, Kelapadua, Tigaraksa, Legok, dan Balaraja. Tapi jangan tanya apa makna ritual atau simbol yang ada di rumah mereka, sebab jawabannya nyaris seragam, ”Emang dari sononya. Kita mah cuma ngejalanin doang.”
Iwan Meulia Pirous dari Pusat Kajian Antropologi Universitas Indonesia mengatakan, tradisi Cina Benteng diturunkan melalui tindakan. ”Itu jadi bagian praktik sosial sehari-sehari terutama sistem kepercayaan (religi). Tapi bahasa nenek moyang buat mereka tidak lagi aktual sebab sejak lama mereka sudah berakulturasi.”
Sebagian warga Cina Benteng terutama di udik berbicara dalam bahasa Betawi ”iyak” bercampur dialek Sunda pesisir. Partikel mah, ge (dari kata oge) bertaburan di hampir setiap kalimat. Umumnya, mereka tidak bisa bahasa Mandarin atau dialek Hokkian.
Hendra alias Acong (28), Ketua Ikatan Pemuda Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (IPPSMI) Cabang Banten, bercerita, mereka sering terbalik memasang kertas jimat beraksara China di depan pintu.
”Mereka tidak tahu mana yang di atas, mana yang di bawah. Akhirnya, wihara yang mengeluarkan kertas-kertas itu memberi tanda mana atas, mana bawah,” kata Acong yang juga berasal dari komunitas Cina Benteng.

Akulturasi

Komunitas Cina Benteng adalah keturunan China Hokkian yang datang ke Tangerang secara bergelombang pada abad ke-15 (ada juga yang menyebutkan abad ke-18). Pada gelombang awal, yang datang para lelaki yang di Tiongkok berprofesi sebagai petani, buruh, atau pedagang kecil.
Di Tangerang, mereka membuka lahan pertanian dan perkebunan di udik. Sebagian lagi bekerja sebagai buruh serabutan atau berdagang dekat Teluk Naga, kemudian Pelabuhan Sunda Kelapa. Mereka menetap, berakulturasi secara alamiah, dan kawin campur dengan perempuan setempat. Keturunannya mengikuti bahasa ibu mereka, yakni dialek Melayu pasar. Itulah sebabnya orang Cina Benteng tidak bisa bahasa Mandarin atau dialek Hokkian.
”Kita ini orang Betawi. Leluhur, engkong, encek (paman dari ibu, empek (paman dari bapak) kita juga lahir dan mati di Betawi. Kalau Tiongkok kami kagak kenal,” kata Hendra.
Secara ekonomi, warga Cina Benteng juga jauh dari stereotip etnis Tionghoa yang mapan dengan kelas sosial tinggi. Kebanyakan justru hidup pas-pasan. Kong Tjoan, misalnya, sehari-hari bekerja sebagai petani di sawahnya sendiri. ”Hasilnya cuma cukup buat makan dan beli kecap,” katanya.
Bapak enam anak ini tinggal berdua istrinya di rumah peninggalan leluhur yang umurnya lebih dari seabad. Rumah berukuran dua kali lapangan voli itu berdinding kayu nangka dengan lantai tanah berdebu. Hampir tidak ada barang berharga mahal di dalam rumah itu kecuali televisi.
Istrinya, Pin Nio, masak dengan kayu bakar karena tidak bisa beli minyak tanah atau gas. Dapurnya pun hanya beberapa meter dari kandang hewan yang becek di samping rumah.
”Saya mah udah pasrah. Mau ngubin lantai aja kagak bisa. Saya cuma bisa macul doang,” ujar Kong Tjoan.
Buat warga Cina Benteng di Cukang Galih, kehidupan keluarga Kong Tjoan itu termasuk lumayan. Di kota, banyak warga Cina Benteng yang hidupnya blangsak alias terpuruk.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/30/04490428/pusaka.hidup.cina.benteng

haa iki KISAH PEMBUAT TEH


FOTO-FOTO: KOMPAS/PRIYOMBODO

SOSIALITA
KISAH PEMBUAT TEH
Minggu, 30 Mei 2010 | 03:17 WIB

Oleh Lusiana Indriasari

Nama aslinya adalah Tjen Soen Tjau, namun orang lebih mengenalnya dengan nama Suwarni (49). Bagi master ”chado” yang sudah 15 tahun membuka kedai teh Siang Ming Tea di Jakarta ini, teh bukan sekadar minuman pelepas dahaga.
Dari teh ia bisa memahami filosofi hidup. ”Teh mengajarkan kedisiplinan dan pengendalian diri,” tutur perempuan cantik ini.
Untuk menggambarkan bagaimana sebuah minuman bisa mengajarkan kedisiplinan dan pengendalian diri, Suwarni mengajak kami berkunjung ke kantornya, One Tea House, induk perusahaan kedai teh Siang Ming Tea yang berada di kawasan Gunung Sahari, Jakarta.
Di rumah toko (ruko) itulah Suwarni mengawinkan budaya minum teh Jepang dan China. Di lantai 3, Suwarni membuka ruangan khusus bagi siapa saja yang ingin belajar chado, yaitu upacara minum teh Jepang yang sudah berusia ribuan tahun. Sedangkan di lantai satu, perempuan kelahiran Banda Aceh ini mengajarkan ilmu tentang teh China lengkap dengan kungfu cha, yaitu cara menyeduh teh China.
”Jepang mengenal teh dari China. Namun, berbeda dengan China, budaya minum teh di Jepang dikembangkan menjadi lebih formal dan sakral,” kata Suwarni. Sebelum belajar chado, Suwarni sudah lebih dulu menekuni seluk-beluk teh China.
Teh, ia percaya memiliki khasiat kesehatan. Karena itu, ketika tidak bisa melanjutkan kuliah di kedokteran karena ayahnya meninggal dunia saat ia berumur sekitar 18 tahun, Suwarni banting setir menekuni teh. ”Saya dulu ingin jadi dokter ahli bedah,” ungkapnya.
Budaya minum teh cara Timur, menurut Suwarni, mulai bergeliat lagi setelah sekian lama tergerus oleh minuman anggur dan kopi yang dikembangkan dunia Barat. Agar budaya minum teh tetap dikenal anak muda, tahun 1995 Suwarni membuka kedai teh Siang Ming Tea yang kini memiliki beberapa outlet di Jakarta. 

Kesabaran

Siang itu (24/5), Suwarni menyambut kami dengan baju kimono. Ia ingin menunjukkan bagaimana mempersiapkan upacara perjamuan minum teh Jepang. Kimono yang ia pakai adalah kimono musim dingin berwarna peach yang umurnya sudah 61 tahun, lebih tua dari usianya.
Kain obi sepanjang empat meter melilit pinggangnya yang ramping. Rambut panjangnya yang biasa tergerai kali ini digelung ke atas, memperlihatkan bulu-bulu halus di tengkuknya yang putih. Ia sudah siap memperagakan chado.
Suwarni naik ke atas lantai ”panggung”, berjalan dengan langkah kecil lalu berlutut sebelum duduk bersimpuh di depan ketel panas. Sambil tetap menjaga posisi tubuhnya selalu tegak, ia mulai melipat sapu tangan, mengelap mangkuk teh, cawan kecil tempat bubuk teh disimpan.
Pada saat ”ber-chado” itulah Suwarni memperlihatkan bentuk pengendalian diri yang kuat. Setiap gerakannya ia perhitungkan dengan matang.
Ketika memegang cawan, misalnya, posisi jari kelingking tidak boleh terbuka. Pada saat membungkuk untuk menghormat kepada tamu, posisi leher harus lurus dengan badan dan masih banyak lagi.
”Gerakan-gerakan semacam ini membutuhkan latihan dengan kedisiplinan tinggi dan pengendalian diri yang kuat,” tutur Suwarni yang kini menjadi Sekretaris Urasenke Tankokai Indonesia Association (UTIA). Urasenke adalah salah satu aliran upacara minum teh yang cukup terkenal di Jepang. Suwarni belajar chado dari Kuniko Pohan, orang Jepang yang tinggal di Jakarta, pada tahun 1988.
Selain mengajarkan teh Jepang dan China, Suwarni juga memberikan pengetahuan tentang teh Indonesia. Ia, misalnya, beberapa kali bersama muridnya mengunjungi perkebunan teh di beberapa daerah di Jawa Barat. ”Kualitas teh Indonesia bagus tetapi kurang dalam kemasannya,” kata ibu tiga anak ini.
Selain mengajar tentang chado di beberapa perguruan tinggi, privat, hotel berbintang, dan instansi perkantoran, Suwarni juga bolak balik terbang ke China dan Jepang. Di China dia memilih sendiri daun teh yang akan disajikan di kedai tehnya, sedangkan di Jepang dia menjadi duta yang menyebarkan pengetahuan tehnya pada komunitas teh di Jepang.

Lutut memar

”Untuk menjadi seorang ahli dibutuhkan pengorbanan,” kata Suwarni tentang kecintaannya pada teh. Kedua lututnya yang memar membuktikan pengorbanannya itu.
”Ini karena keseringan duduk di tatami,” ujar Suwarni sambil menunjuk kedua lututnya yang memar. Upacara minum teh biasanya memakan waktu hingga empat jam dan seorang teishu diharuskan duduk bertimpuh sampai upacara selesai.
Untuk memahami karakter berbagai jenis teh, sejak kecil Suwarni sudah minum bermacam-macam teh, mulai dari teh China, teh Jepang, teh dari Sri Lanka, hingga teh campuran yang dikembangkan orang Eropa.
Sambil terus mengobrol, Suwarni menyajikan teh asli Indonesia atau dikenal dengan teh merah yang dicampur dengan tiga helai daun pepermin. Sebelum teh diseduh, Suwarni beberapa kali memegang ketel tempat merebus air yang masih berada di atas tungku. Dengan tangan ”telanjang”, ia memastikan suhu di dalam ketel sudah pas untuk menyeduh teh merah.
Pada lain kesempatan, Suwarni juga memegang ”perut” ketel dengan tangan untuk memastikan suhu air sudah pas untuk menyeduh teh oolong atau phu erl. ”Suhu air untuk menyeduh teh berbeda-beda, tergantung jenis tehnya. Teh oolong atau phu erl hanya bagus diseduh dengan suhu sekitar 80 derajat celsius,” kata Suwarni.
Untuk mengecek suhu air, Suwarni hanya mengandalkan perasaan. Dan baginya, alat ukur yang paling akurat adalah telapak tangan. Ketika kami berpamit pulang dan berjabat tangan, terasa guratan-guratan kasar di telapak tangan Suwarni. Mungkin guratan itu disebabkan ia terlalu sering memegang ketel panas. Namun, Suwarni tetap menawan.... (IYA)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/30/03172265/kisah.pembuat.teh

haa iki Tamu pada Suatu Sore

SPIRITUALISME
Tamu pada Suatu Sore
Minggu, 30 Mei 2010 | 03:31 WIB

Ajaran Buddha menjadi tradisi keluarga Bhante Dhammasubho sejak masih dalam kandungan ibunya. ”Bapak memilih spiritualisme Buddha sejak tahun 1956. Zaman itu Buddha sebagai agama belum tumbuh di masyarakat, apalagi masyarakat desa.”
Menurut cerita sang ayah, Songko, petani dan seniman tatah wayang kulit dari Desa Pendem, Kecamatan Kandat, Kediri, Jawa Timur, suatu sore, datang tamu tak dikenal, seorang simbah (kakek), berpakaian adat Jawa. Wajahnya bersih.
”Simbah itu mengatakan, ia sedang lelaku keliling Pulau Jawa. Tujuannya, ujung timur Pulau Jawa. Dia hanya makan dan minum kalau ada yang memberi. Dia bermalam di rumah penduduk yang ikhlas memberi tumpangan.”
”Setelah ngomong-ngomong, Bapak tertarik karena yang dibahas terkait dengan soal spiritualitas. Bapak juga dekat dengan hal-hal itu. Simbah itu lalu ditawari menginap, tetapi sepanjang malam, mereka berdua berdiskusi, tidak tidur.”
Sebelum pergi, tamu itu meninggalkan sebuah buku, seperti diktat, sampulnya bergambar lampu teplok (lentera) dikerudungi cermin dan menjelaskan artinya.
”Itu yang diajarkan Sang Buddha, kata simbah itu.”
Selesai sarapan pagi, simbah itu pamit. ”Sampai halaman rumah, kata Bapak, simbah itu hilang dalam kedipan mata. Bapak berpikir, siapa sebenarnya tamu itu. Tetapi, karena diskusi malam itu sangat mengesankan, Bapak memutuskan mengikuti pemikiran buddhis. Sejak itu, pemikiran buddhis menjadi pedoman hidup keluarga kami.”


Tujuh tahun

Bhante Dhammasubho yang penuh humor, yang suaranya terasa penuh kehangatan dan kemurahan hati itu, dilahirkan sebagai Kliwon Samir, sulung dari 10 bersaudara—lima di antaranya meninggal di usia balita—dari pasangan Songko dan Katemi.
”Saya ini hasil tirakat orangtua yang sangat ingin punya anak. Jadi, sampai sekarang saya senang puasa karena sudah diajari puasa sejak dari kandungan ha-ha-ha....”
Kliwon kecil belajar di sekolah umum, tidak mendapatkan pelajaran agama Buddha secara formal. ”Belajar ajaran Buddha ada tiga tahapan. Mula-mula hanya tahu, lalu berusaha mengerti, kemudian mencoba diselami, dihayati, dijalani, ternyata cocok.”
Keinginan menjadi biku dipendam lama tanpa keberanian mengungkapkan kepada orangtua. ”Setelah selesai sekolah, saya bermasyarakat dulu tujuh tahun, baru mendapat izin,” lanjut Bhante, yang ketika masih Kliwon Samir, bersama kelompoknya menjadi juara teater lawak tahun 1981.
Latar belakang keluarga dan pengalaman sebelum memasuki dunia biku menyebabkan dia mudah bergaul dengan berbagai kalangan. Ia menguasai filosofi Jawa dan menariknya ke tataran lintas batas.
”Wong urip iku mung mampir ngombe, orang hidup itu cuma numpang minum, enggak sampai makan, apalagi tidur.... Usia kita sangat sebentar dibandingkan usia alam semesta. Selama hidup kita meminjam dari alam semesta dengan baik-baik, hendaknya pinjaman itu digunakan baik-baik, nanti pada waktunya dikembalikan dengan baik-baik. Ini baru nasabah yang baik ha-ha-ha....”
Kuncinya? ”Malu berbuat jahat karena tahu akibatnya....” (MH/XAR) 

Sumber :  http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/30/03310057/tamu.pada.suatu.sore

haa iki Menginap di Kebun Teh


FOTO-FOTO: KOMPAS/PRIYOMBODO

KETEKUNAN
 
Menginap di Kebun Teh
Minggu, 30 Mei 2010 | 03:14 WIB

Lahir sebagai anak pertama dari orangtua yang berprofesi sebagai pengusaha, sejak kecil Suwarni sudah dididik untuk hidup mandiri dengan merantau ke negeri orang. Bersama adiknya, Suwarni yang ketika itu masih berumur sepuluh tahun bersekolah di Malaysia, sementara orangtua mereka tinggal di Medan.
”Di Malaysia saya hanya tinggal dengan pengasuh,” kata Suwarni.
Dari pengasuhnya inilah Suwarni berkenalan dengan teh. Dulu setiap kali pulang sekolah, Allan, pengasuh Suwarni yang beretnis China, sudah menunggu di rumah untuk mengajak Suwarni minum teh. ”Dia mengajak saya minum teh untuk menghilangkan lelah,” kenang Suwarni.
Pengasuh ini selalu menyeduh teh dalam poci kecil. Poci itu ukurannya hanya berdiamater sekitar lima sentimeter. ”Saya senang lihat pocinya yang imut (mungil). Sejak itu saya menjadi ingin tahu seluk-beluk teh,” ucap Suwarni.
Rasa ingin tahu membuat Suwarni kecil memilih tinggal di kebun teh setiap kali ia dan keluarganya berlibur ke Taiwan. Padahal, ia sangat takut dengan cacing dan ulat. ”Sampai sekarang saya bisa loncat kalau melihat cacing atau ulat ha-ha-ha,” katanya. Selain di Taiwan, ia juga belajar tentang teh ke China.
Untuk menekuni teh, Suwarni tinggal di rumah para petani yang menginap di areal perkebunan. Sejak matahari terbit, ia sudah harus bangun untuk ikut menanam teh, memetik daun teh, mengukur intensitas cahaya matahari yang akan memengaruhi kualitas daun teh, dan lain-lain.
Malam harinya, ia pergi ke tempat pemrosesan daun teh yang lokasinya berbeda dengan areal penanaman. Di situ Suwarni ikut bekerja memproses daun-daun teh. ”Saya harus bangun tengah malam untuk menggoreng daun-daun teh sampai pagi hari,” tuturnya.
Sampai kini Suwarni masih terus bepergian ke kebun-kebun teh di pelosok China dan Taiwan. Selain belajar tentang varietas teh yang baru dikembangkan, ia juga memilih sendiri daun teh berkualitas yang akan dijual di kedainya, Siang Ming Tea.
Setiap kali terjun ke kebun, Suwarni sudah siap dengan sepatu boot dan alat penjepit untuk menyingkirkan cacing atau ulat. Namun, tetap saja, ia tidak berani menyingkirkan dua makhluk yang suka menggeliat itu. Katanya, baru mendekat saja sudah gemetaran. Hiiiii.... (IND/IYA)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/30/03143241/menginap.di.kebun.teh

haa iki Rumah Nyaman untuk MENULIS


FOTO-FOTO: KOMPAS/ARBAIN RAMBEY

Rumah Nyaman untuk MENULIS
Minggu, 30 Mei 2010 | 03:23 WIB

Oleh Ilham Khoiri

”Selama empat bulan di sini, saya sudah menulis dua biografi, mengedit beberapa naskah, dan mulai menulis novel terbaru,” kata Noorca M Massardi (56) tentang rumah barunya di Bintaro. 
Rumah pasangan Rayni dan Noorca M Massardi di kawasan Bintaro itu menjadi semacam studio yang menopang kreativitas mereka sebagai penulis. Tak kalah dengan suami, Rayni N Massardi (53) di rumah barunya itu juga baru saja menyelesaikan satu buku kumpulan 13 cerpen terbaru. Rencananya, karya itu bakal diterbitkan sebuah penerbit di Yogyakarta.
Kami berbincang di rumahnya di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Senin (24/5) sore lalu.
Rumah pasangan penulis itu terdiri dari tiga lantai di lahan 112 meter persegi. ”Rumah kami ini tidak besar, tetapi fungsional. Semua yang ada di rumah ini memang kami butuhkan. Hampir tak ada yang berlebihan,” kata Rayni yang juga penggiat film.
”Semua cerpen itu ditulis di ruang lantai dua lho,” kata perempuan awet muda itu sambil tertawa renyah.
Kami pun naik ke lantai dua.
Tepat di pojok dekat tangga, terdapat satu ruang dengan jendela menghadap ke luar. Di ruang itu ada meja, satu set komputer, serta buku-buku tertata rapi. Itulah tempat kerja Noorca. Kalau jenuh menulis di rumah, dia suka meneruskan menulis sambil nongkrong di kafe di kawasan Bintaro.
Noorca juga betah bekerja di ruang pojok dekat tangga di lantai dua. Dia menyukai jendela di ruang itu karena membuat sirkulasi udara leluasa keluar-masuk. Dari jendela, dia bisa melongok langit atau menikmati suasana lengang di luar.
Tak jauh ruang itu, ada dua kamar tidur. Satu untuk Noorca-Rayni; satu lagi buat si bungsu, Nakita Massardi (24). Kakak Nakita, Cassandra Massardi (33), sudah berumah sendiri.
Di antara dua kamar itu, ada ruang kosong kecil. Ruang ini juga diberi meja dan komputer. ”Kalau ini tempat kerja saya. Walau agak panas, saya bisa ngetik di sini lho,” papar perempuan yang pernah menerbitkan kumpulan cerpen Pembunuh (2005) dan I Don’t Care (2008) dan yang baru saja terbit, Ngoprek Santai Syair Lagu, itu.
Di lantai tiga, terdapat satu ruangan tambahan untuk perpustakaan. Seluruh dinding kamar disesaki rak-rak dan lemari penuh buku.

Taman kecil

Kita turun ke lantai satu.
Sebuah taman kecil dengan tanaman air terhampar di depan teras. Karena tak dirancang sejak awal, teras ini terpaksa ”memakan” sedikit ruang tamu. ”Tetapi, kami suka teras ini. Kami biasa duduk-duduk santai,” kata Noorca.
Begitu melewati pintu depan, kami langsung masuk di ruang tamu. Ruang itu tembus ke bukaan alias void di bagian belakang. Di lantai pertama itu, hanya ada satu kamar, berukuran sekitar 7 x 3 meter. Kamar paling besar di rumah itu digunakan ibu Rayni, Nini Anwar Moein (78). ”Saya ingin beliau nyaman,” katanya.
Untuk menambah suasana alam, mereka mengubah void di belakang menjadi taman. Sebagian dinding taman disulap jadi air terjun kecil dengan suara gemercik. Sebagian lagi dipenuhi tanaman hias dengan sistem tanam hidroponik yang merayap ke atas. Di situ pula ditempatkan satu kandang kelinci, binatang peliharaan Bondi, cucu Noorca-Rayni dari Cassandra. Taman, air terjun, dan kandang itu memberi suasana lebih alami.
Ada juga sedikit aksen bernuansa Bali. Di teman depan, misalnya, ditanam pohon kamboja Bali kuning. Kain pelapis gorden jendela menggunakan motif poleng hitam-putih. ”Kami berdua suka pergi di Bali. Sesuatu yang berbau Bali itu menyenangkan,” kata Noorca, yang pernah tinggal beberapa bulan di Ubud saat menyelesaikan novel September (2006) dan Dia (2008).
Untuk lebih menyuntikkan semangat kreatif, sebagian dinding rumah ditempeli banyak foto keluarga, poster film kesayangan, puisi lama Noorca, dan foto kenangan pasangan itu saat tinggal di Paris, Perancis. Noorca dan Rayni memang pernah kuliah di Perancis tahun 1977-1981.
”Kami nyaman dan bisa berkarya di sini. Di rumah ini kami akan menikmati masa tua,” kata Noorca.
Sambil terus menulis tentu.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/30/03230045/rumah.nyaman.untuk.menulis

haa iki Pulihkan Hak-hak Korban Lumpur Segera


KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Aktivis Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lapindo menampilkan teatrikal saat unjuk rasa damai memperingati empat tahun tragedi lumpur Lapindo di depan Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu (29/5). Mereka meminta pemerintah tidak melupakan peristiwa tersebut dan segera menyelesaikannya.
 
LINGKUNGAN
 
Pulihkan Hak-hak Korban Lumpur Segera
Minggu, 30 Mei 2010 | 04:44 WIB

Yogyakarta, Kompas - Aktivis Sahabat Lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi Yogyakarta bersama Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam menggelar unjuk rasa memperingati empat tahun lumpur Lapindo yang menyembur di Sidoarjo, Jawa Timur. Unjuk rasa dilangsungkan di perempatan Kantor Pos Besar Yogyakarta, Sabtu (29/5).
Pengunjuk rasa menuntut pemulihan hak-hak sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan, kesehatan, dan religiusitas masyarakat korban lumpur. ”Gerakan menuntut keadilan korban Lapindo mendesak pemerintah menindak tegas PT Lapindo Brantas. Tuntaskan segera kewajiban PT Lapindo,” ujar Akhmad Maulana, Ketua Sahabat Lingkungan Walhi.
Hal lain yang dituntut dari PT Lapindo Brantas adalah melakukan pemulihan hak sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan, kesehatan, dan religiusitas masyarakat serta menghentikan pembuangan lumpur ke laut.
Menurut Walhi dan Jatam, buangan lumpur akan masuk dan merusak tambak masyarakat serta bisa meracuni udang dan ikan. Lumpur yang mengandung logam berat juga berisiko mengganggu produksi perikanan laut.
Berdasarkan penelitian Walhi Jawa Timur, ditemukan tiga jenis logam berat yang terkandung dalam lumpur Lapindo. Ketiga jenis logam berat tersebut ialah tembaga, timbal, dan kadmium. ”Padahal, perikanan tambak merupakan unggulan Kabupaten Sidoarjo. Sekitar 30 persen ekspor udang Indonesia berasal dari tambak Sidoarjo,” ujar Akhmad.
Mengutip data statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan, jumlah nelayan di Madura, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, dan Malang, Jawa Timur, telah berkurang dari 3 juta pada 2003 menjadi 2,2 juta pada 2008. (RWN)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/30/04440877/pulihkan.hak-hak.korban.lumpur.segera

haa iki Subsidi BBM Pasti Dicabut, Kompensasi Belum Ditetapkan

KESEJAHTERAAN
Subsidi BBM Pasti Dicabut, Kompensasi Belum Ditetapkan
Minggu, 30 Mei 2010 | 04:53 WIB

Sigli, Kompas - Pemerintah dipastikan akan mencabut subsidi bahan bakar minyak dalam waktu dekat. Namun, mekanisme pencairan kompensasi bagi masyarakat dan jumlahnya belum ditetapkan.
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono mengemukakan hal itu seusai penyerahan bantuan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di Sigli, Nanggroe Aceh Darussalam, Sabtu (29/5). ”Ini masih dalam pembahasan. Belum dipastikan mekanisme dan jumlahnya,” ujarnya seraya menekankan, pemerintah masih menghitung besar subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang akan dicabut.
Menurut mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat ini, pemerintah tidak bermaksud menyusahkan masyarakat dari golongan ekonomi tertentu dengan pencabutan subsidi tersebut. ”Pemerintah akan memberikan kompensasi-kompensasi kepada kelompok masyarakat yang terkena dampak, terutama masyarakat miskin,” ujarnya.
Agung juga mengatakan, pemerintah terus berupaya mengurangi jumlah penduduk miskin di Indonesia dari 14,1 persen pada 2009 menjadi 8-10 persen pada 2014. Diharapkan, dengan pencabutan BBM bersubsidi itu, target penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia tidak terganggu.

Penyaluran dana KUR 

Dalam kesempatan yang sama, Agung mengatakan, upaya penanggulangan kemiskinan melalui tiga kelompok program, yaitu kelompok program bantuan sosial terpadu berbasis keluarga; penanggulangan berbasis masyarakat; dan penanggulangan berbasis pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah, sudah cukup bagus. ”Untuk kelompok pertama, sifatnya sumbangan sosial. Yang sedang diupayakan digenjot adalah kelompok kedua dan ketiga,” katanya.
Untuk kelompok pertama, sumbangan sosial yang diberikan pemerintah adalah dalam bentuk subsidi beras untuk rakyat miskin (raskin). Secara nasional, tahun ini pemerintah telah menetapkan 17,5 juta rumah tangga sasaran (RTS) penerima raskin. Tiap-tiap RTS mendapatkan 13 kilogram beras.
”Untuk pagu Januari sampai dengan April 2010, sudah 93,04 persen raskin tersalurkan di seluruh Indonesia,” ucapnya.
Tentang dua pola pemberdayaan lainnya, Agung mengakui, masih diperlukan waktu untuk mencapai angka yang ditargetnya. Sebagai gambaran, ia menyebutkan, pemerintah menargetkan penyaluran dana kredit usaha rakyat (KUR) sebesar Rp 20 triliun. Namun, sejak 2007 hingga kini, KUR yang tersalurkan baru Rp 19,26 triliun. ”Masih perlu upaya-upaya dari bank penyalur untuk meringankan persyaratan pengambilan plafon kredit itu,” tuturnya.

Bantuan Rp 75 juta

Wakil Gubernur NAD Muhammad Nazar mengatakan, untuk Aceh, selain mendapatkan alokasi bantuan pembangunan melalui PNPM Mandiri, masyarakat desa atau gampong juga mendapatkan dana bantuan keuangan peumakmoe gampong (BKPG). Pada 2009, tiap-tiap gampong mendapatkan dana bantuan senilai Rp 100 juta. Namun, tahun ini masing-masing hanya mendapatkan Rp 75 juta.
”Karena sempat ada ketidaksepakatan antara eksekutif dan legislatif, tidak semuanya bisa cair. Namun, nanti bisa dianggarkan lagi pada anggaran perubahan atau tahun berikutnya,” kata Nazar. (mhd)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/30/04531656/subsidi.bbm.pasti.dicabut.kompensasi.belum.ditetapkan

haa iki Ainun, Sang Mata yang Mengilhami Itu...

SEPERCIK KENANGAN
Ainun, Sang Mata yang Mengilhami Itu...
Minggu, 30 Mei 2010 | 04:46 WIB

Oleh Ninok Leksono
Malam itu, Kamis (27/5), sekitar pukul 20.30 WIB, acara tahlilan tujuh hari kepergian ibu negara ke-3 RI, Hasri Ainun Habibie, baru saja usai. Mantan Presiden BJ Habibie segera masuk ke kamar pribadinya, di kediaman yang berada di kawasan Patra Kuningan, Jakarta.
Habibie yang ahli aeronotika itu masih berduka atas kepergian istrinda tercinta, yang telah menemaninya selama 48 tahun. Ia ikhlas melepas Ainun, tapi pastilah kini ternganga lubang besar di hatinya.
Dalam kesunyian kamarnya—meski di luar pentakziah masih tinggal, bahkan sebagian masih berdatangan, ingatan Habibie—lepas isya itu—mungkin terbang jauh tinggi di awan.
Bila ada melodi yang singgah di jiwanya, kiranya bukan Sepasang Mata Bola ciptaan Ismail Marzuki yang selama ini ia sukai. Dari lirik Stardust karya Carmichael boleh jadi lebih tepat.
”When our love was new, and each kiss an inspiration..” Ya, karena Ainun adalah ilhamnya meski mendiang tak tahu tentang ”Crack Theory” (Teori Penjalaran Retakan pada metal pesawat yang ia ciptakan).
”Though I dream in vain, in my heart it will remain, my Stardust melody, the memory of love refrains.”
Ya, kenangan atas cinta tak kan pernah lekang di hati sekalipun mimpi pun tak kan kuasa mengembalikan Ainun.
Siapakah Ainun yang berbahagia menjadi wanita pujaan teknolog yang lalu pernah menjadi presiden ini? (Bernada mengolok, mantan Ketua Rektorium ITB Sudjana Sapiie malah pernah menyebut ”Wie is de ongelukkige?” (Dari bahasa Belanda, Siapa yang kurang beruntung tersebut?)—justru ketika Habibie dengan matanya yang berbinar-binar itu berseru ”Ich bin verliebt!—Saya jatuh cinta!; seperti dikenang Leila Z Rachmantio, dalam buku Testimoni untuk Habibie, yang disunting A Makmur Makka, 2009)
Bisa saja, Ainun tidak beruntung karena sebagai gadis remaja cantik yang banyak ditaksir pemuda, ia pernah menyebut Rudy—panggilan akrab Habibie—bukan satu-satunya pria yang menjadi perhatiannya. Ada mahasiswa hebat-hebat dan gagah-gagah mengendarai motor HD yang lebih menarik.
Sebaliknya, Rudy pun pernah mengolok Hasri—dengan kalimat yang disebut tak bisa ia lupakan—”Hei, kenapa sih kamu kok gendut dan hitam?” Sebenarnya Ainun sendiri tidak menolak disebut hitam karena ia suka olahraga sofbol, voli, dan berenang. Ainun juga mengaku ia suka makan. ”Jadi, kulit saya memang agak hitam. Badan memang berisi,” tulisnya di buku Testimoni.
Tatkala bertemu lagi dengan Ainun yang sudah lulus jadi dokter, Habibie (yang saat itu sudah bergelar insinyur) mengatakan, ”Kok gula Jawa sudah jadi gula pasir?”
Kemudian, kisah cinta ini pun berlanjut. Rudy bisa kembali ke Tanah Air setelah mendapat hadiah karena desain gerbong kereta api yang dilombakan dalam sayembara Deutsche Bundesbahn menang. Ainun, yang saat itu sudah bekerja di Bagian Anak FKUI, lalu menikah dengan pemuda yang sudah ia kenal sejak masa SMA itu pada 12 Mei 1962. (Inilah jalan cerita lain dari Gita Cinta dari SMA, mungkin lebih impian dari kisah Galih dan Ratna yang terkenal itu.)
Ainun pun mengikuti permintaan Rudy untuk ikut ke Jerman, menemaninya melanjutkan studi untuk mencapai doktor insinyur dari Universitas Aachen. Di rantau, keluarga muda Habibie tinggal dengan menyewa sebuah paviliun tiga kamar dan ketika Ainun hamil putra pertama—kelak lahir dan diberi nama Ilham Akbar Habibie—ia merasa paviliun itu akan terlalu kecil bila anak sudah lahir. Mereka pun lalu pindah di rumah susun di Oberforstbach yang lebih lega.
Namun, Oberforstbach terpencil dan Ainun kesepian, jauh dari keluarga, bahkan teman. Sang suami sendiri umumnya pulang larut malam karena harus bekerja dan menyelesaikan program doktornya. Ainun mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Ia mengerjakan tugasnya sebagai istri dan calon ibu sepenuhnya.
”Saya belajar untuk tidak mengganggu konsentrasinya dengan persoalan-persoalan di rumah,” kenangnya.
”Saya bahagia malam hari berdua di kamar. Dia sibuk di antara kertas-kertas yang berserakan di tempat tidur. Saya menjahit, membaca, atau melakukan pekerjaan rumah lainnya.” Ainun mengaku, di antara dirinya dan suami terbentuk komunikasi tanpa bicara. Semacam telepati, katanya.
Setelah anak kedua—Thareq—lahir, dan Habibie makin sibuk, Ainun pun banyak merangkap tugas sebagai ayah dan sopir bagi kedua anaknya. Tapi, karier Habibie meningkat dan ia ingin sang istri mengikuti. Ainun pun bergaul dengan lingkungan suami: di sana ada banyak ilmu, teknologi, bisnis, yang terus meningkat.
Namun, suatu saat, ketika biaya hidup meningkat, Ainun memberanikan diri bekerja. Saat itulah ia merasa sebagai wanita mandiri dengan gaji lebih dari cukup. (Ia bisa membantu suami membeli tanah dan rumah di Kakerbeck, di luar kota Hamburg). Namun, satu hari Thareq sakit dan hatinya pun patah. Anak orang diurus, anak sendiri kurang terawat, ujarnya. Akhirnya ia berhenti bekerja dan kembali ke falsafah hidup ketika di Oberforstbach, yang mengutamakan kepentingan anak dan keluarga daripada kepuasan profesional dan gaji tinggi.
”Menyesalkah saya mengambil keputusan itu? Menyesalkah saya berketetapan menjadi pencinta, istri, dan ibu? tanyanya tanpa jawab tahun 1986 yang dimuat lagi dalam Testimoni.
Dengan digembleng dalam cinta kepada suami itu pula Ainun juga kembali ke Indonesia tatkala Presiden Soeharto memanggil pulang suaminya tahun 1974. Ainun yang sebelumnya hidup di alam sepi Oberforstbach dan Kakerbeck, lalu jadi Bu Menteri Riset dan Teknologi, yang selain itu juga memimpin sekitar 25 perusahaan negara, lalu menjadi Bu Wakil Presiden, dan bahkan Ibu Negara.
Mobilitas vertikal yang dahsyat itu memang kemudian membawanya sebagai wanita di samping puncak kekuasaan, namun—sungguh—itulah era turbulen, bahkan ada yang bilang Indonesia sedang nose diving, bak pesawat yang menukik turun untuk crash. Krisis ekonomi sedang hebat-hebatnya, politik pascareformasi juga amat tidak stabil.
Habibie mendaku—dan banyak pula yang mengakuinya—ia berhasil mengerem proses stall (pesawat kehilangan daya angkat) Indonesia dan pesawat itu berhasil abfangen (mendapatkan kembali kemampuan terbangnya). Namun, siapa peduli? Ketika menghadiri pengambilan sumpah Ketua MPR terpilih 1 Oktober 1999, ia mendengar suara ”Huu..” dari sejumlah anggota Dewan. Habibie tahan ejekan itu. Juga ketika kemudian tanggal 14 Oktober 1999 pidato pertanggungjawabannya ditolak di MPR.
Namun, boleh jadi bagi Ainun, semua ingar bingar itu sudah ”terlalu banyak”. Problem di katup jantungnya boleh jadi memburuk dengan itu semua. Setelah BJ Habibie tak lagi jadi presiden, yang terdengar adalah Bu Ainun sering berobat di Jerman.
Sampai, satu saat kemudian, mantan Ibu Negara ini bisa lebih sering dan lebih lama tinggal di Indonesia. Antara lain ia dapat menghadiri acara peluncuran buku karya kakaknya, Prof Sahari Besari, di Jakarta sekitar dua tahun silam.
Pekan terakhir Maret silam, ketika Agung Nugroho, salah seorang murid ideologis Habibie di bidang aeronotika, berniat menghadap Sang Guru untuk pendirian (kembali) Institut Aeronotika dan Astronotika (IAAI), Habibie sudah terbang kembali ke Jerman karena kondisi Ainun memburuk. Di RS Ludwig Maximillians Universitat Klinikum Gro’hadem, Munchen, Ainun menjalani serangkaian operasi. Namun, pukul 17.30 waktu setempat (22.30 WIB) Sabtu 22 Mei, Ainun menyerah.
Kini, ”sang mata teduh” yang setelah mencurahkan hidup untuk cinta kepada keluarga kemudian meluaskannya untuk kemajuan pendidikan di Indonesia melalui Yayasan Orbit dan membantu penderita tunanetra melalui Perhimpunan Penyantun Mata Tunanetra (PPMT) itu telah beristirahat dengan tenang di TMP Kalibata.
Kehidupannya yang berakhir baik (khusnul khatimah) itu pun ditandai dengan ribuan warga yang mengantarnya ke makam dan mendoakannya dalam tahlilan yang berlangsung malam-malam ini.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/30/04465156/ainun.sang.mata.yang.mengilhami.itu...

haa iki AKU MATA HARI 23

AKU MATA HARI
Minggu, 30 Mei 2010 | 04:45 WIB

Di luar akal sehat, di saat harusnya Ruud sukacita karena akan punya anak lagi dari istri yang mencintainya, malah tanpa rasa kagok atau canggung, bisa- bisanya dia mengajukan kemauannya—bukan usul, bukan juga minta izin, tapi maklumat— bahwa dia ingin memanfaatkan Nyai Kidhal untuk semata-mata bisa bersetubuh dalam masa berpantang supaya tidak mengganggu kehamilanku.
Bukan alang kepalang marahku sampai-sampai cangkir kopi yang baru aku aduk gula terpaksa aku taruh di atas meja dengan cara melepasnya.
”Apa kamu sudah gila?” kataku.
”Hei! Kamu sendiri yang pernah minta aku supaya jujur. Nah, sekarang aku jujur.”
”Tapi itu gila,” kataku berang.
”Kenapa gila?” katanya naif. ”Aku pikir ini realistis.”
Sesaat mulutku terkatup. Aku tidak bisa bicara. Aku tidak bisa terima. Mana mungkin aku menerima ide anjing begini? Anjingnya pun anjing gila.
Walaupun aku berpikir harus jujur, dan Ruud memang telah bertindak jujur, tidak pura-pura, tidak munafik, tapi sumpah demi ibuku, pikirannya itu samasekali ngawur.
Sertamerta pikiranku terganggu oleh ingatan kata-kata Nyai Kidhal tentang nanas. Betapa nantinya Ruud akan tergila-gila pada kemaluan perempuan yang diibaratkan sebagai ladang yang kering dan bukan sawah yang basah. Lalu, betapa Nyai Kidhal akan memandang aku sebagai perempuan yang kalah dan tidak berguna. Bagaimana kalau ternyata gambaran yang pernah melintas dalam lamunku soal perempuan yang panas itu ternyata harus ditakar dari bawaan kemaluannya yang seret tidak becek?
Ya Tuhan—aku sebut Dia dalam rasa skeptis—kenapa pikiranku jadi simpangsiur begini?
Didesain bagaimana otak Ruud sehingga dia mengatakan pilihannya itu realistis?
Dari adonan apa hati Ruud dibuat sehingga dia mengira yang ngawur itu benar?
Aku harus melawannya. Hitungannya: bahkan sampai titik darah penghabisan.
”Realistis apa itu?” kataku. ”Itu sepenuhnya gila. Sakit jiwa.”
”Tunggu,” katanya.
”Tidak,” kataku. ”Kalau kamu bermaksud begitu, aku memilih melahirkan anakmu tanpa ayahnya.”
Aku memang tidak main-main. Dan aku yakin justru ini batas paling realistis dari nyala emosi yang sedang membakar kewanitaanku. Apakah lelaki tidak pernah insyaf bahwa keistimewaan wanita terletak pada emosinya?
Agaknya dia termakan pada ancamanku. Dia membujuk.
”Dengar, Margaretha,” katanya, lunak, tapi mencurigakan juga. ”Yang aku maksudkan realistis ini, adalah seluruhnya demi kamu juga, supaya konsentrasimu atas kehamilanmu itu tidak terganggu.”
Aku terpaksa mencak-mencak dengan suara yang tidak terkendali volumenya.
”Bagaimana bisa kamu bilang begitu? Pikiran apa yang ada di otakmu itu? Mungkin kamu mengira, kamu tidak mengganggu aku secara fisik, tapi dengar, kamu yang harus dengar, dan dengar baik-baik, bahwa kamu pasti sudah mengganggu aku secara mental. Kamu merusak jiwaku. Nah, dengar, tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang pernah berpikir gila begini.”
Ujug-ujug dia membantah, konyol, seperti anak-anak.
”Ada,” katanya. ”Nabi Ibrahim melakukan itu dengan Hagar, pembantu Sarah, dan Sarah menerima, bahkan yang menyarankan kepada Ibrahim. Baca saja Genesis.”)
Aku kaget, kok dia punya kata-kata seperti itu.
42) kitab Torah yang pertama

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/30/04453369/aku.mata.hari