Selasa, 30 November 2010

haa iki : Doorstoot naar Djokja

Yogya Kembali
Selasa, 30 November 2010 | 02:50 WIB

SUKARDI RINAKIT
Sejujurnya, tiga hari terakhir ini kepala saya agak sakit karena mencoba mencerna pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika rapat kabinet terbatas, Jumat (26/11), tiba-tiba Presiden menyinggung soal keistimewaan Yogyakarta dengan menyatakan bahwa tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi dan nilai demokrasi.
Menyaksikan saya lebih sering bikin kopi dari biasanya, istri bertanya apa yang sedang penulis pikirkan. Sulit untuk tidak menjawab bahwa saya tidak mengerti sikap SBY. Saat ini Yogya dan sekitar Merapi sedang dirundung keprihatinan. Mengapa Presiden justru melontarkan pernyataan seperti itu di tengah kegundahan sekitar 22.000 keluarga yang mungkin harus memulai hidup dari nol dan tidak menentu.
Dalam keadaan galau seperti ini, penulis disergap begitu saja oleh pesan Emak, ”Urip iki ngono yo ngono ning ojo ngono” (dalam hidup ini sebaiknya bijaksana melihat situasi).
Sebagai anak yang tumbuh di Madiun, Jawa Timur, penulis bisa saja tidak peduli terhadap dinamika yang terjadi di Yogyakarta. Tapi keinginan untuk mempunyai sikap adil subyektif sulit dibendung begitu saja. Dorongan semacam itu lahir karena pergumulan beberapa fakta, seperti perkenalan dengan Sultan Hamengku Buwono X, kehangatan para sahabat dan teman di Yogyakarta, keadilan praksis penyelenggaraan pemerintahan secara nasional, keinginan untuk membangun keunikan demokrasi Indonesia, dan kekhawatiran akan pembelahan masyarakat Yogya yang multikultur apabila aspek penetapan diabaikan dalam posisi gubernur dan wakil gubernur.

Sintesis cerdas
Apabila Presiden berkehendak untuk konsisten dengan konstitusi dan nilai-nilai demokrasi seperti dilontarkan Jumat lalu, seharusnya bukan hanya Yogyakarta yang menjadi perhatian, tetapi juga DKI Jakarta, Aceh, dan Papua. Ketiga provinsi tersebut jelas menabrak konstitusi dan nilai demokrasi yang diyakini Presiden. Dari sisi penegakan nilai demokrasi, yang harus bersifat universal, misalnya, DKI Jakarta adalah paling tidak demokratis. Wali kota dipilih oleh gubernur. Sudah begitu, tidak ada DPRD Kota yang bisa melakukan kontrol terhadap wali kota dalam mekanisme checks and balances. Praksis demokrasi macam apa ini?
Lalu soal penegakan konstitusi, ideologi negara kita adalah Pancasila. Tapi justru karena keistimewaannya, Aceh boleh menerapkan hukum Islam. Ini menjadi representasi keistimewaan ideologis. Demikian juga dengan Papua, justru karena kekhususannya, Majelis Rakyat Papua (MRP) boleh duduk di legislatif. Lalu apa masalahnya jika keistimewaan Yogyakarta juga berarti Sultan HB dan Paku Alam secara otomatis menjadi gubernur dan wakil gubernur sebagai representasi keistimewaan eksekutif?
Oleh sebab itu, saya selalu berargumen secara konsisten. Hakikat demokrasi pada dasarnya bukanlah sekadar eksistensi angka (jumlah suara), banyaknya jumlah partai, momen ketika warga negara datang ke tempat pemungutan suara, pemimpin dipilih langsung, akan tetapi penghormatan pada hak-hak individu, cita-citanya, dan kepemimpinan yang luhur. Tanpa itu, seperti dikatakan Merkel (2010), sejatinya demokrasi menjadi defektif.
Dengan demikian, demokrasi seharusnya memberi jalan terang agar rakyat bisa mesem (tersenyum) karena cukup pangan, sandang, papan, biaya pendidikan dan kesehatan terjangkau. Bahkan demokrasi harus membuat jalan itu lebih lebar agar rakyat dapat gemuyu (tertawa). Artinya, selain bisa mesem, rakyat juga bisa piknik dan menabung. Singkatnya, demokrasi bisa membuat rakyat tata tentrem kerta raharja (aman tenteram dan makmur).
Lebih daripada itu, karakter dan nilai- nilai lokal juga bisa menyemarakkan demokrasi dan memperkaya keunikannya. Lihat saja China yang sekarang mengibarkan ideologi ”sosialisme China” sebagai sintesis cerdas antara komunisme dan kapitalisme.
Oleh sebab itu, demokrasi yang kita bangun pun tidak akan kalah indah kalau pilar-pilar keistimewaan juga bersinar. Aceh istimewa dari sisi ideologi, Papua legislatif, dan Yogyakarta eksekutif. Sejauh sistem ini menjamin kesejahteraan rakyat, bukan saja praksis demokrasi ini unik, tetapi juga menunjukkan kecerdasan anak bangsa dalam melakukan sintesis antara kebijakan lokal dan demokrasi barat.

Mirip agresi
Dengan semua argumen itu, secara intelektual dan emosional yang didasarkan pada aspek latar belakang sejarah dan tuntutan masyarakat Yogyakarta, saya lebih bangga jika keistimewaan Yogyakarta dipertahankan sesuai dengan amanat Sri Sultan HB IX dan KGPAA Paku Alam, tanggal 5 September 1945. Penetapan Sultan HB dan Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur adalah ”mas kawin” yang disepakati Republik saat itu. Jika mas kawin itu diminta kembali, maka seperti kerap disebut Sultan HB X, berarti ”ijab kabul” batal. Anda tahu artinya, kan?

Kita semua, atas nama demokrasi yang sebenarnya cuma prosedural, beberapa tahun terakhir ini telah melakukan semacam ”agresi” terhadap Yogya. Kita seperti Belanda dulu, yang sejak 19 Desember 1948 mengusik ketenteraman Yogya. Kini saatnya kita hargai sejarah, kesepakatan para bapak bangsa, dan keinginan rakyat Yogya. Itulah salah satu kepingan terpenting dari hakikat demokrasi substansial. Seperti peristiwa 29 Juni 1949 di mana agresi militer Belanda berhenti, kini saatnya ”Yogya Kembali”.
SUKARDI RINAKIT Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
Sumber :  http://cetak.kompas.com/read/2010/11/30/02501233/yogya.kembali

haa iki Mulai Panas?

Penduduk DIY Akan Melawan
Selasa, 30 November 2010 | 02:29 WIB


Yogyakarta, Kompas - Pendukung keistimewaan Yogyakarta pro-penetapan marah dan bertekad melakukan perlawanan politik secara masif terhadap pemerintah pusat jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersikukuh memaksakan konsep pemilihan gubernur dan wakil gubernur DI Yogyakarta dalam Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY.
Pendukung pro-penetapan siap menggelar sidang rakyat untuk menetapkan sendiri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY.
Mereka yang Senin (29/11) menyatakan dukungan penetapan gubernur dan wakil gubernur adalah Paguyuban Dukuh Se-DIY Semarsembogo di Yogyakarta, Paguyuban Kepala Desa dan Perangkat Desa se-DIY, Gerakan Semesta Rakyat Jogja (Gentaraja), Forum Komunikasi Seniman Tradisi Se-DIY, Parade Nusantara, komunitas Duta Sawala Dewan Musyawarah Kasepuhan Masyarakat Adat Tatar Sunda di Kuningan Jabar, pakar hukum tata negara dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) Hestu Cipto Handoyo, serta dua guru besar emeritus administrasi pemerintahan dan sosiologi dari Universitas Airlangga Surabaya, Soetandyo Wignyosoebroto, dan Hotman Siahaan.
Di tingkat nasional, mayoritas fraksi di DPR pusat pun beberapa waktu lalu telah menyatakan mendukung penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
Komunitas dan organisasi kemasyarakatan, para ilmuwan, serta politisi di DPR menilai pemerintah pusat selama ini—oleh kepentingan politik praktis—cenderung mengabaikan fakta sejarah nasional dan sumbangsih besar Yogyakarta bagi tegaknya Republik Indonesia muda ketika itu sehingga tetap lestari dan kokoh sampai sekarang.
Ketua Duta Sawala Dewan Musyawarah Kasepuhan Masyarakat Adat Tatar Sunda Eka Santosa mengatakan, proses pengangkatan Sultan HB X menjadi Gubernur DIY oleh rakyatnya merupakan kearifan lokal.

Sumbangan Yogyakarta
Sosiolog Hotman Siahaan dari Unair Surabaya menyebut keistimewaan Yogyakarta tidak patut dipertanyakan lagi. Pemerintah pusat juga tidak sepatutnya menyebut Keraton Yogyakarta sebagai bagian dari monarki. ”Mereka yang mempertanyakan keistimewaan Yogyakarta tidak mengerti sejarah dan sumbangsih Yogyakarta,” kata Hotman.
Menurut Hotman, menilai sistem pemerintahan di Provinsi DIY bersifat monarki jelas salah alamat. Kalau toh ada anggapan monarki, istilah itu dalam konteks simbolisasi kultural Jawa. Monarki itu jelas bukan monarki politik.
”Pemerintahan di Yogyakarta menerapkan semua prinsip demokrasi dan administrasinya seperti halnya provinsi lain. Karena itu, tidak tepat jika Presiden tidak segera mengesahkan keistimewaan Yogyakarta.”
Soetandyo mengatakan, mereka yang beranggapan bahwa monarki Yogyakarta bertentangan dengan demokrasi menyakiti rakyat. Pernyataan seperti itu tidak sesuai dengan fakta sejarah. ”Yogyakarta telah menyelamatkan RI di masa-masa sulit tatkala penguasa negeri ini lahir saja belum. Saat baru berdiri, Republik hampir ambruk karena Belanda datang lagi. Sultan menawarkan ibu kota pindah ke Yogyakarta dan Republik terus berlanjut,” paparnya.
Senada dengan Hotman, pakar hukum tata negara UAJY Hestu Cipto Handoyo menilai Amanat 5 September 1945 menguatkan status keistimewaan DIY dari sisi hukum dan historis.
Mayoritas fraksi di DPR pun menyepakati penetapan Sultan HB dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY. Selain diinginkan rakyat, konstitusi juga telah menjamin keistimewaan sebuah daerah sehingga penetapan Sultan dan Paku Alam sebagai kepala daerah bukanlah bentuk monarki politik.
Anggota Komisi II dari F-PDIP Arif Wibowo di Jakarta menyatakan, keistimewaan sebuah daerah sudah dijamin dalam konstitusi, tepatnya dalam Pasal 18 UUD 1945.
Sekretaris F-PAN Teguh Juwarno menambahkan, Pemprov DIY tidak menganut sistem monarki. Kedudukan Gubernur dan Wagub DIY sama persis dengan gubernur-wagub di daerah lain.
Sementara anggota Komisi II dari F-Partai Golkar Idrus Marhan mengatakan, seharusnya DIY tetap tunduk pada UU Pemerintahan Daerah, dan gubernur-wagub ditetapkan melalui pemilihan langsung dalam pilkada. ”Saya setuju dengan keistimewaan Yogya. Tetapi keistimewaannya itu pada budaya, bukan pada tata kelola pemerintahan,” katanya.
Namun, mantan anggota Komisi II DPR dari F-Partai Golkar, Ferry Mursyidan Baldan, mengatakan keistimewaan Yogyakarta tidak boleh dihilangkan.
Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Vernando Wanggai, kepada Kompas kemarin mengemukakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam RUUK Keistimewaan Yogyakarta masih belum menetapkan peranan Sultan sebagai kepala daerah atau gubernur, atau tetap sebagai Sultan.
Prinsip yang dipegang Presiden Yudhoyono, kata Velix, adalah mewujudkan format dan konstruksi kelembagaan daerah yang arif guna menggabungkan warisan tradisi Keraton dengan sistem demokrasi yang telah berkembang selama satu dekade di era reformasi ini.
”Karena itu, tidak ada maksud untuk membenturkan konteks sejarah dan tradisi dengan sistem demokrasi dan hukum,” ujar Velix.
(Tim Kompas)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/11/30/02294566/penduduk.diy.akan.melawan

Senin, 29 November 2010

haa iki Debat Raja dengan "Pemimpin" II

Perspektif Historis Debat Presiden Vs Sultan (2)
Headline
Oleh: Herdi Sahrasad
Nasional - Senin, 29 November 2010 | 20:41 WIB
INILAH.COM, Jakarta - Yogyakarta tidak pernah berhenti memberikan perannya dalam menentukan masa depan bangsa. Dari mulai di masa penjajahan hingga era reformasi. Namun kini demokrasi dan monarki di Yogyakarta dipersoalkan.
Peran Yogyakarta dalam perjuangan kemerdekaan sangatlah krusial. Setelah ibukota RI pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, ternyata membawa serta segala masalah politik nasional yang puncaknya adalah Aksi Militer Belanda ke II.
Dalam aksi militer tersebut, Belanda berhasil menangkap Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Rakyat melanjutkan perlawanan dengan menerapkan strategi gerilya di bawah pimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Perlawanan rakyat di wilayah Yogyakarta dipimpin Letnan Kolonel Soeharto.
Pada 1 Maret 1949, Letnan Kolonel Soeharto memimpin Serangan Umum 1 Maret. Pasukan gerilya tersebut berhasil menguasai Yogyakarta selama 6 jam. Nilai strategis dari penguasaan ini adalah memperlihatkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada di tengah-tengah usaha Belanda untuk berkuasa kembali.
Pada 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kembali ke Yogyakarta, menandai kembalinya ibukota negara ke Yogyakarta. Setelah sekian lama pemerintahan dijalankan dalam keadaan darurat, dengan nama Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), pemerintahan kembali berjalan normal. Normalnya pemerintahan juga ditandai kembalinya Panglima Besar Jenderal Sudirman ke Kota Yogyakarta, 10 Juli 1949, setelah memimpin perang gerilya.
Sewaktu Indonesia menjadi negara federal, sebagai hasil dari konferensi meja bundar, Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merupakan bagian dari negara serikat tersebut.
Namun RIS tidak berlangsung lama, pada 15 Agustus 1950 RIS bubar dan kembali ke bentuk NKRI. Setelah kembali menjadi NKRI, Yogyakarta kembali ke status Daerah Istimewa.
Pemberontakan G30S/PKI di Yogyakarta memakan dua korban, yaitu, Kolonel Katamso yang menjabat sebagai Komandan Korem 72 Pamungkas dan Letnan Kolonel Sugiono, stafnya Katamso. Peristiwa ini memicu antipati terhadap PKI dari berbagai unsur masyarakat, seperti pelajar, mahasiswa, dan pemuda.
Gerakan pelajar, mahasiswa dan pemuda ini kemudian dikenal dengan Angkatan 66. Organisasi-organisasi mahasiswa seperti HMI, PMII, dan PMKRI pada tanggal 17 November 1965 sepakat untuk membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dengan tujuan untuk menyatukan semua potensi Orde Baru dan mengikis sisa-sisa PKI.
Selanjutnya pentas politik Orde Baru dikuasai Golkar, tidak terkecuali di Yogyakarta . Berturut-turut Golkar memenangkan pemilu di Yogyakarta, yaitu, pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997. Inilah legitimasi bagi Presiden Soeharto dan Orde Baru.
Pada era reformasi, Sultan Hamengkubuwono X, yang menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk di antara tokoh reformis. Sultan termasuk di antara empat tokoh yang bertemu di Ciganjur untuk membicarakan masa depan bangsa yang tengah dalam peralihan dari rezim otoriter Orde Baru ke era reformasi yang lebih demokratis.
Ringkas kata, Yogyakarta tidak pernah berhenti memberikan perannya dalam menentukan masa depan bangsa. Kini, Sultan sudah menjelaskan bahwa DIY bukan sistem monarki yang tidak sesuai dengan sistem demokrasi.
Sultan bahkan menegaskan, dirinya tidak mengetahui sistem monarki yang disampaikan dan dimaksud pemerintah pusat, karena Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY itu sama dengan provinsi lain di Indonesia. Seperti dalam organisasi, manajemen, perencanaan, dan pertanggungjawaban pemerintahan.
"Hal itu sesuai dengan konstitusi baik UUD 1945 maupun peraturan pelaksanaannya. Semuanya sama dengan provinsi lain, tidak ada yang berbeda dengan yang lain," katanya.
Lalu, apa maunya SBY dengan kehendak rakyat DIY? Jangan-jangan ini konflik personal SBY dengan Sultan, yang dibawa ke ranah demokrasi prosedural? [mdr/habis)
Sumber : http://nasional.inilah.com/read/detail/1015322/perspektif-historis-debat-presiden-vs-sultan-2

haa iki Debat Raja & "Pemimpin"

Perspektif Historis Debat Presiden Vs Sultan (1)
Headline
presidensby.info
Oleh: Herdi Sahrasad

INILAH.COM, Jakarta - Geger perang wacana antara Presiden SBY dan Sri Sultan HB X yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merasuki ruang publik. Masyarakat dibuat kaget.
Demokrasi konvensional yang ditekankan SBY, secara kritis dikoreksi Sultan dengan argumen demokrasi bukan prosedural semata, melainkan harus bertumpu pada kepentingan rakyat Yogyakarta sebagai daerah istimewa.
Untuk melihat kembali DIY, tentu harus merujuk pada perspektif sejarah lahirnya DIY. Perang wacana Gubernur DIY/Sultan HB X dan Presiden SBY sedemikian rumit, sampai-sampai Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan, jika sekiranya dianggap pemerintah pusat menghambat proses penataan DIY, ia akan mempertimbangkan jabatan gubernur yang dipegangnya saat ini.
"Saya akan mempertimbangkan kembali jabatan Gubernur DIY, itu merupakan pernyataan politik saya. Silahkan bagaimana mau menafsirkannya," kata Sultan yang juga Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat di DIY, Sabtu (27/11).
Sultan juga mengaku tidak mengerti mengapa pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) disebut SBY menggunakan sistem monarki. Padahal, DIY sama seperti dengan provinsi lainnya.
Sejarah Yogyakarta adalah sejarah perjuangan RI. Yogyakarta memperoleh status sebagai daerah istimewa atas dasar sejarah pada saat terbentuknya negara. DIY resmi terbentuk 4 Maret 1950, melalui UU No. 3 tahun 1950. Namun kehadirannya sebagai daerah istimewa sudah ditetapkan dua hari setelah proklamasi kemerdekaan.
Yogyakarta berawal dari terbentuknya Kerajaan Mataram Kuno. Pada tahun 732, Kerajaan Mataram Kuno diperintah Raja Sanjaya. Kemudin kurun waktu 750-850, Dinasti Sailendra menjadi penguasa Mataram. Dia membangun candi Borobudur yang selesai pembangunannya di 825, di era raja Samaratunga.
Kurun waktu 1613-1645, Sultan Agung memerintah di Kerajaan Mataram Islam. Sultan Agung berhasil memperluas wilayah kerajaannya sampai keseluruh Jawa Tengah, sebagian Jawa Timur, Kalimantan dan sebagian Jawa Barat.
VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), yang pada waktu itu telah menguasai Batavia menjadi penghalang perluasan wilayah. Untuk menghilangkan penghalang itu, Sultan Agung melakukan serangan terhadap VOC. Serangan dilakukan pada 1628 dan 1629. Namun mereka gagal mengalahkan VOC.
Peperangan antara Mataram dengan VOC secara keseluruhan dimenangkan VOC. Mereka berhasil mengusahakan ‘perdamaian’, yaitu, dengan menggelar penjanjian Giyanti. Melalui perjanjian ini, Mataram pecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Pada 1755, Mangkubumi mengubah gelar dari Susuhunan menjadi Sultan. Selain itu, dia mengubah namanya menjadi Hamengkubuwono, sekarang dikenal dengan nama Sultan Hamengkubuwono I. Setelah Hamengkubuwono I meninggal dunia, Kasultanan Yogyakarta diperintah Hamengkubuwono II (1792-1810).
Era pemerintahan Hamengkubuwono II ini diwarnai penahanan Belanda atas adik Sultan, yaitu, Pangeran Notokusumo. Pada 1811, Inggris yang waktu itu menguasai Jawa, membebaskannya. Pangeran Notokusumo kemudian bergelar Sri Paku Alam I dan mengembangkan pemerintahan di Pakualaman.
Jadi, Kasultanan Yogyakarta memiliki hubungan yang sangat erat dengan Kadipaten Pakualaman karena pendiri Kadipaten Pakualaman ini merupakan anak dari dari Sultan Hamengkubuwono I (pendiri Kasultanan Yogyakarta).
Menginjak abad dua puluh, sebelum proklamasi kemerdekaan RI, Yogyakarta masih merupakan dua buah kerajaan, yaitu, Kesultanan Yogyakarta dengan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai rajanya, dan Kadipaten Paku Alaman dengan Paku Alam VIII sebagai rajanya.
Ketika berita proklamasi sampai ke Yogyakarta, melalui suatu pertemuan, keduanya sepakat untuk menyambut proklamasi tersebut sebagai suatu cita-cita bersama yang telah tercapai. Keduanya memberikan dukungan penuh pada kepemimpinan presiden Soekarno dan Wakil presiden Mohammad Hatta.
Pada 1947 berdiri kota Yogyakarta yang wilayahnya meliputi Kabupaten Yogyakarta, terdiri dari Kasultanan dan Paku Alaman, ditambah sebagian kecil daerah bekas wilayah Kabupaten Bantul.
Pada saat ibukota RI pindah ke Yogyakarta, selain presiden dan wakil presiden, turut pindah ratusan ribu orang yang terdiri dari para pemimpin bangsa, pegawai dan kaum republikan yang dengan semangat tinggi ingin mempertahankan kemerdekaan. [berbagai sumber/bersambung]

Sumber : http://nasional.inilah.com/read/detail/1014122/perspektif-historis-debat-presiden-vs-sultan-1

Jumat, 26 November 2010

haa iki Kok BW Ga' Kepilih?

Tukang Ojek Pun Kecewa Bambang Tersisih
Jumat, 26 November 2010 | 06:37 WIB
KOMPAS IMAGES/DHONI SETIAWAN

DEPOK, KOMPAS.com — Senja redup cukup menggambarkan kekecewaan wajah Muhammad Rosyid, pendukung Bambang Widjojanto, yang gagal menjadi ketua KPK setelah kalah voting oleh Busyro Muqoddas di Komisi III DPR, Kamis (25/11/2010).

Rosyid sangat ingin Bambang menjadi ketua KPK dan mengharumkan namanya di Kampung Bojong Lio, Depok, Jawa Barat.
Rosyid-lah yang mendorong dan mengantar mengurus surat-surat perlengkapan untuk mendaftarkan diri mengikuti seleksi pimpinan KPK di hari terakhir. Ia memang sangat dekat dengan Bambang.

Ketika Tribunnews.com menyambangi kampung halaman Bambang, saat itu terdengar kumandang adzan Asyar dari Masjid An Nur tak jauh dari rumah Rosyid. Rosyid masih terus mengikuti tayangan televisi yang menyiarkan penghitungan suara seusai voting.

Voting  di Komisi III DPR yang digelar pada Kamis sore itu tampak di berita berbaris, skor menunjukkan 38 lawan 20, dan satu abstain. Ia tak menyangka hasil akhirnya jauh dari yang diharapkan. Mungkin, angka itu juga yang tak diharapkan warga. Jagoan Rosyid, juga jagoan warga lainnya, mendapat skor 20.

"Sempat kaget juga. Kalau dibilang sedih, ya saya sedih. Kampung ini adalah kampung kelahiran saya. Ternyata ada orang hebat seperti ini. Kalau harapan saya, Pak Bambang jadi," ujar Rosyid menceritakan profil jagoannya, Kamis (25/11/2010).

Ia sebetulnya yakin jagoannya bakal menang. Karena, sejak Rabu (24/11/2010) malam, ambang lihai membalikkan serangan pertanyaan pedas dari puluhan senator komisi hukum Senayan.

Rosyid sempat harap-harap cemas jika memang jagoannya menang. Belenggu protokoler kenegaraan tak memungkinkan lagi dia menemani jagoannya. Dampak lebih besar lagi, tentu saja pemasukannya berkurang sebagai tukang ojek.

Awal pertemuan Rosyid terjadi ketika sang jagoan pindah dari tanah Papua tahun 1995, membeli tanah kampung, membangun rumah dan menetap sebagai warga Bojong Lio. Rosyid mengenalnya sebagai aktivis LSM urusan hukum.

Bisa dibilang, Rosyid adalah warga yang cukup dekat dengan Bambang. Menjelang detik-detik terakhir penutupan pendaftaran calon Ketua KPK, Rosyid mungkin orang paling sibuk. Ia mengantar Bambang mengurus surat-surat yang dibutuhkan,
termasuk saat Rosyid mengurus pengantar SKCK untuk Bambang.
Dengan sepeda motor bebeknya, Rosyid membawa Bambang ke kelurahan. Akan tetapi, si empunya gawe memilih di luar kantor, tak ikut mengurus. Akhirnya Rosyid diberi amanat membawa dokumen, dan meminta dibuatkan SKCK.

Si petugas kebingungan, gerangan apa sampai si empunya dokumen meminta SKCK. Sebagai pembawa pesan, Rosyid keluar kantor dan menanyakan untuk apa SKCK tersebut. "Bilang saja untuk melamar," titah Bambang kepada Rosyid.

Masuk kembali menghadap petugas, Rosyid percaya diri, dan mengatakan bahwa SKCK yang dibutuhkannya untuk melamar. "Melamar apa?" tanya petugas. Belum digubris permintaannya, Rosyid keluar lagi menghadap Bambang. Bambang jujur, "Sudah bilang saja KPK."

Setelah tahu Rosyid membawa pesan siapa, si petugas menghubungi Pak Lurah. Akhirnya Bambang dipanggil masuk ke dalam dan berbicara dengan Pak Lurah. Sementara tugas Rosyid selesai, dan menunggu Bambang di luar.

Sejak itu Rosyid baru tahu kalau Bambang, orang yang selalu memakai jasanya sebagai pengojek, mau melamar ketua KPK, pengganti Antasari Azhar. Rosyid tetap memastikan, "Bapak mau ngelamar, Pak?" "Iseng-isenglah," jawab Bambang.

Bagi Rosyid, Bambang bukanlah orang yang suka protokoler. Hal itu ia ketahui juga dari Sari Indra Dewi, istri Bambang. Dari cerita Rosyid, Dewi sempat mengeluh, takut kalau suaminya jadi ketua KPK, kebiasaannya selama ini turut berubah, termasuk naik ojek, memakai jasa kereta api ke kantornya di bilangan Jakarta Selatan.

"Sebenarnya aku enggak mau kehilangan kebiasaan sehari-hari. Dia aktif di masjid ini, kalau dia di rumah shalat di masjid. Dia enggak mau kehilangan kebiasaan suaminya kalau di tempat baru," cerita Rosyid.

Bakal berhadapan dengan urusan protokoler, sontak membuat Rosyid bertanya kepada Bambang.
"Pak kalau sudah jadi ketua KPK, saya enggak dibutuhin lagi dong, Pak?"
Bambang, katanya, kaget dan balik bertanya. "Kenapa begitu?" Jawaban Bambang cukup membuatnya lega. Karena yang pasti, ojeknya masih tetap dinaiki Bambang.

Secara blak-blakan, Rosyid mengakui Bambang memang bukan tipe pengguna jasa ojek langganan. Katanya, tak mau terikat. Namun, sering kali Bambang menggunakan jasanya pada jam-jam khusus, termasuk mengantar anak Bambang ke sekolah.

Rute Rasyid memang panjang. Pernah mengantar Bambang ke Kuningan, Jakarta Selatan. Jika mendadak harus keluar kota lewat bandara, Rosyid tak segan mengantar Bambang pukul 03.00 WIB ke Cibubur, selanjutnya Bambang naik taksi ke Bandara Soekarno-Hatta.

Akan tetapi, jika Rosyid menarik penumpang lain, Bambang memakai jasa pengojek lainnya. Ia tak pilih-pilih, tetapi sering memakai Rosyid ketimbang pengojek lainnya. Selama perjalanan, jarang ada komunikasi. "Ya, mungkin Pak Bambang kalau naik selalu baca doa dulu," katanya.

Lebih sering, Rosyid mengantar ke Stasiun Depok Lama. Tak tentu waktunya, tetapi antara pukul 09.00 WIB dan pukul 10.00 WIB. Tergantung jadwal sidang Mahkamah Konstitusi, tempat Bambang selaku advisor-nya.

Menariknya, ketika ingin menjalani uji kepatutan dan kelayakan ketua KPK di Senayan, Bambang sudah siap dengan setelan jas biru keabu-abuan, meminta diantar pakai ojek.
Sang istri menggerutu, "Masa pakai jas naik kereta." Akhirnya, Dewi mengeluarkan mobil dan membawa Bambang ke DPR. (Yogi Gustaman)
Sumber : tribunnews.com
Relay    : http://nasional.kompas.com/read/2010/11/26/06375993/Tukang.Ojek.Pun.Kecewa.Bambang.Tersisih-4 

Selasa, 23 November 2010

haa iki : Photo Merapi




haa iki Nakalnya Anggota Dewan

Senin, 22/11/2010 18:39 WIB
Pengakuan Anggota BK DPR Soal Kunjungan ke Turki yang Mencla-mencle 
Elvan Dany Sutrisno - detikNews


 
Jakarta - Akhirnya anggota Badan Kehormatan (BK) DPR mengaku mampir ke Turki. Pengakuan meluncur dari Wakil Ketua BK Nudirman Munir. Namun, mengapa alasan anggota BK DPR tidak konsisten, alias mencla-mencle?

Rombongan BK di Turki selama dua hari. Mereka beralasan berada di Turki karena tidak kebagian tiket pesawat, sehingga menginap di hotel di Turki.

Namun, Nudirman menepis dugaan, kalau selama di Turki dia dan 7 anggota lainnya, menikmati suguhan tari perut. "Nggak ada tari perut, itu bohong, itu memberikan upaya jelek kepada badan kehormatan," papar Nudirman, politisi dari Partai Golkar, dalam jumpa pers di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (22/11/2010).

Bukan hanya sekedar menginap, akhirnya rombongan BK DPR ini pun mengaku menyempatkan diri berjalan-jalan ke Istana Raja Turki. "Bahwa kami sempat mengunjungi istana raja Turki yang dikenal Istana Imperium, iya," ujar Anggota BK DPR, Chaeruman Harahap, politisi yang satu partai dengan Nudirman.

Kalau ditilik, rasanya pengakuan tidak kebagian tiket juga menjadi tanda tanya. Rombongan berangkat dengan menggunakan travel yang pastinya sudah terjadwal, tidak mungkin sampai tidak kebagian tiket.

Nah, terkait pengakuan soal mampir ke Turki ini, sebenarnya bertolak belakang dengan apa yang disampaikan Chaeruman Harahap saat dikonfirmasi beberapa waktu lalu. Sebelumnya, saat dikonfirmasi dia mengaku pesawat yang ditumpanginya hanya transit saja di Turki.

"Sudahlah, pokoknya itu siapa yang bikin rumor? Karena kita pakai pesawat Turki itu transit. Nanti kita juga berhenti di Singapura, nanti dibilang rumor-rumor apa lagi. Padahal cuma transit saja," kata Chaeruman Harahap saat dihubungi, Rabu (27/10/2010).

Benar atau tidaknya soal nonton tari perut ini, pastinya sejumlah LSM telah mengadukan mereka atas pelesiran ke Turki. 8 Anggota BK DPR yang dilaporkan adalah Nudirman Munir (FPG), Salim Mengga (FPD), Darizal Basir (FPD), Chaeruman Harahap (Golkar), Anshori Siregar (FPKS), Abdul Rozaq Rais (FPAN), Usman Jafar (FPPP), Ali Maschan Moesa (FPKB).

"Agenda ke Yunani dijadwalkan tanggal 23 sampai 29 Oktober 2010. Namun pada prakteknya hanya dilakukan sampai tanggal 27 Oktober 2010. Selanjutnya berada di Turki dari tanggal 27-29 Oktober 2010," kata Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, mewakili 10 LSM yang hadir menyerahkan bukti penyelewengan anggota BK DPR ke Yunani.

Hal ini disampaikan Ray saat menyampaikan laporan 10 LSM ke BK DPR terkait kunjungan anggota BK ke Yunani, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (18/11).

(ndr/asy)
Sumber : http://www.detiknews.com/read/2010/11/22/183914/1499793/10/pengakuan-anggota-bk-dpr-soal-kunjungan-ke-turki-yang-mencla-mencle?nd992203605

haa iki Pengalaman Bertemu Wakil Rakyat di LN

Selasa, 23/11/2010 08:59 WIB
Bertemu Wakil Rakyat Sedang Kunker di Luar Negeri
Dr Muhammad Akhyar Adnan - suaraPembaca




Jakarta - Ketika negara ditimpa musibah lagi sementara ada sejumlah wakil rakyat nekad pergi studi banding atau kunjunan kerja (kunker) ke luar negeri maka tak ayal lagi ini tentu memancing kritik dan diskusi. Penulis jadi ingat dengan sekitar tiga atau empat kali pengalaman ketika berjumpa dengan wakil rakyat di luar negeri yang katanya sedang melakukan comparative study atau pun kunker. Dengan tidak bermaksud untuk "menggebyah-uyah" (menyamaratakan) pengalaman ini rasanya layak sebagai itibar atau perbandingan. Sebagai gambaran riil apa yang sempat penulis lihat dan temui sendiri.

Pengalaman pertama terjadi sudah agak lama. Ketika penulis masih studi di Australia. Tepatnya sekitar 1993-an. Hari itu Ahad pagi. Penulis memang sedang berlibur dengan keluarga mengunjungi Gedung Parlemen yang memang lazim dikunjungi turis bila datang ke Canberra.

Pertemuan itu terjadi tidak sengaja di sebuah toko cendera mata. Tidak jauh dari Gedung Perlemen itu. Rombongan yang datang itu adalah anggota DPRD DIY. Sebagai orang Yogya tentu terjadi tegur sapa antara penulis dengan beberapa orang anggota delegasi.

Dua hal 'lucu' yang penulis rasakan atau lihat adalah adalah pertama, mengapa mereka mengunjungi gedung itu di hari libur. Dapat diduga bahwa sebenarnya mereka tidak sedang studi banding tetapi hanya berlibur dan berkeliling.

Kedua, ketika di toko cenderamata itu terdengar salah seorang dari mereka meminta tolong (kalau tidak salah kepada tour guide yang juga orang Indonesia) agar sang tour guide bersedia membantu 'menawar' barang yang akan dibeli oleh sang wakil rakyat. Ini jelas pertanda bahwa yang bersangkutan tidak bisa berbahasa Inggris! Sehingga, tidak tahu, apa yang akan dipelajarinya di negeri itu, ketika untuk berkomunikasi secara sederhanapun dia tidak mampu.

Pengalaman kedua adalah ketika penulis bertemu dengan rombongan anggota DPRD Kutai Kartenegara di Amsterdam Belanda tahun 2005. Persisnya penulis sedang berada di halaman Museum Patung Lilin Madame Tussauds. Ada rombongan sedang berfoto-ria dan berbicara dalam Bahasa Indonesia.

Penulis pun langsung mencoba berkomunikasi. Sekali lagi mereka mengaku sedang melakukan studi banding. Tidak tanggung-tanggung. Mereka mengunjungi 9 negara. Kalau tidak salah memakan masa sekitar dua bulan! Ketika itu bahkan bulan Ramadhan dan hari kerja. Bukan hari libur!

Pengalaman ketiga adalah ketika penulis mendapat undangan dari KBRI Kuala Lumpur. Untuk menghadiri pertemuan dengan Pansus. Kalau tidak salah sedang menginvestigasi kasus ekses pemilu 2009. Khususnya berkaitan dengan kacaunya Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Ketika itu rombongan DPR beranggotakan 12 orang mewakili beberapa partai ditambah dengan 3 orang staff. Karena sedang bulan puasa pertemuan berlangsung sore hari sekitar 1-2 jam sebelum buka puasa.

Apa yang menggelikan dari pertemuan ini adalah pertama, jumlah anggota yang datang yang cukup besar, 12 orang. Hemat penulis, untuk hal seperti itu cukup diwakili maksimal 2 orang saja, dan tidak perlu membawa staff. Kedua, reaksi mereka terhadap komentar masyarakat.

Dari awal mereka katakan bahwa tujuan kedatangannya untuk adalah mencari data dan fakta serta kemungkinan usulan perbaikan atas masalah yang sama. Agar tidak berulang di kemudian hari. Ketika audien mulai memberikan pandangan para anggota DPR tersebut 'berebut' meminta jatah bicara untuk memberikan tanggapan sehingga waktu yang sudah demikian singkat habis tidak karuan di antara audien ada yang terpaksa melakukan interupsi mempertanyakan: "apakah setiap masukan kami harus ditanggapi oleh seluruh anggota yang hadir"

Singkat cerita --menurut hemat penulis, kunjungan dan pertemuan itu tidak membawa hasil apa pun. Sementara biaya yang harus dikeluarkan tentunya luar biasa mahal. Terbukti memang  tidak terdengar apa pun sampai sekarang apa yang mereka hasilkan?

Pengalaman keempat memang penulis tidak bertemu langsung. Kejadiannya di New York pada bulan April 2009 yang lalu. Ketika itu ada rencana salah seorang kolega penulis yang bekerja di Konjen New York berjanji akan menjemput penulis di Penn [Central] Station New York. Tetapi, tiba-tiba saja kolega tersebut mengirim SMS minta maaf karena mendapat tugas 'mendadak' melayani kunjungan (kalau tidak salah) 18 orang anggota DPR pusat.

Dia akhirnya mengirim bawahannya untuk bertemu penulis. Nah, ketika penulis tanyakan kepada kawan pengganti yang akhirnya menemui penulis tentang apa sasaran kunjungan para wakil rakyat itu, mengapa terkesan mendadak, dan sejumlah pertanyaan lain, sang kawan, memang tidak bisa menjelaskan sama sekali. Yang ada hanyalah senyum penuh arti?

Sesungguhnya ada sejumlah pengalaman lain yang berkaitan dengan kunjungan kerja ke luar negeri yang penulis lihat sendiri. Termasuk oleh kalangan kampus. Namun, sulit rasanya membuang kesan bahwa studi komparatif, kunker, atau apa pun namanya, tidak lain dan tidak bukan adalah proyek yang diada-adakan untuk sekedar melegalkan kesempatan mereka berlibur secara gratis ke luar negeri.

Konon --menurut cerita seorang kolega penulis di sebuah kementrian, uang saku untuk kunker ke luar negeri untuk seorang PNS adalah adalah Rp 2,500,000 per hari. Ini tentu saja di luar biaya transpor, akomodasi, dan lain-lain biaya lainnya. Dapat diperkirakan tentunya berapa banyak dana habis untuk sebuah kunjungan ke luar negeri.

Kesan buruk di atas diperkuat oleh beberapa indikator berikut:
(a) tidak terlihat tujuan yang jelas, apalagi terukur untuk kegiatan itu;
(b) jumlah peserta yang sama sekali tidak seimbbang dengan tujuan yang akan dicapai. Dengan tujuan yang sangat sederhana sebuah rombongan bisa mencapai belasan, atau malah puluhan orang, kadang-kadang;
(c) sangat rendahnya kemampuan komunikasi, khususnya bahasa Inggris, membuat kita selalu bertanya: apa sebenarnya yang mau dicapai oleh kegiatan itu?
(d) sangat jarang untuk tidak mengatakan tidak pernah, terlihat hasil nyata, yang kemudian dapat diketahui oleh publik secara transparan.

Atas dasar ini rasanya memang sudah saatnya kegiatan semacam ini dilarang sama sekali. Atau setidaknya lebih terkendali dan terukur sehingga dapat dibandingkan cost dan benefitnya. Bila tidak inilah salah bentuk penyalahgunaan wewenang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Sementara rakyat masih sangat miskin, musibah datang silih berganti, namun ada pemubaziran dana luar biasa, oleh mereka yang sedang berkuasa. Aneh, tetapi nyata. Wallahu alam bisshowab.

Dr Muhammad Akhyar Adnan
Dosen Fakultas Ekonomi,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
E-mail: ibnu8adnan@yahoo.com

(msh/msh)
Sumber : http://suarapembaca.detik.com/read/2010/11/23/085950/1499941/471/bertemu-wakil-rakyat-sedang-kunker-di-luar-negeri?882205471 

Senin, 22 November 2010

haa iki : Mungkinkah Terjadi di Sini

Senin, 22/11/2010 09:58 WIB
Menteri Kehakiman Jepang mundur karena komentarnya sendiri 
BBCIndonesia.com - detikNews



Minoru Yanagida
Yanagida menyampaikan komentar lucu di wilayah pemilihannya.

Menteri Kehakiman Jepang menyatakan mundur setelah menyebabkan kemarahan karena komentarnya tentang betapa mudah pekerjaannya.

Minoru Yanagida mengatakan dua hal yang harus diingat di parlemen adalah: "Saya tidak akan berkomentar pada kasus individu" dan "Saya bertindak berdasarkan undang-undang dan bukti."

Kelompok oposisi konservatif mengatakan Yanagida berhak dipecat karena komentar tersebut.

Para pengamat mengatakan munculnya masalah ini akan makin mempersulit pengesahan anggaran utama Jepang.

Kurangnya dukungan atas pemerintah kiri tengah akan membuat semakin rumit upaya untuk mengesahkan paket stimulus yang mendesak senilai US$61 miliar, yang diharapkan pemerintah akan bisa merangsang kembali roda perekonomian.

Perdana Menteri Naoto Kan sudah memberi peringatan keras atas Yanagida karena komentar tersebut, yang disampaikan awal bulan November dalam pertemuan di wilayah pemilihannya, Hiroshima.

Wartawan BBC di Tokyo, Roland Buerk, mengatakan pengunduran diri terjadi pada saat yang buruk.

Perdana Menteri Naoto Kan baru berkuasa sejak pertengahan tahun 2010 namun jajak pendapat menunjukan dukungan menurun akibat penanganan atas sengketa wilayah dengan Cina maupun Rusia.

Selain itu dukungan berkembang pula ketidakpuasan dalam upaya pemerintah untuk memulihkan perekonomian.

(bbc/bbc)

haa iki : Ketua Tim ke Rusia Harus Klarifikasi

DPR Telantarkan TKW
Ketua Tim ke Rusia Harus Klarifikasi
Laporan wartawan KOMPAS.com Hindra Liu
Senin, 22 November 2010 | 09:47 WIB
AGUS SAFARI
Rombongan tenaga kerja indonesia tengah menunggu keberangkatan pesawat menuju Jakarta di Bandara Dubai, Sabtu (6/11/2010).

JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Jenderal PDIP Tjahjo Kumolo, yang juga Ketua Fraksi PDIP di Parlemen, meminta ketua tim studi banding rumah susun ke Rusia, harus melakukan klarifikasi terkait pemberitaan penelantaraan seratusan TKW oleh anggota DPR di Dubai.
Pemberitaan soal penelantaran dinilai sudah meluas dan membutuhkan klarifikasi. "Prinsipnya, anggota DPR, di mana pun, jika bertemu dengan anggota masyarakat yang bermasalah, harus dibantu habis-habisan. Setidaknya, anggota DPR harus membantu mengkomunikasikannya dengan KBRI atau KJRI setempat," ujar Tjahjo kepada Kompas.com, Senin (22/11/2010) di DPR RI.
Terkait dua anggota FPDIP yang diberitakan turut serta dalam tim studi banding ke Rusia, Tjahjo membantahnya. Dikatakan Tjahjo, dirinya telah memanggil dua orang, Irvansyah (Fraksi PDI-P) dan Sadarestuwati (Fraksi PDI-P). "Ini clear. Anggota kami ikut studi banding yang ke Italia," kata Tjahjo.
Seperti diberitakan, rombongan anggota DPR dari Moskow, Rusia, transit bersama rombongan tenaga kerja wanita Indonesia di Dubai. Penerbangan mereka ke Jakarta ditunda karena lalu lintas udara tidak aman akibat debu letusan Gunung Merapi. Diberitakan, akibat penundaan itu para TKW bingung karena tidak tahu harus berbuat apa. Mereka kemudian dibantu oleh sejumlah "relawan" Indonesia. Rombongan anggota DPR dilaporkan bersikap acuh tak acuh terhadap seratusan lebih TKW yang kebingungan.
Menurut catatan Kompas.com, anggota DPR yang mengunjungi Moskow adalah panja RUU Rumah Susun. Hingga hari ini Kompas.com, belum berhasil memperoleh konfirmasi dari anggota Panja yang diduga pergi ke Rusia. Informasi mengenai nama-nama yang pergi ke Rusia tertutup rapat. Sejumlah nomor ponsel anggota dewan yang dihubungi pun mati.
Editor: Heru Margianto
Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2010/11/22/0947129/Ketua.Tim.ke.Rusia.Harus.Klarifikasi-3

Jumat, 19 November 2010

haa iki Tingkah Anggota Dewan I

Kisah Rombongan DPR Bertemu TKW (1)
Rombongan DPR "Telantarkan" TKW di Dubai
Jumat, 19 November 2010 | 08:19 WIB
AGUS SAFARI
Rombongan tenaga kerja indonesia tengah menunggu keberangkatan pesawat menuju Jakarta di Bandara Dubai, Sabtu (6/11/2010).

KOMPAS.com — Cerita pilu Sumiati, tenaga kerja wanita yang disiksa majikannya di Arab Saudi, menghias halaman pemberitaan media beberapa hari ini. Sikap abai ternyata bukan hanya milik para majikan yang kejam di negeri orang. Para wakil rakyat, yang menjadi anggota parlemen karena dipilih oleh rakyat, pun menunjukkan sikap abai saat rakyat yang memilihnya tengah kelimpungan di negeri seberang.

Rombongan Anggota DPR yang tengah melakukan kunjungan kerja ke Moskwa, Rusia, dilaporkan ”menelantarkan” seratusan lebih tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia yang tengah kebingungan di Dubai. Di antara para TKW itu ada yang kedua tangannya melepuh karena disiram air keras oleh majikannya di Arab Saudi. Sementara, satu orang TKW lainnya mengalami pendarahan di perut.

”Mereka egois sekali. Tidak ada satu pun yang peduli dengan nasib rakyat yang mereka wakili yang tengah kebingungan. Mereka menelantarkan para TKW di Dubai,” tutur Adiati Kristiarini, seorang warga Indonesia yang mendampingi para TKW, dalam perbincangan dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.

Ia menceritakan, peristiwa itu terjadi pada Sabtu (6/11/2010). Ia bersama suaminya transit di Bandara Dubai dalam penerbangan New York-Jakarta. Di Gate 206 Bandara Dubai, mereka menunggu keberangkatan Pesawat Emirates dengan nomor penerbangan EK 358 tujuan Jakarta yang dijadwalkan berangkat pukul 10.25 waktu setempat.

Di situ, menunggu pula rombongan TKW yang jumlahnya ia perkirakan sekitar 150 orang. Adiati mengetahui kemudian, ternyata para TKW itu tidak saling kenal dan tidak pergi dalam satu koordinasi kelompok rombongan. Secara kebetulan saja mereka bertemu di bandara. Ada juga rombongan anggota DPR yang hendak pulang seusai melakukan studi banding ke Rusia.

Kebingungan 
Sekitar 30 menit menunggu, tutur Adiati, ada pengumuman bahwa penerbangan ke Jakarta dibatalkan karena lalu lintas udara Indonesia tidak aman akibat letusan Gunung Merapi. Oleh Emirates, para penumpang diarahkan menuju hotel. Dari sinilah kepanikan dan kericuhan dimulai. Para TKW itu bingung. Mereka tidak tahu harus berbuat apa, sementara petugas Emirates dirasa kurang informatif.

Menurut Adiati, sebelum tiba di Hotel yang terletak di luar bandara, mereka harus melewati sejumlah prosedur. Inilah yang membingungkan para TKW sebab banyak di antara mereka tidak bisa berbahasa Inggris. ”Para TKW itu adalah orang-orang sederhana dan lugu. Mereka kebingungan. Saya dan beberapa orang Indonesia lain lalu spontan saja berinisiatif membantu mereka,” ujar Adiati.

Inisiatif membantu para TKW yang jumlahnya seratusan ini ternyata dilakukan sporadis oleh sejumlah orang Indonesia yang ada di situ. Agus Safari, seorang peneliti yang juga transit di Dubai dari Rusia, menceritakan dalam e-mail-nya kepada Kompas.com, prosedur dari bandara menuju hotel memang terasa berbelit.
Saya heran, kok mereka tidak tergerak ya mengatasi rakyat yang memilih mereka sedang panik dan bingung.
-- Riny Konig
Pertama, para penumpang harus antre untuk mendapatkan visa sponsorship. Setelah itu, mereka harus menjalani cek imigrasi. Seusai urusan imigrasi, mereka harus datang ke satu loket untuk mencap kartu visa. Kemudian, harus antre lagi untuk scan mata di satu sudut yang jaraknya cukup jauh dari counter cap.

Sejumlah orang Indonesia, tutur Agus, secara spontan pontang-panting mencoba mengarahkan para TKW yang kebingungan. Suasananya sangat riuh. Di tengah keriuhan, menurut Agus, rombongan anggota Dewan terlihat duduk berkelompok di sudut ruang tunggu, sementara kartu visa mereka dikerjakan oleh agen tur mereka. Agus mengenali mereka sebagai anggota DPR sebab ia satu pesawat dalam penerbangan dari Rusia. Temannya di Kedutaan Besar Rusia memberi tahu Agus soal rombongan ini.

Tidak tergerak 

”Saya heran, kok mereka tidak tergerak ya mengatasi rakyat yang memilih mereka sedang panik dan bingung. Mereka hanya tertawa-tawa dan ngobrol, dan saya sempat mendengar celetukan mereka saat saya sedang mengarahkan para TKW ini, ’ya, kita bermalam di Dubai ini sekalian saja untuk menghabiskan sisa rubel (mata uang Rusia)’. Masya Allah...,” cerita Agus.

Di antara orang Indonesia yang spontan membantu para TKW ada juga Riny Konig. Ia juga transit di Dubai dalam penerbangan dari Swiss. Menurut Riny, karena kesulitan komunikasi, para TKW ini banyak yang dibentak-bentak oleh petugas bandara.

”Di sebelah saya ada orang-orang Indonesia dengan paspor biru. Mereka diam saja melihat para TKW dibentak-bentak. Kok, ya enggak ada hati orang-orang ini,” tutur Riny saat berbincang dengan Kompas.com, beberapa waktu lalu, dengan nada jengkel.

Adiati, Agus, dan Riny mulanya tidak saling kenal. Mereka dipertemukan oleh spontanitas menolong para TKW yang kebingungan. Ada sejumlah orang Indonesia lainnya yang juga spontan membantu secara sporadis. ”Hanya faktor rasa kebangsaan dan kemanusiaanlah yang membuat kami berbuat,” kata Agus.


(Bersambung)

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2010/11/19/08193090/Rombongan.DPR.Telantarkan.TKW.di.Dubai-5

haa iki Tingkah Anggota Dewan II

Saya dari Moskow, Tugas Negara
Jumat, 19 November 2010 | 08:34 WIB

AGUS SAFARI
Foto sejumlah TKW dan anggota DPR di Dubai. Kiri, seorang anggota DPR tengah berjalan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana di Hotel Holiday Inn, Dubai, Minggu (7/11/2010). Tengah, perempuan yang mengenakan jaket kuning dan berjilbab adalah tenaga kerja wanita Indonesia yang kedua tangannya melepuh disiram air keras. Matanya pun memerah karena di colok majikannya. Ia baru bekerja satu minggu di Madinah dan dipulangkan. Kanan, rombongan anggota DPR tampak berkerumun di pinggir jendela di Hotel Holiday Inn, Dubai, Minggu (7/11/2010).


KOMPAS.com — Seusai keruwetan berurusan dengan administrasi Bandara Dubai (baca: Rombongan DPR Telantarkan” TKW di Dubai), rombongan penumpang pesawat Emirates dengan nomor penerbangan EK 358 yang batal terbang menuju Jakarta akhirnya tiba di Hotel Holiday Inn, tidak jauh dari bandara, Sabtu (6/11/2010).

Di sini, para TKW kembali gaduh. Lagi-lagi mereka bingung dengan urusan pembagian kamar. Riny Konig, Adiati Kristiarini, Agus Safari, dan sejumlah orang Indonesia kembali turun tangan mengatur mereka yang kebingungan.

Dalam perbincangan dengan Kompas.com, beberapa waktu lalu, Riny Konig menuturkan, saat mereka tengah sibuk mengoordinasi seratusan TKW, tiba-tiba seorang perempuan menegurnya.

”Bu, tolong, dong, dibilangin rombongannya jangan ribut, malu-maluin negara aja, kan enggak enak ribut begitu,” tegur perempuan itu kepada Riny.
”Rombongan mana, Bu?” tanya Rini.
”Itu, rombongan TKW,” kata perempuan itu.
Lha, saya bukan TKW, Bu. Saya ini ingin pulang ke Indonesia, berlibur, kebetulan bertemu dengan mereka. Mereka ribut karena bingung Bu, banyak yang bertahun-tahun enggak pulang, kasihan. Ibu mau liburan juga?” tanya Rinny.
”O enggak, saya baru pulang dari Moskow, tugas negara,” kata perempuan itu yang menurut Rinny hanya tetap berdiri tanpa ikut membantu para TKW yang gaduh karena bingung. Belakangan, Riny tahu perempuan itu adalah anggota DPR yang habis melakukan studi banding di Moskwa, Rusia.

Mereka menginap di hotel itu satu malam. Selama satu malam itu pula Riny, Atik, Agus, dan kawan-kawan Indonesia lainnya mendata satu-satu kamar para TKW yang jumlahnya sekitar 150 orang. ”Hampir setiap jam kami berhubungan dengan informasi hotel, apa itu untuk membantu mereka urusan kamar, urusan telepon, urusan makan, shuttle bus ke Dubai City untuk menukar uang dan belanja minuman dan snack karena di hotel mahal,” terang Riny.

Tangan melepuh dan pendarahan 
Sementara, Adiati menceritakan, di antara para TKW itu ada seorang TKW yang kedua tangannya melepuh disiram air keras oleh majikannya di Arab Saudi. Matanya pun merah karena dicolok oleh majikannya.

”Saya lupa namanya. Dia dari Karawang. Baru satu minggu kerja sudah mendapat kekerasan dan dipulangkan. Ia tidak punya bekal uang sama sekali. Cuma bawa tas kecil berisi dua potong pakaian. Ia diam terus, tidak banyak bicara. Kasihan sekali,” tutur Adiati.

Selain itu, ada pula seorang TKW yang perutnya mengalami pendarahan. Namanya Ipah. Ia sebenarnya sudah memiliki janji dengan seorang dokter di Jakarta untuk operasi pengambilan kista di perutnya pada hari Senin (8/11/2010). Adiati yang mendampingi Ipah selama bermalam di hotel menceritakan, Ipah  terus berbaring selama menunggu kepastian terbang.

”Tidak ada satu pun anggota Dewan yang terhormat itu menaruh perhatian pada nasib dua TKW ini. Mereka pasti tidak tahu karena memang tidak pernah mau tahu,” ucap Adiati kesal.
Di mata orang DPR, TKW itu enggak ada harganya. Ya, memang beginilah nasib kami, selalu dianggap menyusahkan di negeri sendiri.
-- Diah, TKW di Madinah
Bapak, kan anggota DPR 
Esoknya, Minggu (7/11/2010), ”relawan” Indonesia dan para TKW melakukan ”konsolidasi” di lobi hotel. ”Kami mendata kembali satu per satu teman-teman TKW. Kami mengingatkan agar masing-masing jangan bergerak sendiri dan memisahkan diri supaya mudah melakukan koordinasi jika ada pengumuman kapan pesawat ke Jakarta akan terbang," ungkap Riny.

Ia menuturkan, saat para ”relawan” sibuk mendata para TKW, seorang lelaki tampak berdiri menonton. ”Spontan saya bilang ke dia, Pak, mestinya Bapak yang ngurusin para pahlawan devisa ini, kan Bapak anggota DPR. Ini di depan mata Bapak jelas-jelas ada rakyat Bapak yang kesusahan, kasihan, kan,” kata Riny.

”Maaf, Bu. Saya bukan anggota DPR, tetapi terima kasih banyak ya, Ibu dan teman-teman sudah menolong mereka,” kata lelaki itu seperti ditirukan Riny. Ia mengetahui kemudian, lelaki itu adalah petugas agen travel yang mengurus perjalanan rombongan anggota DPR.

Menurut Rini, lelaki itu kemudian membalikkan punggung, bergabung dengan rombongan anggota DPR yang duduk tidak jauh dari situ. Beberapa orang dari mereka, kata Rini, sempat menoleh saat ia berbicara dengan lelaki dari agen travel  tersebut karena berbicara dengan suara lantang. ”Mereka, ya enggak ikut membantu tuh, habis itu malah keluar menuju mobil sewaan,” ungkap Rini.

"Ngapain" cari duit ke luar negeri 
Sementara itu, salah seorang TKW, Diah, punya pengalaman yang menurutnya tidak mengenakkan saat ia mencoba menyapa satu-satunya perempuan anggota Dewan dalam rombongan tersebut. Ia bertanya kepada perempuan itu apakah sudah ada informasi kapan pesawat akan terbang menuju Jakarta.

”Eh, bukannya menjawab, ibu itu malah balik bertanya ke saya dengan ketus, ngapain cari duit ke luar negeri, di dalam aja banyak kok. Saya kaget, kok ditanya baik-baik malah ngomong ketus banget. Saya bilang aja kalo saya emang orang miskin, cari duit ke mana aja yang penting halal,” terang Diah saat dihubungi Kompas.com, Kamis (18/11/2010).

Diah pun langsung melengos pergi. ”Di mata orang DPR, TKW itu enggak ada harganya. Ya, memang beginilah nasib kami, selalu dianggap menyusahkan di negeri sendiri,” katanya.

Diah sudah empat tahun bekerja untuk sebuah keluarga di Madinah, Arab Saudi. Ia bersyukur mendapat majikan yang baik. ”Saya cuti pulang kampung selama dua bulan untuk nengok anak. Majikan saya sayang sama saya. Dia malah nangis nganter saya pulang, minta saya cepet balik lagi ke Madinah,” katanya.

Mereka pulang duluan 
Selanjutnya, Minggu sore, seperti diceritakan Agus Safari, mereka mendapat kabar bahwa pesawat akan berangkat pada pukul 01.00 waktu Dubai (Senin, 8/11/2010). Kembali terjadi kegaduhan.

”Tidak mudah mengatur seratusan orang. Para TKW itu tersebar. Pelan-pelan kami mengumpulkan mereka di lobi. Tidak semua dapat terangkut oleh bus yang disediakan. Jadi kami berangkat secara bertahap menuju bandara,” ujar Agus.

Saat itu, Agus merasa heran sebab hingga di bandara ia tidak melihat seorang pun rombongan DPR. ”Rupanya mereka sudah pulang duluan naik penerbangan pukul 20.00. Luar biasa tuan-tuan yang terhormat itu, mereka ngeloyor pergi duluan tanpa sedikit pun mengindahkan rakyatnya yang kelabakan ini,” kata dia.

Studi banding rumah susun 
Menurut catatan Kompas.com, anggota DPR yang pergi ke Rusia adalah rombongan Komisi V yang tengah melakukan studi banding terkait RUU Rumah Susun. Selain ke Rusia, Komisi V juga melakukan studi banding yang sama ke Italia.

Informasi yang dihimpun Kompas.com, anggota rombongan studi banding rumah susun adalah Yasti Soepredjo Mokoagow dari Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN), Muhidin Mohamad Said (Fraksi Partai Golkar), Roestanto Wahid (Fraksi Partai Demokrat), Usmawarnie Peter (Fraksi Partai Demokrat), Sutarip Tulis Widodo (Fraksi Partai Demokrat), Zulkifli Anwar (Fraksi Partai Demokrat), Riswan Tony (Fraksi Partai Golkar), Eko Sarjono Putro (Fraksi Partai Golkar), Roem Kono (Fraksi Partai Golkar), Irvansyah (Fraksi PDI-P), Sadarestuwati (Fraksi PDI-P), Chairul Anwar (Fraksi PKS), Ahmad Bakri (Fraksi PAN), Epyardi Asda (Fraksi PPP), Imam Nahrawi (Fraksi PKB), dan Gunadi Ibrahim (Fraksi Partai Gerindra).
(Selesai)

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2010/11/19/08345518/Saya.dari.Moskow..Tugas.Negara-7

Senin, 15 November 2010

haa iki Kolom PolEk

KOLOM POLTIK EKONOMI
"Ngobama"
Sabtu, 13 November 2010 | 02:45 WIB
Budiarto Shambazy


Saya yakin andai ada sesi tanya jawab dalam pidato di Balairung Kampus UI, Depok, Rabu (10/11), banyak hadirin yang curhat kepada Presiden AS Barack Obama. Soalnya dia mendadak jadi pemimpin idola yang kita rindukan walau cuma mampir di Jakarta 19 jam saja.
Curhat pertama begini. ”Bapak dua kali membatalkan lawatan ke sini karena bencana kebocoran minyak Teluk Meksiko dan memperjuangkan RUU jaminan kesehatan. Kenapa para pemimpin/politisi kami malah ke luar negeri saat ada bencana di Wasior, Mentawai, dan Merapi?”
Curhat nomor dua lain lagi. ”Bapak warga minoritas, tapi bisa jadi presiden. Kok bisa? Sukar dibayangkan itu terjadi di sini karena hampir semua etnis dan agama minoritas dimusuhi atau diserbu. Pemerintah berpangku tangan saja!”
Sekarang curhat nomor tiga. ”Pak, apa benar mau membantu pemberantasan korupsi? Kalau benar, tolong cepat-cepat kirim agen-agen FBI menyidik korupsi Century. Kalau bisa, kerja sama kemitraan strategis mencakup pula bantuan ahli-ahli AS mengurai banjir dan macet Jakarta!”
Pidato Obama bukan saja mengundang curhat, tetapi juga tangis. Saya dua kali diundang menyaksikan pidatonya ketika merayakan kemenangan Pilpres 2008 di Chicago, November 2008, dan dilantik sebagai presiden di Washington DC, Januari 2009.
Ratusan warga mewek, mulai dari yang menangis meraung-raung sampai yang hanya menitikkan air mata. Mereka yang menangis tak pandang bulu: tua, muda, kaya, miskin, hitam, putih, sendiri-sendiri, atau beramai-ramai. Saya bersumpah ikut sedikit terharu!
Jika berpidato, Obama memang enggak pernah curhat. Tetapi, ia reach out mendengarkan curhat rakyat. Akibatnya, rakyat merasa punya teman berbagi dan berharap hidupnya bisa lebih baik. Itu sesuai dengan slogan kampanye kemenangan Obama, ”Yes We Can” (Bersama Kita Bisa).
Mengapa Obama pandai menampung curhat? Kini saya tahu jawabannya: 50 persen karena ia orang awam yang tak sudi berpura-pura dan 50 persen karena rakyat kecewa kepada Presiden George W Bush selama delapan tahun memerintah.
Obama sebenarnya kurang pandai berpidato, makanya ia disarankan tetap memakai teleprompter. Namun, ia jujur dalam menyampaikan isi dan cara menyampaikan pidato dengan gaya profesor rendah hati. Seperti kata pepatah, the singer, not the song.
Rakyat AS tergila-gila kepada Obama karena sebal kepada George W Bush. Fenomena ini lebih kurang sama dengan yang dialami 5.000 hadirin di Balairung UI, yang tergila-gila pula kepada Obama karena merasa sebal terhadap kelakuan para pemimpin kita.
Jadi, ”Obamania” di sini cuma sekadar kompensasi politik. Kini di negaranya Obama mulai menghadapi masalah, tetapi popularitasnya tak menurun drastis, masih rata-rata 40 persen. Dan, sampai sekarang ia praktis belum tersaingi untuk jadi presiden 2012-2016.
Nah, Obama sebenarnya bukan melawat, cuma ”mampir” ke Jakarta dari India, on the way ke Korea Selatan dan Jepang. Kita boleh saja gembira karena rakyat Australia dan Guam pasti kecewa batal dikunjungi oleh ”Obama the rock star”.
Meski tak pernah menulis lagu dan menjual CD, karisma Obama tak kalah dibandingkan dengan Mick Jagger. Mereka mampu menyedot puluhan ribu penonton sekali manggung. Makanya Obama ngotot mau pidato di UI untuk reach out ke berbagai kalangan yang diwakili 5.000 undangan saja.
Tampak sekali Obama enjoy-enjoy aja. Buktinya ia bolak-balik ngomong Indonesia, menyimpang dari teks di teleprompter. Tiap kali mengucapkan bahasa kita, matanya berbinar dan senyumnya lebar memperlihatkan deretan giginya yang seperti permen Chiclets.
Setidaknya Obama menjawab curhat kita melalui tiga hal pokok: pembangunan, demokrasi, dan toleransi. Ia paham kesenjangan masih besar, demokrasi bermasalah, dan kebinekaan terancam. Tak heran ia paham tiga hal ini karena, katanya, ”Indonesia bagian dari diri saya.”
Benar, untuk ketiga soal itu kita mungkin lebih tahu. Namun, kita kok baru sadar dan prihatin tiga soal besar tersebut masih saja melilit bangsa yang sudah merdeka 65 tahun ini justru ketika diucapkan oleh seorang Obama?
Jawabannya mudah: selama ini kita kurang sadar dan prihatin karena ketiga soal itu hanya diucapkan sampai pada tingkat wacana semata-mata oleh mulut-mulut pemimpin kita. Pidato mereka kosong tanpa makna karena mereka selalu ”lain kata lain perbuatan”.
Saya yakin Obama senang bukan kepalang walau cuma mampir. Buktinya ia bilang, ”Pulang kampung nih!” Setidaknya ia juga puas melahap habis berbagai suguhan yang bukan cuma sate dan bakso, melainkan juga tongseng, somay, gado-gado, sampai sop buntut.
Lawatan Obama tak lebih dari nostalgia belaka yang bersifat simbolis saja. Mungkin sebagian dari pejabat kita yang ”sok genting”, sampai-sampai sapi-sapi dan kambing-kambing kurban di pinggir jalan enggak boleh ikut nonton Obama karena ditutupi terpal.
Saya harap Anda terhibur ikutan ngobama atau, dalam bahasa Inggris, Obama-ing. Arti nge dalam bahasa Betawi lebih kurang ”iseng saja”, misalnya nge-mal (iseng keliling mal). Untung dia hanya 19 jam di sini. Kalau enggak, banyak facebooker membuat grup ”Dukung Obama Jadi Presiden”.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/11/13/02454821/ngobama

haa iki pak Bondan Test Makanan

Senin, 15/11/2010 10:55 WIB

Nasi Goreng Organik nan Mak Nyuss!

Bondan Winarno - detikFood
Nasi Goreng Organik nan Mak Nyuss!
Foto: Bondan W
 
 
Jakarta - Sekitar dua tahun yang lalu, Jane Chen - yang mulai "gila" makanan organik, alkali, maupun makrobiotik - mengajak saya mencoba masakan di restoran ini. Ketika itu, restoran Chandi baru saja buka. Ternyata, Dwi Agung Nugroho, chef owner-nya, adalah teman Gino Jr., menantu saya. Istri Agung juga teman Gino ketika belajar di Prancis. Dunia memang sempit, ternyata.
   
Sudah lama saya tidak singgah ke Chandi. Bahkan sudah melupakannya. Maka, ketika Abdul Rachman, CEO detik.com, belum lama ini memuji keistimewaan Chandi, saya pun segera menyempatkan singgah ke alamat yang ditunjukkan. E, ladalah! Lha, saya kan pernah ke sini? Barangkali saya mulai pikun, ya?
   
Setting-nya memang fine dining. Semua meja memakai taplak putih bersih. Di kartu namanya tertulis: Modern Asian Cuisine. Sedang pada kartu menunya tertulis lain lagi: A Gastronomic Twist on South-East Asia Cuisine. Di bagian depan tampak lemari pendingin berisi ratusan botol wine. Daftar menu pun menampilkan berbagai sajian kreasi baru yang tampaknya memang sesuai untuk "ditemani" wine.
   
Di deretan makanan pembuka, tampak berbagai pilihan menarik, antara lain: sup semangka dingin (Rp 32 ribu), be sisit (ayam suwir bumbu sambal matah, khas Bali, Rp 44 ribu), soft-shell crab salad (Rp 68 ribu), seared scallop salad, dan soy cured salmon.
   
Saya memilih black pepper crab dumplings (Rp 68 ribu) yang menurut pramusaji merupakan salah satu appetizer favorit di restoran ini. Penampilannya memang seperti pangsit pada umumnya. Karena kulitnya terlihat agak tebal (maaf, saya memang penyuka pangsit yang berkulit sangat tipis), saya membongkar pangsit itu dan langsung mengambil isinya - serpihan daging kepiting berbumbu lada hitam. Hmm, yummm. Manis alami daging kepiting dan gurihnya bumbu. Lada hitamnya sendiri tidak berlebihan - cukup untuk sedikit menggetarkan lidah.
   
Ketika memilih hidangan utama, saya menerima saran Agung untuk mencoba nasi gorengnya. Duuuh, kok desperate amat, sih? Masuk restoran sebagus ini hanya untuk makan nasi goreng? "You won’t regret it," kata Agung sambil meneruskan pesanan ke dapur. Saya melirik ke menu. Di sana tertulis: Agung's Queen Prawn and Scallop Black and Red Nasi Goreng. Bahwa menu ini memakai nama si empunya, tentunya berkategori signature dish.
   
OK, let's see. Plating si nasi goreng ini, ternyata, memang istimewa. Tampak nyata bulir-bulir gendut nasi dari beras hitam dan beras merah (keduanya organik!) bersalut orak-arik telur. Sepasang udang berukuran besar menjadi side piece yang dominan, tiga butir grilled scallop, dan beberapa cincin panfried cumi-cumi. Aromanya pun mulai menggelitik lubang hidung. Hmm, cakep juga, nih.
   
Sendokan pertama langsung member kejutan. Seperti tidak ada jejak-jejak minyak sama sekali. Lidah tidak terasa licin oleh minyak goreng. Ternyata, di antara nasi goreng itu "terselip" beberapa lembar daun bercitarasa mirip basil, tetapi lebih lembut. Jurumasak menyebutnya tarragon. Tetapi, menurut saya, tarragon tidak leafy bentuknya. Ini justru mirip semacam basil di Vietnam (sisinya bergerigi) yang banyak dipakai secara segar. Daun inilah yang turut membuat nasi goreng ini out of this world.
   
Tingkat kematangan udang, scallop, maupun cumi-cuminya pun mengagumkan. Mak nyuss-lah, pokoke!
   
Daftar menu Chandi tidak terlalu lebar. Terfokus pada beberapa sajian pilihan. Penganut vegetarian murni pun boleh merasa nyaman makan di sini dengan berbagai pilihan istimewa. Saya juga memesan citrus lemon grass spritzer yang diam-diam saya catat resepnya agar dapat membuat sendiri di rumah. Ayo, kapan traktir saya ke Chandi? (Bondan Winarno)

Chandi
Jl. Laksmana 72
Seminyak, Bali
0361 731060


( eka / Odi ) 
Sumber : http://www.detikfood.com/read/2010/11/15/105513/1494360/933/nasi-goreng-organik-nan-mak-nyuss?992205284

Jumat, 12 November 2010

haa iki : ......... VS ................

POJOK
Jumat, 12 November 2010 | 03:14 WIB
 
 
Para relawan bekerja tanpa pamrih, tanpa publikasi.
Sebaliknya, politisi, enggak kerja, ramai publikasi.

Investor asing malah melepas saham Krakatau Steel.
Jangan-jangan asing itu cuma siluman, enggak ada wujud.

Pemerintah tawarkan asing kelola pulau-pulau kecil.
Gadaikan aja sekalian.



Media ramai menganalisis foto Gayus di Bali
Polisi sibuk cari kambing hitam.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/11/12/03140390/pojok

haa iki Yang Harus Segera Diperhatikan Pasca Erupsi Merapi

Wajah Baru Pascaerupsi
Jumat, 12 November 2010 | 05:06 WIB
 
 
Kehidupan keseharian di lereng Gunung Merapi, DI Yogyakarta, masih akan lama pulih sekalipun erupsi berhenti besok. Faktor lingkungan adalah penyebabnya.
Kini, rumah warga di puluhan dusun dan desa di lereng Merapi terpendam abu vulkanik. Jalan desa, sungai, ladang, dan sawah tertimbun material vulkanik.
Pepohonan hijau yang dulu meneduhkan, kini menguncup tak berdaya. Dulu tegak, kini terbujur kaku berselimut abu. Sebagian bahkan mengeluarkan asap dari lahar panas.
Tak ada lagi suara binatang bersahut-sahutan menawarkan kedamaian. Siang ataupun malam, kondisinya hampir sama. Sunyi mencekam. Alam yang dulu menenteramkan, 16 hari terakhir berselimutkan kengerian. Semua serba abu-abu.
Badan Geologi Kementerian ESDM memperkirakan, hingga dua pekan erupsi, Merapi memuntahkan 140 juta meter kubik material vulkanik. Entah berapa puluh atau ratus kilometer panjangnya bila material itu diangkut dalam bak-bak truk.
Memang tak semua dusun pada radius bahaya 20 kilometer dalam kondisi mencekam. Sejumlah warga masih beraktivitas di wilayah yang aman dari luncuran awan panas Merapi.
Namun, sejumlah dusun yang disiram hujan abu lebat hampir tak mungkin ditempati dalam waktu dekat karena penopang utama kehidupan warga tak berfungi lagi. Butuh waktu lama mengembalikan denyut kehidupan warga seperti kondisi sebelum Merapi meletus.
”Lingkungan sekitarnya jelas tak mendukung,” kata Wakil Kepala Pusat Studi Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) Eko Sugiharto. Langkah paling memungkinkan adalah memastikan para pengungsi nyaman di lokasi pengungsian.
Dampak kerusakan berskala luas seperti sekarang memang belum pernah terjadi di lereng Merapi dalam kurun waktu satu generasi terakhir. Kerusakan akibat erupsi Merapi seperti sekarang hanya tertandingi erupsi tahun 1872.
Data Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) memperlihatkan, empat hari setelah letusan pertama, 26 Oktober, hutan seluas 3.559 hektar rusak, 459 hektar di antaranya terbakar dan 3.100 hektar lainnya terkena abu vulkanik. Belum ada data kerusakan pascaletusan kedua yang lebih dahsyat, 5 November.
Sebagai pembanding, erupsi Merapi tahun 2006 merusak 350 hektar hutan di kawasan TNGM, masing-masing di Sleman, DI Yogyakarta, dan Klaten, Jawa Tengah.

Dampak jangka pendek
Secara ekologis, letusan Merapi lalu berdampak jangka pendek, seperti perubahan bentang alam, keruhnya air sungai dan air permukaan, hancurnya keanekaragaman hayati, pendangkalan sungai hingga ke kawasan hilir, sampai buruknya kualitas udara karena abu vulkanik mengandung silika dan sulfur.
Meskipun berjangka pendek, dampak langsung terhadap warga teramat dahsyat. Tak ada lagi sumber air bersih permukaan ataupun rumput hijau pakan ternak. Risiko longsor kian tinggi akibat kehancuran vegetasi di bagian lereng atas. Ancaman banjir bandang juga besar, apalagi endapan material sudah menutup cekungan sungai.
”Selain pengerukan sungai, salah satu yang mendesak adalah membersihkan abu vulkanik,” kata Eko, dosen Kimia Lingkungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UGM. Tanpa pembersihan, butuh waktu bertahun-tahun bagi tanaman untuk tumbuh lagi, bahkan bagi rumput sekalipun. Unsur kimia abu vulkanik telah mematikan organisme hidup pengurai tanah.
”Butuh campur tangan manusia untuk mempercepat pemulihan kondisi tanah dan lingkungan. Namun, butuh konsistensi dan kepemimpinan luar biasa,” kata dia. Campur tangan itu pada banyak hal, seperti pembersihan, penyuburan tanah, penanaman, hingga penyelamatan pohon yang terancam mati.
Menurut mantan Koordinator Dewan Kehutanan Nasional Hariadi Kartodihardjo, penyelamatan lingkungan, seperti percepatan tumbuhnya vegetasi, amat penting. Tegakan pohon sangat penting pada kondisi rusak saat ini.
Sebelumnya harus didahului kajian mengenai daerah, lokasi, hingga jenis pohon yang ditanam. Tujuannya, efektivitas dan efisiensi penanaman. Yang penting mendukung keberlanjutan lingkungan dan sosial warga lereng Merapi.
Ada pekerjaan yang harus segera dilakukan pemerintah begitu kondisi Merapi aman. Bersamaan penanganan pengungsi adalah pembersihan abu vulkanik, khususnya yang membebani pepohonan.
Keberadaan pohon vital bagi hidupnya organisme lain secara alami. Membersihkan abu lebih ringan daripada mengganti pohon mati.
Mengenai air tanah, material vulkanik seperti pasir justru menambah serapan air ke tanah. ”Pasir lebih baik menyerap air daripada lempung,” kata peneliti hidrologi Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang, Robert J Kodoatie. Namun, dari sisi vegetasi, media pasir menyulitkan tanaman tumbuh.
Satu-satunya cara mempercepat pertumbuhan pohon adalah campur tangan manusia secara konsisten. Tanpa itu, penghutanan alami membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun, menunggu pelapukan pasir menjadi lempung. (EGI/GAL/GSA)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/11/12/05065294/wajah.baru.pascaerupsi.

haa iki Elang & Kawan2nya pun Menyingkir

Elang Bido Terakhir di Ngrangkah
Jumat, 12 November 2010 | 05:07 WIB
 
 
Dua ekor elang bido di Dusun Ngrangkah, Umbulharjo, Sleman, DI Yogyakarta, Minggu (24/10)—dua hari sebelum letusan pertama Gunung Merapi—barangkali merupakan elang bido terakhir yang diamati Lim Wen Sin.
Letusan dahsyat Merapi itu dipastikan menghancurkan ribuan hektar hutan dan kebun rakyat, yang juga habitat burung-burung di lereng Merapi. Selain elang bido, vegetasi di sisi selatan Merapi juga rumah bagi burung langka—elang jawa—yang sebelum letusan berjumlah kurang dari 10 ekor.
Dusun Ngrangkah merupakan salah satu dusun dengan kerusakan terhebat. Beberapa warganya tewas pada letusan pertama. Dusun itu tetangga Dusun Kinahrejo, dusun tempat tinggal juru kunci Merapi, Mbah Maridjan.
”Bukan hanya burung jenis raptor (pemangsa), burung-burung lain dipastikan tersebar ke berbagai lokasi lain, menjauh dari Merapi,” kata Lim, penggiat pengamatan burung pada Raptor Club Indonesia. Selain tersebar, bukan tak mungkin sebagian di antaranya mati, seperti laporan sesama pengamat burung yang melihat elang jawa sekarat di sekitar Kaliurang.
Burung seperti kepodang dan srigunting yang memangsa keluarga serangga diperkirakan sangat terdampak. Kalaupun banyak burung selamat, bisa dipastikan masa depan puluhan jenis burung di lereng Merapi terancam.
Letusan Merapi yang membumihanguskan vegetasi dan ekosistem lerengnya berdampak langsung pada ketersediaan aneka jenis pakan di alam. Kalaupun ada, selain terbatas, kualitas pakan burung, seperti serangga, ular, buah-buahan, atau tetumbuhan, dipastikan terkontaminasi abu vulkanik.
Sebenarnya, harapan banyak burung di lereng Merapi selamat masih ada. Sejumlah laporan menyebutkan adanya kelompok burung yang bermigrasi lokal beberapa hari sebelum Merapi meletus.
Bahkan, satu hari setelah letusan, sejumlah burung pemangsa lain teramati bergeser ke rerimbunan pohon di Dusun Kepuharjo, di sisi selatan dan timur Kinahrejo. Pasca-letusan kedua, Jumat (5/11) dini hari, keberadaan burung-burung yang bermigrasi lokal itu tak terpantau lagi.
Kawasan lereng Merbabu dan Sindoro-Sumbing di Jawa Tengah diduga menjadi tujuan migrasi lokal berikutnya. ”Itu akan terjadi selama ada koridor penghubung berupa vegetasi,” kata Lim. Kalaupun berhasil tiba di tempat baru, kompetisi pakan menjadi persoalan lanjutan. Di alam, siapa kuat dia bertahan.
Di dalam rantai makanan, elang jawa dan burung pemangsa lain, seperti elang bido, merupakan predator puncak. Namun, baik predator maupun mangsa, tak ada perbedaan di ”mata” Merapi. Dan, burung-burung pun dipaksa beterbangan entah ke mana. (GSA)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/11/12/05071791/elang.bido.terakhir.di.ngrangkah

haa iki Inefektifitas Bahasa Asing di RSBI

Bahasa Asing di RSBI Tidak Efektif
Jumat, 12 November 2010 | 04:06 WIB
 
 
Bangkok, Kompas - Bahasa asing sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah yang berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional di Indonesia berjalan tidak efektif. Ini disebabkan tidak ada standar pengajaran yang jelas sehingga metode pengajaran bahasa asing setiap guru berbeda.
Hal itu dikemukakan Head of English Development British Council Danny Whitehead yang memaparkan hasil penelitian Stephen Bax dari University of Bedfordshire, Inggris, di konferensi internasional ”Language, Education, and Millenium Development Goals (MDGs)”, Kamis (11/11) di Bangkok, Thailand.
”Setiap guru di satu sekolah yang sama bisa saja metode pengajaran dengan bahasa Inggrisnya berbeda-beda. Ini disebabkan tidak ada panduan dan standar pengajaran yang jelas,” ungkap Whitehead.
Hasil penelitian itu juga menyebutkan, penggunaan bahasa asing tidak efektif karena jumlah guru yang memiliki kemampuan mengajar dalam bahasa Inggris kurang dari 25 persen. Mayoritas guru hanya sekadar bisa berbicara dalam bahasa Inggris.
”Mahir bicara dalam bahasa Inggris dan mampu mengajar dalam bahasa Inggris jelas dua hal yang berbeda. Guru harus dilatih secara khusus untuk bisa mengajar dengan bahasa Inggris,” kata Whitehead.

Tak harus RSBI
Untuk meningkatkan mutu pendidikan, kata Whitehead, tidak perlu melalui pendirian rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI). Justru akan lebih efektif jika pemerintah memusatkan perhatian pada metode dan proses pengajaran, baik di RSBI maupun non-RSBI. Bahkan, RSBI sebenarnya bisa mengembangkan kurikulumnya sendiri dengan tetap berdasarkan kurikulum nasional dan tidak perlu mengambil mentah-mentah dari negara lain. ”Jangan justru mendahulukan keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh,” kata Whitehead.
Hal senada diutarakan konsultan pendidikan di British Council Indonesia, Hywel Coleman. Ia mengaku khawatir RSBI justru menciptakan diskriminasi pendidikan yang semakin lebar. Apalagi kurikulum RSBI sebagian diambil dari sekolah luar negeri.
”Biaya pendidikan di RSBI sebenarnya bisa murah jika kurikulum yang digunakan kurikulum buatan sendiri,” kata Coleman.
Ia khawatir akan banyak anak yang tidak bisa menikmati pendidikan berkualitas baik, seperti di Pakistan dan Thailand.
Karena sudah telanjur harus ada sesuai undang-undang, Whitehead dan Coleman menyarankan agar pemerintah mengawasi dan mengevaluasi RSBI, terutama efektivitas dalam pengajaran menggunakan bahasa Inggris.
”Sampai saat ini belum ada evaluasi menyeluruh dari pemerintah tentang RSBI,” kata Whitehead. (LUK)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/11/12/04063954/bahasa.asing.di.rsbi.tidak.efektif

Kamis, 11 November 2010

haa iki Yang Tak Terlupakan

Bintang yang Tak Pernah Redup
Kamis, 11 November 2010 | 02:38 WIB
Anton Sanjoyo


Dalam dunia sepak bola, banyak contoh bintang yang runtuh akibat tak kuat menahan terlalu banyak beban mental. Diego Maradona adalah salah satunya. Karier pahlawan Argentina itu hancur akibat narkoba. Belakangan Maradona mengakui, dirinya memang tak sanggup menghadapi perubahan drastis hidupnya saat hijrah ke Barcelona pada usia 22 tahun dan tiba-tiba menemukan dirinya seorang yang kaya raya. ”Saya tumbuh dan besar sebagai anak miskin. Saya tak siap menghadapi perubahan itu,” ujar Maradona, kapten Argentina di Piala Dunia 1986.
Paul Gascoigne adalah contoh yang lain. Si genius ini begitu bersinar saat membela Inggris di Piala Dunia 1990 dan tetap gemilang bersama tim ”Tiga Singa” paling tidak sampai dengan Euro 1996. Namun, ketenaran juga yang membuat hidupnya karut-marut. Mendapat julukan ”Si Badut Pembuat Onar”, Gazza—demikian Paul Gascoigne sering dipanggil—larut dalam dunia alkohol dan menjadi pemabuk. Belakangan, ia terancam masuk penjara akibat mengemudi dalam keadaan mabuk setelah empat kali dibebaskan bersyarat karena kasus yang sama. Sebelumnya, Gazza terlibat kasus kekerasan dalam rumah tangga karena memukuli istrinya.
Namun, contoh kelam tak mendominasi. Sepak bola juga banyak melahirkan bintang yang tak pernah redup. Zinedine Zidane atau Roberto Baggio boleh menjadi inspirasi kaum muda, bukan saja saat kiprah mereka sebagai pemain, melainkan justru saat mereka tak lagi gemerlap di lapangan hijau. Zidane, yang mengakhiri kariernya secara menyedihkan di Piala Dunia 2006, mengisi masa pensiun dengan aktivitas sosial. Bintang Perancis keturunan Aljazair itu menjadi aktivis penanggulangan AIDS serta menjadi duta PBB untuk program-program kesehatan dan pendidikan.
Bagi Perancis, Zidane adalah pahlawan besar. Berkat jasanya, Perancis untuk pertama kalinya menjadi juara dunia pada 1998. Zidane pula yang menjadi inspirator tim saat ”Les Bleus” merebut juara Eropa tahun 2000. Meski Perancis kalah oleh Italia pada final Piala Dunia 2006 setelah Zidane menanduk dada Marco Materazzi, nama Zidane tak pernah dicemooh. Ia kini menjadi penasihat utama Florentino Perez, Presiden Real Madrid, klub yang dibela Zidane pada periode 2001-2006.
Kemudian kita mendapat kabar hebat. Roberto Baggio diumumkan akan menerima hadiah khusus dari peraih Hadiah Nobel Perdamaian. Jumat lalu di Hiroshima, Jepang, nama Baggio muncul dalam Peace Summit Award 2010.
Ingatan paling kuat kita tentang Baggio adalah seorang yang kalah. Dengan paha dibalut akibat cedera, bintang Italia itu gagal menjadi eksekutor penalti saat Italia bertarung melawan Brasil di final Piala Dunia 1994. Begitu tendangannya melesat di atas mistar gawang Claudio Taffarel, Baggio hanya bisa menunduk, menutup wajah dengan kedua belah tangannya, sementara pemain Brasil bersorak di belakangnya. Momen inilah yang paling banyak dimuat media massa kala itu dan Baggio mengaku tak pernah melupakannya. ”Sampai mati ingatan itu akan saya bawa,” ujarnya. Namun, 16 tahun setelah kenangan pahit di Pasadena tersebut, Il Divin Codino alias si Kuda Poni itu kembali memesona lewat penghargaan khusus Nobel.
Perjalanan Baggio sebagai aktivis sosial dimulai begitu berhenti sebagai pemain profesional pada 2004. Praktis menghindar dari sorot lampu, Baggio mengabdikan waktunya sebagai duta PBB untuk program pangan dan pertanian. Mantan bintang Fiorentina, Juventus, AC Milan, dan Inter Milan itu berkeliling dunia berkampanye untuk memberantas kelaparan.
Perjalanan sosial Baggio tak berhenti sampai pada soal pangan. Pria kelahiran Caldogno, 18 Februari 1967, itu juga aktif menggalang dana untuk pembangunan dan perbaikan rumah sakit serta tak pernah berhenti berkampanye saat wabah flu burung melanda. Baggio juga selalu tampil pada program-program penggalangan dana untuk korban bencana alam. Penganut ajaran Buddha ini juga terlibat gerakan prodemokrasi untuk mendukung tokoh Myanmar, Aung San Suu Kyi.
Baggio juga masih aktif menggalang dana untuk Stefano Borgonovo, sahabat karibnya sejak di Fiorentina yunior, yang harus dirawat seumur hidupnya akibat penyakit saraf yang tidak pernah ditemukan obatnya.
Perjalanan hidup Baggio yang sangat berwarna tak lepas dari sejarah karier sepak bolanya yang juga penuh air mata. Dalam otobiografinya yang berjudul Una Porta Nel Cielo, Baggio mengaku menangis saat mendengar kabar puluhan penggemarnya terluka saat memprotes kepindahannya dari Fiorentina ke Juventus. Pada 1990 Baggio, yang menjadi ikon bagi pasukan ungu ”La Viola” Fiorentina, dijual ke Juventus dengan rekor harga kala itu, 13,6 juta dollar AS. Belakangan dia mengaku terpaksa menyetujui penjualan tersebut meski hatinya menolak. ”Jauh di lubuk hati, saya masih berwarna ungu,” ujarnya.
Sejak hijrah secara terpaksa dari Fiorentina akibat desakan bisnis, Baggio tumbuh sebagai manusia yang penuh empati. Menurut pengakuannya, pengalaman paling pahitnya bukanlah gagal melakukan eksekusi penalti ke gawang Taffarel, melainkan perasaan muak merasa sebagai komoditas dagang. Jika yang lain meluapkan kemarahannya pada hal-hal yang destruktif, Baggio mengumpulkan energinya untuk mengabdikan diri kepada sesamanya.
Sungguh bintang yang tak pernah redup.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/11/11/02383443/bintang.yang.tak.pernah.redup

Rabu, 10 November 2010

haa iki Ketua MK Berkata

MK Minta Tolong pada Refly
Rabu, 10 November 2010 | 03:30 WIB
Moh Mahfud MD

Di pesawat Garuda rute Yogyakarta- Jakarta, 25 Oktober 2010 pagi, saya kaget dan lemas setelah membaca satu artikel di harian Kompas. Refly Harun, ahli hukum konstitusi yang cemerlang, menulis dengan gagah bahwa dirinya pernah mendengar dan melihat sendiri praktik suap dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi.
Dia menulis bahwa dia mendengar pernyataan orang Papua yang pernah berperkara di MK yang harus menghabiskan uang Rp 10 miliar hingga Rp 12 miliar. Dia bertemu orang yang ditelepon oleh hakim MK agar menyerahkan uang Rp 1 miliar untuk keperluan perkaranya sehingga dia terpaksa menarik perkara itu karena tidak punya uang seperti diminta oleh hakim MK.
Dia juga mengaku melihat sendiri tumpukan uang senilai Rp 1 miliar dalam bentuk dollar AS yang katanya akan diserahkan kepada hakim MK. Membaca artikel itu jantung saya berdegup kencang, keringat dingin mengucur, kepala jadi pening. Saya minta secangkir teh panas kepada pramugari untuk menenangkan diri, kemudian saya tercenung karena sedih dan malu.
Refly Harun adalah aktivis penegakan hukum dan demokrasi yang dikenal cerdas dan kredibel. Tentu dia tak sembarangan menulis, pasti bisa dipertanggungjawabkan. Saya sedih dan malu karena ”permainan perkara” yang dilihat dan didengar Refly itu telah terjadi di MK.
Saya sedih dan malu karena selama dua tahun lebih memimpin MK saya selalu melakukan pengawasan. Banyak isu berseliweran bahwa ada suap di MK, tetapi setelah diselidiki dengan berbagai cara tak pernah ada buktinya. Jangankan bukti, indikasi saja tak ditemukan. Semua hanya bersumber dari pesan singkat (SMS) gelap, surat kaleng, dan isu dari mulut ke mulut yang tak bisa dirunut dan diruntut ujung dan pangkalnya.
Sudah berkali-kali saya umumkan di depan sidang resmi terbuka untuk umum bahwa siapa pun yang diminta uang oleh siapa pun dalam berperkara di MK supaya melapor kepada saya atau kepada polisi. Sudah puluhan kali saya melakukan jumpa pers, menjelaskan adanya penipuan dari orang yang mengaku pejabat dan hakim MK yang pelakunya menggunakan nomor telepon seluler (handphone) tertentu, tetapi setelah dilacak hilang. Nomor telepon seluler dan nama korbannya sudah saya umumkan di koran-koran dan dilaporkan kepada polisi.

Pola penipuan
Selama dua tahun lebih saya selalu mengendus pola penipuan seperti itu, orang yang mengaku pejabat MK memeras orang yang berperkara di MK. Saya terus bekerja untuk mengintai dan memburu info tentang hal ini, tetapi tak pernah menemukan, jangankan bukti, indikasi saja tidak ada kalau di dalam MK. Seperti dikatakan Jimly Asshiddiqie, MK itu bekerja dengan sistem dan mekanisme saling kontrol yang mantap sehingga sangat sulit ada mafia perkara.
Itulah sebabnya, tiga minggu yang lalu, secara terbuka saya menantang siapa pun yang punya bukti awal saja untuk melapor kepada saya kalau ada permainan suap dalam penanganan perkara di MK. Orang itu akan saya belikan tiket pesawat untuk datang melapor kepada saya plus menginap di hotel berbintang, asal ada nama jelas yang bisa dipertanggungjawabkan dan bukan hanya katanya, katanya, dan kabarnya.
Kemudian muncullah Refly yang menulis dengan gagah bahwa dirinya melihat dan mendengar sendiri orang yang mengeluarkan belasan miliar rupiah untuk berperkara di MK, pencari keadilan yang diminta menyetor uang atau diperas oleh hakim MK, dan orang yang akan menyuap hakim dengan uang dollar AS. Refly juga mengusulkan agar MK melakukan investigasi internal. Bukankah bukti awal seperti ini yang selalu saya cari?
MK melakukan langkah dengan sadar, meminta tolong kepada Refly untuk mengungkap kasus ini dengan mengangkatnya menjadi ketua tim investigasi. MK tak mau membentuk tim investigasi internal karena investigasi internal sudah berjalan rutin dan mantap serta tak berhasil menemukan mafia dalam bentuk apa pun.
MK malah melakukan lebih dari sekadar investigasi internal, yakni membentuk tim investigasi dari orang-orang eksternal yang kredibel di bawah pimpinan orang yang mengaku melihat dan mendengar sendiri. Lagi pula kalau hanya investigasi internal, MK bisa dituduh tidak fair dan menyembunyikan sesuatu. Refly diminta mengusulkan dua anggota lainnya, siapa pun yang dia mau, sedangkan MK juga akan menunjuk dua orang lainnya. Apa ada yang lebih fair dari cara ini?
Kini tim sudah terbentuk. Refly sudah mengusulkan nama Adnan Buyung Nasution dan Bambang Harimurti, dua nama yang sangat kredibel. MK pun tak mau memasukkan orang MK di dalam tim itu agar investigasi berjalan obyektif. MK menunjuk Bambang Widjojanto dan Saldi Isra, dua nama yang juga dikenal sangat bersih dan patriotik dalam penegakan hukum.
MK tidak memusuhi Refly karena dia adalah mitra kerja yang baik dan idealis. MK hanya meminta tolong untuk bekerja sama guna membersihkan MK yang menurut tulisannya digerogoti oleh suap-menyuap. Sebagai intelektual-pejuang, Refly pasti tak akan berkelit dengan hanya akan membahas soal-soal semantik dari tulisannya itu.
Kalau di MK memang ada suap-menyuap, mari kita bawa hakim pelakunya ke penjara, tetapi kalau tim Refly tidak menemukannya, marwah MK harus dikembalikan dengan cara yang terhormat. Masyarakat tak boleh dibuat putus asa. Masyarakat harus diberi harapan bahwa di negeri ini masih ada lembaga peradilan yang mau bekerja dengan patriotik, bermartabat, dan penuh kehormatan, seperti ditulis oleh Satjipto Rahardjo dalam Kompas tanggal 14 Juli 2009.

Moh Mahfud MD Ketua Mahkamah Konstitusi
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/11/10/0330258/mk.minta.tolong.pada.refly