Rabu, 30 Maret 2011

haa iki Soal Sekolah Rusak, Kita Keterlaluan....

Soal Sekolah Rusak, Kita Keterlaluan....
Editor: Latief
Rabu, 30 Maret 2011 | 11:23 WIB 
Sabrina Asril Salah satu laboratorium di SMPN 273 Kampung Bali, Jakarta Pusat yang rubuh dan kini beratapkan langit, Rabu  (26/1/2011). 
JAKARTA, KOMPAS.com - Masalah sekolah rusak di jenjang SD dan SMP belum juga terpecahkan. Sebanyak 20,97 persen ruang kelas SD rusak, sedangkan di SMP sekitar 20,06 persen.
Sampai tahun 2011, ruang kelas SD yang rusak terdata 187.855 ruang dari total 895.761 ruang kelas. Di SMP, ada 39.554 ruang rusak dari 192.029 ruang kelas. Padahal, di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla ditargetkan, perbaikan sekolah rusak selesai tahun 2008.
Jusuf Kalla mengatakan, pemerintah mengurangi proyek pembangunan lain dan meningkatkan pendapatan negara demi membereskan masalah telantarnya siswa akibat ruang kelas ambruk (Kompas, 28/4/2005).
Pengamat pendidikan, Soedijarto, Selasa (29/3/2011) kemarin di Jakarta, mengatakan, pemerintah seharusnya menuntaskan persoalan mendasar di jenjang pendidikan dasar. Pemerintah berkewajiban memberikan pendidikan anak usia SD-SMP yang berkualitas.
"Bagaimana kita mau bicara pendidikan dasar bermutu. Sarana dan prasarana mendasar saja belum beres," kata Soedijarto.
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI pekan lalu mengakui, sekolah rusak masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang belum beres. Dana yang dibutuhkan untuk merehabilitasi ruang kelas yang rusak Rp 17,36 triliun.
Namun, dana alokasi khusus (DAK) tahun ini hanya Rp 10 triliun. Alokasi DAK itu pun tak bisa digunakan untuk merehabilitasi. Pemerintah daerah penerima DAK memakainya untuk membangun perpustakaan dan pengadaan sarana peningkatan mutu.
Di DKI Jakarta, tahun ini tercatat 346 ruang kelas rusak. Ferdiansyah, anggota Komisi X DPR, mempertanyakan tanggung jawab pemerintah untuk menuntaskan hal-hal mendasar dalam pendidikan dasar, apalagi anggaran pendidikan nasional diklaim terus meningkat. (ELN)
Sumber : http://edukasi.kompas.com/read/2011/03/30/1123095/Soal.Sekolah.Rusak.Kita.Keterlaluan.
 

haa iki 'Laskar Dagelan' pada dasarnya merupakan respon atas 'diusiknya' status keistimewaan Jogja oleh pemerintah pusat

Rabu, 30/03/2011 10:29 WIB
'Laskar Dagelan': Kemarahan Rakyat Republik Jogja
Pebriansyah Ariefana - detikhot



 'Laskar Dagelan': Kemarahan Rakyat Republik Jogja 
Jakarta Butet Kartaredjasa muncul dengan busana Jawa ala Yogyakarta dan mengucapkan selamat datang, dan itu saja penonton sudah tertawa. Butet ternyata tidak ikut bermain dalam pementasan musikal plesetan 'Laskar Dagelan' di Graha Bhakti Budaya, TIM, Selasa (29/3/2011) malam. Ia hanya muncul untuk membuka dan menutup pertunjukan.

Ada sejumlah nama beken lain di balik pementasan itu, dengan 'label' tim kreatif. Sebut saja Djadug Ferianto dan Agus Noor. Selebihnya, di atas panggung, pertunjukan itu benar-benar milik anak-anak muda. Tentu saja ada Marwoto dan Yu Ningsih yang terbilang sangat senior. Tapi, komedian gaek macam Susilo Nugroho sudah pasti akan ngeles, "Saya kan bintang tamunya."

Ucapan itu ditujukan pada Hanung Bramantyo, yang di buletin pertunjukan disebut sebagai bintang tamu. Dan, di hadapan Susilo, yang dikenal umpak-umpakan itu, Hanung habis dikecrohi, sampai mati gaya dan nyaris tak bisa "akting" lagi. Semua itu tentu ada di skenario, tapi dalam sebuah lawakan Jawa, spontanitas itu nyaris tak terbatas. Dan, memang itulah yang diinginkan penonton: celetukan-celetukan "seenaknya" di luar naskah.

Susilo berkali-kali bilang, "Ini cuma dagelan!" ketika Hanung atau Marwoto berakting serius. Tapi, pada suatu saat, Marwoto membalas, "Dagelan aja tiketnya 200 ribu kok. Tapi, yang bodoh yang penontonnya!" Begitulah, seni humor Jawa itu meledek apa saja, terutama ya "akting" mereka sendiri di atas panggung itulah bahan ledekan utama.

Marwoto yang berperan sebagai abdi kraton dan berkali-kali "pidato politik", di ujung-ujungnya nanti pasti akan mementahkan kembali pidatonya sendiri itu. Demikian juga dengan Susilo, setiap kali abis berakting, ujung-ujungnya dia akan berkata, "Wuih, aku kayak teater ya!" Dan, barangkali, bagi Anda yang sudah akrab dengan dunia lawak Jawa, semua model lelucon yang ditampilkan 'Laskar Dagelan' tak ada yang baru.

Tapi, siapa sih yang ingin melihat lawakan baru? Apakah lawakan baru itu? Yang suka main pukul dan menghancurkan properti, seperti yang lagi ngetren di TV? Tidak, penonton malam itu hanya ingin menyaksikan guyon-guyon lawas yang sudah lama tak mereka dengar, dan kini sangat mereka rindukan. Lawakan trio punakawan Gareng-Joned-Wisben malam itu adalah lawakan jadul yang sudah sering kita saksikan di panggung ketroprak, tapi ya memang itulah yang dicari dan ditunggu penonton.

Tapi, walau petunjukan ini mengklaim dirinya sebagai musikal 'plesetan', bukan berati tidak ada yang serius di sini. Alur cerita, walau sedemikian cairnya, tetap ada. Babak pertama dibuka dengan sebuah pagi di Jalan Malioboro. Tugu Kota Gudeg tersebut selalu sama, punya rutinitas yang mengelilinginya. Seorang abdi dalem Keraton berpakaian dinas melintas dengan ontelnya, dan penjual nasi gudeg menggelar dagangannya. Terdengar pidato Presiden SBY tentang demikorasi dan keistimewaan Jogja, yang memunculkan kata 'monarki' yang kemudian jadi polemik itu.

Pembukaan babak kedua lebih dahsyat. Show Imah dalam balutan gaun malam merah menerawang menyanyikan 'Lingsir Wengi' yang dikocok dengan irama hip-hop Jawa ala Jogja Hip Hop Foundation. Ini benar-benar seperti pertunjukan musikal 'beneran'. Tapi, pada akhirnya 'plesetan' hanyalah gaya merendah seniman Jawa. Nyatanya, pertunjukan ini tetaplah sebuah pertunjukan yang 'serius'. Marahnya serius, koreografinya juga bagus, dan tentu saja pujian khusus perlu diberikan untuk Kill the DJ untuk musiknya yang unik, hip hop berlirik Jawa yang ritmis.

Menjadi bagian dari program Indonesia Kita, 'Laskar Dagelan' pada dasarnya merupakan respon atas 'diusiknya' status keistimewaan Jogja oleh pemerintah pusat. Sekali lagi, walau labelnya 'plesetan', pertunjukan ini tetap dikemas rapi, bagus dan penuh metafor. Intinya, ini adalah cara orang 'Republik Jogja' marah. Dan, bayangkan, marah saja mereka bisa membuat ratusan orang tertawa terpingkal-pingkal selama 2 jam tanpa putus!

Hari ini, pertunjukan akan digelar dua kali, pukul 15.00 dan 20.00 WIB. Bagi yang tidak kebagian tiket, bisa menyaksikan lewat layar yang dipasang di pelataran Teater Jakarta.

(mmu/mmu)
Sumber : http://www.detikhot.com/read/2011/03/30/102943/1604318/1059/laskar-dagelan-kemarahan-rakyat-republik-jogja?h991101207

haa iki Hati-Hati Berikan Data Pribadi dengan Iming-Iming Suvenir

Rabu, 30/03/2011 08:30 WIB
Hati-Hati Berikan Data Pribadi dengan Iming-Iming Suvenir 
Herdaru Purnomo - detikFinance

Jakarta - Hati-hatilah Anda jika sedang berada di pusat perbelanjaan dan diminta data pribadi untuk survei dengan iming-iming suvenir. Data pribadi Anda itu nanti bisa diperjualbelikan.

Bank Indonesia (BI) mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk tidak sembarangan memberikan data pribadi dengan iming-iming hadiah dan suvenir yang ditawarkan beberapa perusahaan. Bank sentral mengungkapkan data pribadi yang disebarluaskan tersebut dapat menjadi 'buah simalakama' yang nantinya justru merepotkan masyarakat bahkan membahayakan.

Kepala Biro Sistem Pembayaran Bank Indonesia Aribowo mengatakan data pribadi masyarakat ternyata dapat diperjualbelikan oleh beberapa oknum yang nantinya digunakan untuk di komersilkan.

"Kadang jika kita pergi ke mal atau perusahaan leasing, asuransi dan peritel ada yang meminta data pribadi dengan iming-iming memberikan hadiah atau suvenir dengan alasan survei. Hal tersebut perlu diwaspadai karena dapat menjadi buah simalakama," ujar Aribowo ketika berbincang dengan detikFinance di Jakarta, Rabu (30/3/2011).

Dikatakan Aribowo, data pribadi yang masyarakat berikan nantinya dapat digunakan secara tidak bertanggung jawab dengan menyebarluaskan kepada perusahaan atau orang yang membutuhkan. Istilahnya, lanjut Aribowo akan dikomersilkan dan dimanfaatkan.

"Data itu bisa digunakan untuk menawarkan sebuah produk kemudian dengan melihat alamat dan penghasilan maka bisa dipakai juga untuk aplikasi kartu kredit," jelasnya.

Hal tersebut, lanjut Aribowo sudah pasti akan merugikan para masyarakat yang memberikan datanya. Nantinya, Aribowo menambahkan masyarakat bisa terganggu akibat adanya penawaran produk dan sejenisnya.

Dihubungi secara terpisah, Ketua Tim Mediasi Perbankan Bank Indonesia Sondang Martha Samosir juga mengimbau masyarakat untuk tidak dengan mudah memberitahukan nama ibu kandung dan tanggal lahirnya. Pasalnya, dengan mengungkapkan nama ibu kandung berikut tanggal lahirnya maka dapat disalahgunakan oleh beberapa oknum untuk melakukan kejahatan.

"Sebut saja jika kita lupa PIN ATM atau sejenisnya. Biasanya bank akan menindaklanjutinya dengan meminta nama ibu kandung dan tanggal lahirnya. Tetapi ketika ada oknum yang mengaku pihak bank yang bertanya hal tersebut maka bisa saja dimanfaatkan kembali untuk mengetahui PIN ATM seseorang yang nantinya akan dibobol," paparnya.

Selain itu, Sondang meminta kepada masyarakat untuk sebaiknya tidak mencantumkan nomor telepon di jejaring sosial atau internet. Karena, lanjut Sondang nantinya juga akan membuat repot orang itu sendiri.

"Jika tidak kebanjiran penawaran KTA, Kartu Kredit bahkan penawaran obat pelangsing dan sejenisnya. Oleh karena itu hati-hati saja dalam memberikan data pribadi seperti nomor telepon," tukasnya.

(dru/qom)  
Sumber : http://www.detikfinance.com/read/2011/03/30/083013/1604245/5/hati-hati-berikan-data-pribadi-dengan-iming-iming-suvenir?f9911023 

Senin, 28 Maret 2011

haa iki Ke-(tidak)-patutan di Layar Televisi

Senin,
28 Maret 2011

Ke-(tidak)-patutan di Layar Televisi

Oleh Agus Sudibyo
 
Seorang perwira polisi berguling-guling kesakitan. Tangannya putus bersimbah darah setelah gagal menjinakkan sebuah bom di Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur.
Dengan kondisi mengenaskan, perwira polisi ini digotong menuju mobil ambulans. Seorang petugas keamanan yang juga menjadi korban ledakan bom tergeletak di halaman, beberapa orang berupaya menolongnya.
Sore 15 Maret 2011, horor bom ini ditayangkan beberapa stasiun televisi. Detik-detik meledaknya bom, potongan tangan terlempar ke udara, darah berceceran, dan perwira polisi berguling-guling berulang-ulang ditayangkan sepanjang sore hingga malam.
Setelah beberapa kali disajikan apa adanya, tayangan disamarkan sehingga darah, potongan tubuh, dan wajah korban tidak lagi kelihatan. Apa yang ditampilkan televisi ini benar-benar terjadi. Semuanya faktual, tanpa rekaan. Tak diragukan lagi, masyarakat juga menunggu berita semacam itu. Tayangan bermuatan kengerian dan sadisme itu sengaja diulang agar masyarakat dapat menangkap momen peristiwa secara utuh.
Persoalannya, karya jurnalistik tak hanya perihal faktualitas, kecepatan, dan eksklusivitas. Karya jurnalistik juga mesti menimbang kepatutan dan dampak. Ruang publik televisi bukan hanya harus memerhatikan apa yang membikin pemirsa memelototi layar televisi, melainkan juga apa dampak dari yang mengemuka di layar televisi. Menarik perhatian publik satu hal, memastikan yang menarik itu aman bagi pemirsa adalah hal lain yang tak kalah penting.
Dalam konteks ini, persoalannya bukan mengapa sebuah peristiwa diberitakan, tetapi bagaimana pemberitaan dilakukan. Apakah sudah memenuhi kepatutan atau keutamaan ruang publik media? Titik pijaknya cukup jelas, Kode Etik Jurnalistik dan Standar Program Siaran. Kode Etik Jurnalistik menegaskan wartawan Indonesia harus menghindari penayangan berita bermuatan sadisme, kekejaman, dan tidak menghormati pengalaman traumatis korban.
Standar Program Siaran lebih rinci menyatakan program siaran dilarang menampilkan ”secara detail korban yang berdarah-darah, korban/mayat dalam kondisi tubuh yang terpotong, dan kondisi yang mengenaskan lainnya”.
Dari sudut pandang kode etik dan standar siaran, cukup jelas problematik dalam pemberitaan televisi tentang bom ini. Pertama, ketika momen perwira polisi berguling kesakitan dengan tangan terputus ditayangkan di televisi, bagaimana kira-kira perasaan dia, keluarga, handai tolan, dan rekan-rekan kerjanya? Sedih, terguncang, malu, dan seterusnya. Dengan sedikit moralistik perlu dikatakan, media masa semestinya meringankan beban atau memberikan empati, tak justru menambah kesedihan dan memperdalam trauma mereka.
Kedua, apakah kekerasan, kengerian, dan horor dalam peristiwa itu patut disajikan untuk masyarakat dari segala umur dan lapisan? Pengaturan pembatasan tayangan yang menampilkan kekerasan, sadisme, dan kengerian sudah pasti didasarkan pada asumsi dan pengalaman bahwa tayangan semacam itu berdampak buruk terhadap psikologi khalayak, khususnya anak-anak. Pemberitaan yang vulgar dan penuh kengerian tentang peristiwa kekerasan juga berpotensi mengintensifkan ketakutan atau kepanikan dalam masyarakat, meski barangkali tujuan media adalah sebaliknya: meningkatkan kewaspadaan masyarakat.
Ketiga, yang juga patut diperhatikan, kemungkinan pajanan media televisi justru menginspirasi kelompok-kelompok ekstrem untuk melakukan tindakan teror lebih lanjut. Apa yang terjadi pada peristiwa bom Mumbay beberapa tahun lalu perlu jadi pelajaran. Tayangan langsung televisi saat itu menggambarkan detail upaya penanganan pascatragedi di Hotel Taj Mahal. Dari layar televisi, teroris memantau pergerakan aparat keamanan di lokasi kejadian.
Tayangan itu memandu mereka melakukan serangan lanjutan. Belasan aparat keamanan kemudian tewas karena berondongan senjata otomatis teroris! Tanpa mempertimbangkan dampak dan hanya mengejar kecepatan dan eksklusivitas, pemberitaan televisi justru memperunyam situasi dan ”memfasilitasi” jatuhnya korban lebih banyak.

Dilema
Dilema antara kecepatan dan keutamaan! Inilah yang kerap dihadapi media ketika menghadapi momentum kekerasan. Hasrat memburu kecepatan dan eksklusivitas berbenturan dengan imperatif untuk menjadikan ruang publik televisi kondusif bagi perwujudan nilai kewargaan, solidaritas, dan empati sosial. Dilema ini dilatarbelakangi determinasi media rating. Rating sebagai parameter kepemirsaan memang suatu keniscayaan dalam industri televisi. Persoalannya, rating cenderung jadi satu-satunya referensi proses kreatif dan produksi televisi. Padahal, rating hanya didesain untuk mengidentifikasi ”apa yang sering ditonton masyarakat”, bukan ”apa yang aman ditonton masyarakat”, atau ”apa yang dibutuhkan masyarakat”.
Parameter kuantitatif kepemirsaan seharusnya tidak menegasikan parameter kualitatif-voluntaristik: pemberdayaan, pencerdasan, dan pengembangan ruang demokrasi; karena di dalam diri media selalu bersanding dua entitas sekaligus: institusi bisnis dan institusi sosial pengembangan keadaban publik. Dari titik ini pula masyarakat seharusnya tak berdiam diri melihat berbagai ketidakpatutan di televisi. Masyarakat punya hak untuk bersikap tegas terhadap pelanggaran prinsip-prinsip ruang publik media.
Perlu inisiatif sekaligus ketelatenan untuk selalu mencatat kesalahan yang terjadi, menyampaikan keberatan secara langsung—tanpa kekerasan—kepada media penyiaran, menulis surat pembaca, dan mendiskusikannya di forum-forum warga. Tak kalah penting, memaksimalkan keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers untuk menegakkan standar siaran dan kode etik secara konsekuen. Perbaikan kualitas ruang publik penyiaran akhirnya tergantung sikap masyarakat.

Agus Sudibyo Wakil Direktur Yayasan SET Jakarta
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/28/05280864/ke-tidak-patutan.di.layar.televisi
 

haa iki Marhaen dan Kesenjangan

Senin, 28 Maret 2011

Marhaen dan Kesenjangan

Oleh Tata Mustasya
 
Nasib Marhaen petani yang berdialog dengan Soekarno di kawasan Bandung Selatan 1920-an berulang dan sedang dialami jutaan warga.
Berada di sektor informal terutama pertanian, nyaris tak punya aset, bekerja keras tetapi hasilnya hanya memenuhi kebutuhan hidup ala kadarnya.
Diilhami dialog di atas, Soekarno secara kontekstual menggambarkan Marhaen sebagai kelompok terpinggirkan khas Indonesia yang relevan hingga kini. Dia tak spesifik mengacu kelas tertentu, seperti kelas buruh di Eropa. Marhaen mencakup petani kecil dan petani penggarap, pekerja rendahan, dan pedagang kecil. Dalam banyak hal, kelompok Marhaen banyak beririsan dengan kelompok miskin dan nyaris miskin (near poor).
Jika memakai standar pendapatan 2 dollar AS per hari, jumlah Marhaen bisa sekitar 100 juta orang. Dalam konteks demokrasi, kaum ini semestinya memegang peranan elektoral penting. Di permukaan hal itu benar, atau seolah-olah benar. Soeharto, misalnya, mulai memiliki kepercayaan diri tinggi akhir 1960-an setelah berkeliling Jawa untuk melihat keadaan di pedesaan dan berdialog dengan petani langsung. Dia menyimpulkan—dan benar—petani di desa merasa keadaan lebih baik.
Beberapa program karitatif SBY, seperti Bantuan Langsung Tunai, juga berusaha meraih simpati kelompok Marhaen. Dodi Ambardi (2009) mengungkapkan, parpol banyak menyuarakan populisme, tetapi sebetulnya ”satu suara” sebagai elite memperjuangkan kepentingan pribadi. Saat ini kita sulit melihat adanya keberpihakan yang programatik dan berdampak panjang bagi orang-orang seperti Marhaen.
Ada beberapa penyebab. Pertama, akses informasi kelompok ini sangat minim. Manipulasi elite dapat dilakukan dengan mudah. Proyek karitatif yang murah, misalnya, lebih visibel bagi kelompok ini dibandingkan kebijakan programatik. Kedua, karena beragamnya latar belakang kelompok Marhaen, sulit bagi mereka untuk mengorganisasikan diri menyuarakan aspirasi. Beberapa pendekatan seperti organisasi petani atau masyarakat miskin kota belum efektif.
Ketiga, elite politik pengambil kebijakan terikat kepentingan masing-masing, terutama karena mereka belum mampu menggalang dana dari masyarakat luas. Ambardi menyebutkan ketergantungan elite politik pada dana nonbudgeter. Kebijakan pun jadi bias dan mengabdi pada tujuan itu.

Mengatasi kesenjangan
Meski posisi kelompok Marhaen untuk menyuarakan aspirasi kolektif lemah, penurunan kesenjangan dan perbaikan kesejahteraan mereka mesti dilakukan secara proaktif oleh pengambil kebijakan, bukan sekadar sampingan dari pencapaian target makroekonomi.
Ada beberapa alasan. Pertama, amanat konstitusi untuk memajukan kesejahteraan umum.
Kedua, alasan teknokratis bahwa kesenjangan tinggi berdampak buruk bagi perekonomian. Salah satu sebabnya, tingkat tabungan dan investasi akan lebih rendah dalam situasi tersebut. Kelompok sangat kaya cenderung mengeluarkan uangnya untuk hal-hal kurang produktif bagi perekonomian, seperti membeli barang impor dan berinvestasi di luar negeri.
Ketiga, buruknya stabilitas sosial di tengah kesenjangan berupa dominasi kelompok kaya di satu sisi dan ketidakberdayaan dan kemungkinan ledakan sosial dari kelompok miskin di sisi lain.
Dua kebijakan dapat digunakan untuk mengatasi ini, mengacu Gary S Fields (2001). Pertama, memperbesar sektor modern. Strategi ini dapat berupa pembangunan sektor industri dan infrastruktur yang menyerap kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian dan sektor informal yang merupakan kantong kemiskinan. Kedua, mengembangkan sektor tradisional lewat pembangunan pedesaan terpadu. Kuncinya bukan campur tangan pemerintah yang berlebihan, tapi penerapan insentif-disinsentif yang tepat sasaran.
Keduanya mesti diimplementasikan agar pertumbuhan dan pemerataan tercapai bersamaan. Kecenderungan capaian pemerintahan SBY justru mengarah ke yang pertama, seperti pesatnya pertumbuhan jasa keuangan. Ini salah satu penyebab pertumbuhan kurang berkualitas.

Tata Mustasya Anggota Tim Perumus Visi Indonesia 2033
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/28/05263641/marhaen.dan.kesenjangan
 

Jumat, 25 Maret 2011

haa iki Semangat Gambaru

Jumat, 25 Maret 2011

Tsunami Jepang dan Pencerahan Media

Khoiri Akhmadi

Semangat gambaru yang ditulis Jansen Sinamo (Kompas, 18/3) terpancar dalam pemberitaan gempa dan tsunami melalui televisi di Jepang.
Selama hampir dua pekan mengamati televisi Jepang, NHK—yang direlai CNN dan Al-Jazeera—seperti seia sekata dengan semangat gambaru dalam kehidupan rakyat Jepang. Gambaru diartikan Jansen, mengutip mahasiswa Indonesia di Jepang, Rouli Esther Pasaribu, berjuang mati-matian sampai titik darah penghabisan, bekerja hingga batas kemampuan terakhir, atau melakukan segala daya upaya, bahkan yang terpahit sekalipun, untuk mencapai yang terbaik.
Stasiun televisi, setidaknya NHK, begitu semangat, cepat, dan detail mengabarkan detik demi detik perjalanan tsunami yang meluluhlantakkan beberapa kota di Jepang utara itu. Teknologi Skype yang luar biasa menyiarkan langsung menggunakan helikopter, sangat bermanfaat bagi korban bencana. Selain menjadi informasi terkini, kecepatan meliput secara langsung ini sekaligus menjadi peringatan dini tsunami bagi masyarakat.
Hebatnya, meski berita dihadirkan melalui siaran langsung, visual-visual yang tragis menyangkut nasib seseorang seperti otomatis teredit. Semangat gambaru dalam mengabarkan bencana terekspresikan dalam kerja keras dan cerdas serta menghindari hal-hal yang melankolis.
Tak ada tangisan di televisi, apalagi tumpukan mayat yang bergelimpangan di jalanan. Yang muncul, gambar-gambar detail tetap dramatis, tetapi tidak membuat orang sedih berkepanjangan. Pers di Jepang seolah ingin mengatakan: kami sakit, tetapi kami bisa bersama-sama mengatasinya. Mereka percaya, tampilan yang bebas dari air mata, darah, dan korban manusia itu akan memberi kontribusi positif dibandingkan dengan tampilan hujan tangis menyayat hati.
Hukum lama media, bad news is good news, dihadirkan dari sisi yang berbeda. Hasilnya, layar NHK dipenuhi upaya evakuasi, perbaikan, dan gotong royong. Media televisi Jepang telah menunjukkan fungsi epistemologi media yang mendorong masyarakat membangun sikap positif pemirsanya. Ini bukti semangat gambaru sudah merasuk ke dalam insan pers Jepang.

Media di Indonesia
Tidak ada salahnya pers Indonesia belajar dari semangat gambaru. Bukan berarti pers Indonesia belum punya semangat untuk bekerja keras memberitakan dengan cepat seputar bencana dan dampaknya. Namun, kerja keras saja tak cukup, harus didukung dengan kerja cerdas.
Bandingkan dengan tsunami di Aceh 2004. Masih banyak ditemui visual di televisi yang menyayat hati menyangkut korban manusia, baik yang masih hidup maupun yang tewas. Tangisan keluarga korban atau korban itu sendiri kerap diulang-ulang. Bahkan mayat-mayat yang ditumpuk juga masih mewarnai layar televisi sepekan pascatsunami.
Memang visual mayat dan tangisan korban adalah fakta. Begitu juga di Jepang, pasti banyak mayat dan banjir air mata korban yang selamat. Akan tetapi, televisi di Jepang berhasil mengemas visual bencana yang mampu menarik simpati dunia tanpa diwarnai gambar-gambar yang mengharu biru, tangisan, atau mayat-mayat di jalanan.
Dampak lain, hampir semua negara mengakui, Jepang hebat menangani bencana gempa dan tsunami. Pengakuan itu bukannya tanpa peran televisi yang berhasil membuat citra positif dalam penanganan pascatsunami melalui siaran-siarannya.
Selama ini media elektronik—radio dan televisi—merupakan salah satu media efektif dan cepat yang memberi peringatan dini tsunami pascagempa. Di Indonesia, ada kewajiban media penyiaran untuk menayangkan stop press peringatan dini tsunami (early warning system) yang diterima dari BMKG pada menit kelima. Mengapa menit kelima pascagempa?
Praktis selama lima menit itulah lembaga penyiaran bergantung pada BMKG yang mengolah data dari detik pertama hingga menit keempat tentang besaran gempa, pencarian titik pusat gempa, dan potensi tsunami. Pada menit kelima, berita baru dikirim ke media televisi dan langsung diudarakan melalui stop press selama 20 detik dengan alarm tinggi. Peringatan dini tsunami ini masih banyak yang harus dievaluasi dan dikoreksi.
Berbeda dengan Jepang, klaim Prof Jim Morid dari Universitas Kyoto, masyarakat hanya perlu 10 detik melalui televisi untuk mengetahui ada potensi tsunami atau tidak. Selain didukung peralatan canggih dalam peringatan dini tsunami, warga Jepang juga mempunyai kearifan lokal. Setiap ada gempa, warga Jepang akan langsung melihat televisi. Dengan melihat televisi, mereka akan tahu ancaman tsunami atau bahaya lain pascagempa.

Jepang telah membuktikan, dengan semangat gambaru, para kru televisi berhasil membuat tontonan sekaligus tuntunan bagi warganya. Semoga apa yang dilakukan media televisi di Jepang bisa menjadi bahan pencerahan bagi media televisi di Indonesia.
Khoiri Akhmadi Produser Sebuah Stasiun Televisi; Peserta Pelatihan Peringatan Dini Tsunami bagi Media oleh LIPI-BMKG-Ristek-Kemkominfo-GTZ 
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/25/04505718/tsunami.jepang.dan.pencerahan.media
 

haa iki pencapaian satu tujuan luhur hanya bisa terjadi jika seseorang dapat melewati berbagai macam godaan yang memang menjadi kelemahan dirinya

Jumat, 25 Maret 2011

Mau Menang, Harus Tahan Godaan Duniawi

KOMPAS/NINOK LEKSONO
Begawan Ciptaning. Menampilkan satria Pandawa yang tengah bertapa di Gunung Indrakila digoda oleh tujuh bidadari cantik.

Kekalahan main dadu dengan wangsa Kurawa bagi Pandawa sungguh amat menyakitkan. Selain negara Amarta lepas, status Pandawa pun melorot tanpa kehormatan. Mereka nyaris jadi budak Kurawa. Lebih menyakitkan lagi, Dewi Drupadi diperlakukan tak senonoh, hendak ditelanjangi. Pandawa pun akhirnya terusir dari Istana dan harus menjalani pembuangan selama 12 tahun.
Dalam pengembaraan inilah, atas nasihat Semar, Arjuna— bertekad ingin menebus kembali harga diri Pandawa dengan kemenangan dalam Baratayudha kelak—disuruh bertapa di Gunung Indrakila. Selama bertapa, Arjuna mendapat godaan tak main-main. Para dewa turun menawarkan pangkat dan harta serta janji bisa memutarbalikkan keadaan, yang benar disalahkan, yang salah dibenarkan. Lalu, tahu Arjuna pemuja wanita cantik, Arjuna—selama bertapa menggunakan nama Begawan Ciptaning atau Begawan Mintaraga—digoda tujuh bidadari paling cantik di Kayangan. Namun, Arjuna bergeming dan oleh para dewa dinyatakan lulus ujian. Ia pun dihadiahi panah sakti Pasopati, yang diserahkan langsung oleh Batara Indra.
Akan tetapi, untuk kehormatan itu, Arjuna harus menghadapi raja raksasa Niwatakawaca dari Kerajaan Imanimantaka yang menginginkan Dewi Supraba sebagai istrinya. Arjuna menyanggupi, dengan bantuan Dewi Supraba yang diminta untuk mencari tahu rahasia kesaktian sang raja raksasa.
Lakon Ciptaning termasuk salah satu yang paling populer dari kisah pewayangan Kakawin ”Arjunawiwaha” yang dianggit oleh Empu Kanwa semasa pemerintahan Raja Airlangga (1019-1042) di Kahuripan.
Diminta oleh dewi pujaan, Prabu Niwatakawaca ini pun luluh dan mengatakan bahwa rahasia kesaktiannya ada di pangkal lidahnya. Saat bertarung, Arjuna sering berpura-pura kalah, dan hal itu membuat Niwatakawaca tertawa terbahak-bahak. Namun, pada saat itulah Arjuna meluncurkan panah saktinya ke mulut lawannya, membuat Niwatakawaca rubuh kehilangan nyawa.

Penyucian diri
Lakon Ciptaning, Minggu (20/3), dipentaskan oleh Drama Wayang Swargaloka di bawah pimpinan Suryandoro di Teater Wayang Indonesia (Gedung Pewayangan Kautaman) TMII, Jakarta. Lakon yang naskahnya ditulis oleh Irwan Riyadi, yang sekaligus menjadi sutradara, ini menampilkan penari yang juga kuat dalam menampilkan drama, seperti halnya Dewi Sulastri yang memerankan Dewi Drupadi.
Semula, setelah kalah dalam permainan dadu, Arjuna bermaksud melabrak Kurawa dan merebut kembali Amarta dan memulihkan kehormatan saudara-saudaranya. Tetapi Semar menilai itu tidak ada gunanya, dan malah menasihatinya agar ia menyucikan diri. Dalam konteks itulah nama Begawan Mintaraga berarti, karena ’minta’ berarti ’pemisahan’ dan ’raga’ (tubuh). Sementara ”Ciptaning”—seperti disebut Ensiklopedi Wayang—berasal dari ’ciptahening’ yang berarti ’kebersihan jiwa’.
Jiwa yang terpisah dari raga, atau jiwa bersih seperti diungkapkan kata ciptaning, terbukti unggul dari godaan. Padahal, ketujuh bidadari yang diturunkan para dewa—Supraba, Wilutama, Warsiki, Surendra, Gagarmayang, Tunjungbiru, dan Lengleng Mulat—justru unggul dalam kecantikan dan kepandaian merayu.
Selain mendapat ujian berahi, Arjuna juga diuji kepandaian oleh Batara Indra yang menyamar sebagai Resi Padya. Di sini pun pertapa muda Arjuna lulus. Ia juga lulus ketika Goa Mintaraga yang jadi tempat pertapaan di Gunung Indrakila (yang berarti ’tempat suci yang kemilau’) diobrak-abrik oleh raksasa kepercayaan Niwatakawaca, yakni Mamangmurka. Ujian langsung bahkan datang dari Batara Guru sendiri, yang menyamar sebagai ksatria Kirata.
Ujian demi ujian di atas sengaja diberikan justru untuk memperlihatkan sisi-sisi kelemahan manusia, baik dalam kekuasaan, syahwat, maupun kepandaian. Bukan hanya di masa lalu, ujian seperti yang dialami oleh Arjuna di Goa Mintaraga juga dialami secara abadi oleh manusia hingga zaman sekarang.
Lakon Ciptaning menyampaikan pesan jelas, yaitu bahwa pencapaian satu tujuan luhur hanya bisa terjadi jika seseorang dapat melewati berbagai macam godaan yang memang menjadi kelemahan dirinya.
Pergelaran Swargaloka yang disampaikan dalam bahasa Indonesia sekitar 90 menit ini memberikan dimensi baru dalam upaya pelestarian wayang. Selain disaksikan oleh pencinta wayang, tontonan ini juga menarik minat generasi muda yang sering menganggap wayang sudah jadi seni antik. (ninok leksono)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/25/02430418/mau.menang.harus.tahan.godaan.duniawi
 

haa iki Usulan Solusi Strategis Masalah Pendidikan

Jumat, 25 Maret 2011

Dekastanisasi Pendidikan

Satryo Soemantri Brodjonegoro

Isu yang merebak selama ini secara terus-menerus adalah pendidikan tidak terjangkau oleh orang miskin. Bahkan muncul slogan, si miskin dilarang sekolah atau kuliah. Sekolah atau kuliah hanya untuk orang kaya.
Alasan utama yang diungkap masyarakat adalah bahwa pendidikan sangat mahal. Stigma ini sudah sangat melekat di masyarakat. Bahkan Mahkamah Konstitusi menggunakan dalih pendidikan mahal ini untuk membatalkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.
Pendidikan yang mahal ini pula yang kemudian menjadikan adanya kesan kastanisasi pendidikan.

Akar permasalahan
Daya beli masyarakat memang masih rendah, apalagi pertumbuhan ekonomi di tingkat akar rumput. Pertumbuhan ekonomi pun secara mikro belum beranjak secara signifikan.
Lemahnya kemampuan ekonomi masyarakat memaksa mereka membuat keputusan yang dilematis antara belanja pendidikan dan belanja bertahan hidup. Pilihan jatuh pada belanja bertahan hidup karena tidak dapat ditunda, sedangkan pendidikan masih dapat ditunda sampai mereka mempunyai dana cukup.
Di sisi lain, bagi mereka yang mampu, pendidikan tak jadi masalah, bahkan menjadi salah satu agenda belanja yang sangat menarik. Mereka dapat memilih sekolah atau perguruan tinggi yang sesuai minatnya sehingga memperoleh manfaat maksimal dari pendidikan yang ditempuh.
Tampak jelas disparitas akses pendidikan yang semakin lebar antara kedua kelompok tersebut. Gejala ini akan terus memburuk karena pertumbuhan ekonomi kita cenderung berpihak kepada yang mampu. Kesenjangan akses pendidikan akan berdampak pada kesenjangan sosial, dan bila terlalu lebar, kesenjangan tersebut dapat menimbulkan revolusi sosial.
Kita tentu tidak ingin terjadi revolusi sosial di negara tercinta ini. Apalagi, kita sadari bahwa bangsa ini adalah bangsa yang besar dan beradab, yang dilandasi semangat Bhinneka Tunggal Ika. Adapun kunci untuk mengatasi masalah kesenjangan adalah melalui pendidikan.
Oleh karena itu, pendidikan kita harus direformasi agar setiap anggota masyarakat punya peluang dan kesempatan serta akses yang sama untuk berkarya. Memang terkesan ironis apabila pendidikan kita selama ini menciptakan kesenjangan. Padahal, seharusnya pendidikan justru menghilangkan atau meminimalkannya.

Solusi strategis
Suatu reformasi strategis diperlukan dalam rangka dekastanisasi pendidikan. Suatu reformasi yang sifatnya menyeluruh, tidak hanya di tingkat pendidikan tinggi, tetapi harus dimulai dari tingkat pendidikan dasar, bahkan bila perlu dari tingkat pendidikan usia dini.
Selama ini mereka yang miskin tidak akan pernah sempat menikmati pendidikan tinggi karena sudah tersisih lebih dahulu dalam persaingan di pendidikan dasar. Di samping itu, keberhasilan pendidikan masyarakat harus dibarengi pelayanan kesehatan yang komprehensif. Sebab, kesehatan merupakan syarat utama keberhasilan peserta didik dalam belajar dan menempuh pendidikan.
Kualitas sumber daya manusia ditentukan oleh tingkat kesehatannya karena dengan kesehatan yang prima, pendidikannya akan optimal. Pencapaian kualitas pendidikan tidak berdiri sendiri, sangat ditentukan oleh kondisi ekonomi dan kesehatan masyarakat.
Pendidikan dasar 9 tahun atau 12 tahun adalah kebutuhan publik (public goods). Oleh karena itu, adalah kewajiban pemerintah mendanai penyelenggaraan pendidikan dasar agar terjangkau oleh seluruh masyarakat dalam koridor usia pendidikan dasar, yaitu 6-15 tahun atau 6-18 tahun. Dengan demikian, program wajib belajar akan dengan sendirinya terlaksana apabila tidak ada kendala biaya untuk mengikuti pendidikan dasar tersebut.
Pendidikan tinggi adalah semipublik atau semi-private goods, di mana biaya penyelenggaraannya ditanggung bersama oleh masyarakat dan pemerintah. Pendidikan tinggi akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi individu peserta didik, sedangkan pendidikan dasar utamanya memberikan manfaat yang signifikan bagi peradaban sosial masyarakat.
Keberlangsungan pendidikan yang ditempuh oleh peserta didik sangat bergantung pada kemampuan intelektualnya, yang harus selalu didukung secara finansial dan medis. Pertanyaannya, berapa besar kebutuhan anggaran pendidikan kita agar kastanisasi pendidikan ini dapat dihilangkan?
Penulis pernah melakukan kajian mengenai satuan biaya pendidikan dengan hasil sebagai berikut. Untuk pendidikan tinggi, satuan biaya penyelenggaraan pendidikan minimal Rp 18 juta per mahasiswa per tahun. Di tingkat SMA/MA/SMK, satuan biaya penyelenggaraan pendidikannya minimal Rp 10 juta per siswa per tahun. Untuk tingkat SMP/MTs, satuan biaya penyelenggaraan pendidikannya minimal Rp 5 juta per siswa per tahun. Adapun satuan biaya penyelenggaraan pendidikan untuk tingkat SD/MI minimal Rp 2 juta per siswa per tahun.
Dengan besaran tersebut, pemerintah dapat memperkirakan anggaran pendidikan tahunan sebagai berikut. Untuk SD/MI diperlukan anggaran Rp 60 triliun untuk 30 juta siswa, SMP/MTs diperlukan Rp 50 triliun untuk 10 juta siswa, dan SMA/MA/SMK diperlukan Rp 80 triliun untuk 8 juta siswa.
Sementara untuk pendidikan tinggi, biaya ditanggung bersama dengan masyarakat. Misalnya pemerintah berkontribusi 50 persen, diperlukan Rp 36 triliun untuk 4 juta mahasiswa. Dengan memerhatikan angka-angka tersebut serta tersedianya berbagai skema pembiayaan dan penganggaran, sebenarnya tidak mustahil kesenjangan pendidikan dapat diminimalkan.

Satryo Soemantri Brodjonegoro Mantan Dirjen Pendidikan Tinggi; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia 
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/25/04502643/dekastanisasi.pendidikan
 

haa iki Dari Fukushima ke Muria...

Jumat, 25 Maret 2011

Dari Fukushima ke Muria...

Ahmad Arif

Korban bencana gempa bumi dan tsunami yang seharusnya mendapat prioritas penanganan tersisihkan. Padahal, bencana alam kali ini merupakan salah satu yang terhebat dalam sejarah Jepang. Nyatanya, ketakutan akan ancaman bencana nuklir reaktor Fukushima Daiichi, sekitar 230 kilometer dari Tokyo, lebih menakutkan dan menyedot nyaris semua perhatian.
Kekhawatiran yang kini meliputi masyarakat Jepang bermula ketika tsunami datang pascagempa berkekuatan 9,0 skala Richter, 11 Maret 2011. Gempa dan tsunami menyebabkan sistem pendingin di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi gagal bekerja. Ledakan terjadi di Reaktor Unit 1 pada 12 Maret sore, disusul kebakaran di Reaktor Unit 2, 3, dan 4.
Horor merembet ke negara lain. Sebagian bergegas mengungsikan warganya dari negeri itu. Sejumlah orang kaya menyewa pesawat sendiri untuk pergi. Sekalipun tingkat kerusakan sejauh ini tidak sampai melelehkan bahan bakar nuklir, kegemparannya mengalahkan guncangan gempa 9,0 skala Richter.
Teknologi nuklir memang berisiko sekaligus merupakan optimisme terbesar dalam sejarah manusia, yang dengan sangat tepat digambarkan Alvin M Weinberg, ahli teknologi nuklir dan penganjur penerapan tenaga nuklir untuk maksud damai, sebagai ”The Faustian Bargain” atau ”Kontrak Faust”.
Jepang menjadi representasi ironi ”Kontrak Faust” ini. Meski menjadi satu-satunya negara yang pernah merasakan dampak paling fatal dari teknologi nuklir, yaitu bom nuklir, Jepang justru menjadi salah satu negara yang paling ekspansif menggunakan nuklir. Negara ini memiliki 54 PLTN yang memasok 30 persen kebutuhan listriknya. Jumlah reaktor ini terbanyak setelah Amerika (104 reaktor) dan Perancis (58 reaktor).

Transparansi informasi
Di tengah terpaan bencana gempa dan tsunami, Pemerintah Jepang sibuk menangani kebakaran di sejumlah reaktor Fukushima Daiichi, mengkaji dampaknya, dan mengabarkan data terbaru kepada publik. Ke-47 pemerintah prefektur di Jepang juga jungkir balik memantau kandungan radiasi di wilayah mereka, dari udara, tanah, air, hingga produk pertanian. Sementara untuk kawasan 20-30 km dari reaktor nuklir, data terus diperbarui setiap 10 menit.
Pada 21 Maret 2011, Pemerintah Jepang menyatakan, produk sayuran dan susu di empat prefektur—Ibaraki, Tochigi, Gunma, dan Fukushima—tercemar iodin-131 dan cesium-134 sehingga dilarang dipasarkan. Sehari kemudian, mereka juga menyatakan, terjadi pencemaran radiasi terhadap air laut di sekitar Fukushima Daiichi. Pada 23 Maret 2011, Pemerintah Metropolitan Tokyo menyatakan, air leding mereka tercemar iodin-131 dan tak aman dikonsumsi dalam jangka waktu lama.
Kerugian ekonomi sejauh ini belum dihitung pasti. Namun, bisa dipastikan hal itu akan berdampak luas dan jangka panjang, mengingat cesium-134 memiliki titik luruh hingga 34 tahun, sedangkan iodin-131 hanya delapan hari.
Masyarakat Jepang yang biasa patuh kepada otoritas pemerintahnya mulai dilanda krisis kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah mengatasi masalah itu. ”Banyak orang Jepang berpikir krisis nuklir ini sangat serius dan mulai meninggalkan Tokyo sekalipun pemerintah berulang kali mengatakan kebocoran radiasi tidak serius,” kata Yamamoto Nobuto, profesor ilmu politik di Keio University, Tokyo.
Sekalipun menuai banyak protes di kalangan warga, di satu sisi kita bisa belajar betapa Pemerintah Jepang sungguh-sungguh melindungi warganya. Jepang juga memiliki perangkat teknologi deteksi radiasi di semua prefekturnya. Lebih penting lagi, pemerintah dituntut transparan memaparkan situasi terbaru dan ancamannya bagi masyarakat.
”Pascatragedi Chernobyl di Ukraina (dulu wilayah Uni Soviet), transparansi menjadi salah satu syarat penting dalam industri nuklir komersial,” kata M Kunta Biddinika, mahasiswa doktoral di Tokyo Institute of Technology. Banyaknya korban Chernobyl disebabkan Pemerintah Soviet berusaha menutupi terjadinya kebocoran radiasi. Kebocoran terdeteksi 10 hari kemudian oleh detektor nuklir Swedia.
Transparansi pula yang membuat realisasi PLTN di Jepang sebenarnya tak juga berjalan mulus. Menurut Kunta, sebagian masyarakat Jepang tegas menolak PLTN. Warga kota Maki di Prefektur Niigata, misalnya, pernah menggelar referendum menolak rencana pembangunan PLTN di wilayah mereka.
Penolakan yang sama sebenarnya terjadi terhadap rencana pembangunan PLTN di Muria, Jawa Tengah. Sejauh ini Pemerintah Indonesia sepertinya yakin, secara teknologi PLTN aman dibangun di Indonesia.

Bukan hanya teknologi
Belajar dari kasus Fukushima Daiichi, masalah terbesar nuklir bukanlah pada kecanggihan dan keamanan teknologi nuklir semata. ”Teknologi nuklir terbaru didesain bisa mengoreksi kesalahan manusia,” kata Kunta, anggota Tim Nuklir Kedutaan Besar Republik Indonesia di Jepang.
Reaktor Fukushima, meski termasuk generasi lama, sudah diperbarui teknologinya untuk langsung padam saat gempa, seperti Jumat dua pekan lalu.
Pemerintah Jepang juga telah menyiapkan tanggul penahan tsunami setinggi 7,5 meter, sebagaimana diperkirakan terjadi dengan kemungkinan 99,9 persen dalam kurun waktu 30 tahun. ”Namun, kekuatan tsunami dan gempa dua pekan lalu ternyata di luar perkiraan kami,” kata ahli gempa dari The University of Tokyo, Teruyuki Kato.
Kekuatan prediksi dan mitigasi memiliki batas dibandingkan dengan gempa dan tsunami. Gempa Sendai, menurut Kato, berpotensi terjadi lagi dengan kekuatan yang tetap menjadi misteri. Sebagaimana Jepang, nyaris tak ada daratan di Indonesia yang aman dari ancaman gempa dan tsunami.
Lalu, benar siapkah Indonesia membangun PLTN?
Belajar dari Fukushima Daiichi, dalam pemanfaatan energi nuklir dibutuhkan kesigapan dan kredibilitas tinggi dari negara, terutama Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten).

Bahkan, Amerika Serikat, melalui USNRC—semacam Bapeten—semakin mempersulit syarat pembangunan nuklir pascakecelakaan Three Mile Island. Pemerintah AS juga memperkuat USNRC dengan pakar nuklir, mengimbangi para teknokrat di industri nuklir yang mencari untung dari berdagang teknologi nuklir.
Sudahkah Bapeten memperkuat diri, baik dari sisi keilmuan maupun tanggung jawab moral sehingga tak mudah tergiur bujuk rayu para pengejar rente teknologi nuklir? Sebagai bahan perenungan, mari kita buka catatan hitam pada 2008 saat dua pejabat Bapeten divonis dua tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi karena kasus korupsi....(Ahmad Arif, dari Tokyo)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/25/04140048/dari.fukushima.ke.muria...
 

haa iki : Apa Bedanya?

apa beda :

Khadafi menumpas demonstran
dengan
Serbuan gerombolan serigala ke Lybia?
karena

"TETAP SAJA RAKYAT YANG JADI KORBANNYA"

Kamis, 24 Maret 2011

haa iki Perang Asimetri di Libya

Kamis, 24 Maret 2011

Perang Asimetri di Libya

Sayidiman Suryohadiprojo

Serangan militer koalisi Barat terhadap Libya yang dipimpin Moamar Khadafy menghangatkan kembali masalah perang asimetri.
Apa perang asimetri (asymmetric warfare) itu? Ini adalah satu pengertian relatif baru dalam ilmu perang. Artinya merujuk pada perang antara belligerent atau pihak-pihak berperang yang kekuatan militernya sangat berbeda.
Akibat adanya perbedaan besar dalam kekuatan militer itu, lalu digunakan strategi dan taktik yang juga berbeda. Pihak yang relatif lemah kekuatan militernya, apabila ada pimpinan yang cerdas, tidak melakukan perlawanan konvensional karena pasti amat sulit dan berat menghadapi keunggulan lawannya. Maka, ia melakukan perlawanan nonkonvensional (unconventional warfare) yang dapat mengompensasi kelemahannya. Perang kemerdekaan bangsa Indonesia terhadap Belanda dan Perang Vietnam adalah contoh jelas dari perang asimetri.
Pengertian ini dimunculkan oleh seorang warga Amerika Serikta, Andrew R Mack, lewat bukunya yang berjudul Why Big Nations Lose Small Wars (1975). Tentu buku itu ditulis berhubungan dengan kegagalan AS dalam Perang Vietnam.
Akan tetapi, kalangan pertahanan AS semula tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap buku itu. Baru pada tahun 1990 diadakan penelitian serius tentang masalah tersebut. Setelah tahun 2004 baru kalangan militer AS memberikan perhatian sungguh-sungguh terhadap berbagai persoalan yang timbul akibat perlawanan nonkonvensional itu. Mungkin sekali hal itu dirangsang oleh perlawanan yang mereka hadapi di Afganistan dan Irak.

Adu kecerdasan
Belum tentu dalam perang asimetri pihak yang relatif lemah beralih pada perlawanan nonkonvensional. Kalau pimpinannya kurang cerdas atau kurang dapat mengendalikan cara berpikirnya, sangat mungkin ia tetap melawan secara konvensional. Akibatnya, perlawanan mereka dengan mudah diruntuhkan oleh lawan.
Pada tahap awal Perang Kemerdekaan Indonesia, misalnya, sampai pada penyerangan Belanda 21 Juli 1947, kekuatan pertahanan kita masih melakukan perlawanan konvensional. Maka, tentara Belanda dengan keunggulan senjata dan peralatan, organisasi dan latihan, dapat dengan cepat menembus pertahanan kita di semua front sehingga seakan-akan seluruh wilayah RI sudah dikuasai Belanda, kecuali beberapa daerah di Jawa dan Sumatera.
Ketika itu pemerintah kita belum paham perlawanan nonkonvensional. Ketika ada penghentian tembak-menembak, kita pun menyetujui kehendak Belanda agar semua kekuatan militer di Jawa Barat ditarik ke Jawa Tengah yang masih dikuasai Pemerintah RI.
Padahal, tepat sebelum Perang Kemerdekaan I itu pecah, pimpinan TNI sadar akan manfaat perlawanan gerilya kalau pertahanan konvensional kalah. Namun, sebelum kesadaran itu dijadikan perintah ke semua pasukan TNI, sudah terjadi serangan Belanda. Maka, pasukan Siliwangi di bawah pimpinan Jenderal Mayor (sebutan pangkat waktu itu) AH Nasution yang tahu sikap pimpinan TNI langsung beralih ke perlawanan nonkonvensional. Taktik gerilya pun diterapkan setelah Belanda menguasai sejumlah kota di Jawa Barat. Saat itu Belanda memang hanya menguasai kota-kota di Jawa Barat, sedangkan di luar kota, RI tetap berkuasa.
Oleh sebab itu, perintah Pemerintah RI agar Siliwangi meninggalkan Jawa Barat merupakan kegagalan strategi yang amat menguntungkan Belanda. Baru kemudian Pemerintah RI sadar dan paham akan pentingnya perlawanan nonkonvensional dalam perang asimetri itu.
Perang Kemerdekaan II yang berkembang setelah serangan Belanda ke Yogyakarta pada 18 Desember 1948 bertitik berat perlawanan gerilya TNI bersama rakyat. Perang pun berakhir dengan kemenangan Indonesia ketika Belanda pada 27 Desember 1949 harus mengakui kedaulatan bangsa Indonesia atas wilayah Indonesia.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah Moammar Khadafy cukup cerdas dan kuat kendali dirinya untuk melakukan perlawanan nonkonvensional kalau nanti kekuatan militer koalisi Barat tidak hanya mengebom Libya, tetapi juga mendaratkan pasukan untuk menguasai Libya. Sebab, dengan pengeboman saja mustahil koalisi Barat dapat memaksa Khadafy tunduk pada kehendak mereka.
Lagi pula, sekarang yang menggunakan cara nonkonvensional tidak hanya pihak yang lemah. Pihak yang kuat juga menggunakan cara itu untuk merongrong kekuatan perlawanan pihak lemah. Perang intelijen, perang informasi, perang ekonomi, perang komunikasi, dan perang budaya sekarang sudah lazim digunakan pihak kuat, seperti AS, untuk meluaskan dominasinya di dunia.
Maka, akan kita lihat siapa pihak yang lebih cerdas, lebih kuat mental dan fisik, serta lebih mampu kendali diri dan kendali organisasi dalam menjalankan pertarungan di antara mereka.

Sayidiman Suryohadiprojo Mantan Gubernur Lemhannas dan Mantan Dubes
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/24/04140395/.perang.asimetri.di.libya
 

haa iki Dinasti Politik Ekonomi Bisnis

Kamis, 24 Maret 2011

Dinasti Politik Ekonomi Bisnis

Christianto Wibisono

Global Nexus Institute sedang meneliti profil dan anatomi kekuatan ekonomi RI era reformasi dibandingkan dengan era Orde Baru.
Dalam daftar peringkat pembayar pajak terbesar tahun 1994, sepuluh besarnya adalah Putera Sampoerna, Soedono Salim, Henry Pribadi, Anthony Salim, Bambang Trihatmojo, Prajogo Pangestu, Eka Tjipta Wijaya, Saiman Hermawan, Sugianto Kusumo, dan Andree Halim. Tommy Soeharto muncul pada urutan ke-16.
Global Nexus Institute (GNI) telah mengusulkan kepada pemerintah era reformasi untuk membuka data pajak secara transparan. Mengherankan bahwa pada zaman Orde Baru keluarga Cendana tanpa ewuh pakewuh menaati pembayaran pajak secara transparan. Sementara pada era orde reformasi malah terdapat ketertutupan sehingga memicu angket pajak yang menimbulkan heboh koalisi nyaris pecah.
GNI telah menelusuri sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia yang telah merebak sejak zaman demokrasi liberal, terpimpin, Pancasila, dan reformasi. Pada zaman demokrasi liberal, mantan menteri segera jadi sasaran empuk kabinet dari partai yang tadinya oposisi dan menjadi perdana menteri. Karena itu, menteri dari PNI, seperti Iskaq dan Djody Gondokusumo (ini dari Partai Rakyat Nasional pecahan PNI), Syamsudin dari Masyumi, serta Wahib Wahab dari NU dan bahkan Menlu Ruslan Abdulgani pernah akan ditangkap Kolonel Kawilarang yang menjabat Pangdam Siliwangi. Pada zaman liberal itu kabinet memang jatuh bangun sehingga setiap saat mantan menteri akan diterkam oleh kabinet baru.
Tahun 1957 negara dinyatakan dalam keadaan darurat karena konflik daerah akan segera meletus jadi pemberontakan PRRI/Permesta. Buruh PKI mengambil alih perusahaan Belanda dan dinasionalisasi, tetapi yang menikmati adalah para kolonel Angkatan Darat yang diterjunkan penguasa perang KSAD Mayor Jenderal Nasution.
Ketika Nasution akan melakukan Operasi Budi memberantas korupsi, menurut Ruslan Abdulgani, Bung Karno menyatakan, ”Kalau kamu sikat para kolonel, PKI akan mendominasi.” Karena itu, Operasi Budi era Bung Karno juga tidak menyentuh struktur politik.
Tragisnya, setelah Soeharto berkuasa, tanpa ampun, tiga kroni Bung Karno, yaitu Aslam, Markam, dan Bram Tambunan, dijebloskan ke penjara dan aset mereka dijadikan BUMN PT PP Berdikari. Gubernur Bank Sentral Jusuf Muda Dalam dipenjara. Putra-putri Bung Karno hanya kebagian SPBU, itu pun dari uluran tangan Gubernur Ali Sadikin. Namun, Ratna Sari Dewi memang menikmati komisi proyek pampasan, yang tidak dapat ia nikmati semua karena rumah tinggalnya disita dan dijadikan museum TNI. Era Orde Lama berganti Orde Baru dengan dinasti politik ekonomi bisnis baru, yakni kerabat keluarga dan kroni Cendana.

”Dwifungsi penguasaha”
Orde reformasi, menurut Anindya Bakrie di The Jakarta Post, adalah orde yang memelihara institutional continuity mengacu teori Bill Liddle. Karena itu, praktis seluruh bangunan struktur dinasti politik ekonomi bisnis Orde Baru dilanjutkan tanpa tindakan korektif dari orde reformasi. Hanya korupsi marjinal yang disidangkan dalam kasus kroni dan kerabat Soeharto. Seluruh dinasti bisnis Orde Baru dan mesin uangnya masih berjalan terus. Mesin politik Golkar jalan terus, konglomerat kroni jalan terus, dan Indonesia beralih dari dwifungsi ABRI menjadi ”dwifungsi penguasaha” (baca: pengusaha merangkap penguasa).
Kita memang tak bisa melarang pengusaha jadi politisi. Akan tetapi, kita tidak pernah menghayati konsep konflik kepentingan. Bahwa kekuasaan politik bisa menjadikan atau dijadikan sumber kebijakan negara yang secara tidak fair menguntungkan bisnis kerabat, keluarga, dan kroni atau sang pengusaha yang merangkap jadi penguasa. Dewasa ini elite pengusaha yang memasuki sektor penyelenggara negara barangkali sudah mayoritas, mengalahkan elite birokrat dan cendekiawan atau unsur civil society. Negara dan pasar telah jadi satu dalam ”dwifungsi penguasaha”.
Ketika mengikuti seleksi calon pimpinan KPK, saya telah mengusulkan UU Antikonflik Kepentingan diberlakukan agar pengusaha yang jadi penguasa tidak mencampuradukkan kepentingan bisnis dalam mengambil putusan untuk dan atas nama negara dan bangsa. Putusan kebijakan yang harus menyangkut 240 juta jiwa manusia Indonesia tidak boleh dinomorduakan atau dikalahkan oleh kepentingan bisnis perusahaan yang dimiliki sang penguasa politik.
Di AS, Presiden Clinton dan Presiden Bush memercayakan aset bisnis yang dimiliki kepada blind trust management independent agar keduanya tidak terlibat dalam putusan yang bisa memengaruhi naik turunnya portofolio saham atau aset yang dimilikinya. Di Indonesia, orang meniru money politics AS tanpa menerapkan rambu-rambu institusi pengaman dan pengawasan yang obyektif dan independen.
Untuk korupsi masa lalu, yang jika merujuk WikiLeaks melibatkan nyaris semua pihak, itu harus diatasi dengan amnesti berpenalti. Beri kesempatan bertobat, mengaku dosa korupsi, serta menebus dosa membayar pajak dan denda. Yang tidak memenuhi ini dalam setahun dikenai UU Pembuktian Terbalik dan seluruh asetnya akan disita.
Mengingat praktik korupsi seperti yang dibocorkan WikiLeaks itu sudah jadi rahasia umum, jika negara ini tidak ingin bubar karena seluruh elitenya terkontaminasi, seyogianya ditempuh jalan amnesti berpenalti dan pembuktian terbalik. Semangatnya harus mengacu pada jiwa besar Nelson Mandela untuk mengampuni pelaku apartheid.
Setelah amnesti berpenalti, pembuktian terbalik, dan UU Antikonflik Kepentingan diberlakukan, kita memasuki lembaran baru, semangat baru, dan tekad baru untuk menyongsong masa depan yang bersih dari korupsi. Sebab, semua transparan, diawali keterbukaan pembayaran pajak dan laporan kekayaan yang dipantau oleh masyarakat secara mudah, jernih, dan tidak ditutup-tutupi.
Terobosan yang akan kita lakukan itu memerlukan semangat kenegarawanan dari seluruh elite, presiden, DPR, partai politik, dan LSM untuk benar-benar ingin menjaga agar ”dwifungsi penguasaha” ini tidak dipermanenkan dan tidak terkontrol secara transparan.

Christianto Wibisono CEO Global Nexus Institute
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/24/0412145/dinasti.politik.ekonomi.bisnis.
 

Rabu, 23 Maret 2011

haa iki ”Masalah nuklir bukan sekadar perhitungan teknis. Ada masalah etika dan perilaku, yang itu di luar kontrol kami, para insinyur nuklir.”

Rabu, 23 Maret 2011

PELAJARAN FUKUSHIMA

Nuklir Bukan Hanya Perkara Teknologi

KOMPAS/AHMAD ARIF
Di tengah ancaman kebocoran nuklir dari reaktor Fukushima Daiichi, Jalan Takeshita, Shinjuku, Tokyo, tetap ramai, Selasa (22/3). Pemerintah Jepang telah melarang pengiriman bayam dan susu dari empat prefektur sekitar Fukushima karena tercemar zat radioaktif di atas ambang normal.
Ahmad Arif

Ketika warga negara lain panik dan meninggalkan Jepang pasca-kerusakan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi, warga negara Indonesia di sana relatif tenang. Di balik ketenangan itu adalah 12 mahasiswa dan ahli nuklir asal Indonesia yang belajar dan bekerja di Jepang.
Tiap hari mereka mengkaji dan merilis data terbaru soal kebocoran radiasi ini dan sejauh mana tingkat amannya.
”Jika kondisi di Tokyo sudah membahayakan, kami yang pertama akan lari,” kata Muhammad Kunta Biddineka (32), mahasiswa program doktoral yang mengambil studi nuklir di The University of Tokyo. Ia menambahkan, ”Kita harus waspada soal nuklir ini, tetapi tidak perlu panik. Situasi Tokyo masih aman.”
Kunta adalah salah satu dari 12 mahasiswa Indonesia yang belajar nuklir di Tokyo. Jika dosen pembimbingnya, Ketua Laboratorium Research Laboratory for Nuclear Reactor Masanori Aritomi kini berkantor di Kantor Perdana Menteri Jepang untuk mendampingi pemerintah membuat kebijakan terkait nuklir, Kunta berkantor di Pusat Krisis Kedutaan Besar Republik Indonesia di Jepang.
Selama 10 hari terakhir Kunta dan anggota Tim Nuklir lain berkantor di KBRI untuk memantau perkembangan terbaru soal kebocoran nuklir di Fukushima Daiichi.
Analisis Tim Nuklir ini menjadi rujukan bagi KBRI untuk bersikap dan mengeluarkan keputusan penting terkait zona aman dan langkah-langkah yang harus diambil untuk mengantisipasi kebocoran radiasi. ”Tanggung jawab ini sangat berat sehingga awalnya kami khawatir juga kami akan keliru dalam memberi masukan,” kata Teddy Ardiansyah, juga mahasiswa doktor soal nuklir di The University of Tokyo.
Teddy adalah orang pertama yang diminta Dubes RI di Jepang M Lutfi untuk membantu membaca situasi. Lalu, ia menghubungi 11 temannya yang tengah belajar dan bekerja di bidang nuklir di Jepang. Ia juga menjalin komunikasi dengan para pakar nuklir Indonesia di Tanah Air, juga di berbagai negara lain, misalnya dengan ahli nuklir Indonesia di Chalmers University of Technology, Swedia, Alexander Agung.
Beberapa anggota tim nuklir yang lain adalah mahasiswa doktoral program nuklir Tokyo Institute of Technology, Dwi Irwanto, Syailendra Pramuditya, dan Teddy Ardiansyah; peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) yang mengambil program doktor di Tokyo Institute of Technology, Topan Setiadipura; Master in Nuclear Engineering Tokai University, Deby Mardiansah; dan peneliti Postdoctoral di Japan Atomic Energy Agency (JAEA), Sidik Permana.

Dalam tekanan
”Tiap hari kami deg-degan sebelum mengeluarkan rekomendasi. Kalau sampai salah, kami semua ke neraka karena bisa membahayakan orang lain. Kami selalu berdebat keras sebelum membuat kesimpulan tiap harinya,” kata Kunta.
Para anggota Tim Nuklir ini sedikit tenang setelah mendapat kepastian, yang menyebabkan ledakan bukanlah plutonium yang menjadi bahan bakar PLTN Fukushima Daiichi. Namun, yang meledak adalah hidrogen.
Topan Setiadipura mengatakan, Pemerintah Jepang sangat konservatif dalam melindungi warganya, terutama karena pengalaman buruk mereka terkait nuklir pascabom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Jaminan keamanan itulah yang selama ini membuat rakyat Jepang sangat percaya kepada otoritas pemerintah.
”Pemerintah Jepang menjamin keamanan produk yang beredar di pasar. Sejak kejadian Fukushima, mereka mengecek seluruh produksi makanannya di 47 prefektur. Jadi, bayam dan susu yang beredar di pasaran pasti yang sudah aman untuk konsumsi,” ujar Topan.
Ia menambahkan, jika air keran di Tokyo tercemar, pemerintah pasti akan menghentikan alirannya. ”Selama air masih mengalir, berarti sudah aman,” ujarnya.

Transparansi
Kunta mengatakan, kebocoran nuklir di reaktor Fukushima Daiichi menjadi pelajaran penting bagi para teknisi nuklir untuk berefleksi. Dari kasus ini, dia belajar banyak tentang kerepotan sekaligus kesigapan Pemerintah Jepang dalam menangani kasus ini.
Pemerintah Jepang sangat transparan soal kadar radiasi dan kondisi produk pertanian yang kemungkinan tercemar radiasi dalam upaya melindungi keselamatan warganya.
Bagaimana jika nuklir di tangan pemerintah yang tidak memiliki kredibilitas tinggi? Bagaimana jika Pemerintah Indonesia jadi membangun PLTN di Jepara dan terjadi kebocoran di sana?
Menjawab hal itu, Kunta mengatakan, ”Masalah nuklir bukan sekadar perhitungan teknis. Ada masalah etika dan perilaku, yang itu di luar kontrol kami, para insinyur nuklir.”

Ia menambahkan, sebagai teknokrat nuklir, ia dan kawan-kawannya memang berharap Indonesia akan membangun PLTN. ”Tetapi, melihat kondisi saat ini, kami bertanya-tanya soal kesiapan Pemerintah Indonesia, terutama soal perilaku dan tanggung jawabnya ke publik yang masih lemah,” katanya. (Ahmad Arif, dari Tokyo, Jepang)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/23/04181024/nuklir.bukan.hanya.perkara.teknologi
 

haa iki Apakah Kita Sekuat Jepang?

Rabu, 23 Maret 2011

Apakah Kita Sekuat Jepang?

Radhar Panca Dahana

Peristiwa alam, gempa dan tsunami, di Jepang terancam menjadi bencana kemanusiaan ketika beberapa reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima meledak.
Bayangan kengerian akan radiasi nuklir menggandakan kepanikan serta mulai mengganggu stabilitas mental dan intelektual masyarakat Jepang.
Laporan mutakhir Kompas (Senin, 21/3/2011) melukiskan hebat dan kuatnya karakter dan jati diri bangsa Jepang saat mengalami bencana beruntun itu. Dalam kelangkaan semua sumber daya, mereka tanpa mengeluh antre berjam-jam sepanjang 5 kilometer. Beberapa kisah juga mengabarkan bagaimana kesulitan yang dahsyat tidak melunturkan hasrat orang Jepang menolong orang lain.
Kekuatan bangsa seperti ini, ditambah sistem yang cepat tanggap dan akurat, membuat bangsa-bangsa lain memberi tabik. Bahkan PBB pun memberi apresiasi tinggi. Satu hal yang amat penting dari situasi ini adalah kepercayaan masyarakat Jepang kepada pemerintahnya, bahwa pemerintah akan bertanggung jawab menyelamatkan hidup mereka. Pemerintah menjadi acuan utama, sumber perlindungan, seperti orangtua yang penuh wibawa.
Maka, dalam dua lapis utama masyarakat, atas dan bawah, pemimpin dan rakyat, Jepang menunjukkan kepada dunia sebagai bangsa unggul. Pemerintah yang disiplin, beretos dan beretika tinggi, penuh tanggung jawab, relatif bersih dari penyimpangan, serta peduli hajat hidup rakyat membuat Jepang mungkin memiliki indeks kepercayaan publik (salah satu yang) tertinggi di dunia.
Begitu pun lapisan bawah. Menurut Profesor Yamamoto Nobuto dalam wawancara dengan Kompas, mereka berhasil membuktikan tingginya eksistensi sosial dalam diri setiap manusia Jepang. ”Komunitas menjadi basis sosial,” katanya.
Artinya, keberadaan atau eksistensi manusia bagi orang Jepang terfaktualisasi dan teraktualisasi berdasarkan referensi atau konteks pada faktualisasi dan aktualisasi orang lain, komunitasnya. ”Rasa kebersamaan kunci kebesaran bangsa ini,” ujar Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, ilmuwan Indonesia di Universitas Chiba. Bagaimana dengan kita?

Kita tidak kalah
Sebenarnya semua ciri dasar ”karakter kuat” bangsa Jepang juga kita miliki. Bahkan potensi kita mungkin lebih besar. Bukankah kita bisa antre hingga berhari-hari dan berpekan—dengan panjang antrean hingga 30 km—seperti yang terjadi di Pelabuhan Merak?
Kita melakukan semua dengan sabar. Kalaupun ada keluhan, kadang itu disampaikan dengan humor hitam. Bila keadaan akibat negara (cq pemerintah) tak menjalankan kewajiban itu terjadi di Eropa, Amerika, bahkan Jepang, tentu sudah berlangsung protes keras dan demonstrasi.
Begitu pun soal tolong-menolong sesama korban ataupun warga. Saya kira cerita semacam ini sudah menjadi kisah harian di negeri kita.
Soal solidaritas, kebersamaan, dan aktualisasi diri dalam konteks sosial? Sesungguhnya semua itu merupakan watak dasar dari kita, bangsa Indonesia. Kenapa hal itu terasa luntur atau katakanlah dipilin dan dimanipulasi menjadi solidaritas yang destruktif, seperti korupsi, kebohongan, kemunafikan, dan kekerasan fisik, itu dapat dibahas di tempat lain.
Dalam konteks tulisan ini, kita bisa membuktikan bagaimana manusia Indonesia pada dasarnya lebih sebagai homo socius ketimbang homo individualis. Kita merasa belum menjadi ”diri”, menjadi ”manusia” atau dadi wong kata orang Jawa, jika belum merasa berbuat untuk (kepentingan) orang lain/banyak. Pada momen itu kita merasa sebagian dari diri (jiwa dan pikiran) kita hampa, kosong.
Maka, lihatlah betapa banyak dari kita mencari momen itu dan mengisinya dengan pelbagai tindak sosial. Tak peduli ia agamawan, orang terpelajar, koruptor, atau penjahat sekalipun. Ada yang datang langsung ke daerah korban, ke tempat fakir, dan masuk ke ruang-ruang spiritual (yang sebagian ditawarkan seperti jasa spa atau tempat hiburan), dan seterusnya.
Tidak seperti dinyatakan Profesor Nobuto, semua berakar dalam kebudayaan asli dan dalam spiritualitas asli rakyat, bukan sekadar hasil pendidikan, seperti di Jepang yang datang dari masa Restorasi Meiji. Pendidikan adalah stimulus kuat, tetapi kebudayaanlah yang memberi fondasi. Akar kebudayaan kitalah yang membuat modus eksistensial kita berproses melalui konteks dan acuan sosialnya.

Selimut posmodern
Belakangan ini kita sama-sama mengeluh, bagaimana semua realitas diri yang sesungguhnya itu seperti hilang. Lalu, kita melihat Jepang yang begitu modern, tetapi tetap pada kekuatan etos dan etika tradisionalnya.
Namun, benarkah demikian Jepang saat ini? Dalam laporan pada hari yang sama, dengan opini dari profesor yang sama, Nobuto, Kompas melaporkan bahwa rakyat Jepang mulai kehilangan kepercayaan kepada pemerintah soal penanganan ancaman bencana nuklir.
Artinya, dalam waktu tidak lebih dari sebulan, gejala ketidakpercayaan kepada pemerintah—yang juga kita alami saat ini—sudah terlihat di negeri semakmur Jepang. Untuk ketidakpercayaan semacam itu, rakyat Indonesia membutuhkan waktu hampir setengah abad dan berganti lima presiden. Pukulan keras yang menghantam karakter kultural kuat bangsa kita datang bertubi, tidak hanya dari alam, tetapi juga dari sepatu dan peluru militer, dari politik yang selfish dan koruptif, dari pengusaha gergasi yang melihat manusia sebagai lembaran dollar saja, dari cara hidup yang artifisial dan virtual, dari gempuran kepentingan asing.
Saya kira, tanpa harus mengalami sejarah seperti rakyat Indonesia, Jepang—juga negara-negara ”hebat” Eropa dan Amerika—akan mendapatkan rakyat yang keras, ganas, culas, dan seterusnya. Karakter—pada momen itu—hanya tersisa dalam catatan historis dan biografis.
Hal yang menarik dari krisis kepercayaan orang Jepang, antara lain, hanya didasarkan pada informasi dari luar, tentang rentang aman radiasi nuklir. Amerika Serikat menyatakan 80 km, otoritas Jepang 30 km. Pemerintah AS dan sekutunya segera mengevakuasi warga di rentang 80 km, bahkan menutup kantor kedutaan di Tokyo yang berjarak 200 km.
Hanya dengan kerancuan informasi itu ”karakter kuat” orang Jepang goyah. Bagaimana membayangkan diri Anda, sebagai orang Indonesia, yang berdekade mengalami kerancuan semua standar dan ukuran, kehilangan etos dan etika? Akan tetapi, hingga hari ini, kesabaran itu, solidaritas itu, humor hitam itu, kesatuan bangsa itu, masih tetap bertahan. Tidakkah kita begitu kuat?
Mungkin belum banyak kita menyadarinya. Sangat sedikit yang dapat mengeksplorasi dan memanfaatkannya. Zaman posmodern ini telah memberi kita selimut hangat, yang tidak hanya menutupi rasa dingin dan cemas kita secara palsu, tetapi juga secara langsung menutupi (baca: menyembunyikan) realitas diri dan kekuatan kita yang sebenarnya itu.

Radhar Panca Dahana Budayawan
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/23/04413299/apakah.kita.sekuat.jepang.
 

haa iki Gerakan Melawan Rezim Tunasejarah

Rabu, 23 Maret 2011

Gerakan Melawan Rezim Tunasejarah

Muhidin M Dahlan

Kasus dicabutnya perlahan-lahan infus hidup Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin bukan soal mengagetkan bagi rezim tunasejarah.
Jangankan berharap mereka mendirikan pusat dokumentasi seideal yang dikerjakan manusia tekun seperti HB Jassin sepanjang hayat, yang sudah ada pun akan mereka jadikan bubur kertas.
Tak banyak pusat dokumentasi sekhusus PDS HB Jassin di Jakarta. Di dunia sinema ada Sinematek, yang hidupnya makin hari makin rudin. Sementara itu, di bidang seni rupa, pemerintah sama sekali tidak hadir.
Di bidang pers, pemerintah hadir di Solo. Jangan bayangkan pusat dokumentasi ini mirip Newseum di Washington DC, Amerika Serikat, yang jadi salah satu wisata dokumentasi pers dunia. Di Solo, melihat dokumentasi dan penataan arsip pers Indonesia yang usianya sudah seabad lebih, peneliti yang tekun sekalipun akan mempertimbangkan berkali-kali untuk hadir kali kedua di gedung itu.
Ciri-ciri rezim tunasejarah, antara lain, lekas lupa, tak memiliki lembaga arsip yang dinamis dengan pengelolaan yang kreatif, dan mereka yang bergiat di dunia dokumentasi menjadi anak tiri dalam semua profesi.
Ciri lekas lupa mudah kita lacak ketika sekelompok pemuka agama mengajukan 18 arsip lisan tentang kebohongan rezim tunasejarah ini dalam tiga tahun belakangan. Responsnya? Kalang kabut. Lupa. Ketimbang membuka dokumen ucapan-ucapan mereka sendiri (maaf, tak ada Pusat Dokumentasi Presiden Indonesia), mereka malah menyerang balik mirip orang mabuk.
Bagi rezim tunasejarah, lebih istimewa mendirikan pusat-pusat kesenangan—mal dan industri hiburan—ketimbang pusat pembelajaran sejarah yang kreatif. Memang ada ”taman pintar” di mana-mana, tetapi itu hanya proyek citrawi rezim. Itu pun dananya disumbang Jepang.
Alergi terhadap dunia arsip tampak dalam canda serius para amtenar rezim tunasejarah. Jika seorang amtenar ”diarsipkan”, dipekerjakan di kantor arsip seperti Arsip Nasional Republik Indonesia, berarti karier kepegawaiannya mentok. Mengapa demikian? Djoko Utomo, sang kepala ANRI (2008), mengatakan bahwa koleganya pada rezim tunasejarah itu masih menganggap arsip seolah-olah barang rongsokan, berupa kertas usang.
Pantas kemudian dunia arsip kita tak mengikuti gerak zaman. Jangan bayangkan pusat dokumentasi yang dikelola rezim tunasejarah ini mengarsipkan dengan serius catatan blog, status Facebook, atau kicauan yang muncul di Twitter sebagaimana dilakukan Library of Congress sejak 2000. Gudang arsip digital LOC telah menampung data sebesar 167 terabita.

Berpikir historis
Rezim yang berpikir historis akan memahami arsip sebagai memori kolektif, tempat berlaku kesepakatan institusional yang saling berkait antara ruang/geografi dan waktu/sejarah. Lantaran itu, arsip bukan benda mati.
Arsip bagian dari kehidupan dengan cara terus-menerus dirawat melalui tafsiran untuk kehidupan yang akan datang, bersandar pada kepentingan-kepentingan masa kini dengan tolok ukur peristiwa yang sudah-sudah.
Bagaimana menghidupkan sebuah arsip sebagai bagian organis bagi kenyataan? Rahzen (2010) menghadirkan sosok Dang Hyang Nirartha, pedanda (pendeta) yang berasal dari Kerajaan Daha dan pendiri Pura Uluwatu di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali.
Tokoh ini memiliki pandangan unik yang bisa kita rujuk untuk melihat bagaimana arsip sebagai organisme yang hidup. Dang Hyang Nirartha memiliki trikonsep: masa, yasa, basa. Ketiganya mata rantai yang tak bisa dipisahkan satu dan lainnya.
Masa atau waktu, zaman, dan kurun adalah sejarah yang berlangsung setiap waktu. Untuk mengikat dan menandai kurun dalam pergerakan sejarah, kehidupan membutuhkan ruang. Ruang itu dinamakan yasa, yang mewujud dalam bentuk monumen, patung, arsip.
Bagaimana menghidupkan dan mengontekstualisasikan jalannya masa dan konstruk material yasa itu? Kehidupan membutuhkan apa yang disebut basa atau bahasa. Basa adalah medium menafsirkan mengalirnya masa dalam tonggak-tonggak yasa. Di sini basa bisa kita sebut sebagai paradigma.
Sebagai paradigma, arsip kemudian bisa jadi gerakan bersama yang memungkinkan berdiri dan kukuhnya sebuah bangsa. Karena itu, pengarang Ceko, Milan Kundera, dengan yakin mengatakan, ”Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa, mudah saja. Hancurkan arsipnya!”

Apa yang dilakukan sekelompok anak muda di Twitter dan Facebook saat ini untuk menyelamatkan PDS HB Jassin kita sebut saja ”Gerakan Nirartha”. Gerakan ini menolak bala penghancuran nalar dan manipulasi sejarah (literasi), khususnya kontinuitas hidup sastra Indonesia modern, yang dilakukan rezim tunasejarah.
Muhidin M Dahlan Kerani di Indonesia Buku (Iboekoe), Tinggal di Yogyakarta 
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/23/04432835/gerakan.melawan.rezim.tunasejarah
 

haa iki Misteri Paket Bom Buku

Misteri Paket Bom Buku

Selasa, 22 Maret 2011 - 09:50 wib
IKRAR NUSA BHAKTI
Di tengah hiruk-pikuk pemberitaan dua harian Australia, The Age dan The Sydney Morning Herald, soal kemungkinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan abused of power (penyalahgunaan kekuasaan), satu demi satu paket bom dikirim oleh kelompok tidak dikenal ke beberapa individu yang dikenal masyarakat.

Paket pertama dikirim ke Kantor Radio KBR 68H ditujukan kepada Ulil Abshar Abdala, aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) yang kini menjadi anggota Partai Demokrat, berisi buku Mereka Harus Dibunuh, dengan surat memohon untuk menuliskan kata pengantar terhadap buku tersebut. Paket-paket berikutnya ditujukan kepada berbagai pihak, ada yang ke musisi Ahmad Dhani, ke Komjen Pol Gorries Mere, ke tokoh Pemuda Pancasila Yapto S, ke mantan Kapolda Jawa Barat, ada pula yang dikirim ke perumahan Kota Wisata Cibubur, dan salah satu pos polisi di Bandung.

Menanggapi aksi teror bom buku itu, Presiden SBY menyatakan ”meminta agar kelompok tertentu yang ingin menciptakan instabilitas jangan mengorbankan rakyat” (Seputar Indonesia, Sabtu, 19 Maret 2011). Hingga kini teror paket bom buku ini masih merupakan misteri, siapa pelakunya dan apa motif di balik aksi mereka? Karena peristiwa tersebut sangat berdekatan dengan berbagai rangkaian peristiwa sebelumnya seperti heboh pemberitaan dua harian Australia tersebut, dijalankannya ”Operasi Sajadah” yang mengikutsertakan prajurit Kodam Siliwangi. Begitu juga kasus-kasus penegakan hukum yang belum selesai terkait Bank Century dan mafia perpajakan (Gayus Tambunan), publik lalu mengaitkannya dengan teori konspirasi. Paling tidak ada lima konspirasi politik.

Konspirasi pertama, teror paket bom buku itu dilakukan oleh pemain lama, yaitu kelompok radikal Islam. Kekuatan mereka bisa saja telah melemah karena dua tokoh ahli bom asal Malaysia, DR Azahari dan Noordin M Top, telah tewas, para dalang pelaku Bom Bali I dan II serta Bom Marriott I dan II juga sudah ada yang dihukum mati atau masih di penjara, jaringan keuangan internasionalnya juga semakin dipersulit, dan keahliannya dalam merakit bom juga melemah karena sebagian ahlinya sudah tewas. Namun, jika dilihat modus operandi dan sasarannya, kemungkinan besar pelaku teror paket bom buku yang marak pekan lalu itu bukan kelompok ini.

Konspirasi kedua, yang banyak dipergunjingkan sebagian publik di Jakarta, ini bagian dari politik pengalihan agar masyarakat beralih topik pembicaraannya dari soal abused of power yang dilakukan Presiden SBY ke soal teror bom tersebut. Jika ini benar, pemerintah seakan sedang ”menabur angin dan akan menuai badai” yang jauh lebih besar lagi terkait legitimasi pemerintahan SBY-Boediono. Legitimasi politik Presiden SBY yang dari waktu ke waktu seperti dapat dilihat dari berbagai hasil survei semakin menurun itu bukan mustahil akan mencapai titik nadir jika nanti terbukti benar ada konspirasi penerapan politik pengalihan melalui teror bom.

Konspirasi ketiga, ini bagian dari konspirasi pelemahan rezim yang sedang berkuasa. Diduga ada kelompok-kelompok yang memiliki keahlian di bidang terorisme berupaya melemahkan rezim yang sedang berkuasa demi mencapai tujuan politik mereka.Teror bom bukan hanya menciptakan instabilitas politik, ketakutan pada masyarakat, melainkan juga melemahkan kredibilitas rezim di mata rakyat dan dunia internasional. Konspirasi keempat, ini dilakukan oleh kelompok yang ingin melakukan tekanan politik kepada pemerintah dengan dalih rezim bisa ”kami” lemahkan jika permintaan ”kami” ditolak. Jika ini benar, tetap masih menjadi misteri apa yang diminta kelompok ini kepada pemerintahan SBY-Boediono.

Apakah ini bermotifkan politik ataukah konsesi jabatan, kewenangan, atau ekonomi. Konspirasi kelima, konsistensi kelompok status quo untuk terus mengganggu reformasi dan demokratisasi di Indonesia. Ini pun tidak jelas siapa anggota kelompok ini dan apa tujuannya. Apakah mereka ingin memutar kembali jarum jam dari sistem demokrasi ke otoriter, ataukah ini sekadar ingin menunjukkan bahwa demokrasi telah gagal memenuhi aspirasi mereka dan aspirasi rakyat.

Lepas mana dari kelima teori konspirasi itu yang benar, perancang dan pelaku teror bom ini pastinya pernah belajar mengenai intelijen, terorisme, teror kota, atau gerakan antiteror. Mereka juga tentu mengetahui betapa amburadulnya sistem keamanan di negeri ini, termasuk, dan tidak terbatas pada, betapa Presiden SBY tidak berani mengambil tindakan strategis yang tepat, dan masih kurang baiknya koordinasi di antara aparat Polri dan TNI serta koordinasi di antara jaringan intelijen di negeri kita. Aparat intelijen dari berbagai instansi di negeri ini bukan mustahil sudah mengetahui siapa dalang dan pelaku teror paket bom buku ini. Jajaran Kantor Kementerian Koordinator Polhukam pastinya juga sudah memiliki informasi dan data awal yang akurat mengenai siapa pelakunya.

Kecanggihan aparat untuk melakukan penyadapan telepon dan menganalisis modus operandinya tentu juga semakin memperjelas siapa pelaku dan apa motifnya. Persoalannya adalah, hingga saat ini Presiden SBY hanya ”meminta” agar kelompok pelaku teror itu ”jangan mengorbankan rakyat” dan bukan mengambil tindakan tegas untuk menghentikan aksi teror ini dan jika perlu mengambil tindakan hukum yang sesuai. Dalam keadaan memaksa, tidak ada jalan lain selain Presiden SBY melakukan tindakan yang dikategorikan unnecessary evil (tindakan pantas dan tepat sasaran) yang memang tidak populer, tetapi harus diambil demi menegakkan kedaulatan negara,otoritas pemerintah, serta menjaga wibawa pemerintah.

Jika misalnya tindakan tersebut terpaksa dilakukan tanpa menimbulkan informasi yang memburukkan citra Indonesia di mata internasional, aparat negara tentu memiliki cara terbaik untuk melakukannya, asalkan teror bom ini benar-benar dapat dihentikan. Jika teror bom ini terus berlanjut, bukan hanya wibawa pemerintah yang berada di ujung tanduk, melainkan nama Indonesia juga akan buruk di mata internasional sebagai negara yang lemah karena tidak berani mengambil tindakan tegas terhadap pelaku teror, rakyat akan terus dilingkupi oleh rasa takut yang meluas, travel warning juga akan diberlakukan lagi oleh beberapa negara asing,pelaku bisnis juga takut menanamkan modalnya di Indonesia, dan citra buruk lain yang akan memojokkan negara dan pemerintah Indonesia.

Presiden tentu tidak menginginkan teror paket bom buku ini juga diletakkan di pelataran rumah kediaman pribadi beliau di Cikeas, Bogor. Jika itu terjadi, mau ditaruh di mana muka Presiden dan aparat keamanan Indonesia?

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Sumber : http://suar.okezone.com/read/2011/03/22/58/437429/misteri-paket-bom-buku

Selasa, 22 Maret 2011

Selasa  22 Maret 2011

Sendai Masih Porak Poranda

KOMPAS/AHMAD ARIF
Warga di kota Sendai, Prefektur Miyagi, antre membeli bahan makanan, Senin (21/3). Kelangkaan bahan makanan membuat warga harus antre berjam-jam sebelum toko buka, di tengah udara dingin. Namun, antrean tetap berjalan tertib.


----------------------------------------------------------------------------------------------
INTINYA ADALAH BUKAN  : 
APAKAH KITA BISA MEMBANGUN PLTN, APAKAH KITA BISA MENGOPERASIKAN PLTN,....DST....DST.....

AKAN TETAPI : 
MAMPUKAH KITA BERUBAH UNTUK BELAJAR : 

TAAT PERATURAN DAN DISIPLIN

haa iki Sikap itu berangkat dari kemauan melakukan otokritik atas apa yang sudah dipersiapkan dan apa yang seharusnya dilakukan pada masa depan.

Selasa, 22 Maret 2011

Bangsa Jepang, Bangsa Pembelajar

Tokyo, Kompas - Sekalipun dalam kondisi krisis akibat gempa bumi dan tsunami, disusul radiasi nuklir akibat bocornya PLTN Fukushima Daiichi, masyarakat Jepang menunjukkan kebersamaan dan kekuatan karakter untuk bangkit kembali. Sikap itu berangkat dari kemauan melakukan otokritik atas apa yang sudah dipersiapkan dan apa yang seharusnya dilakukan pada masa depan.
Berbeda dengan Jepang, saat bencana mendera Indonesia, seperti gempa, tsunami, dan letusan gunung berapi yang susul-menyusul dalam enam tahun terakhir, terlihat betul kelemahan bangsa ini, dari ketidaksiapan infrastruktur, kacaunya manajemen bencana, hingga penjarahan oleh masyarakat.
Kekeliruan itu terus berulang hingga gempa dan tsunami terakhir melanda Mentawai serta Gunung Merapi meletus, akhir tahun 2010 lalu.
Bahkan, negara maju lain, seperti Amerika Serikat, terbukti tidak sekuat Jepang saat menangani badai Katrina. Penjarahan terjadi di wilayah Louisiana setelah badai terjadi.
Pakar bencana dan gempa Jepang yang ditemui wartawan Kompas Ahmad Arif setelah gempa dan tsunami mengakui, bencana kali ini melampaui perkiraan dan antisipasi yang telah dilakukan. Namun, mereka yakin mampu belajar dari bencana ini untuk bersiap diri lebih baik mengantisipasi bencana berikutnya.
Teruyuki Kato, profesor gempa dari Earthquake Research Institute The University of Tokyo, mengatakan, banyaknya korban yang jatuh dalam gempa bumi dan tsunami terjadi karena pemerintah dan ilmuwan gagal mengantisipasinya.
”Kami sudah menerapkan sistem pencegahan tsunami, juga pendidikan kepada masyarakat agar waspada bencana. Ternyata bencananya lebih besar dari perhitungan,” katanya.
Kato mengatakan, para ilmuwan di Jepang sudah memperkirakan terjadi gempa bumi di sekitar Miyagi. ”Perkiraannya terjadi dalam 30 tahun ini dengan kemungkinan 99,9 persen. Kekuatan gempanya diperkirakan hanya 7,4 skala Richter dengan tsunami maksimal 6 meter,” ujarnya.
Karena itu, Pemerintah Jepang telah membangun tanggul di sepanjang pantai dengan ketinggian 10 meter. Ia menambahkan, ”Namun, tsunaminya ternyata lebih besar. Kami harus belajar lebih banyak lagi ke depan.”
Semangat untuk mengoreksi kesalahan dan membangun lebih baik disampaikan Yozo Goto, ahli gempa di universitas yang sama. Gempa Kobe tahun 1981 membuat Pemerintah Jepang menetapkan standar bangunan tahan gempa hingga skala 6 MMI.
Dari pengalaman itu, gempa pekan lalu hampir tidak merusak bangunan dan infrastruktur jembatan, bahkan rel kereta api. ”Yang jadi masalah sekarang, tsunami. Sekuat apa pun bangunannya, kalau kena tsunami, akan terlewati dan bisa roboh. Ini tantangan ke depan,” kata Goto.
Yamamoto Nobuto, profesor di Departemen Politik Keio University, Tokyo, mengatakan, Pemerintah Jepang sebenarnya tak siap dan terlambat mengatasi bencana ini. Penyaluran bantuan kurang baik. Sepekan setelah bencana, distribusi bantuan masih tersendat. Namun, warga Jepang di pengungsian sangat kuat dan tidak mengeluh.
”Masyarakat di pedesaan, khususnya di utara, seperti Tohoku, punya rasa memiliki komunitas yang kuat. Saya lihat tayangan di televisi, ada kakek-kakek di pengungsian yang membuat sumpit karena ingin berbuat sesuatu untuk kepentingan bersama. Intinya, masyarakat tidak akan menuntut banyak,” paparnya.
Di beberapa titik pengungsian di Kesennuma, Miyagi, nyaris tak ada keluhan dari para pengungsi sekalipun mereka dalam kondisi sulit, misalnya tak ada pemanas di tengah suhu di bawah nol derajat celsius. Mereka bersikap tenang dan antre dengan tertib.
Nobuto menambahkan, media massa di Jepang memiliki peran penting membangun karakter bangsa. Saat ada bencana besar, seluruh jam tayang iklan di televisi dibeli pemerintah untuk menyiarkan layanan masyarakat perihal bagaimana seharusnya berbagi dan berbuat baik.

Pendidikan karakter
Bambang Rudyanto, profesor di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Wako University, mengungkapkan, karakter masyarakat Jepang terbentuk dari kebiasaan sehari-hari yang dipelajari dari komunitasnya. Untuk pendidikan dasar, mereka lebih mementingkan pembentukan karakter dibandingkan dengan kognisi.
Nilai tradisional juga dipegang teguh, misalnya ajaran bushido. Mereka diajari untuk bersifat kesatria.
”Ada juga istilah gaman zuyoi, artinya kita harus tabah, yang diungkapkan saat menghadapi masalah,” kata pria yang telah 22 tahun tinggal di Jepang ini.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/22/0323595/bangsa.jepang.bangsa.pembelajar
 

haa iki Apa yang membedakan China dan Indonesia?

Selasa, 22 Maret 2011

China Membangun dengan Kesungguhan

Apa yang membedakan China dan Indonesia? Kedua negara ini sama-sama dituntut memenuhi kebutuhan pangan warganya yang terus bertambah.
China dan Indonesia sama-sama dihadapkan pada keterbatasan lahan pertanian karena lahan tidak bertambah luas. Tantangan perubahan iklim juga sama-sama berat.
Yang membedakan China dari Indonesia adalah soal strategi mereka dalam membangun sektor pertanian dan penyediaan pangan warganya.
Dalam mengembangkan sektor pertanian, sejauh pengamatan Kompas yang berkunjung ke China pekan lalu, Pemerintah China sejak tiga puluh tahun lalu gencar melakukan mekanisasi. China menyadari, untuk menciptakan daya saing pertanian mereka, tak ada pilihan selain mengefisienkan usaha.
Kalau tidak? Pasar domestik mereka akan dibanjiri produk pertanian dari Brasil dan AS. Satu-satunya cara menuju efisiensi produksi adalah menjalankan mekanisasi pertanian. Kebijakan inilah yang sekarang banyak dijalankan, termasuk oleh Guangdong Agribusiness Group Corporation (GDA), perusahaan BUMN China di Guangzhou, dalam mengelola perkebunan tebu seluas 150.000 hektar.
Mekanisasi dilakukan GDA mulai dari penanaman benih, pemupukan, penyiangan, pengairan, hingga pemanenan. Hasilnya, mereka mampu menghemat luar biasa. Sebagai ilustrasi, untuk setiap hektar tanaman tebu, bila dipanen menggunakan tenaga manusia dibutuhkan 3-4 orang dalam sehari.
Dengan mesin pemanen tebu, segalanya dibuat lebih praktis. Tebu yang dipanen secara mekanis langsung dipotong dan dipisahkan dari sampah, kemudian dituang ke truk pengangkut. Mesin lainnya menyusul di belakang, lalu membalikkan tanah guna menutupi sampah daun. Untuk lahan seluas 10 hektar cukup digunakan satu mesin dan selesai sehari.
Mekanisasi dalam memanen tebu juga mengurangi risiko kehilangan hasil karena keterlambatan panen akibat kesulitan mencari tenaga tebang. Maklum, buruh tani di China lebih memilih bekerja di pabrik daripada menebang tebu.
Untuk irigasi, GDA juga menerapkan sistem khusus. Air irigasi disedot menggunakan mesin pompa lalu disemprotkan menggunakan pipa irigasi dari atas secara serentak sambil berputar. Model irigasi ini mampu menjangkau tanaman tebu dalam radius 300 meter dengan luasan 30 hektar.
Melalui cara ini, produktivitas tanaman tebu bisa ditingkatkan hingga 10-20 persen, dari semula 90 ton menjadi 110 ton per hektar. Terkait benih, menyadari benih sangat vital dalam mendorong peningkatan produktivitas maupun rendemen gula, China serius melakukan riset. Di setiap kabupaten dan provinsi serta di perusahaan terdapat pusat-pusat riset.
Meski menjalankan mekanisasi, China tidak asal-asalan melakukannya. Menyadari mekanisasi bakal mengurangi tenaga kerja pada sektor pertanian, China menyiapkan industri sebagai penampung. Industrialisasi bukan semata tugas pemerintah, tetapi juga swasta dan BUMN. (HERMAS E PRABOWO)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/22/0348176/china.membangun.dengan.kesungguhan
 

Selasa, 15 Maret 2011

haa iki Kecurigaan publik tidak boleh dibiarkan

Selasa, 15 Maret 2011

WikiLeaks dan SBY

Hikmahanto Juwana
Tanggal 11 Maret, koran The Age dan The Sydney Morning Herald akhirnya memublikasikan kawat-kawat diplomatik Kedutaan Besar AS di Indonesia yang didapat oleh WikiLeaks secara ilegal.
Menurut kedua media, WikiLeaks telah memberikannya kepada mereka secara eksklusif. Kehebohan pun muncul. Istana membantah kebenaran informasi yang dibocorkan. Duta Besar AS untuk Indonesia dipanggil Kementerian Luar Negeri. Dubes Scott Marciel pun menyampaikan penyesalan atas apa yang terjadi pada Presiden SBY dan rakyat Indonesia. Menjadi pertanyaan apakah akan ada penayangan kembali bocoran kawat diplomatik Kedubes AS oleh media Australia? Ini mengingat WikiLeaks mengatakan, ada 3.059 kawat dari Kedubes AS di Jakarta di tangan mereka.

Dimensi
Pembocoran kawat Kedubes AS di Jakarta oleh dua media di Australia punya implikasi pada dua dimensi, yakni dimensi internasional dan dimensi nasional di Indonesia. Dalam dimensi internasional, pembocoran kawat Kedubes AS di Jakarta masih sesuai dengan tujuan utama WikiLeaks: menghancurkan kredibilitas AS di mata dunia. Dalam dimensi kedua yang tidak dialami oleh negara lain sebelum Indonesia, secara nasional penayangan kawat Kedubes AS berpotensi mengguncang stabilitas pemerintah dan tekad pemerintah memerangi korupsi.
Dimensi nasional terjadi karena ada dua alasan. Pertama, publik Indonesia memiliki sensitivitas dan kecurigaan sangat tinggi terhadap para penyelenggara negara terkait isu korupsi. Kedua, berpotensi mengganggu proses normalisasi kekisruhan di tingkat elite, yang beberapa waktu lalu memuncak.
Bocoran yang diungkap dua media Australia sebenarnya tak akan berpengaruh secara signifikan di tingkat internasional. Ini mengingat publik internasional telah dewasa dalam menanggapi bocoran WikiLeaks. Tentu tak demikian dalam dimensi nasional. Kekhawatiran para elite atas bocoran WikiLeaks sebagai legitimasi publik atas rumor-rumor tidak bertanggung jawab jadi bayang-bayang.
Dalam konteks ini Pemerintah AS melalui Dubes Marciel bisa memahami kondisi Indonesia dan akhirnya mengambil tindakan yang belum pernah dilakukan (unprecedented) pada negara lain terkait bocoran kawatnya. Mereka menyampaikan penyesalan meski didahului dengan pernyataan bahwa AS tidak membenarkan (confirm) atau menolak (deny) kabel-kabel para diplomatnya yang bocor, apalagi kasus tertentu. Klarifikasi dan permintaan maaf untuk kasus tertentu bagi Pemerintah AS berarti membenarkan informasi dari kawat yang bocor tersebut. Implikasinya, Pemerintah AS harus meminta maaf kepada semua negara yang kondisi dan pejabatnya dilaporkan secara negatif oleh para diplomatnya ke Washington.

Antisipatif
Meski telah melakukan sejumlah langkah sebagai pengendalian atas kerusakan (damage control) yang diakibatkan dari penayangan bocoran kawat oleh dua media Australia, seharusnya pemerintah melakukan langkah antisipatif. Hal ini mengingat sejak Desember 2010 telah terdengar kabar WikiLeaks memiliki bocoran kawat rahasia dari Perwakilan AS di Indonesia.
Penulis pernah memperingatkan pemerintah untuk mengambil langkah antisipatif terhadap informasi WikiLeaks ketika Wakil Menteri Luar Negeri tidak ingin berkomentar atas informasi yang ada di tangan WikiLeaks karena belum diketahui isinya. Penulis meminta pemerintah proaktif berkomunikasi dengan Kedubes AS terkait isi informasi yang dikirim oleh para diplomat AS. Tentu caranya harus dilakukan secara tertutup.
Selanjutnya, pemerintah perlu mendewasakan publik sehingga bila ada kebocoran kawat para diplomat AS yang tak enak didengar, seperti saat ini, publik dan para pejabat tak akan reaktif. Memang harus dipahami oleh publik, termasuk pejabat dan jurnalis, para diplomat, tak hanya yang dari AS, dalam menyampaikan laporan ke negara asal mendasarkan diri pada dua kategori informasi.
Pertama adalah apa yang dibaca di media massa atau pidato tertulis para pejabat negara. Kedua adalah hasil percakapan dengan narasumber yang berlatar belakang aktivis, akademisi, politisi, dan pejabat setempat. Dalam konteks perolehan informasi dari narasumber, informasi yang didapat lebih banyak bukan informasi yang didasarkan pada bukti kuat atau informasi yang belum disaring karena masih berupa gosip jalanan ataupun informasi yang diberikan untuk keuntungan bagi informan. Langkah lanjutan yang perlu dilakukan pemerintah agar kerusakan di dalam negeri tidak lebih berdampak adalah melakukan pendekatan dengan media massa Australia. Pendekatan bisa dilakukan dengan difasilitasi oleh Pemerintah atau Kedubes Australia.
Pendekatan ini penting karena ada dua alasan mendasar. Pertama, karena media Australia mendapat bocoran kawat Per- wakilan AS di Indonesia dari WikiLeaks secara eksklusif. Kedua, media Australia sebenarnya hanya dimanfaatkan oleh WikiLeaks sebagai medium. Besar kemungkinan WikiLeaks telah mengubah strategi dalam penayangan bocoran kawat yang sebelumnya mengandalkan situs web dan koran Inggris, The Guardian.
Agar memiliki daya tekan terhadap AS, kini WikiLeaks memberikan secara eksklusif bocoran ke media massa pilihannya. Bisa jadi ini merupakan serangan balik terhadap upaya AS menghancurkan operasi WikiLeaks. WikiLeaks dalam konteks itu telah berhasil. Hanya, Indonesia secara internal menjadi korban. Bahkan bukan tidak mungkin hubungan Indonesia dan Australia akan terkena dampak.
Oleh karena itu, media Australia diupayakan mengakhiri penayangan isi kawat yang dibocorkan. Dikhawatirkan penayangan oleh media massa Australia dipersepsi publik Indonesia sebagai serangan Australia terhadap Indonesia.
Langkah lanjut lain, pemerintah perlu membentuk tim investigasi yang independen dan kredibel untuk mengungkap siapa saja pejabat yang memberikan informasi kepada diplomat AS dan apa motivasi mereka. Ini penting mengingat laporan diplomat AS ke Washington tak mungkin hasil rekayasa mereka sendiri.
Mental pejabat dalam mengumbar informasi kepada diplomat asing agar diakui dekat dengan kekuasaan harus diakhiri. Para pejabat harus paham, di mata para diplomat asing, informasi dari pejabat bernilai sangat tinggi dibandingkan dari aktivis, akademisi, atau wartawan.
Baik pejabat maupun politisi harus menghentikan penyampaian informasi kepada diplomat asing yang bertujuan politis. Tujuan politis dimaksud adalah meminjam tangan negara asing untuk melawan rival politiknya, bahkan melawan atasan pejabat yang menyampaikan informasi. Hasil tim investigasi perlu diungkap untuk menepis kecurigaan publik. Kecurigaan publik tidak boleh dibiarkan. Jangan sampai kecurigaan atas bocornya kawat Perwakilan AS di Indonesia menjadi pemicu ketidakpercayaan publik kepada elite dan para penyelenggara negara.

Hikmahanto Juwana Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/15/03085047/wikileaks.dan.sby