Senin, 27 Februari 2012

haa iki : Sugeng Tindak bu Siti

Assalamu'alaikum Wr Wb,

minggu ini telah tiba waktunya, setelah sekian lama nandalem menanggung sakit seorang diri, Gusti Allah nimbali nandalem. tentu saja sebelum itu nandalem pasti sudah di lingkupi kesunyian, bahkan bukan hanya di saat-saat sakit, tapi telah bertahun-tahun sejak muda nandalem hidup dalam sepi sendiri. Insya Allah nandalem selalu menerima dengan ikhlas takdir yang nandalem sandang, sebagian orang dari sekitar nandalem menjadi 'orang' terangkat harkat kehidupannya, dan nandalem tetap sendiri selalu dengan kesunyian. kini tidak lagi nandalem dapat melihat gajah di alun-alun kidul seperti yang dulu nandalem suka lakukan sebelum sakit, apa yang nandalem pikirkan saat seperti itu tentu saja tak ada yang tahu malah mungin tak ada yang peduli. dan kalo tak salah nandalem juga tidak pernah bercerita untuk apa nandalem duduk-duduk disana melihat gajah, ataukah nandalem berusaha mengingat kembali pancaran rumah di kelokan jalan sebelah utara kandang gajah? yahhh mungkin rumah itu penuh kenangan buat nandalem namun sudahlah semua sudah berlalu, bahkan nandalem pada akhirnya juga harus kembali pada kasedan jati.
 "Sugeng Tindak bu Siti, mugi Gusti Allah kerso nampi sedoyo amal kasaean nandalem, lan Gusti Ingkang Murbeng Dumadi ugi Kerso Maring Pangapuro sedoyo kalepatan nandalem." (minggu 26 feb 2012) - Kito Sedoyo Kagunganipun Gusti Allah, lan Dhumateng Gusti Allah ugi Kito Sedanten Badhe Wangsul- Amin.

Wassalam.

Kamis, 23 Februari 2012

haa iki lagune Ritta Rubby Hartland

lyric : Kepada Alam Dan Pencintanya 

Pendaki gunung sahabat alam sejati
Jaketmu penuh lambang
Lambang kegagahan
Memproklamirkan dirimu pencinta alam
Sementara maknanya belum kau miliki

Ketika aku daki dari gunung ke gunung
Disana kutemui kejanggalan makna
Banyak pepohonan merintih kesakitan
Dikuliti pisaumu yang tak pernah diam

Batu-batu cadas merintih kesakitan
Ditikam belatimu yang tak pernah ayal
Hanya untuk mengumumkan pada khalayak
Bahwa disana ada kibar benderamu

Oh alam... korban keakuan
Oh alam.. korban keangkuhan
Maafkan mereka yang tak mau mengerti
Arti kehidupan...

Senin, 13 Februari 2012

haa iki : Ironi PDB

Sumber : http://web.inilah.com/read/detail/1829593/ironi-pdb

Kolom Andi Suruji

Ironi PDB!

Headline
Andi Suruji - inilah.com
Oleh:
Senin, 13 Februari 2012 | 13:37 WIB 
 
PEREKONOMIAN tumbuh cukup tinggi. Pendapatan per kapita masyarakat meningkat. Itu klaim pemerintah. Lantas mengapa panjang barisan pengangguran tak berkurang, dan jumlah orang miskin tidak menurun signifikan?
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan besaran perekonomian Indonesia yang diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun lalu telah mencapai Rp7.427,1 triliun. Kalau diukur pakai dolar Amerika Serikat, ya kira-kira US$850 miliar. Nah dari besaran PDB itu, jika dibagi dengan jumlah penduduk pada posisi tengah tahunan (sesuai teori ekonominya), diperoleh angka Rp30,8 juta atau US$ 3,542,9 per orang. Itulah yang diklaim sebagai pendapatan per kapita.
Hebat…! Selayaknyalah kita berbesar hati menyaksikan angka-angka itu. Apalagi, banyak negara lain yang terpuruk perekonomiannya. Teorinya, jika pertumbuhan ekonomi tinggi, pendapatan per kapita melonjak, menjadi indikator bertambahnya tingkat kesejahteraan rakyat. Sayangnya, apa yang dilihat mata – seperti angka-angka tadi – belum tentu bisa terkoneksi dengan rasa perasaan rakyat kebanyakan.
Mari kita merenung sejenak! Kita periksa orang-orang sekitar! Contoh paling dekat, pembantu rumah tangga. Apakah betul mereka itu, yang bekerja kadang-kadang lebih dari delapan jam sehari, memang telah mengantongi pendapatan Rp30,8 juta dalam setahun? Jika ya, syukur Alhamdulillah.
Fenomena pembantu rumah tangga ini membalikkan teori ekonomi. Kita sering kali kesulitan mencari pembantu. Artinya pembantu itu langka. Padahal teori ekonomi mengajarkan, sesuatu yang langka, permintaan tidak bisa terpenuhi oleh penawaran, pasti harganya mahal. Nyatanya, walaupun kita kesulitan, pontang-panting mencari pembantu, bahkan harus antre dan inden berbulan-bulan, toh harga alias upah mereka tidak juga mampu mensejahterakan mereka. Inilah salah satu yang diledek dalam buku “Matinya Ilmu Ekonomi”.
Nah, kembali ke soal pendapatan pembantu. Kalau mereka belum menerima pendapatan sebesar itu dalam setahun, mungkin Anda bertanya dalam hati bagaimana BPS melakukan penghitungan pendapatan per kapita tersebut?
Inilah…! BPS hanya membagi rata total nilai PDB dengan seluruh penduduk. Termasuk juga mereka yang tidak berproduksi sekalipun. Anak-anak, orang jompo, pun masuk sebagai pembagi. Padahal, pembentukan PDB, hanya disumbang oleh segelintir orang. Jangan-jangan PDB itu disumbang oleh hanya sekitar 20% dari total penduduk. Soalnya, PDB dihitung dari seluruh nilai tambah yang dihasilkan oleh semua unit usaha dan penduduk. Padahal, ada orang miskin, ada pengangguran, yang sangat kecil, bahkan nihil kontribusinya dalam perhitungan PDB.
Kalau kembali mempersoalkan PDB senilai Rp7.427,1 triliun dan pendapatan per kapita yang senilai Rp30,8 juta tadi, rasanya sudah tidak ada lagi orang miskin di Indonesia ini, bukan…! Dengan jumlah pendapatan sebanyak itu, tentu tidak perlu lagi ada anggaran beras untuk orang miskin.
Akan tetapi, nyatanya, menurut data BPS sendiri, jumlah orang miskin masih sekitar 30 juta orang. Belum lagi yang dikategorikan hampir miskin (near poor). Nah, yang hampir miskin ini, begitu ada gejolak harga, sementara pendapatan tidak membaik, atau bahkan sebaliknya justru memburuk, maka mereka juga langsung jatuh miskin. Ironis, memang. Padahal, anggaran untuk bantuan pemberantasan kemiskinan juga terus meningkat dari tahun ke tahun dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.
Itulah yang sering dikatakan para pengamat, bahwa pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6,5 persen pada tahun 2011, bahkan dinilai yang tertinggi pasca gelombang dahsyat tsunami krisis ekonomi belasan tahun silam, masih belum berkualitas. Tidak berkualitas karena pertumbuhan ekonomi yang terjadi, tidak banyak membuka lapangan kerja baru.
PDB justru dipicu sektor-sektor yang kurang mampu menyerap tenaga kerja secara masif. Lihat saja sektor pertanian, porsinya kian mengkerut dalam pembentukan PDB. Padahal di sektor inilah sekitar 40 juta orang menggantungkan hidupnya. Sektor keuangan yang relatif kecil daya serap tenaga kerjanya, justru meningkat signifikan perannya dalam pembentukan PDB.
Kesimpulan dari cerita indah PDB dan pendapatan per kapita ini, adalah masih terjadinya, atau bahkan semakin melebarnya kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Inilah tugas pemerintah, mempersempit jurang perbedaan itu. Terapkanlah konsep pembangunan yang lebih adil.
Malulah bicara pertumbuhan ekonomi tinggi, pendapatan per kapita semakin meningkat, tetapi kian berjubel pula orang tidur di kolong jembatan. Pengemis makin banyak di jalanan, usia produktif terpaksa menjadi tukang ojek. Pedagang kaki lima semakin menyesaki trotoar, anak-anak putus sekolah. Ah, sederet indikator dan karikatur kemiskinan lainnya.
Oh…! Para elite tak lagi bicara konsep keberpihakan pada rakyat yang didera kemiskinan. Mereka sibuk bergunjing tentang proyek dan strategi mengorupsi uang negara. Amat bersemangat mengatur fasilitas ruang kerja mewah yang dilengkapi tempat tidur, padahal saat rapat pun mereka cuma tidur. Oh, negeri ini memang bertabur anekdot….
Andi Suruji, CEO & Editor-in-Chief Inilah Group. Artikel ini juga diterbitkan di majalah Inilah REVIEW edisi ke-24 yang terbit Senin, 13 Februari 2012.
 

Jumat, 03 Februari 2012

haa iki : (Tafsir Ihdinash Shirathal Mustaqim (3)) Belajar dari Sasmita dan Gusti Pangeran Haryo

Sumber : http://m.inilah.com/read/detail/1826185/belajar-dari-sasmita-dan-gusti-pangeran-haryo

Oleh: Ahmad Munjin
Jumat, 3 Februari 2012, 11:55 WIB
INILAH.COM, Jakarta – Alkisah, Sasmista adalah seorang punya kemampuan tahu sebelum diberi tahu. Sedangkan Pangeran Haryo justru sebaliknya. Diberi tahu pun, dia tak percaya. Seperti apa?
Cendekiawan Muslim Jalaluddin Rakhmat mengatakan, di dalam cerita silat China kuno, terdapat banyak jurus yang diambil bukan dari ajaran pendeta Shaolin, tetapi diambil dari melalui pengamatan terhadap alam semesta. Misalnya, jurus bangau, jurus pusaran angin, dan jurus-jurus lainnnya.
Menurut Jalal, ada orang-orang tertentu yang kabel penghubungnya sudah putus dengan cahaya Ilahi. Allah tinggalkan mereka dalam kegelapan sehingga mereka tidak bisa melihat. Kalau itu sudah terjadi, akalnya menjadi tumpul.
Apapun yang terjadi di sekitarnya dan masyhud (nasihat yang bisa disaksikan) tidak akan menjadi pelajaran baginya. Apalagi, hal-hal masmu’ (nasihat yang bisa didengar) yang ia dengar.
Jalal melanjutkan, budayawan Emha Ainun Nadjib bercerita orang seperti itu. Namanya, Gusti Pangeran Haryo. Ia sudah tidak bisa mendengar nasihat dari orang-orang terdekatnya, apalagi, orang yang jauh darinya.
Bahkan nasihat dari seluruh bangsa ini yang berteriak-teriak setiap hari, sudah tidak didengarnya. “Saya tidak tahu sebenarnya siapa orang itu,” kata Jalal.
Ada pula orang yang disebut dalam bahasa Jawa dengan Sasmita, orang yang sudah tahu sebelum diberi tahu. Itu adalah tingkatan orang yang aliran petunjuknya sangat besar, yang tegangannya tinggi, sehingga cahayanya bersinar terang.
Meski nasihat itu belum datang, mereka sudah memperoleh pelajaran. Lawan dari Sasmita adalah orang yang disebutkan di atas yaitu orang yang sudah diberi tahu berkali-kali namun tetap saja tidak mau tahu.
“Sawaun ‘alaihim a’andzartahum am lam tun dzirhum la yu’minun. Kamu beri tahu dia atau tidak kamu beri tahu dia, tetap saja ia tidak percaya.” (Q.S. al-Baqarah: 6).
Sesungguhnya orang seperti itu hidup dalam sebuah pulau yang terpencil dan terisolasi dari kejadian di dunia ini. Padahal, banyak yang dapat diambil pelajaran dari bencana demi bencana yang terjadi di negeri ini. Mulai dari kebakaran hutan, banjir, hingga krisis ekonomi.
Menurut Jalal, kalau kita sudah tidak bisa mengambil pelajaran, baik dari apa yang kita dengar maupun dari apa yang kita saksikan, berarti kita sudah terputus dari petunjuk Allah SWT.
“Karena itu, kita ucapkan, Ihdinash Shirathal Mustaqim, Ya Allah tunjukkanlah kami jalan yang lurus,” imbuh Jalal. [Bersambung. Sumber: Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), h. 396-397].

haa iki : (Tafsir Ihdinash Shirathal Mustaqim (2)) Belajar dari Kisah Dzunnun al-Mishri

Sumber : http://m.inilah.com/read/detail/1823506/belajar-dari-kisah-dzunnun-al-mishri

Oleh: Ahmad Munjin
Jumat, 27 Januari 2012, 11:17 WIB
INILAH.COM, Jakarta – Petunjuk tidak terbatas dari nasihat yang terdengar. Seluruh alam semesta memberi pelajaran berharga seperti yang tertuang dalam kisah Dzunnun al-Mishri berikut ini.
Cendekiawan Muslim, Jalaluddin Rakhmat menceritakan, kisah Dzunnun al-Mishri. Suatu saat ketia sedang bepergian, dia melihat kalajengking merayap ke pinggir sungai Nil dengan cepat. Dzunnun al-Al-Mishri mengikutinya karena ingin tahu. “Ia ingin mendapat pelajaran dari apa yang ia lihat, bukan apa yang ia dengar,” kata Jalal.
Ketika kalajengking itu mendekati tepian sungai Nil, tiba-tiba dari dalam sungai muncul seekor katak. Kalajengking langsung menaiki punggung katak itu. Kemudian katak mengantarkannya ke seberang sungai.
Melihat itu, Dzunnun al-Mishri mengambil perahu dan mengejarnya. Sampai di seberang sana, kalajengking itu masih juga berjalan. Pada satu tempat di tepian sungai Nil, ada seorang anak muda sedang tertidur lelap.
Tiba-tiba, dari arah yang berlawanan datang seekor ular berbisa yang mau mematuk anak muda itu. Belum sampai ular kepada pemuda itu, kalajengking menyergapnya. Terjadilah perkelahian antara kedua binatang itu dan berakhir dengan kekalahan ular. Ular itu mati dijepit kalajengking. Setelah itu, kalajengking kembali lagi ke tepian sungai Nil. Muncul lagi katak itu untuk meyeberangkannya ke tempat semula.
Apa yang dapat diperoleh dari pelajaran itu? Dzunnun al-Mishri menyimpulkan, betapa seringnya Allah melindungi kita tanpa kita ketahui. Begitu sayangnya Tuhan kepada kita, sampai ketika kita tidur dan tidak berdaya menghadapi bahaya, Tuhan masih masih melindungi kita.
Tanpa sepengetahuan kita, Tuhan menjaga kita. Anak muda yang ditemukan Dzunnun al-Mishri itu bukan seorang waliyyullah, ia hanya seorang manusia biasa. Tapi, Tuhan tetap menjaga dia.
Karena itu, dalam Do’a Kumail, terdapat doa yang berbunyi, “Tuhanku, kalau aku mengingat bahwa Engkau sudah memulai kehidupanku ini, dengan berbuat baik kepadaku, dengan mengurus aku”. Kita meminta sebagaimana Allah telah melindungi kita sejak awal kehidupan, kita pun ingin dilindungi pada hari-hari kehidupan kita.
“Maka barangsiapa yang bermaksud buruk kepadaku, Tuhan, tolaklah dia. Dan, kalau ada reka perdaya orang untuk mencelakakanku, maka rekaperdayakan juga dia dengan kekuasaan-Mu” Doa Kumail).
Dzunnun al-Mishri memperoleh pelajaran yang berharga, bukan dari nasihat mubalig tapi dari apa yang dia saksikan pada alam semesta ini. “Setiap saat, alam semesta member kesaksian kepada kita. Kadang-kadang Al-Qur’an menuntun kita untuk belajar dari alam semesta ini,” imbuh Jalal. Inilah makna lain dari Ihdinash Shirathal Mustaqim. [Bersambung. Sumber: Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), h. 395-396].

haa iki : (Tafsir Ihdinash Shirathal Mustaqim (1)) Mengenal Dua Jenis Nasihat

Sumber : http://m.inilah.com/read/detail/1821173/mengenal-dua-jenis-nasihat

Oleh: Ahmad Munjin
Jumat, 20 Januari 2012, 12:01 WIB
INILAH.COM, Jakarta – Anda mungkin sering mendengar nasihat atau petunjuk dari seorang mubalig, guru atau orang tua. Tapi, apakah Anda sering menangkap petunjuk yang tak dapat didengar?
Cendekiawan Muslim Jalaluddin Rakhmat mengatakan, “Ihdinash shirathal msutaqim, tunjukilah kami ke jalan yang lurus (Q.S. al-Fatihah:6).” Jalal mempertanyakan, mengapa setelah mendapat petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Rasullullah Saw dengan menjalankan agama Islam, kita masih juga memohon kepada Allah untuk diberi petunjuk?
Seorang ulama mutakhir, Syekh Makarim al-Syirazi, menyatakan, bahwa petunjuk Allah itu harus berlangsung secara terus menerus. Seperti lampu yang terus menyala karena ada aliran listrik. Begitu aliran listrik itu terhenti, lampu itu padam.
Seperti itu juga hidup kita yang juga harus terus dialiri oleh petunjuk Allah swt. Begitu Allah Swt menghentikan alirannya, cahaya petunjuk di dalam diri kita menjadi padam. Al-Qur’an menyebutkan orang seperti itu, “Wa tarakahum fi zhulumatil la yubsirun, Allah tinggalkan mereka dalam kegelapan sehingga mereka tidak bisa melihat apa-apa.” (Q.S. al-Baqarah: 17).
Menurut Jalal, pada tingkat tertentu, orang sudah tidak bisa lagi menerima petunjuk lewat jalan apapun. Nasihat dan teguran sudah tidak ia dengar. “Ada dua macam nasihat yang memberikan pelajaran dalam hidup kita,” ucapnya.
Pertama, Almasmu’ yaitu nasihat yang bisa kita dengar. Misalnya, nasihat seorang mubalig kepada pendengarnya, nasihat guru kepada muridnya, atau nasihat orang tua kepada anaknya. Nasihat-nasihat itu menjadi pelajaran karena bisa kita dengar.
Kedua, Al-Masyhud, yaitu nasihat yang tidak kita dengar tapi dapat kita saksikan. Seluruh perjalanan hidup kita kadang kala bisa menjadi nasihat. Al-Qur’an membrikan contoh Qabil yang membunuh saudaranya Habil.
Qabil tidak tahu bagaimana harus menguburkan mayat saudaranya itu. Tiba-tiba ia melihat burung yang menggali tanah. Terpikirlah dalam benaknya untuk menguburkan mayat. “Jadi, dia memperoleh pelajaran dari apa yang dia saksikan,” imbuh Jalal. [Sumber: Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), h. 394 – 395].