Minggu, 31 Oktober 2010

haa iki Empati Sosial

Rakyat Lebih Gesit
Minggu, 31 Oktober 2010 | 03:02 WIB
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Kakak beradik Marius dan Ruselina, warga Desa Munte Baru-Baru, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Sabtu (30/10), berangkulan dan menangis karena keluarga mereka tewas tersapu tsunami.
 
 
Rakyat gesit bergerak menunjukkan empati mereka kepada korban bencana yang beruntun menimpa negeri ini. Mereka memberi tanpa pidato-pidatoan, tanpa pretensi politis. Dari rakyat untuk rakyat.
Gitaris Dewa Budjana di Jakarta berkirim pesan kepada rekannya, gitaris Eross Candra, di Yogyakarta lewat BlackBerry Messenger. Berikut ringkasan ”bocorannya”:
Budjana: ”Rosss... piye Sleman?”
Eross: ”Smalem debu tipiiisss sempet nyampe ke rumah. Ini buanyak bgt pengungsinya... seminggu ke depan bantuan masih dibutuhkan... sekarang yang paling mendesak MCK... akeh balita2...”.
Komunikasi itu berlangsung pada Rabu 27 Oktober mulai pukul 11.55 atau sehari setelah Gunung Merapi meletus.
Dialog tanpa suara itu menemukan wujud konkret. Hari Rabu itu juga para gitaris, seperti Budjana, Piyu, Baron, dan gitaris lain yang tergabung dalam BlackBerry Group, mentransfer uang bantuan lewat rekening Eross, gitaris band Sheila on 7 itu.
Lewat peranti komunikasi tersebut, para gitaris biasa saling berbagi cerita seputar musik dan bercanda ngalor ngidul. Namun, kali ini mereka serius. Mereka berempati kepada korban bencana. Eross yang berada di Yogyakarta menjadi kepanjangan tangan rekan-rekannya itu. ”Malam itu juga banyak BBM (BlackBerry Messenger) yang masuk. Teman-teman mentransfer uang dan dalam sehari terkumpul Rp 6 juta,” kata Eross.
Dari uang bantuan itu, Rabu siang Eross berbelanja selimut, sarung, handuk, dan peralatan mandi. Sore harinya ia telah menyerahkan hasil belanjaan itu kepada para pengungsi Merapi di posko Umbulharjo. Bukan itu saja, para gitaris tersebut juga akan menggelar konser amal pada Jumat, 5 November sore, di Bentara Budaya Jakarta (BBJ).
Cepat, tanpa suara
Para gitaris tadi hanyalah bagian dari rakyat yang berempati kepada rakyat yang terkena musibah. Mereka bergerak spontan, cepat, diam-diam tanpa berkoar-koar pidato kepada khalayak.
Empati serupa juga ditunjukkan Fahira Idris (42), seorang pengusaha yang, antara lain, berbisnis bunga. Begitu terjadi gempa dan tsunami di Mentawai, Fahira secara spontan membuka posko bencana yang ia umumkan lewat akun Twitter dan Facebook. Ia memakai rumahnya di Jalan Haji Sa’abun, Jatipadang, Jakarta Selatan, sebagai posko, yang diberi nama Rumah Damai. Peran Rumah Damai bertambah ketika Gunung Merapi meletus.
Posko Rumah Damai menerima donasi berupa pakaian layak pakai, selimut, sarung, tenda, pakaian dalam, obat-obatan, makanan kaleng, biskuit, mi instan, dan air mineral. ”Kalau ada penyumbang yang tidak bisa membawa barang ke posko, akan kami jemput,” ujar Fahira, Jumat (29/10).
Dia bergerak cepat lewat komunitas yang terbentuk di jejaring sosial Twitter dan Facebook.
Belakangan mereka juga saling berkomunikasi melalui layanan BBM. Di BBM mereka membentuk grup yang tercatat anggotanya 1.200 orang.
Posko Rumah Damai lebih banyak mengambil peran membantu logistik korban bencana. Mereka menyerahkan bantuan langsung kepada korban, tidak melalui posko-posko yang dibangun pemerintah. Bukan tidak percaya kepada institusi pemerintah, tetapi korban perlu ditolong segera.
”Keburu kelaparan, tuh, korban,” ucap Fahira.

Mobilisasi empati
Rakyat rupanya tak mempunyai ”birokrasi” yang ribet, tetapi praktis. Mereka lincah bergerak ke segala medan, tanpa mengenal batas geografis. Ketika terjadi bencana Merapi dan Mentawai, Wendy Haryoso (48) menggerakkan teman-temannya di komunitas Greenheart Centre untuk menggalang dana bantuan. Greenheart adalah komunitas yang terbentuk dari para pembaca buku.
Gerakan mereka semula lebih fokus pada pelestarian lingkungan.
Ketika terjadi bencana di Wasior, Mentawai, dan Merapi, Wendy dan seorang temannya segera memprakarsai pendirian posko bantuan.
Mereka mengirim pesan penggalangan dana melalui Twitter, Facebook, maupun BBM
Hanya dalam sehari setelah dikirim, pesan tersebar luas dan posko Greenheart kebanjiran bantuan. Dalam satu hari sudah ada lebih dari 50 kardus besar berisi bantuan dikirimkan ke posko. Hingga Jumat, ada lebih dari 200 kardus memenuhi kantor Greenheart di Cipete, Jakarta Selatan.
Lain lagi dengan Inggita Notosusanto, yang memobilisasi donasi lewat perusahaan tempatnya bekerja, yaitu GE International. Lewat perusahaan itu ia mengetuk sekitar 300.000 karyawannya di seluruh dunia untuk menyumbang.
Begitu juga presenter televisi Becky Tumewu yang dengan cepat mengetuk hati teman-teman dan followers-nya di Twitter maupun BBM. ”Banyak yang ingin menyumbang. Namun, karena persiapan singkat, saya berikan opsi kepada mereka untuk mengalihkan bantuannya kepada Palang Merah Indonesia, Masyarakat Cinta Damai, dan organisasi lain yang punya kredibilitas dan infrastruktur,” ujarnya.
Prinsip Becky dalam memberikan sumbangan adalah tidak ingin merepotkan orang lain. ”Jangan sampai di lokasi bencana orang malah ngurusin kita,” kata Becky yang berangkat hanya bertiga dengan kawannya—bukan membawa rombongan ”sirkus”.
Pengamat komunikasi massa Idy Subandi mencatat, dalam setiap bencana besar, masyarakat jaringan atau warga dunia maya dengan cepat bereaksi memobilisasi solidaritas dan empati. Setelah kejadian berlalu, biasanya, solidaritas sosial mereka mereda.
”Masyarakat kita di dunia nyata, kan, reaksioner dan emosional. Mudah ingat, mudah lupa. Mudah berempati, lantas reda sendiri,” kata Idy.
Idy melihat, teknologi media sosial sebagai sekadar alat yang memfasilitasi masyarakat. Jejaring sosial di dunia maya bisa digunakan untuk menghimpun kekuatan, menggalang dukungan, atau memobilisasi empati.
Begitulah rakyat berkomunikasi dalam diam untuk berbuat nyata. Bukan sebaliknya. (BSW/CAN/IND/MYR/XAR)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/31/03025027/rakyat.lebih.gesit

haa iki mbah Mardijan (Cerita Yang Lain)

Mbah Maridjan
Minggu, 31 Oktober 2010 | 04:30 WIB





Bre Redana



Beberapa kali saya bertemu Mbah Maridjan. Jauh sebelum Mbah Maridjan diperlakukan khalayak sebagai ”selebriti” dan kemudian membuat yang bersangkutan cenderung agak menutup diri, saya diperkenalkan kepadanya oleh temanteman seniman. Kami ngobrol gayeng di rumahnya yang sederhana di lereng Merapi. Perbincangan dalam bahasa Jawa.
Masih saya ingat jawabannya, ketika seorang teman bertanya kepadanya: Mbah, kesenian sing apik ki sing piye (kesenian yang bagus itu yang seperti apa)? Tercenung sejenak, dengan gayanya yang khas Mbah Maridjan bilang, ”Kesenian sing apik, ditiru ora iso, dicacat ora cacat.” (Kesenian yang baik, ditiru tidak bisa, dijelekkan tidak menjadi cacat).
Beberapa ungkapan Mbah Maridjan dikenang teman-teman. Rekan wartawan yang dekat dengannya ingat, ketika berkomentar bahwa desa ini resep (nyaman), Mbah Maridjan menukas: ”Resep opo? Senep....” (Nyaman apaan? Senep). Dengan itu Mbah Maridjan hendak mengungkapkan kemiskinan sehari-hari penduduk setempat—yang oleh kacamata luar dipandang asri permai tenteram.
Pada perkembangan selanjutnya, Mbah Maridjan sering muncul di televisi. Posenya terpampang di baliho serta di bis-bis kota di Jakarta sebagai bintang iklan. Terlihat di televisi pula, kediaman Mbah Maridjan tidak seperti dulu ketika saya kenal. Rumahnya mentereng, ubinnya berkilat.
Ketika televisi menayangkan Mbah Maridjan berlari-lari menutup muka menghindari kamera wartawan, selintas saya ingat Putri Diana. Nasib mereka kurang lebih sama. Sama-sama orang sederhana, tiba-tiba harus berada di panggung media massa dengan bahasa yang tak sepenuhnya mereka pahami. Mbah Maridjan tak beda dengan kita semua. Media massa, terlebih kenyataan gadungan televisi, telah membawa orang tercerabut dari realitas.
Dulu, stres Diana yang tak tertanggungkan bisa dilihat dari bahasa tubuh: memainkan kuku-kuku jari, kadang menggigitnya, kepala menunduk, mata melirik. Pada Mbah Maridjan, terlihat dengan gejala menutup diri. Seperti koala yang bisa kaget dengan entakan sekecil apa pun, misalnya bunyi jepretan kamera, begitu kurang lebih Mbah Maridjan. Sontak dia masuk cangkang begitu kamera mengarah kepadanya.
Pada makhluk-makhluk yang sensitif seperti koala, masih ada pihak yang melindungi. Misalnya dengan peraturan ketat: dilarang memotret, sedangkan Mbah Maridjan? Tiap detik privasinya dirambah, tanpa si perambah merasa bersalah. Akibat selanjutnya adalah keterasingan.
Tragedi keterasingan sudah sering diungkap berbagai karya seni dari sastra sampai film. Ujung dari itu semua adalah ”death wish”—kematian hanya sejengkal di depan kehidupan yang tak kita mengerti.
Mbah Maridjan barangkali bisa mengoperasikan kewaskitaannya menghadapi awan panas yang disebutnya ”wedus gembel”. Hidupnya akrab dengan semua gejala alam sehingga awan panas pun disebut mesra wedus gembel, harimau disebut kiaine, dan seterusnya. Namun wedus gembel media massa?
Ketika Julius Caesar ditusuk oleh sahabatnya sendiri, Brutus, sebelum tumbang sang kaisar hanya bisa berucap: ”Et tu? Brute?” (... dan kau, Brutus?).
Kita tidak tahu apa yang kira-kira terungkap dari Mbah Maridjan sebelum ajal menjemput. Adakah ”Et tu? Media?” Sampeankah itu, televisi.... ***

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/31/04300221/mbah.maridjan

haa iki Cerita Anak Untuk Semua Yang Perlu Pendewasaan

Tuan Oeng dan Seorang Gadis Kecil
Minggu, 31 Oktober 2010 | 04:08 WIB
 
 
Dari dalam toko mainannya, seorang pria tua yang biasa dipanggil Tuan Oeng oleh para pelanggannya menatap seorang gadis berseragam putih-merah yang sedang terpaku di depan kaca etalase toko.
Sudah dua minggu ini di waktu yang sama, yaitu pukul 13.15, gadis itu selalu berdiri di depan etalase toko.
”Bisa aku bantu?” tegur Tuan Oeng tersenyum ramah.

GADIS itu menoleh ke arah Tuan Oeng kemudian mengetuk kaca etalase.
”Berapa harga Lily?” tanya gadis itu kemudian.
Tuan Oeng menoleh ke arah etalase dan menemukan sebuah boneka bergaun ungu yang ditunjuk oleh gadis berkepang dua itu.
”Lima puluh ribu rupiah,” jawabnya singkat.
”Mahal, ya...,” ujar gadis itu terdengar seperti menggumam. Ia kemudian melangkah meninggalkan toko dan pemiliknya.
Keesokannya, Tuan Oeng kembali menemukan gadis kecil itu terpana di depan etalase. Matanya bergeming dari Lily yang telah dipajang sejak dua minggu lalu.
Kali ini Tuan Oeng tak menegur. Ia membiarkan saja gadis itu menatap Lily sampai puas.

SAMPAI di suatu Minggu, Tuan Oeng melihat gadis itu datang bersama seorang anak laki-laki yang lebih kecil. Keduanya mengendarai sepeda dan memarkir sepeda tepat di depan etalase toko. Terlihat raut gembira di wajah gadis itu.
”Selamat datang. Ada yang bisa dibantu, Nak?” sambut Tuan Oeng.
Kedua bocah itu adalah pembeli pertama di hari itu.
”Saya ingin membeli Lily,” ujar gadis itu mantap.
Tuan Oeng tersenyum. ”Apakah kau meminta orangtuamu untuk membelikannya?” tanyanya.
Gadis itu menggeleng. ”Tidak, Pak. Saya memecahkan celengan yang sudah saya isi sejak setahun.”
Tuan Oeng terpana memandang gadis kecil yang mulai berceloteh bangga itu.
”Walaupun hanya memiliki empat puluh ribu dari uang celengan saya, Ayah memberi uang dua puluh ribu untuk menutupi kekurangannya.”
Tuan Oeng mengangguk mengerti. ”Berarti kau sudah tak punya tabungan lagi, ya?”
Gadis itu mengangguk. ”Kali ini iya, tetapi mulai besok saya akan makin rajin menyisihkan uang jajan. Itu sebabnya Ayah melebihkan sepuluh ribu agar saya dapat membeli celengan baru.”
Tuang Oeng mengacungkan kedua jempolnya tanda bangga. ”Hebat!” ujarnya.

SESAAT kemudian transaksi berlangsung. Gadis itu menulis nama dan alamatnya. Kemudian ia membayar Lily dengan satu lembar uang lima puluh ribu.
”Bisakah Bapak membungkus Lily dengan rapi?” pinta gadis itu.
”Tentu. Untuk gadis kecil yang rajin menabung, Bapak akan bungkus dengan kotak cantik berwarna ungu.”
Ketika sedang membungkus Lily, Tuan Oeng memerhatikan kedua bocah tadi berada di depan rak mainan tentara.
”Aku akan menabung seperti Kakak agar bisa membeli paket mainan tentara ini,” ujar bocah lelaki itu kepada kakak perempuannya.
”Kamu suka, ya?” tanya gadis kecil itu kepada adiknya.
”Iya. Hampir semua teman-temanku memilikinya. Namun, mana mungkin Ayah membelikannya untukku,” nada bocah lelaki itu terdengar kecewa.
”Ayah, kan, pernah bilang kepada, kita jika kita menginginkan sesuatu, kita harus berusaha sendiri. Namun, jika kita membutuhkan sesuatu, Ayah dan Ibu akan membelikannya.”

BOCAH lelaki itu mengangguk. ”Aku akan berusaha keras seperti Kakak!
Aku akan menabung.”
”Sebaiknya kau menabung dengan cepat,” timpal satu anak buah Tuan Oeng, masuk ke dalam percakapan.
”Paket mainan tentara itu edisi terbatas dan tidak diproduksi lagi. Di toko ini bahkan hanya tinggal dua paket.”
Raut wajah bocah lelaki itu berubah kecewa. ”Benarkah? Ya....”
Gadis kecil itu menepuk pundak adiknya. Ia tidak bisa berkata apa-apa.

BEBERAPA saat kemudian kedua bocah itu sudah melangkah ke luar toko. Namun, beberapa menit kemudian, gadis itu datang kembali ke toko sendirian. Ia membawa sebuah kotak berwarna ungu.
”Maaf, Pak. Bolehkan saya menukar Lily dengan satu paket tentara edisi terbatas itu?” ujar gadis itu.
Tuan Oeng terkejut dan terbengong sejenak. ”Kenapa kau mau menukarnya?”
Gadis itu menggeleng. ”Saya tidak tahu kenapa saya sedih setelah mendapatkannya. Mungkin karena saya takut adik saya tidak bisa mendapatkan apa yang ia mau. Sepertinya ia masih terlalu kecil untuk menabung cepat.”
Tuan Oeng tersenyum. Ia merasa gadis di depannya sudah dewasa. Padahal, gadis kecil itu dan adiknya sama-sama masih kecil.
Transaksi penukaran berlangsung. Harga miniatur tentara itu lebih murah sepuluh ribu rupiah daripada harga Lily.

KETIKA gadis itu keluar dari toko, Tuang Oeng sibuk menulis sesuatu di atas kartu. Selesai menulis, ia memanggil salah satu anak buahnya dan berkata, ”Kirimkan kotak ungu ini ke alamat gadis kecil tadi. Ini alamat dan nomor teleponnya.”
Anak buah Tuan Oeng sekilas membaca isi kartu ucapan yang ditulis Tuan Oeng.
Tulisannya berbunyi:
”Untuk seorang kakak yang murah hati dan rajin menabung. Tertanda Tuan Oeng, dari toko Hati.”

Afifah Muharikah. Penulis Cerita Anak, Tinggal di Depok, Jawa Barat

 Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/31/04082349/tuan.oeng.dan.seorang.gadis.kecil

haa iki Keikhlasan Merka Membantu

Mereka Menantang Maut
Minggu, 31 Oktober 2010 | 04:36 WIB
 
 
Meskipun ngeri menyaksikan kedahsyatan erupsi Merapi, para sukarelawan bertaruh nyawa menyelamatkan sesama. Anggota taruna siaga bencana, Slamet Ngatiran (30), bahkan benar-benar tewas dalam tugas di lereng Merapi. Ia meninggalkan istrinya, Mujinem (28), yang sedang hamil tiga bulan.
Anggota taruna siaga bencana (Tagana) dari Parangtritis, Bantul, Edu, tak kalah setia dengan menjadi sukarelawan selama tiga hari di Dusun Ngandong, Girikerto, Turi, Sleman. Ia terdorong membantu korban bencana alam sebagai balasan utang budi ketika para sukarelawan berbondong-bondong datang pada saat Bantul diguncang gempa hebat tahun 2006.
Selama tiga hari di barak pengungsian Edu tidur menggelandang. Sesekali tidur di bangunan sekolah, tetapi ia lebih sering tidur di tepi jalan raya. Membeludaknya pengungsi pasca-letusan Merapi membuat tak ada lagi sisa ruang bagi sukarelawan untuk terlelap di barak pengungsian.
Ketika Gunung Merapi kembali meletus pada Sabtu (30/10) malam, warga panik berlarian menuju lokasi terendah. Sebaliknya, relawan seperti Edu justru bergegas bolak-balik membawa mobil Colt mendaki lereng Merapi untuk sebanyak mungkin membawa warga ke lokasi aman.
Sukarelawan dari radio komunitas Turgo Asri, Guswantoro, bahkan juga bertaruh nyawa. Ketika polisi dan tentara telah menutup seluruh wilayah sejauh 7 kilometer, ia justru mendaki menuju Posko Tritis. Selama dua jam di Posko Tritis, Guswantoro dan beberapa rekannya menghidupkan genset di repeater utama agar komunikasi lewat HT tetap berjalan meski listrik mati.

Pengungsian
Sejak hari pertama erupsi Merapi, Heri Suprapto, Lurah Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, sibuk mengurusi warga desanya di pengungsian. Ia hampir tak punya waktu mengurusi rumahnya sendiri. Heri juga terus memantau kabar Merapi dari alat-alat telekomunikasi sehingga secepatnya bisa memberikan kabar kepada penduduk jika terjadi perubahan kondisi.
Di barak pengungsian Desa Umbulharjo, Sekretaris Desa Umbulharjo Endri (37) pun nyaris tak punya waktu menengok keluarganya. Setiap hari Endri sibuk mengurusi pengungsi yang hingga Kamis pekan ini berjumlah sekitar 2.000 orang.
Tak hanya urusan memberi makan ribuan orang yang harus diurusi Endri, lelaki berkacamata itu juga terlihat sibuk mengatur lalu lintas di pemakaman massal 20 korban Merapi dari Desa Umbulharjo. Semua ikhlas ia lakukan. ”Ini tanggung jawab saya sebagai sesama manusia,” ucapnya.
Terdapat pula jenis sukarelawan pengungsi. Mereka adalah pengungsi yang akhirnya menjadi sukarelawan untuk menolong tetangga-tetangganya sendiri. Salah satu sukarelawan pengungsi adalah Fajar Hidayat (17), pelajar kelas III SMK Muhammadiyah Prambanan, Sleman, dan Seno (18), pelajar kelas III SMK Pakem, Sleman. Keduanya pengungsi yang bergabung di Posko Forum Peduli Lingkungan Pencinta Alam Lereng Merapi (Palem). ”Pagi sekolah, sore kami bantu-bantu di posko, daripada diam saja,” katanya.
Ibu-ibu di Desa Glagaharjo, Cangkringan, juga menjadi sukarelawan di dapur umum. Tak terendus keberadaannya karena tertutup hiruk-pikuk mobil pemberi bantuan yang masuk-keluar lapangan depan barak. Mereka duduk berjam-jam mengupas wortel, bawang merah, aneka sayur, sambil bercerita satu sama lain.
Yatunah (35), warga Glagahmalang, Glagaharjo, sampai pukul 11.00 masih mengupas wortel. Mungkin sudah 10 kilogram wortel yang dia kupas, setelah mengupas bawang merah. Aktivitas itu dilakukan tiga kali sehari. Bisa dibilang, dari pagi hingga sore, kesibukannya mengupas dan mengupas. ”Yang memasak TNI. Kami hanya menyiapkan bahan,” ujarnya.
Tetangga-tetangga dusun yang lainnya juga menekuni aktivitas sendiri-sendiri. Parinem, misalnya, seharian mengelap piring. Parinem hanya tertawa ketika ditanya sudah berapa jam ia mengelap piring. ”Sepertinya kok enggak habis-habis,” katanya.
Spontanitas warga juga tampak di Balai Desa Wukirsari, Cangkringan, yang Sabtu pagi lalu menjadi barak tujuan pengungsi dari Balai Desa Umbulharjo. Begitu Merapi meletus sekitar pukul 00.30, ibu-ibu (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Dusun Sabrang Wetan—dusun selatan balai desa—sudah saling mengontak pukul 04.00.
Pembagian tugas, seperti sudah mereka perbincangkan dalam pertemuan-pertemuan PKK sebelumnya, berjalan. Satu rumah ditugasi memasak lima porsi nasi bungkus. Ada sekitar 100 warga yang memasak. Pukul 11.00-an sekitar 500 bungkus nasi sayur sudah diantar ke Balai Desa Wukirsari. Pas jam menjelang makan siang.
Jadi sukarelawan tidak hanya soal membantu para korba bencana tanpa bayaran, tetapi terkadang juga berarti menantang maut, bahkan rela mengorbankan nyawa sendiri demi menyelamatkan orang lain.(GSA/PRA/IRE/WKM)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/31/04362931/mereka.menantang.maut

Jumat, 29 Oktober 2010

haa iki Masih Cerita Pilu di Mentawai

Dengarlah, Tante Memanggilmu...
Jumat, 29 Oktober 2010 | 03:54 WIB
 
 
"Arem isogai gayekeu kalabai (Dengarlah, tante memanggilmu)."
Kalimat itu diucapkan Resai Siritoitet (36) berulang-ulang di tengah bekas permukiman di Dusun Sabeugunggung, Desa Betumonga, Kecamatan Pagai Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Kamis (28/10).
Dusun Sabeugunggung merupakan salah satu daerah paling parah terdampak sapuan tsunami pada Senin lalu. Daerah itu bisa ditempuh dengan kapal sekitar 1,5 jam dari Kecamatan Sikakap.
Kemarin Resai bersama Rena Siritoitet (40) tengah menemani kakak mereka, Elpi Siritoitet (47), mencari Remaja Sakarebau (27) yang hilang disapu tsunami. ”Tampilkanlah dirimu Remaja, dengarlah suara tante,” kata Resai dalam bahasa Indonesia yang patah-patah.
Resai, Elpi, dan Rena sungguh ingin menemukan Remaja apa pun keadaannya, guna diperlakukan sebagaimana layaknya anggota keluarga.
Remaja hilang bersama dua dari empat anaknya, Rostina Sakarebau (3) dan seorang laki-laki berusia dua bulan yang belum sempat diberi nama. Sementara suaminya, Domar Sakarebau, serta dua anak mereka, Reljamita Sakarebau (6) dan Selpri Sakarebau (8), selamat dari gulungan tsunami.
Sudah tiga hari terakhir ini Elpi mencari Remaja. Elpi tinggal di Desa Betumonga. Setiap hari ia berjalan kaki sekitar dua jam menuju permukiman tempat Remaja tinggal selama ini.
”Saya juga belum makan sejak hari Selasa. Cari anak saya. Saya tidak mau makan sebelum anak saya ketemu,” kata Elpi dalam bahasa Indonesia yang tidak lancar. Ia tidak mau menunggu regu penyelamat yang baru bisa menembus lokasi itu kemarin.
Dengan risiko terluka memasuki belukar hutan yang habis disapu tsunami, Elpi terus berjuang. Kemarin dia begitu gembira saat menemukan sebagian yang dicarinya. Selembar kain bermotif batik milik Remaja.
”Iya, ini kain Remaja. Saya tahu karena Remaja sering pakai kain ini dan baunya juga bau Remaja,” ujar Elpi. Kain basah itu diperasnya, lalu digenggamnya erat-erat.
Elpi menolak tawaran istirahat, sekalipun hanya sekadar berhenti untuk minum. Dia terus berjalan dan begitu cepat menghilang di tengah belantara.

Hanya 50 orang
Sejumlah korban selamat dari Dusun Sabeugunggung mengatakan, dari sekitar 260 penduduk dusun itu, warga yang selamat hanya sekitar 50 orang.
”Banyaknya korban tewas karena mereka abai saat terjadinya guncangan gempa pertama yang tidak terlalu terasa kuat,” ujar Ritin Saleleubaja, warga.
Namun, lanjutnya, ketika gempa kedua datang, warga sudah kesulitan menyelamatkan diri. ”Saat itu gelombang tinggi sekali. Saya hanya sempat lari 5 meter dari rumah,” kata Ritin yang selamat setelah berpegangan di pepohonan.
Istrinya, Resna, dan dua anaknya, Esna Saleleubaja dan Isda Saleleubaja, menurut Ritin, tewas digulung ganasnya tsunami.
Kemarin sembilan anggota Badan SAR Nasional Kota Padang yang menyisiri lokasi permukiman di dusun itu hingga 1 kilometer dari bibir pantai menemukan sejumlah jenazah. Bau menyengat yang mengaduk-aduk isi perut begitu terasa di sekitar itu.
Wilayah permukiman yang berada di tengah rerimbunan aneka pohon, seperti durian, sagu, kelapa, dan bambu, koyak tak bersisa. Pakaian, peralatan rumah tangga, dan reruntuhan rumah warga tersebar di seluruh bagian hingga mendekati bibir pantai.
Di sisi lain, sejumlah warga yang tampak sudah sangat letih terus berupaya mengevakuasi beberapa jenazah. Sebagian lainnya tampak pasrah dengan tatapan kosong.

Sosok mungil
Di tengah keadaan yang demikian, sejumlah orang di bawah tenda darurat yang didirikan di sekitar reruntuhan rumah warga dikejutkan oleh sesosok mungil yang bergerak di Sungai Pumonean, yang membelah wilayah permukiman itu. Ternyata sosok mungil tersebut adalah salah seorang warga, Andrifal Samaloisa (4), yang diketahui sudah empat hari hilang.
Andrifal datang dari arah dalam permukiman sembari mengapung di atas selembar styrofoam berukuran 70 cm x 70 cm. Ia terus menyusuri Sungai Pumonean ke arah pantai. Di depannya ada satu buah durian, yang diletakkan di atas lembaran styrofoam tersebut.
Sejumlah orang segera bergegas menjemputnya dengan sampan. ”Andrifal tinggal di dusun ini dengan neneknya,” kata Adol Bastian Samaloisa (28), paman Andrifal.
Saat dibawa ke bawah tenda darurat, terlihat bahwa Andrifal mengalami lecet-lecet di bagian dahi. Bocah itu tidak berkata apa pun. Diam seribu basa.
Segelas air mineral yang diberikan terus digenggamnya. Meski demikian, Andrifal masih mampu memahami perintah yang diberikan, termasuk ketika seorang dokter memeriksa kondisi kesehatannya.
Sehari sebelumnya, seorang bayi laki-laki korban tsunami di Dusun Muntei Baru-baru, Desa Betumonga, Kecamatan Pagai Utara, Kepulauan Mentawai, yang diperkirakan berusia sekitar satu bulan juga ditemukan dalam kondisi hidup.
Bayi itu hanya mengalami luka ringan di bagian dahi, tetapi mengalami demam. Kedua orangtuanya diketahui tewas. Kemarin bayi tersebut masih dalam perawatan Puskesmas Sikakap, Desa Sikakap, Kecamatan Sikakap, Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Afi, perawat di puskesmas tersebut, mengatakan, bayi tanpa nama itu ditemukan pertama kali oleh seorang anak kecil di sekitar sungai di Dusun Muntei Baru-baru sekitar 12 jam setelah gempa bumi dan tsunami menghantam. Selain bayi tersebut, ada pula bayi lain usia tiga bulan yang selamat dari bencana tsunami. ”Bayi tersebut selamat bersama ayahnya, sementara ibunya tewas,” kata Afi.
Hingga kemarin masih banyak warga yang berupaya mencari anggota keluarga mereka, mengingat terbatasnya tenaga evakuasi. (INGKI RINALDI)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/29/0354485/dengarlah.tante.memanggilmu...

haa iki Kepiluan Bencana Tsunami Mentawai

Gulungan Ombak Mengelilingi Kami
Jumat, 29 Oktober 2010 | 03:54 WIB
 
 
Di depan 67 jasad korban bencana Mentawai, yang dijejerkan di jalan tanah Dusun Muntei Baru-baru, Desa Betu Monga, Kecamatan Pagai Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu (27/10), Wakil Presiden Boediono menguatkan hati seorang wanita muda yang menangis tersedu-sedu.
Ia kehilangan suami, anak, dan mertuanya dalam sekejap setelah ombak menyapu dusunnya Senin lalu.
Gempa bumi berkekuatan 7,2 skala Richter yang disusul tsunami, malam itu, menjelang pukul sepuluh, menerjang empat kecamatan di Kabupaten Mentawai, yakni Pagai Utara, Pagai Selatan, Sikakap, dan Pulau Sipiro bagian selatan.
”Yang sabar ya bu. Kejadian ini tidak bisa kita elakkan. Ini musibah yang harus diterima dengan tabah dan tawakal. Pemerintah segera menangani bencana (masalah) ini secepatnya dengan baik,” hibur Wapres sambil menepuk-nepuk bahu Chandra (20), wanita yang menangis di depan jasad ayah mertuanya, Eman (65), itu.
Eman memang sudah terbujur kaku. Saat ditemukan, dia masih mengenakan kain sarung berwarna coklat. Eman merupakan salah satu jasad yang baru saja ditemukan tim SAR di bawah rimbunan batang pohon beberapa saat sebelum kedatangan Wapres dan rombongannya di dusun yang telah rata tanah itu.

Diselamatkan seseorang
Saat menepuk-nepuk bahu Chandra, sejumlah menteri yang ikut mendampingi Wapres, di antaranya Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, ikut menghibur dan memberikan kekuatan.
Wapres sempat mengajak berdoa bersama. Doa dipimpin Menteri Sosial Salim Segaf Al’ Jufrie. Sebelum meninggalkan dusun itu, melalui stafnya Wapres menitipkan bantuan uang atas nama pribadinya.
”Ini mertua saya. Suami dan anak saya belum ketemu,” kata Chandra lagi sambil sesenggukan menunjuk jasad yang disimpan dalam kantong plastik mayat berwarna biru.
Chandra selamat karena saat air bergulung-gulung datang ia terbawa gelombang dan terjepit di antara batang pohon kelapa. Kemudian, seorang laki-laki menghampirinya dan menyelamatkannya. ”Kalau tidak ditarik (laki-laki tersebut), saya tidak mungkin selamat,” ujarnya.
Saat gempa terjadi, Chandra mengaku tengah tertidur di rumahnya yang berdekatan dengan gereja, yang kini juga lenyap tersapu tsunami.
”Saya ingat, waktu bangun bergoyang-goyang. Lalu, saya dengar ada yang menyuruh lari karena takut ada tsunami. Tetapi, ada juga yang bilang tidak usah karena tidak ada apa-apa. Nyatanya, ombak datang dan menggulung kami semua,” kata Chandra lagi.
”Masih ada satu lagi jasad yang tertindih di bawah pohon-pohon itu,” sela petugas SAR berbaju oranye, yang menggunakan tutup mulut dan hidung, di lokasi mayat yang berjejeran itu. Menurut petugas, jasad tersebut kemungkinan keluarga Chandra.

67 orang
Di Dusun Muntei Baru-baru tercatat ada 301 penduduk atau 73 keluarga. Rabu lalu, saat Wapres berkunjung ke sana, yang ditemukan tewas tercatat 67 orang.
Dusun Muntei Baru-baru hanyalah salah satu dari 13 dusun yang dilanda gempa bumi dan tsunami. Dusun-dusun itu ditelan ombak karena tepat berada di pantai sebelah barat, yang menghadap Samudra Hindia, di mana pusat gempa berada sejauh 78 kilometer dari sana.
Data yang disampaikan Bupati Mentawai Edison Saleleubaja kepada Wapres di ruang VIP Bandar Udara Minangkabau, Padang, total korban tewas di wilayahnya hingga sore itu mencapai 154 orang. Sementara 400 orang lainnya dinyatakan hilang dan 4.000 warga mengungsi ke sejumlah posko dan sekitar lokasi yang aman.
Tak hanya Chandra yang kehilangan anggota keluarganya. Kepala Dusun Muntei Baru-Baru, Jersanius Sanaloisa (48), juga mengaku kehilangan istri dan anaknya. ”Istri dan anak saya jadi korban dan belum ditemukan,” ujar Jersanius lirih.
Kini dia harus lebih tabah dan kuat. Sebab, dia juga harus ikut mengurus pencarian dan ikut mengurus pemakaman di lahan miliknya di selatan dusun.

Helipad
Ombak yang menyapu habis Dusun Muntei Baru-baru kini hanya menyisakan lantai ubin rumah Jersanius dan ubin ratusan rumah warga lainnya. Lantai ubin rumah kepala dusun tersebut Rabu lalu dimanfaatkan sebagai helipad atau landasan tiga helikopter yang digunakan rombongan Wapres.
Ia mengaku berada di luar rumah saat gempa bumi terjadi. Meski demikian, dia tetap masuk ke dalam rumah.
”Tiba-tiba bunyi gemuruh wur... wur.... Cepat sekali. Sekitar sembilan menit ternyata ada ombak besar. Awalnya, cuma setinggi beberapa meter. Namun, tiba-tiba datang terjangan ombak lagi setinggi pohon kelapa. Saya terus berenang menuju hutan,” kata Jersanius.
Ditambahkan, sebenarnya kalau gulungan ombak datang dari arah pantai, dia dan ratusan warganya mudah menyelamatkan diri dengan berlari satu arah menuju kawasan hutan yang daerahnya lebih tinggi dibandingkan dusunnya.
”Akan tetapi, gulungan ombak seperti berputar-putar dan mengelilingi kami sehingga sulit untuk melarikan diri ke hutan. Sana-sini ombak memutar- mutar sehingga banyak yang tertelan ombak,” tambah Jersanius.
Ia tidak ingat lagi ketika istri dan anaknya juga tertelan ombak. Kini, dia dan beberapa penduduk dusun yang tersisa serta anggota tim SAR disibukkan dengan proses pemakaman 67 jasad warga di lahan miliknya.
Di sisi lain, pikirannya terus dihantui harapan akan penemuan jasad istri dan anaknya. (suhartono)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/29/03540062/gulungan.ombak..mengelilingi.kami

haa iki Tentang Kearifan dan Harmonisasi

Mbah Maridjan, Transformasi "Islam-Jawa"
Jumat, 29 Oktober 2010 | 03:51 WIB
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Warga berdoa di depan nisan juru kunci Gunung Merapi, Mas Penewu Soeraksohargo atau Mbah Maridjan, di Dusun Srunen, Desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (28/10).
 
 
Mbah Maridjan boleh dibilang salah satu pelaku fenomenal dalam transformasi teologis ”Islam-Jawa”. Kesejarahannya bisa ditarik benang merahnya dengan kesejarahan Wali Sanga.
Hubungan eksistensial Mbah Maridjan dengan Gunung Merapi bisa dirunut dalam proses perubahan kosmologi Jawa sejak zaman kerajaan-kerajaan Jawa sebelum abad ke-10 Masehi. Pada Mataram pertama yang berkedudukan di Yogyakarta sampai Kadiri, Singasari, dan Majapahit di Jawa Timur, secara kosmologis kehidupan itu dibagi dua, yaitu adanya jagat atas dan jagat bawah.
Menurut antropolog dari Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, jagat atas adalah tempat para dewa yang digambarkan terletak di atas gunung. Maka banyak gunung, terutama yang aktif, yang dikeramatkan, seperti Merapi, Semeru, Kelud, dan Bromo. Sementara jagat bawah berada di lembah yang ditempati manusia.
Kewajiban manusia adalah menjaga harmonisasi jagat bawah dengan jagat atas. Untuk itulah dibangun tempat-tempat suci dan secara periodik diselenggarakan ritual. Misalnya, keberadaan Candi Prambanan sebagai tempat suci ritual puja terhadap jagat atas di Gunung Merapi. Candi Penataran di Blitar, Jawa Timur, yang dibangun dalam tiga dinasti (Kadiri, Singasari, Majapahit) adalah tempat ritual puja terhadap jagat atas di Gunung Kelud. Candi Jago di Malang, Jawa Timur, untuk tempat puja jagat atas di Gunung Semeru.
Salah satu ritual yang masih lestari sampai sekarang adalah ritual Kasada yang dihelat masyarakat subkultur Tengger di Gunung Bromo.
Sejalan dengan melemahnya pengaruh Hindu, konsep kosmologi Jawa mengalami perubahan di mana konsep jagat atas tempat dewa diganti menjadi tempat ”Sing Mbaureksa” yang artinya yang berkuasa. Konsep sosok ”Sing Mbaureksa” ini tidak begitu jelas. Hanya dipersepsi sebagai ruh atau makhluk gaib, tetapi bukan dewa, bukan jin atau malaikat. Manusia berkewajiban menjaga harmonisasi dengan ”Sing Mbaureksa” tersebut demi keselamatan dan kemaslahatan umat manusia.

Sujud
Dengan diangkat menjadi juru kunci Merapi, keberadaan Mbah Maridjan (83) adalah menjadi ujung tombak atau tokoh kunci terpeliharanya harmonisasi Keraton Yogyakarta (jagat bawah) dengan Merapi (jagat atas).
Bagi Mbah Maridjan, konsep ”Sing Mbaureksa” Merapi adalah Tuhan. Hal itu tecermin dari doa-doanya yang hanya ditujukan kepada Tuhan sebagai Sang Maha Selamat (al-Salam). Jasad Mbah Maridjan yang ditemukan dalam posisi sujud menjadi bukti bahwa dia melakukan ritual secara Islam.
Masalah tempat sujudnya di kamar mandi harus dilihat dalam konteks darurat. Dalam situasi normal, sujud di kamar mandi jelas dilarang Islam.
Tindakannya itu juga membuktikan bahwa dalam situasi yang sangat gawat Mbah Maridjan tetap pasrah kepada Tuhan. Tetap memohon bagi keselamatan rakyat Yogyakarta.
Posisi sujud sekaligus menunjukkan betapa Mbah Maridjan sangat mencintai buminya, Merapi. Dia memegang ajaran Jawa: sedumuk bathuk senyari bumi ditohi pati (sejengkal tanah akan dibela sampai mati).
Posisi itu juga menunjukkan betapa Mbah Maridjan setia dengan amanat yang dipanggulnya menjaga harmonisasi dengan Merapi. Menerima amanat harus dijaga dengan taruhan nyawa. Dia tidak mau tinggal gelanggang colong playu, lari dari tugas dan tanggung jawab.
Pola Mbah Maridjan menjaga Merapi, tidak gegabah kalau dibilang sebagai bentuk transformasi teologis ”Islam-Jawa”, yaitu tatkala dia menggeser pusat kepasrahan, permohonan dan pemujaan dari ”Sing Mbaureksa” kepada Tuhan.
Dia melakukan transformasi itu secara bijaksana untuk menjaga harmonisasi sosial. Dia tetap melakukan upacara adat, tetapi ”ruh” upacara yang berupa doa itu menggunakan ajaran tauhid. Ibaratnya, casing-nya tetap, tetapi isinya yang baru.
Pola ini sealur benang merah dengan pola transformasi teologis ”Islam-Jawa” Wali Sanga. Misalnya, tetap memelihara pelbagai bentuk selamatan tetapi ”ruh”- nya sudah diganti dengan ajaran tauhid.
Sunan Kudus melarang masyarakat menyembelih sapi sebagai cara menjaga harmonisasi dengan umat Hindu. Padahal, kalau cuma berpijak pada syar’i, tindakan Sunan Kudus itu menyimpang karena melarang barang yang halal.
Dengan pola transformasi teologisnya—hasil ijtihadnya— itu, Mbah Maridjan berusaha memelihara agar umat tak terperosok ke dalam syirik. Tradisi Jawa tetap terpelihara, tatanan Keraton tetap dihormati dan dilestarikan, tetapi tak terjadi gejolak sosial. (ANWAR HUDIJONO)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/29/03512985/mbah.maridjan.transformasi.islam-jawa

haa iki Usaha Preventif

Forum Gunung Slamet Belajar ke Merapi
Jumat, 29 Oktober 2010 | 03:48 WIB
 
 
Banyumas, Kompas - Lebih dari 20 anggota Palang Merah Indonesia dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Forum Gunung Slamet diberangkatkan sebagai sukarelawan penanggulangan bencana Merapi ke Magelang, Jawa Tengah, dan Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain sebagai sukarelawan, mereka diminta mempelajari mitigasi dan evakuasi bencana gunung berapi.
Ketua Forum Gunung Slamet, Heri Kisyanto, Kamis (28/10), mengatakan, pengiriman sukarelawan dilaksanakan sejak sepekan lalu. Mereka berasal dari lima kabupaten rawan bencana letusan Gunung Slamet, yakni Banyumas, Purbalingga, Brebes, Tegal, dan Pemalang (semuanya terletak di Jawa Tengah).
Para sukarelawan itu, lanjut Heri, tidak hanya membantu penanggulangan bencana Gunung Merapi di Magelang dan Sleman, tetapi juga ditugaskan untuk mengidentifikasi dan mempelajari hal-hal apa saja yang harus dilakukan dalam penanggulangan bencana gunung berapi.
Menurut Heri, yang juga Kepala Bidang Perlindungan Masyarakat, Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat Banyumas, dari identifikasi dan pembelajaran itu, pihaknya berupaya membangun kembali konsep mitigasi bencana dan upaya penanggulangan bencana erupsi Gunung Slamet.
”Penyusunan konsep itu untuk meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi ancaman letusan Gunung Slamet yang sudah lebih dari 30 tahun ini tak pernah menimbulkan letusan besar dan berdampak pada masyarakat,” ujar Heri.
”Karena tak pernah terjadi letusan besar, kami tak pernah memiliki pengalaman untuk mengevakuasi dan memberikan tanggap darurat bagi masyarakat jika Gunung Slamet meletus dengan kekuatan besar,” kata Heri menambahkan.
Heri mengaku, saat ini pihaknya telah mengidentifikasi potensi bencana yang disebabkan oleh letusan Gunung Slamet, antara lain potensi kebakaran hutan. ”Potensi kebakaran hutan ini yang cukup berbahaya dan perlu diwaspadai karena areal hutannya cukup luas,” ujarnya.

Status waspada
Menurut Kepala Pos Pengamatan Gunung Api Slamet di Desa Gambuhan, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang, Sukedi, sejak akhir Juni 2009 hingga saat ini, Gunung Slamet masih berstatus waspada. Dari hasil rekaman, intensitas gempa masih bersifat fluktuatif.
Meskipun berstatus waspada, lanjutnya, kondisi gunung yang memiliki tipe strato dengan ketinggian sekitar 3.428 meter di atas permukaan laut itu masih dalam batas aman.
Dengan status waspada, kata Sukedi lagi, aktivitas pendakian masih dibatasi. Pendaki yang diizinkan naik ke Gunung Slamet hanyalah pendaki profesional.
”Pendaki pemula boleh naik ke gunung (Slamet), tetapi harus didampingi pemandu. Para pendaki juga tidak diizinkan untuk mendekati puncak kawah dengan radius sekitar satu kilometer. Kalau status gunung siaga, jalur pendakian ditutup,” kata Sukedi.(MDN/WIE)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/29/03480513/forum.gunung.slamet.belajar.ke.merapi

haa iki Peninggalan Masa Lalu

"Suara" yang Diam dari Masa Silam
Jumat, 29 Oktober 2010 | 04:08 WIB
 
 
Keberadaan lukisan gua di perbukitan karst tak jauh dari Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, boleh dibilang sebagai temuan sangat spektakuler. Temuan lukisan (atau apa pun istilahnya) di Gua Harimau itu, seperti dikatakan oleh Truman Simanjuntak—ahli arkeologi prasejarah dari Puslitbang Arkenas—akan mengubah paradigma tentang lukisan gua di Indonesia.
Temuan ini sekaligus mengisyaratkan keberadaan lukisan gua dari masa prasejarah lainnya di Sumatera (juga mungkin di Jawa). Selama ini ada keyakinan di kalangan arkeolog bahwa Indonesia bagian barat tidak tersentuh oleh tradisi lukisan gua.
Berpuluh-puluh tahun, lukisan gua hanya ditemukan di Indonesia bagian timur. Akan tetapi, lewat penemuan-penemuan baru di Kalimantan—khususnya di Kalimantan Timur—dalam beberapa tahun terakhir, keyakinan itu mulai goyah. Pandangan tadi kemudian direduksi hanya Sumatera dan Jawa yang tidak mengenal tradisi lukisan gua.
”Sekarang, melalui penemuan di Gua Harimau, anggapan bahwa Sumatera (barangkali juga Jawa) tidak mengenal tradisi lukisan gua tampaknya harus direvisi lagi,” kata Truman Simanjuntak.
Menurut catatan Pindi Setiawan, ahli komunikasi visual dari ITB yang mendalami fenomena lukisan prasejarah, gambar cadas (istilah lain lukisan gua, rock art) merupakan warisan budaya gambar manusia paling tua, sekaligus paling lebar rentang waktunya. Sejak pertama kali dibuat pada sekitar 40.000 tahun lalu, gambar cadas tetap digambar hingga kini (baca: antara lain oleh masyarakat Aborigin di Australia).
Gambar cadas, kata Pindi, merupakan fenomena mendunia, dibuat oleh Homo sapiens yang belum mengenal semacam aksara dan tulisan. Namun, lewat gambar cadas yang ditorehkan di dinding dan langit-langit gua itu, Homo sapiens membuktikan bahwa mereka sudah punya kemampuan berimajinasi sekaligus mewujudkan imajinasinya dalam bentuk gambar.
”Tidak ada makhluk Tuhan lainnya yang memiliki kemampuan berimajinasi dan sekaligus mewujudkannya,” kata Pindi.
Kalangan ahli meyakini bahwa lukisan prasejarah, terutama yang banyak ditemukan di dinding dan langit-langit gua, merekam buah pikiran (intuisi) tentang kehidupan masyarakat pendukungnya. Karena itu, gambar-gambar tersebut sesungguhnya juga memiliki fungsi sosial.
Ada pesan dan makna yang ingin disampaikan oleh pembuatnya. Pesan dan makna itu kebanyakan dalam bentuk simbol komunikasi nonverbal, yang tentu saja berbeda dengan model komunikasi melalui gambar yang dibangun oleh masyarakat berbudaya tulis.
Itulah ”suara” dari masa silam. ”Suara” yang diam di tengah riuhnya kemajuan peradaban hari ini. (KEN)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/29/04082865/suara.yang.diam.dari.masa.silam

haa iki Protes Yang Muncul Atas Porsi Liputan Bencana

MITIGASI BENCANA
Tsunami Sunyi di Mentawai
Jumat, 29 Oktober 2010 | 04:28 WIB
 
 
Televisi masih ramai menyiarkan soal letusan Gunung Merapi, Yogyakarta, yang terjadi pada senja hari Selasa (26/10) hingga tengah malam. Beberapa warga diberitakan tewas, termasuk seorang wartawan. Sedangkan ratusan orang di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, tewas dalam senyap.
Tanpa mengecilkan tragedi Merapi, pemberitaan media soal Mentawai memang sangat terlambat. Hingga hari kedua pascabencana, gambaran Mentawai masih samar. Masih sedikit foto dan video dari ladang bencana Mentawai. Sementara pemberitaan seputar Merapi sudah riuh rendah, terutama perihal ”drama” sang juru kunci Merapi, Mbah Marijan.
Negara ini memang belum hadir di pulau-pulau terluar. Maka, ketika bencana melanda kawasan itu, perhatian pun datang terlambat. Bahkan, sekadar kabar soal terjadinya petaka kerap kali datang terlambat. Namun, media ternyata juga tak hadir di sana karena ”tertipu” pernyataan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang mencabut peringatan adanya tsunami. Selain itu, kebanyakan media mengandalkan tebengan. Sedangkan pihak yang biasa ditebengi (baca: pemerintah) terlambat datang, bahkan terlambat mengetahui adanya tsunami.
Dan, ketika pun kemudian hadir, aspek yang banyak diumbar adalah soal ”drama” setelah bencana dan melupakan mitigasi dan adaptasi. Ke mana saja kita sebelum bencana?
Masih saja kita terkaget dengan bencana gempa dan tsunami. Kenyataan bahwa negeri ini memiliki riwayat panjang petaka gempa dan tsunami seolah-olah dilupakan. Dan, petaka di Mentawai ini sudah jauh hari diperingatkan akan terjadi.
Lalu, di mana sistem deteksi dini tsunami yang dulu disebut-sebut telah disiapkan untuk memagari lautan Nusantara setelah petaka Aceh menelan korban tewas lebih dari 150.000 orang?

Melupakan mitigasi
Empat menit setelah gempa dangkal berkekuatan 7,2 skala Richter pada Senin (25/10) pukul 21.42, BMKG mengklaim telah merilis peringatan potensi adanya tsunami.
”Kami sebarkan peringatan itu melalui berbagai moda komunikasi, seperti layanan singkat melalui telepon seluler, faksimile, ke media, juga ke 12 pemda, termasuk ke Mentawai melalui DVB (digital video broadcast),” kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Moch Riyadi.
Nyatanya, sirene peringatan tsunami tak pernah berbunyi di pesisir Mentawai karena pemerintah tak pernah memasangnya di sana. Riyadi mengatakan, ”Kami tidak tahu apakah peringatan itu disampaikan ke masyarakat atau tidak. Itu di luar kewenangan kami.”
Pascaperingatan itu, BMKG, menurut Riyadi, terus menunggu kiriman data pasang surut milik Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). ”Kami amati terus, ternyata tidak ada data yang masuk dari Mentawai dan sekitarnya. Apakah alatnya tidak ada atau tak ada yang menyampaikan, kami tidak tahu,” ujarnya.

Perhitungan BMKG
Dalam perhitungan BMKG, jika terjadi tsunami, semestinya sudah tiba di pantai Mentawai paling lambat 15 menit setelah gempa. ”Setelah satu jam ditunggu tidak ada info kenaikan gelombang, akhirnya dikeluarkan status all clear, artinya peringatan sudah berakhir. Tujuannya agar masyarakat yang tadinya mengungsi kembali pulang,” ucapnya.
Di pesisir barat pantai Sumatera, seperti Padang, tsunami memang tak terjadi.
Namun, ketika televisi dan radio menyiarkan pencabutan peringatan tsunami itu, ratusan warga Kepulauan Mentawai sebenarnya tengah bergelut dengan maut. Gelombang tsunami menyerbu ke pantai sekitar 40 menit setelah gempa. Tsunami yang datang agak terlambat, slow earthquake tsunami.
Kenapa tsunami yang menghantam Mentawai tak terdeteksi oleh BMKG sehingga mereka mencabut peringatan tsunami? Dampaknya, publik baru tahu telah terjadi tsunami di Mentawai pada Selasa (26/10) siang.
Ahli tsunami yang juga Direktur Pesisir dan Lautan Kementerian Kelautan dan Perikanan Subandono Diposaptono tak heran soal ”lolosnya” tsunami Mentawai dari deteksi BMKG. Sebab, alat deteksi dini tsunami (tsunami buoy) tak terpasang lagi di Mentawai. ”Dulu rencananya mau dipasang 22 buoy setelah tsunami Aceh terjadi. Tetapi, setahu saya baru dipasang tiga dan sekarang mungkin sudah lenyap karena dicuri atau rusak,” ujarnya.
Karena kita belum memiliki alat deteksi yang cukup dan sistem komunikasi yang baik untuk memastikan tsunami tak terjadi, Subandono menyarankan, peringatan tsunami itu semestinya tak usah dicabut.

Strategi adaptasi
Subandono juga mengingatkan, pencurian alat deteksi dini tsunami itu menandakan masyarakat juga kehilangan kepekaan terhadap bencana. ”Banyak yang belum sadar soal ancaman bencana ini sehingga mereka mencuri atau merusak deteksi dini tsunami,” katanya.
Atau permasalahannya bisa jadi karena masyarakat tidak dilibatkan dalam sistem peringatan dini tsunami ini?
Subandono menyebutkan, selain perbaikan teknologi deteksi dini tsunami, jatuhnya banyak korban sebenarnya bisa dihindari jika masyarakat Mentawai tanggap terhadap gempa dan tsunami. Mereka dulu mungkin memiliki kearifan lokal itu, tetapi sekarang banyak yang abai.
”Intinya, kalau ada gempa keras, masyarakat Mentawai harusnya langsung lari ke bukit seperti di Simeulue (Aceh) dengan smong-nya. Masyarakat Mentawai sangat dekat dengan sumber gempa sehingga tsunami bisa lebih cepat datangnya dibandingkan peringatan dini,” ungkapnya.
Subandono mengakui, proses mitigasi dan upaya untuk mengenalkan masyarakat agar beradaptasi terhadap bencana masih dilakukan setengah hati. ”Kami memiliki kemampuan terbatas untuk sosialisasi ke masyarakat. Anggaran mitigasi terbatas,” katanya.
Sebagian masyarakat tradisional sebenarnya memiliki mekanisme adaptasi terhadap gempa dan tsunami. Salah satunya mewujud dalam cerita rakyat atau folklor. Misalnya, cerita smong dari Pulau Simeulue, Aceh. ”Nga linon fesang smong,” demikian kepercayaan masyarakat setempat, yang artinya setelah gempa besar akan datang tsunami. Pengetahuan tentang smong ini berasal dari ingatan tentang tsunami yang pernah menimpa pulau ini pada tahun 1907.
Pengetahuan ini nyatanya menjadi penyelamat warga Simeulue saat terjadi tsunami pada 26 Desember 2004. ”Hanya” tujuh orang yang meninggal di pulau itu akibat bencana tersebut. Padahal, sebanyak 3.146 rumah rusak berat dan 4.856 rusak ringan serta 1.597 rumah hilang ditelan tsunami.
Sebagai salah satu peradaban tua, bahkan mungkin tertua di Nusantara, masyarakat Mentawai semestinya juga memiliki kemampuan adaptasi untuk hidup di pulau yang rentan gempa dan tsunami. Menjadi tugas semua pihak untuk menemukan kembali kearifan lokal itu, selain tentunya secara serius membangun sistem deteksi dini tsunami.... (AIK)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/29/04281521/tsunami.sunyi.di.mentawai

Kamis, 28 Oktober 2010

haa iki Totalitas

Rela Gadaikan Mobil Demi Pantau Merapi
Laporan wartawan KOMPAS.com Kristianto Purnomo
Kamis, 28 Oktober 2010 | 07:02 WIB
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Petugas SAR dengan baju penuh abu erupsi Gunung Merapi berjaga di jalan masuk kawasan wisata Deles di Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Selasa (26/10/2010).


YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Berawal dari kecintaan pada Gunung Merapi yang eksotis, Capung Indrawan rela menggadaikan mobilnya untuk terus memantau perkembangan aktivitas gunung yang saat ini tengah bergejolak.
Memantau Merapi tidak bisa dari satu sisi, kami membuat titik ronda di lingkar Merapi menjadi satu keluarga.
-- Capung Indrawan, pegiat Komunitas Lereng Merapi
"Sementara mobil di sekolahkan, karena kegiatan pemantauan Merapi seperti sekarang butuh biaya banyak seperti pembelian peralatan baru, perawatan alat, sampai mendirikan gardu ronda atau tower," katanya.
Tak banyak orang yang mau meluangkan waktu hanya untuk menghabiskan energi memantau perkembangan aktivitas Gunung Merapi yang berada di wilayah empat kabupaten dan dua propinsi tersebut. Namun, ayah dua anak ini sejak empat tahun silam intens memelopori berdirinya Komunitas Lereng Merapi (KLM) untuk memantau aktivitas gunung ini.
"Memantau Merapi tidak bisa dari satu sisi, kami membuat titik ronda di lingkar Merapi menjadi satu keluarga," ujarnya.
Dengan membangun repeater jaringan komunikasi VHF di tiga titik yaitu di Merapi, Merbabu, dan Jongkang, pria kelahiran 46 tahun silam ini berkomunikasi melalui handytalkie dengan 720 orang relawan yang rela meluangkan waktu dan tenaga memantau perkembangan Merapi.
Saat Merapi bergejolak seperti sekarang, ia mengaku, KLM mendirikan gardu ronda atau tower baru di enam titik yaitu di Sambung Rejo, Kalitengah Lor, Kaliadem, Ngrangkah, Turgo, dan Tunggularum untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai aktivitas Merapi.
Ia menambahkan, pendirian gardu ronda ini sangat tergantung pada arah ancaman. "KLM memiliki 720 orang yang memiliki potensi menjadi trigger atau bisa diandalkan dalam rangka penanggulangan tanggap bencana Merapi," ujarnya.
Uniknya, komunitas ini menggunakan jaringan komunikasi yang menghubungkan warga di Sleman, Magelang, Boyolali, dan Klaten tidak untuk mendidik anggotanya menjadi briker, namun lebih memberdayakan jaringan komunikasi ini untuk pertukaran informasi ekonomi yang bermanfaat bagi warga yang sebagian besar hidup di sektor agraris.
Mengusung konsep yang berbasis pada masyarakat, KLM mencoba mandiri bahkan dari pendanaan. "Dana untuk kegiatan ini dari iuran anggota. Memang tidak menutup kemungkinan kalau Merapi sedang bergejolak seperti saat ini, terkadang ada sponsor yang mau mengucurkan dana untuk membiayai kegiatan ini, tapi sifatnya temporal," katanya.
Sebagai komunitas pemantau gunung, Capung mengaku KLM juga bekerjasama dengan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK). "Kita mendapat pantauan kronologis dari BPPTK dan selama ini BPPTK juga sering menggunakan informasi yang kami berikan," ujarnya.
Ke depan Capung bersama KLM yang muncul dari ketertarikan pada aktivitas gunung berapi ini berupaya bisa semakin mengembangkan KLM tak hanya sekadar sebagai sarana tanggap bencana Merapi, namun bisa mendidik masyarakat dengan sosialisasi kegunungapian. Mengajak masyarakat meningkatkan kewaspadaan sekaligus mencintai Merapi.

foto lengkap di:  KOMPAS IMAGES
Sumber : http://regional.kompas.com/read/2010/10/28/07020326/Rela.Gadaikan.Mobil.Demi.Pantau.Merapi.-4 

haa iki Desa itu : KINAHREDJO

Kinahrejo Tetap Hidup dalam Mitologi
Kamis, 28 Oktober 2010 | 04:09 WIB
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Warga melintas di jalan aspal yang tertutup abu vulkanik erupsi Gunung Merapi di Dusun Kaliadem, Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (27/10)
 
Tempat tinggal juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan (83), di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Sleman, DI Yogyakarta, luluh lantak tersapu awan panas. Tak satu pun bangunan tegak berdiri tanpa kerusakan. Alam yang dulunya hijau berubah menjadi kelabu hanya dalam hitungan menit. Mbah Maridjan pun ikut tewas akibat letusan Merapi, Selasa (26/10) petang.
Pantauan Kompas, kemarin, abu vulkanik setinggi lebih dari 10 sentimeter menutup lantai dan perabotan rumah Mbah Maridjan. Atap bangunan rata dengan tanah. Foto Mbah Maridjan bersama beberapa rekannya—termasuk atlet tinju Chris John—menyembul di antara reruntuhan rumah.
Tubuh Mbah Maridjan ditemukan dalam posisi sujud di rumahnya, Selasa malam. Tetangga Mbah Maridjan, Sumijo (40), mengaku salut dengan keteguhan Mbah Maridjan dalam menjalankan tugas sebagai juru kunci Merapi. ”Dedikasinya menjalankan tugas sebagai juru kunci perlu dicontoh,” kata Sumijo.
Mbah Maridjan, menurut Sumijo, sebenarnya sudah tahu bahwa kondisi Merapi tidak lagi aman. Kepada warga lain, ia menyarankan untuk segera mengungsi. Tetapi, sebagian di antara warga memilih tetap menunggui Merapi bersama Mbah Maridjan. Itulah sebabnya, ada banyak korban tewas dalam musibah ini. Setidaknya,
tim relawan menemukan 31 jenazah saat mengevakuasi Desa Umbulharjo.
Menurut Sumijo, warga memang cenderung mengidolakan sosok Mbah Maridjan. Mereka tetap berjaga-jaga di kawasan desa meskipun Mbah Maridjan sudah meminta mereka untuk mengungsi.
Ketika menyadari kondisi semakin tidak aman, warga sebenarnya sudah akan ikut mengungsi. Tetapi, terlambat. Tetangga Mbah Maridjan, Wiyono, bersama istrinya, Emi, anaknya yang berumur satu bulan, dan ibunya turut masuk daftar korban tewas.
Sesaat sebelum diterjang awan panas, Wiyono menelepon aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat Charitas, Kristanto, untuk mengevakuasi dia dan keluarganya. ”Tetapi, awan panas keburu menyapu Kinahrejo sebelum tim evakuasi tiba. Tim evakuasi tidak bisa masuk karena jalan tertutup pohon tumbang,” kata Kristanto menceritakan.

Ditutup
Tim relawan mengevakuasi jenazah korban di Kinahrejo pada Selasa malam dan Rabu dini hari. Menjelang siang kemarin, kawasan Kinahrejo kembali ditutup bagi masyarakat umum.
Selain Dusun Kinahrejo, Dusun Kaliadem juga luluh lantak diterjang awan panas. Bahkan, dua dusun itu dipaksa menyatu oleh material letusan Merapi yang membenam jalanan, merusak rumah-rumah penduduk, dan menumbangkan pohon-pohon. Ternak warga, seperti sapi, terpanggang hidup-hidup bak mengisyaratkan berakhirnya kehidupan di Kinahrejo.
Praktis Kinahrejo menjadi dusun yang mati. Tak ada lagi yang bisa diharap untuk sebuah kehidupan di sana. Seolah-olah telah tamat riwayat Kinahrejo bersama tokoh karismatiknya, Mbah Maridjan. Jika toh dipaksa untuk tetap menjadi wilayah hunian, membutuhkan pembenahan infrastruktur yang cukup lama dan itu bukan tidak mungkin.
Kini, yang masih tersisa di Kinahrejo adalah kebesaran mitosnya. Karena mitos ini pula seorang penulis asal Perancis, Elizabeth D Inandiak, membukukan mitos-mitos di Kinahrejo—yang banyak berbicara tentang kearifan alam dan manusia. Mitos Pohon Ringin Putih dan Batu Gajah yang berada di Kinahrejo, misalnya, dibukukan Elizabeth dengan judul The White Banyan. Mitos yang mengisahkan kecintaan dan harmoni antara manusia, binatang, dan alam itu dikisahkan dalam prosa yang menarik dengan pisau analisis kekinian. Dengan baik Elizabeth menceritakan konflik manusia dalam penyelamatan hutan.
Ungkapan-ungkapan almarhum Mbah Maridjan yang lugas dan penuh makna setidaknya telah mewarnai kehidupan sosial Kinahrejo. Kata-kata arif yang sering dia ungkapkan secara spontan, baik di jagongan manten (resepsi pernikahan), dalam pertemuan-pertemuan dusun, maupun acara informal, sedikit banyak telah memberi sebuah amsal bagi warganya.
Seperti ungkapannya yang dikutip dalam The White Banyan itu, ”Saya ini orang-orang bodoh.... Kalau orang pintar diberi satu, akan minta dua. Tapi, kalau orang bodoh diberi satu, akan disyukuri.”
Ini ungkapan Mbah Maridjan pula, ”Berjalan bertelanjang kaki, namun kepala saya selalu saya lindungi, karena kepala adalah bagian terhormat dari tubuh manusia. Bukankah dia yang memerintah kaki-kaki kita untuk melangkah?”
Ya, Kinahrejo boleh saja luluh lantak, Mbah Maridjan boleh mati, tetapi ia tetap meninggalkan kearifan-kearifan bagi yang mau mendengar. (WKM/TOP)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/28/04091329/kinahrejo.tetap.hidup.dalam.mitologi

haa iki Kisah Mantan Masinis

Supardi Warno
Mantan Masinis di PAUD "Rob"
Kamis, 28 Oktober 2010 | 02:32 WIB
KOMPAS/ANTONY LEE
Supardi Warno
Antony Lee


Kampung tempat tinggal Supardi Warno di Kota Semarang, Jawa Tengah, perlahan berubah menjadi ”rawa” akibat limpasan air laut alias rob. Bosan memusuhi rob, ia memilih berdamai dengan rob. Dengan begitu, ia bisa menyisihkan uang sedikit demi sedikit untuk menginisiasi pendidikan anak usia dini bagi anak-anak tetangganya.
Warno, panggilannya, hari itu sedang melihat-lihat pembangunan Masjid Baitul Hidayah di Kampung Depo Indah, Kelurahan Kemijen, Kecamatan Semarang Timur. Masjid itu berada di depan rumahnya, bersisian dengan bangunan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Al Hidayah.
”Ini celengan akhirat saya,” tutur Warno tersenyum melihat anak-anak berseragam yang asyik bermain di ruangan PAUD Al Hidayah.
Warno mendirikan PAUD pertengahan 2005 walaupun ia tak berlatar belakang kependidikan. Ia bekerja di PT Kereta Api Indonesia (KAI), diawali sebagai masinis, lalu ditugaskan menjadi mekanik sampai pensiun pada 2007.
PAUD Al Hidayah memanfaatkan bangunan permanen berlantai dua berukuran 4 meter x 12 meter. Hanya ada dua ruang utama di PAUD sederhana itu yang digunakan untuk ruang belajar. Sedangkan ruang para guru yang hanya cukup untuk satu meja dan dua kursi itu berada di depan toilet.
Di tengah kesederhanaannya, PAUD Al Hidayah menjadi semacam oase di Kampung Depo Indah, kawasan yang dianggap padat, alih-alih disebut kumuh. Warga Depo Indah harus berbagi wilayah dengan genangan rob yang kian tahun semakin menghebat. Para penghuni kawasan itu tergolong warga berpenghasilan menengah ke bawah dengan pekerjaan sebagai sopir, buruh, atau tukang becak. Sejumlah warga lagi pensiunan pegawai PT KAI.
Ada 45 anak yang tengah menuntut ilmu di PAUD Al Hidayah, masing-masing 20 anak untuk kelas taman bermain A (usia 4-5 tahun) dan taman bermain B (usia 5-6 tahun) serta lima anak di kelas usia 2-4 tahun. Bagi warga Depo Indah, PAUD itu membantu karena tak ada pendidikan untuk anak-anak usia dua tahun sampai taman kanak-kanak yang bisa terjangkau dengan berjalan kaki.
Selain itu, biaya sekolah di PAUD Al Hidayah relatif terjangkau, yakni Rp 30.000 sebulan. Itu jauh lebih murah ketimbang PAUD di perkotaan yang menarik biaya ratusan ribu rupiah.

Pendekatan sentra
Namun, dengan biaya murah pun, anak-anak di PAUD Al Hidayah mendapat materi yang mencukupi. Menurut Titik Sumartiningsih, Kepala PAUD Al Hidayah, dalam pembelajaran, pihaknya menggunakan pendekatan sentra dan lingkaran. Artinya, setiap anak diajak ”bermain” dalam sentra berbeda, yakni balok, persiapan (membaca, menulis, dan berhitung), seni, keimanan dan ketakwaan, serta alam (sains).
”Kami juga menekankan pendidikan iman dan ketakwaan karena sebagian besar orangtua mereka sibuk sehingga kurang menyentuh aspek itu. Ada juga murid yang orangtuanya itu gali (preman), bahkan sampai masuk penjara,” tutur Titik.
Harapan agar anak-anak itu tetap berakhlak baik, sekaligus tersentuh pendidikan dalam masa emas pertumbuhan, membuat Warno bertekad merintis PAUD Al Hidayah. Meski untuk itu ia mesti memeras tenaga, pikiran, dan sumber daya keuangan. Beruntung ia tak perlu menyediakan dana untuk membeli tanah karena bisa mengajukan izin penggunaan lahan milik PT KAI.
Biaya untuk membangun PAUD itu sekitar Rp 70 juta, belum termasuk peralatan. Biaya itu diambil dari tabungan Warno dan para donatur. Pada tahun pertama, ada bantuan dari sebuah organisasi yang bekerja sama dengan PT Pertamina. Mereka membantu penyediaan tenaga pengajar sekaligus menyediakan bangku serta sedikit alat peraga edukatif.
”Tetapi saya sempat gelo (sedih, kecewa) karena saat awal (beroperasi) ada guru yang membawa lari tabungan yang dikumpulkan anak-anak selama sekitar setahun. Jumlahnya belasan juta. Demi kepercayaan (dari warga), saya talangi dari tabungan saya,” cerita Warno.

Musuh jadi kawan
Usaha Warno mendirikan PAUD itu tak dapat dilepaskan dari ”perdamaiannya” dengan lingkungan. Warno, yang tinggal di lahan milik PT KAI sejak 1977, harus berhadapan dengan rob mulai sekitar pertengahan 1980-an.
Kondisi ini disebabkan penurunan muka tanah di Kota Semarang bagian utara yang berbatasan dengan laut. Kampung Depo Indah hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang. Sejumlah warga yang semula bisa memanfaatkan sebagian lahan untuk bercocok tanam sekadarnya hanya gigit jari ketika genangan itu menjadi permanen dengan ketinggian lebih dari 1 meter.
”Kalau (rob) dijadikan musuh terus, kita bisa ngelokro (putus asa). Saya coba membuat lahan sekitarnya menjadi semacam empang, lalu disewakan untuk pemancingan,” tuturnya.
Usaha itu dilakukannya pada tahun 2000-an. Dalam sehari, ada empat hingga lima pemancing yang menyewa empang itu senilai Rp 10.000 per orang. Kadang, dalam sebulan ia bisa menerima Rp 1,5 juta dari sewa pemancingan berukuran 25 meter x 30 meter itu. Warga lainnya perlahan-lahan turut ”berkawan” dengan lahan tergenang rob.
Warno menyimpan sebagian uang itu dan sebagian gajinya untuk merintis PAUD. Pada dua tahun pertama, ia masih menyubsidi biaya operasional PAUD dari hasil sewa pemancingan. Kini PAUD Al Hidayah sudah mandiri dengan biaya operasional sekitar Rp 2 juta sebulan.
Dia berharap mampu meningkatkan kesejahteraan para guru yang digaji Rp 150.000-Rp 300.000 per bulan. Warno menyadari peranan para guru sebagai ujung tombak pengajaran. Tak jarang, guru harus memutar otak untuk membuat alat peraga dari barang bekas, seperti puzzle dari potongan kardus.
”Warga pasti senang kalau anaknya bisa sekolah. Keterbatasan dana dan tak adanya sarana yang disediakan pemerintah membuat mereka tak bisa menyekolahkan anaknya,” kata Warno yang lewat PAUD Al Hidayah telah ”meluluskan” sedikitnya 200 anak Kampung Depo Indah.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/28/02320598/mantan.masinis.di.paud.rob

haa iki Tentang 'Wedhus Gembel'

VULKANOLOGI
"Wedhus Gembel" yang Mematikan
Kamis, 28 Oktober 2010 | 03:41 WIB
YUNI IKAWATI


Pegunungan menjadi tempat wisata yang nyaman karena udaranya sejuk. Di puncaknya, lazimnya berkumpul uap air hingga terbentuk awan hujan. Namun, ketika gunung tengah aktif, yang muncul dari lubang kepundannya adalah awan panas yang berbahaya dan mematikan.
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, panorama pegunungan merupakan hal yang umum ditemui, termasuk juga ketika gunung itu tengah mengepul. Ini karena wilayah Nusantara merupakan bagian terpanjang dari ”cincin api” atau jajaran gunung berapi di sekeliling cekung Pasifik dan memiliki 129 gunung api.
Gunung-gunung aktif itu tersebar dari Sumatera hingga Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku. ”Setiap tahun ada 12 hingga 15 gunung api yang berstatus di atas Aktif Normal. Di antara jumlah itu, enam hingga delapan gunung yang meletus,” kata Mas Atje Purbawinata, pengamat kegunungapian.
Aktivitas gunung merapi, antara lain, ditunjukkan oleh keluarnya lava dari dapur magma ke lubang kepundan. Lelehan lava itu terus menumpuk semakin besar di sekeliling bibir kawah membentuk kubah.
Naiknya magma ke permukaan kepundan dapat menimbulkan kepulan asap hingga membentuk awan panas dan menyebabkan letusan material yang terdiri dari uap, debu, dan bebatuan. Awan panas atau ledakan freatik tersebut terjadi apabila magma yang naik itu menyentuh air tanah atau genangan air di kepundan.
Suhu magma bisa mencapai 600 derajat celsius hingga 1.170 derajat celsius. Hal inilah yang membuat air yang terkena langsung menguap dan menimbulkan letusan uap, debu, bebatuan, dan ledakan vulkanik. Mekanisme pembentukan kubah gunung berapi juga terjadi di Gunung Merapi yang Selasa (26/10) kemarin meletus.
Peningkatan aktivitas vulkanik dideteksi mulai dari kegempaannya hingga terjadinya guguran kubah lava. ”Guguran ini menyebabkan kubah yang terbentuk selama bertahun-tahun akan mulai terbongkar,” ujar Mas Atje, mantan peneliti di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Sebelum memasuki masa pensiun, ia menghabiskan masa tugasnya selama hampir 30 tahun memantau gunung api di Indonesia, terutama Gunung Merapi.
Deformasi permukaan di puncak semakin besar pada kubah lava yang sudah semakin membesar itu. Karena tidak stabil pada posisinya di puncak tersebut, kubah ini akhirnya gugur dalam bentuk guguran lava pijar dan awan panas.
Pembentukan kubah Merapi pernah terpantau Satelit Alos dan Ikonos pada 2007 sebelum gugur pada Mei tahun itu. ”Diameternya sekitar 500 meter,” ungkap Orbita Roswintiarti, Kepala Bidang Data Inderaja Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.
Sementara itu, dalam laporan tertulis terkait pernyataan status Awas Merapi, Senin (25/10), Kepala PVMBG Surono menyebutkan, dalam waktu empat hari sejak Kamis (21/10) terjadi peningkatan empat kali lipat pertumbuhan kubah di puncak Merapi. Sehari kemudian, kubah yang terbentuk selama empat tahun itu gugur.
Gugurnya sebagian besar kubah ini membuka jalan lebih besar bagi magma untuk naik ke permukaan. Kondisi ini menyebabkan terbongkarnya kubah lava secara besar-besaran. Hal ini mengakibatkan terjadinya letusan, seperti yang terjadi Selasa lalu.
Letusan tersebut juga diikuti dengan terjadinya fragmentasi material magma baru dan munculnya awan panas. Proses ini, kemarin, mengakibatkan hujan abu.

”Wedhus gembel”
Saat ini lava mulai lagi membentuk kubah baru. Namun, apabila terjadi suplai magma dalam jumlah besar, ada kemungkinan awan panas yang menimbulkan letusan akan terjadi lagi.
Di Merapi, guguran lava yang menghasilkan awan panas umumnya terjadi setelah pertumbuhan kubah lava. Tipe erupsi khas Merapi adalah efusif, yaitu pembentukan kubah yang tidak stabil karena terdesak magma hingga akhirnya runtuh berupa guguran lava pijar dan awan panas.
Dalam volume yang besar, material yang gugur itu berubah menjadi rock avalanche atau lebih dikenal dengan sebutan wedhus gembel. Dinamakan wedhus gembel karena bagi masyarakat sekitar bentuknya bergulung-gulung menyerupai bulu wedhus atau kambing.
Awan panas ini merupakan campuran material berukuran debu hingga blok bersuhu le- bih dari 700 derajat celsius yang meluncur dengan kecepatan bisa di atas 100 kilometer per jam.

Ancaman banjir lahar
Dewi Sri, pengamat Merapi di Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK), kembali mengingatkan bahaya banjir lahar. ”Setelah letusan akan muncul bahaya sekunder, yaitu banjir lahar pada sungai-sungai yang berhulu di Merapi,” katanya.
Hal ini kemungkinan besar terjadi, mengingat curah hujan yang tinggi di lereng Merapi selama musim hujan ini. Karena itu, perlu dilakukan langkah antisipasi pihak terkait.
Sementara itu, untuk memastikan waktu berakhirnya pengungsian penduduk, menurut Sri Sumarti, pengamat di BPPTK, pihaknya memerlukan waktu sekitar dua hingga tiga hari untuk menghimpun data tentang gempa multifase dan gempa frekuensi rendah serta deformasi di puncak.
”Data ini diperlukan untuk memperkirakan aktivitas Merapi selanjutnya, apakah akan membentuk kubah lava baru atau letusan-letusan lagi,” ucapnya.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/28/03413649/.wedhus.gembel.yang.mematikan

haa iki Korban Mentawai

311 Tewas di Mentawai
Kamis, 28 Oktober 2010 | 04:01 WIB
 
 
 
Sikakap, Kompas - Keterbatasan personel dan sulitnya akses transportasi menuju lokasi yang diluluhlantakkan tsunami membuat upaya evakuasi pada hari Rabu (27/10) tidak maksimal. Hingga pukul 22.30 semalam, sedikitnya 311 korban ditemukan tewas dan 426 korban hilang.
Antarizon, Kepala Seksi Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumatera Barat, mengatakan, 77 korban mengalami luka berat dan 25 orang menderita luka ringan. ”Bantuan medis dan tambahan personel evakuasi mendesak dibutuhkan oleh para korban bencana tsunami di wilayah Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai,” kata Antarizon.
Ucapan dukacita dan tawaran bantuan dari mancanegara pun berdatangan.
Dari Washington, Amerika Serikat, Presiden Barack Obama menyatakan turut berdukacita atas jatuhnya korban jiwa dalam bencana tsunami menyusul gempa di Kepulauan Mentawai, Sumatera, Senin.
”Michelle (Obama) dan saya sangat berduka atas jatuhnya korban jiwa, luka-luka, dan kerusakan yang terjadi akibat gempa bumi dan tsunami di Sumatera Barat baru-baru ini,” tutur Obama.
Perdana Menteri Australia Julia Gillard menyampaikan ucapan turut berdukacita saat berbicara di hadapan Parlemen Australia di Canberra. ”Saya menyayangkan jatuhnya korban jiwa dan kerusakan yang terjadi, dan tentu saja kami bersimpati kepada keluarga korban. Pemerintah Australia menawarkan bantuan kepada Pemerintah Indonesia jika diperlukan,” tutur Gillard.
Dari Vatikan, Paus Benediktus XXI menyerukan kepada komunitas internasional untuk segera menggerakkan bantuan bagi para korban tsunami di Indonesia dan banjir bandang di Benin, Afrika Barat. Paus memastikan akan mendoakan masyarakat di Asia dan Afrika dalam audiensi publik mingguan, Rabu.
Tawaran bantuan juga disampaikan Presiden Filipina Beniqno Aquino III di sela-sela KTT ASEAN di Hanoi, Vietnam, pada hari Rabu. ”Kami siap membantu dengan cara apa pun,” ujar Aquino.
Meski demikian, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan, Indonesia saat ini belum membutuhkan bantuan internasional dalam proses pertolongan bencana tsunami di Mentawai maupun letusan Gunung Merapi.

Presiden pulang
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang tengah melakukan kunjungan kenegaraan dan menghadiri KTT ASEAN serta KTT Asia Timur di Hanoi, Vietnam, Rabu sore, memutuskan pulang ke Tanah Air untuk memantau dan meninjau langsung lokasi bencana di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Setibanya di Bandar Udara Minangkabau, Padang, Presiden Yudhoyono langsung mendengarkan laporan Wapres Boediono di ruang VIP Bandara Minangkabau tentang hasil kunjungannya ke lokasi bencana di Kepulauan Mentawai dan ke Gunung Merapi.
Dijadwalkan, Presiden Yudhoyono akan kembali lagi ke Hanoi untuk menghadiri serah terima jabatan sebagai pimpinan sidang KTT ASEAN tahun depan di KTT ASEAN. ”Presiden Yudhoyono memang ingin meninjau dulu dan rencananya juga akan meninjau ke lokasi bencana, Kamis pagi. Setelah itu, baru kembali ke Hanoi,” ujar Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha di Bandar Udara Minangkabau, Rabu malam.
Namun, Julian belum bisa memastikan kapan waktu yang tepat bagi Presiden kembali ke Hanoi.
Sementara itu, gempa bumi lain dirasakan di Bandung, Rabu pukul 21.48. Menurut informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kekuatan gempa 4,5 skala Richter, berpusat 54 kilometer sebelah tenggara Bandung dengan kedalaman 33 kilometer. Guncangan gempa cukup mengagetkan sejumlah warga di Kota Bandung.

Tertahan
Menurut Antarizon, saat ini bantuan logistik dan obat-obatan sebagian besar tertahan di Padang karena cuaca buruk.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin di Jakarta menyatakan, Indonesia harus memiliki standar penanganan bencana yang cepat, tepat, dan bermanfaat. Ini karena Indonesia nyaris menjadi negara musibah.
”Jangan sampai seperti sekarang, hingga hari ketiga musibah tsunami di Mentawai, bantuan dari pemerintah dan masyarakat belum bisa diterima para korban. Tim Muhammadiyah juga masih tertahan di Padang,” tutur Din.
Kemarin (dua hari setelah tsunami menyapu Pulau Sipora, Pulau Pagai Selatan, dan Pulau Pagai Utara), baru sebagian kecil korban selamat dari Dusun Muntei Baru Baru, Desa Betumonga, Kecamatan Pagai Utara, yang bisa dievakuasi ke Puskesmas Sikakap, di Desa Sikakap, Kecamatan Sikakap.
Dusun Muntei Baru Baru adalah lokasi terdekat dari Kecamatan Sikakap yang menjadi pusat keramaian di Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan dengan jarak sekitar satu jam pelayaran melalui sarana kapal bermesin.
Kepala Desa Betumonga Jonni Siritoituet mengatakan, banyak korban tewas karena tak ada pertolongan.
”Di Dusun Sabenggung, Desa Betumonga, ada 32 korban yang saya temukan hidup setelah tsunami, tapi kemudian tewas karena tidak ada pertolongan,” kata Jonni.
Korban tewas di Dusun Muntei Baru Baru 83 orang. ”100 orang lagi hilang dan jenazahnya belum ditemukan,” kata Jonni.(INK/BIL/UKI/JOS/JON/LKT/HAR/ARN/NWO/DHF/AFP/AP/BAY)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/28/04015876/.311.tewas.di.mentawai

haa iki Korban Merapi

Korban Tewas Merapi 32 Orang
Kamis, 28 Oktober 2010 | 04:02 WIB
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Potret Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, yang luluh lantak diterjang awan panas dari erupsi Gunung Merapi, Rabu (27/10).
 
 
YOGYAKARTA, KOMPAS - Sebanyak 31 orang tewas bersama hancurnya Dusun Kinahrejo akibat panas letusan Gunung Merapi, Selasa (26/10) petang.
Satu korban lainnya adalah Ilham Azaki (6 bulan) dari Kecamatan Srumbung, Magelang, yang terpapar debu vulkanik.
Jenazah 30 korban ditemukan di Dusun Kinahrejo, Kelurahan Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, sedangkan satu korban lain meninggal setelah dievakuasi di RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta.
Camat Cangkringan Samsul Bakri mengatakan, sebagian besar korban tewas ditemukan di Kelurahan Umbulharjo. ”Kumpulan jenazah terbanyak memang ada di sekitar rumah Mbah Maridjan,” katanya.
Jumlah korban tewas terus bertambah karena ada kemungkinan masih ada jenazah yang tertimbun di reruntuhan rumah. Selain itu, terdapat pula 14 korban luka berat di RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta, dan puluhan korban luka ringan.
Petugas dari tim forensik RS Dr Sardjito bersama tim Disaster Victim Identification Polda DIY terus mengidentifikasi jenazah korban di RS Dr Sardjito. Tujuh jenazah teridentifikasi telah dibawa pulang keluarganya.

Sisa energi Merapi
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Surono di Yogyakarta, Rabu, mengatakan, sisa energi yang tersimpan di Gunung Merapi pascaerupsi masih belum diketahui.
Sisa energi ini menjadi kunci untuk mengetahui apakah krisis Merapi sudah lewat atau kondisi tenang pascaerupsi hanyalah jeda sebelum letusan baru. ”Aktivitas Merapi hari ini (kemarin) menurun sekali. Namun, itu tidak bisa menjadi patokan bahwa krisis sudah selesai. Kami masih mencoba memahami ’bahasa’ Merapi pascaerupsi ini,” kata Surono.
Surono memprediksi, energi erupsi Merapi lebih besar dibandingkan tiga letusan pada 2006, 2001, dan 1997. Awalnya, ia berharap energi itu terkikis karena terpakai saat proses menggugurkan lava. ”Ternyata, waktunya pendek sehingga energi yang dikeluarkan untuk guguran tidak terlalu banyak. Energi besar malah digunakan untuk letusan. Beri kami waktu untuk menganalisis apakah energi itu sudah habis atau masih ada yang tersisa,” katanya.
Karena kondisi itu, Surono menyatakan, Merapi masih berada dalam status Awas (tingkatan paling berbahaya). Penduduk yang berada pada radius 10 kilometer dari puncak Merapi belum diperkenankan kembali ke rumah masing-masing.
Saat letusan, Surono tidak bisa mencatat prosesnya karena kondisi lapangan tidak memungkinkan akibat gelap dan petugas yang dievakuasi. ”Satu hal yang jelas, awan panas terjadi yang menjadi ciri khas Merapi. Namun, kami belum mengetahui letusan itu keluar dari mana,” ujarnya.
Daya rusak Merapi, disimpulkan Surono, sangat tinggi dengan tingkat kerusakan luar biasa. ”Kemungkinan ada semacam letusan yang terarah ke selatan dengan daya rusak luar biasa dan membunuh. Suhu awan panas mencapai sekitar 600 derajat celcius,” katanya.

Jenazah Mbah Maridjan
Informasi dari Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda DIY Agung Hadi Wijanarko, nama-nama korban meninggal sementara adalah Sarjiman (Desa Kepuharjo), Ny Puji Sarono (Pelemsari), Sarno U1tomo (Pelemsari), Tarno (Pelemsari), Yanto Utomo (Ngrangkah), Wahono Suketi (Kinahrejo), Iwan Nur Cholik (Kinahrejo), Sipon (Kinahrejo), Yuniawan Nugroho (Cibinong), Tutur (Bantul), Samidi (Kinahrejo), Imam (Kinahrejo), Ny Emi dan bayinya (Kinahrejo), Amdriyanto (Kinahrejo), Imam (Kinahrejo), Ny Sarworejo (Kinahrejo), Wiyono (Kinahrejo), Ngatiran (Kinahrejo), Bp Muji, Ny Pujo, dan Mursiyam.
Salah satu jenazah yang tercatat sebagai Mr X diduga sebagai jenazah Mbah Maridjan.
Agung Hadi Wijanarko mengatakan, sampel DNA jenazah Mbah Maridjan telah dikirim ke Jakarta. Hasil tes DNA itu akan menguatkan pembuktian. ”Dugaan bahwa jenazah itu Mbah Maridjan sudah lebih dari 90 persen, tapi masih butuh penguat,” ujarnya.
Berdasarkan data sekunder, jenazah tersebut memang cocok dengan Mbah Maridjan. Data sekunder itu, antara lain sarung kotak-kotak dan kemeja batik yang melekat pada jenazah. Selain itu, berdasarkan ciri fisik yang dicatat oleh Keraton Yogyakarta, dua ibu jari Mbah Maridjan bengkok mengarah keluar. Jenazah tersebut ditemukan di kamar mandi rumah Mbah Maridjan dalam posisi sujud.

Dihentikan
Evakuasi di Umbulharjo, Rabu pukul 10.30, dihentikan. Dusun Kinahrejo tertutup total selain untuk keperluan evakuasi. ”Aktivitas Merapi masih tinggi. Siang ini ada peningkatan sedikit,” kata Sekretariat Posko Umbulharjo Suryadi.
Kemarin, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X dan GKR Hemas bersama sejumlah anggota DPD asal DIY, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, serta Ketua Umum Palang Merah Indonesia Jusuf Kalla datang menjenguk para pengungsi di Pakem, Kebupaten Sleman.
Sultan HB X menegaskan, belum perlu tanggap darurat ditetapkan terkait bencana erupsi Merapi. Salah satu alasannya adalah radius bencana hanya 10 kilometer. Penanganan bencana juga sudah dilakukan secara optimal.
”Rapat hari ini (hasilnya) adalah tidak mesti menetapkan tanggap darurat karena kondisi yang membahayakan hanya 10 km dari puncak,” ujar Sultan, menyarikan hasil rapat koordinasi penanganan erupsi Merapi di Pakem, Sleman, Rabu.
Menurut Sultan, yang terpenting sekarang adalah bagaimana pemerintah mengamankan masyarakat untuk mengungsi dan menjamin pelayanan selama dalam pengungsian, termasuk juga memberi pelayanan kesehatan. (ENG/IRE/WKM/ARA/PRA/MDN/DAY/NOW)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/28/04022735/korban.tewas.merapi.32.orang

haa iki Mengenang mbah Maridjan

Pendakian Personal Versus Perburuan Kolektif
Kamis, 28 Oktober 2010 | 04:03 WIB
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Mas Penewu Suraksohargo atau Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi.
Irene Sarwindaningrum dan Hariadi Saptono


Musibah letusan Gunung Merapi, Selasa (26/10) pukul 18.10, 18.15, dan 18.25, menyisakan dua pertanyaan penting, serta keprihatinan publik.
Pertama, mengapa jumlah korban meninggal terempas guguran lava Merapi begitu tinggi, mencapai 32 orang, termasuk juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan (83)? Padahal, peringatan akan bahaya Merapi sudah diumumkan dan langkah antisipasi juga sudah dipersiapkan oleh pemerintah.
Kedua, masyarakat makin ingin tahu siapakah Mbah Maridjan dan bagaimana sebenarnya perannya sebagai juru kunci Gunung Merapi dari Keraton Yogyakarta, yang dalam beberapa kali peristiwa erupsi tetap memilih tinggal di rumahnya di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta? Dusun tempat tinggalnya bersama keluarganya itu adalah dusun tertinggi, berjarak hanya 4 kilometer dari puncak Merapi (2.968 meter di atas permukaan laut).
Ribuan ”alumnus” pendaki Merapi, khususnya alumnus jalur selatan lewat Kinahrejo, pasti mengenal Mbah Maridjan dan belajar mencintai alam darinya. Salah satu alumnus Merapi yang pernah menyatakan kebanggaannya sebagai pencinta alam ialah pakar politik almarhum Prof Dr Riswandha Imawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) ketika itu.
Komunitas anak muda pencinta gunung itu—jika mereka berkemah atau mendaki Merapi dari jalur Kinahrejo—pasti akan bersua dengan sosok Mbah Maridjan, yang oleh Keraton Yogyakarta diangkat sebagai juru kunci Merapi. Datang atau pergi, belum lega kalau belum sowan ”simbah”, pemilik base camp yang lengkap menyewakan balai-balai bambu luas untuk bergelimpang istirahat di rumahnya.
Sejak awal tahun 1980-an, tempat itu sebenarnya sudah menjadi ”area dan fasilitas publik”. Di kanan kiri rumah induknya berupa bangunan limasan, ada bangunan rumah yang saban hari menjadi warung tempat pendaki maupun pelancong melepaskan lelah: kopi, teh, kopi jahe, kacang rebus, mi instan, nasi goreng, nasi rames, rokok, sampai obat nyamuk. Malam Minggu, begitu banyak kaum muda reriungan di sana. Gunung dan imajinasi liar menyatu.
Mbah Maridjanlah yang memegang kata putus: kapan satu rombongan pendaki diizinkan naik, kapan tidak—karena ia tahu kondisi jalur pendakian aman atau berbahaya saat itu. Hiburan yang membuat kangen, dan mengesankan anak muda dan tetamunya, tentulah karena Simbah begitu ”licin” dalam berbahasa: kosakatanya liat, dan memang cerdik.
Ucapan-ucapan juru kunci Merapi yang dilantik Maret 1983 oleh Sultan Hamengku Buwono (HB) IX itu juga tidak linier, multidimensi, dan kaya metafor. Karena itu, sangat sering membuat orang dengan logika lurus terpeleset menafsirkannya.
Mengapa ia menjadi juru kunci Merapi? Ini bertalian dengan wilayah Merapi sebagai wilayah milik Keraton Yogyakarta. Keraton punya tradisi mengangkat juru kunci Merapi sebagai bagian dari ”pandangan dunia” lazimnya keraton Jawa, tentang garis magis imajiner antara Gunung Merapi, Keraton, dan Parangtritis di Pantai Selatan, Yogyakarta.
Di sebuah senja menjelang gerimis di tahun 2006, mendadak serombongan mahasiswa minta berteduh di kediamannya. Oom Piet, instruktur rombongan itu, ternyata sudah lama kenal Simbah, tapi begitu lama tak muncul di sana.
Mbah Maridjan spontan mengambil peci dan mengajak tamunya masuk ke rumah inti, limasan kecil di belakang bangunan joglo. Dan teh panas pun dihidangkan. ”Kebutuhan orang itu, ya, ’rasa kekurangan’ itu,” katanya, mendadak berkomentar tentang bencana banjir dan longsor di mana-mana akibat ulah manusia. ”Meski diberi sebanyak apa pun, manusia akan merasa kekurangan, karena kekurangan itulah kebutuhan manusia,” kata abdi dalem keraton yang punya gelar Mas Penewu Suraksohargo itu.
Kali lain, serombongan pelancong dari Jakarta datang mencari angin di Kinahrejo. Mbah Maridjan meneror: ”Maunya ke rumah Simbah cari resep ya Mas, jebule di sini sepet. Hohohoho... lha piye niku (Maunya ke rumah Simbah mencari kenyamanan ya Mas, ternyata di rumah simbah menjemukan. Bagaimana tuh),” kata Mbah Maridjan telak, membuyarkan imajinasi soal perikehidupan desa.
Selasa siang, tiga jam sebelum erupsi terjadi, Mbah Maridjan menemui utusan Ketua PB NU Hasyim Muzadi yang ingin berkunjung Rabu pagi. Dalam obrolannya, siang itu Mbah Maridjan berkali-kali mengungkapkan kekesalannya kepada para wartawan. Oleh sebab itu, ia selalu menolak diambil gambar oleh wartawan. ”Wartawan itu beritanya besar, tetapi sebenarnya faktanya kecil. Sedangkan kabar yang baik, mengapa justru menjadi jelek,” katanya dalam bahasa Jawa.
Ungkapan seperti itu boleh jadi menggambarkan kekecewaannya atas ruwetnya profesinya kini sebagai juru kunci Merapi, karena cara media massa membahasakannya.
Sebutlah ”pekerjaan” sebagai juru kunci, adalah ”pendakian” personalnya secara spiritual. Wilayah itu tak sepenuhnya bisa diterang-jelaskan, sebagaimana pengalaman puitik pada tradisi para kawi (sastrawan). Hal yang mirip, sepintas juga hidup pada komunitas wayang orang di Dusun Tutup Ngisor, Kecamatan Dukun, Magelang.
Kira-kira, Mbah Maridjan itu kaget bahwa aras informasi yang masih prematur miliknya (tentang Merapi dan apa saja) mendadak menjadi sebuah konstatasi. Sebuah kepastian, bahkan sering dibikin lebih menyeramkan oleh media. Dan khalayak tak jarang melanjutkannya dengan perburuan: mengerumuninya minta konfirmasi.
Inilah mengapa dalam kaitan dengan situasi kritis Merapi, Selasa siang itu Simbah terang-terangan menolak disebut panutan.
Jadi jelas, dia menyatakan diri cara berpikirnya bukan ”jalan umum”, bukan ”rute angkutan umum”. Dia berharap setiap orang mampu menentukan sikap untuk keselamatannya sendiri, dan tak ingin siapa pun hanya mengekor tindakannya. Hal ini karena setiap orang bertanggung jawab terhadap keselamatan dirinya sendiri. ”Kalau sudah merasa harus mengungsi, mengungsi saja. Jangan mengikuti orang bodoh yang tak pernah sekolah seperti saya ini,” katanya.
Baginya, Merapi adalah rumah yang harus diterima, dalam kondisi baik ataupun buruk. ”Kalau turun, nanti diomongin banyak orang. Hanya senang enaknya, tapi tak mau terima buruknya. Bagus atau buruk, ya ini rumah sendiri,” katanya.
Yang indah dan tetap ndeso, menurut kami, di hari terakhirnya itu, pagi harinya Mbah Maridjan masih mencangkul di ladang....

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/28/04034464/pendakian..personal..versus.perburuan.kolektif

Rabu, 27 Oktober 2010

haa iki Berharap Tidak Salah Paham

Terlihat seluruh stasiun TV menyiarkan bencana Merapi dengan porsi yang lebih dari bencana Mentawai maupun juga yang belum lama berlalu di Wasior.
Agar tidak terjadi penilaian negatif dari masyarakat, mudah-mudahan para pengelola TV bisa melakukan peliputan yang lebih merata.
Bahwa di blog inipun juga ternyata lebih banyak ditayangkan berita Merapi, (mohon maaf) itu karena kebetulan saya memang dari sana dan berusaha memonitor perkembangan yang terjadi, namun yang paling penting musti dipahami bahwa seluruh bencana ini mempunyai makna yang sangat penting, bahwa menjadi kenyataan yang tak terbantah bahwa kepintaran, dan ilmu pengetahuan manusia ada batasnya, dan saat ini Yang Maha Kuasa tengah menunjukkan Kekuasaan-NYA, dan menjadi pertanyaan bagi kita semua khususnya pada diri saya pribadi, sanggupkah menyadari lebih cepat lagi betapa banyak laku yang tidak benar dalam mengarungi kehidupan selama ini, banyak tindakan yang tidak sesuai dengan apa yang telah DIA Firmankan, kemudian memperbaiki laku salah tersebut, membangun diri, membangun keluarga, membangun desa dan kota, dan membangun negeri ini dengan lebih arif, jujur dan ikhlas, melepaskan diri dari kemunafikan..

Sungguh saya pribadi percaya, bahwa dalam kesulitan-kesulitan yang ada saat ini pada akhirnya akan didapatkan kemudahan, namun kapankah kemudahan itu didapatkan, sekali lagi itu adalah rahasia-NYA, dan saya, juga anda semua hanya mempunyai kewajiban untuk berbuat baik dan benar dengan sungguh-sungguh.


Jakarta, 27-10-2010.

haa iki Kondisi Setelah Wedhus Gembel Berlalu

haa iki Masih Menjadikan mbah Maridjan Contoh

Teladan Janji Marijan

Fetra Hariandja
Rabu, 27 Oktober 2010 - 13:27 wib
 
GUNUNG Merapi kembali menunjukkan ativitasnya. Sedikitnya 25 orang dipastikan merenggang nyawa, termasuk sang juru kunci, Penewu Suraksohargo alias Mbah Maridjan. Kakek 83 tahun ini ditemukan tewas dengan posisi sujud setelah terkena guguran awan panas Merapi.

Sudah puluhan tahun Mbah Marijan menjaga salah satu gunung teraktif di dunia ini. Dia diberi amanah sebagai juru kunci oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Setiap Gunung Merapi akan meletus, warga setempat selalu menunggu komando dari beliau sebelum memutuskan mengungsi.

Mbah Marijan mulai menjabat sebagai wakil juru kunci pada 1970. Jabatan sebagai juru kunci mulai disandangnya sejak 1982. Dia selalu setia menjadi penjaga Merapi. Ayah dari Mbah Ajungan, Raden Ayu Surjuna, Raden Ayu Murjana, dan Raden Mas Kumambang ini adalah sosok loyal yang mampu menjaga kearifan lokal di sekitar lereng Merapi.

Saking loyal dengan amanat yang diembannya, Mbah Marijan tidak bersedia diungsikan ketika sirine berbunyi sebagai tanda gunung meletus. Dia tetap menjalankan amahnya menjaga Gunung Merapi.  Mbah Mardijan tetap bertahan dalam rumahnya di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Yogyakarta. Padahal keluarga dan warga sekitar mulai mengungsi ke tempat yang aman.

Sebelum ajal menjemput, Mbah Maridjan masih berdoa di masjid dekat rumahnya. Sejumlah relawan termasuk wartawan kemudian menjemput bintang iklan suplemen kesehatan itu untuk membujuk agar mau mengungsi. Namun, Tuhan berkata lain, belasan orang ditemukan tewas dalam kondisi dipenuhi abu vulkanik di sekitar kediamannya.

Bukan sikap keras melawan aktivitas Gunung Merapi yang menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Namun loyalitas terhadap amanah menjaga gunung tersebut bisa dijadikan teladan bagi bangsa Indonesia, khususnya para pemimpin bangsa. Mbah Marijan membuktikan janjinya menjaga Merapi hingga akhir hayatnya.

Sikap Mbah Marijan sangat dibutuhkan bangsa ini. Para petinggi Merah Putih tentunya harus meneladani apa yang dilakukan Mbah Marijan. Pria kelahiran Sleman 1927 silam ini, tetap berpegang teguh dengan janji. Almarhum tidak terpengaruh dengan berbagai godaan yang mencoba menggoyahkan pendiriannya agar meninggalkan lereng Gunung Merapi.

Berbeda dengan para pemimpin bangsa ini. Saat berkampanye sebelum pemilihan umum, mereka sesumbar mengumbar janji yang manis kepada masyarakat. Janji kesejahteraan menjadi senjata ampuh selama kampanye. Buktinya baru satu persen.

Dalam pemberantasan korupsi misalnya. Indonesia masih jalan di tempat. Dengan IPK 2,8 tersebut, Indonesia berada di urutan 110 jauh di bawah negara Asia lainnya seperti Singapura (9.4), Brunei (5,5), Malaysia (4,4), dan Thailand (3,5). Bukti bahwa Indonesia masih menjadi negara terkorup di dunia. Bagaimana kinerja aparat penegak hukum di negeri ini. Mereka janji memberantas korupsi saat masih menjadi terkorup di dunia.

Paling dekat mengenai banjir dan kemacetan di Ibu Kota Jakarta. Kota kebanggaan bangsa Indonesia ini semakin curat marut. Dalam kampanye pemilihan kepala daerah silam, semua calon gubernur berjanji akan mengatasi kemacetan dan banjir di Jakarta. Sebaliknya, Jakarta semakin amburadul karena volume kendaran terus meningkat dan buruknya sistem drainase.

Secara keilmuan, sebagian besar pejabat negara di negeri ini kemungkinan lebih baik dibandingkan Mbah Marijan. Namun secara akhlak, mereka kalah dengan Mbah Marijan. Sang penjaga Merapi ini sudah membuktikan janjinya. Dia wafat saat menjalani amanah menjaga keindahan dan kearifan gunung tersebut.

Seharusnya, kepergian Mbah Marijan menjadi teladan bagi semua pemimpin bangsa. Buktikan semua janji yang pernah dikumandangkan kepada masyarakat.

Selamat jalan Mbah Marijan. Semoga loyalitas dan kepatuhanmu menjadi teladan bagi semua pemimpin di negeri ini.

Sumber : http://suar.okezone.com/read/2010/10/27/59/386987/teladan-janji-marijan