Selasa, 31 Agustus 2010

haa iki Tentang RSBI

EVALUASI RSBI
Kemdiknas Rampungkan Draf RSBI
Selasa, 31 Agustus 2010 | 12:34 WIB

M.LATIEF/KOMPAS.COM
Ilustrasi: Satu bulan ke depan Kemdiknas akan membuat focus group discussion (FGD). Dari FGD itulah kebijakan RSBI akan dirumuskan.

JAKARTA, KOMPAS.com — Kementerian Pendidikan Nasional atau Kemdiknas saat ini telah melakukan uji publik terkait proses penerbitan kebijakan rintisan sekolah bertaraf internasional atau RSBI. Kemdiknas akan merampungkan draf terkait proses penerbitan kebijakan itu.

Kemudian kebijakan itu akan diefektifkan pada 2011. Yang penting, saat mulai tahun ajaran baru 2011/2012, kita sudah siap. -- Mohammad Nuh
"Uji publik RSBI tidak mungkin dilakukan satu atau dua hari karena publik perlu membaca dan memahami. Hari ini kami upload, paling tidak satu minggu sudah tersosialisasi," ujar Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh di sela-sela acara buka puasa bersama wartawan di Jakarta, Senin (30/8/2010).
Nuh mengatakan, paling tidak satu bulan ke depan pihaknya akan membuat focus group discussion (FGD). Dari FGD itulah kebijakan akan dirumuskan.
"Kemudian, kebijakan itu akan diefektifkan pada 2011. Yang penting, saat mulai tahun ajaran baru 2011/2012, kita sudah siap," ungkap Nuh.
Mendiknas berharap, draf tersebut tidak disamakan dengan kebijakan final. Konsep dasar kebijakan RSBI ini akan dapat dibaca masyarakat luas melalui situs Kemdiknas sehingga semua masyarakat umum bisa mengaksesnya secara luas.

Sumber : http://edukasi.kompas.com/read/2010/08/31/1234198/Kemdiknas.Rampungkan.Draf.RSBI-5

Senin, 30 Agustus 2010

haa iki Tentang KPK Mencari Pimpinannya

Nakhoda Baru Kapal Retak
Senin, 30 Agustus 2010 | 03:13 WIB
Oleh Saldi Isra
Di tengah badai kritik atas pemberian grasi dan remisi bagi sejumlah koruptor, hasil seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjelma menjadi setitik air dalam gelombang badai panas yang amat panjang. Meski tidak sepenuhnya dapat menutup luka yang timbul dari pemberian grasi dan remisi, sosok Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas menghidupkan kembali asa memberantas korupsi yang telah lama memudar.
Hasil seleksi saat ini persis sama dengan prediksi dan harapan banyak kalangan yang concern atas nasib KPK dan kelanjutan agenda pemberantasan korupsi. Karena itu, untuk tahap berikutnya, para penggiat antikorupsi bisa lebih santai menghadapi fit and proper test di DPR. Siapa pun yang terpilih, hampir dapat dipastikan akan membawa dan menyalurkan energi baru di KPK.
Hasil kerja Panitia Seleksi menjadi amat penting untuk masa depan KPK. Sebagaimana pernah dikemukakan dalam ”Mencari Nakhoda Kapal Retak” (Kompas, 23/6), KPK bak sebuah kapal retak yang sedang mengarungi samudra luas. Perjalanannya menjadi semakin berat karena di tengah amukan badai, sang nakhoda terlempar ke laut luas. Untuk bertahan meraih tanah tepi, KPK harus mendapat nakhoda baru yang andal. Kini calon nakhoda baru itu telah ditemukan.
Terobosan
Meskipun disadari, menelisik dan memeras 287 pendaftar hingga akhirnya menjadi dua orang bukanlah pekerjaan ringan. Hampir dapat dipastikan, kekeliruan dalam memilih berpotensi menambah monumen kegagalan agenda pemberantasan korupsi.
Dalam pengertian itu, banyak kalangan percaya, semangat keberpihakan pada agenda pemberantasan korupsi yang dimiliki Panitia Seleksi menjadi faktor yang paling menentukan dalam menemukan calon nakhoda KPK. Dengan semangat itu, semua kepentingan yang dapat mengancam masa depan KPK dan sekaligus menjadi ancaman kelangsungan agenda pemberantasan korupsi mampu dikelola secara bijak.
Tanpa semangat itu, Panitia Seleksi pasti akan kesulitan menemukan karakter calon nakhoda yang benar-benar diperlukan guna menyelamatkan KPK mencapai tanah tepi. Dalam posisi ibarat sebuah kapal retak, yang diperlukan tidak hanya nakhoda yang hanya sekadar mampu mengendalikan arah kapal, tetapi juga mempunyai kemampuan ekstra membangun motivasi semua penghuni kapal untuk mewakafkan waktu mereka bekerja secara kolektif menambal dan memperbaiki kapal dari dalam.
Di atas itu semua, terobosan besar yang dilakukan Panitia Seleksi adalah mematahkan ”tafsir keliru” yang dianut sebagian kalangan selama ini, yaitu pimpinan KPK mencerminkan perwakilan setiap lembaga penegak hukum. Sekiranya Panitia Seleksi gagal keluar dari tafsir itu, nama Bambang dan/atau Busyro sangat mungkin tereliminasi. Karena itu, pada tempatnya publik memberikan apresiasi khusus kepada Panitia Seleksi. Tidak terbantahkan, capaian dan terobosan itu menjadi hadiah istimewa di tengah ketidakpastian agenda pemberantasan korupsi di negeri ini.
Tidak kompromi
Menilik performance KPK dalam beberapa tahun terakhir, calon nakhoda baru (Bambang dan Busyro) harus menghindari segala macam bentuk kompromi dengan kekuatan-kekuatan luar yang tidak terlalu peduli dengan perbaikan KPK. Harapan besar yang tumbuh setelah Panitia Seleksi mengumumkan nama Bambang dan Busyro jangan sampai digadaikan demi kepentingan mendapatkan dukungan DPR.
Begitu pintu kompromi dibuka, cara tersebut akan menjadi kesalahan besar yang berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi, terutama pengungkapan atau penyelesaian sejumlah skandal korupsi yang sejauh ini masih terbengkalai. Bambang dan Busyro pasti paham bahwa membuka ruang untuk berkompromi dengan DPR berpotensi menjauhkan upaya penyelesaian skandal korupsi yang masih terbengkalai tersebut.
Tidak hanya untuk DPR, ruang kompromi juga harus ditutup dengan pihak- pihak lain yang berkepentingan dengan KPK. Misalnya, sampai sejauh ini mayoritas publik masih menunggu KPK menuntaskan skandal Bank Century. Membuka ruang kompromi bagi pihak- pihak yang terkait dengan skandal Bank Century dapat memperpanjang masa penantian publik. Kalau hal itu terjadi, nakhoda baru hanya akan memperparah keretakan kapal KPK.
Sebagai figur yang dihasilkan dari sebuah proses panjang dan mendapat apresiasi besar, Bambang dan Busyro tidak perlu khawatir bahwa tanpa kompromi mereka akan ditolak DPR. Dalam hal ini, Pasal 30 Ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa DPR wajib memilih dan menetapkan dari calon yang diajukan dalam waktu paling lambat tiga bulan terhitung sejak tanggal diterimanya usulan Presiden. Hal itu berarti, satu dari dua nama yang dihasilkan Panitia Seleksi pasti akan dipilih dan ditetapkan DPR.
Yang harus dipikirkan dengan serius, bagaimana dengan satu nama yang tersisih? Usul menarik yang ada sejauh ini, nama tersebut disimpan untuk seleksi tahun depan dengan cara hanya ikut proses fit and proper test di DPR. Namun, usul semacam ini tentu akan mengundang perdebatan panjang. Melihat kebutuhan dan potensi yang dimiliki kedua calon, jika Presiden memang punya keinginan kuat memperbaiki kejaksaan, jauh lebih bermanfaat jika nama yang tersisih diangkat menjadi Jaksa Agung.
Selain membuka peluang untuk membangun pola hubungan yang lebih positif dalam penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi, situasi di kejaksaan tidak lebih baik daripada KPK. Jika KPK ibarat kapal retak, secara jujur harus diakui bahwa kejaksaan ibarat kapal yang nyaris tenggelam. Untuk itu, diperlukan nakhoda baru yang integritasnya tidak lebih rendah dibandingkan dengan nakhoda KPK. Bagaimana Tuan Presiden...?
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/08/30/03130488/nakhoda.baru.kapal.retak

haa iki Kontingensi Untuk Perubahan

Kontingensi untuk Perubahan
Senin, 30 Agustus 2010 | 03:11 WIB
Oleh Boni Hargens
Jusuf Kalla, bekas wakil presiden, dalam diskusi di Bentara Budaya Jakarta yang diselenggarakan harian Kompas dan Lingkar Muda Indonesia (19/8), menggugat pertumbuhan ekonomi 5,8 persen dalam pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (16/8) dalam rangka peringatan Kemerdekaan Ke-65 RI.
Bagi Kalla, angka itu tak perlu dicetak tebal karena negara lain di Asia meraih di atas. Thailand 7,5 persen, Filipina 8 persen, bahkan Singapura di kisaran 13-14 persen. Memang jika dibanding tahun lalu (4,5 persen), angka pertumbuhan ekonomi kita meningkat. Namun, jangkauan itu tak ada artinya di level kawasan.
Dengan angka pertumbuhan itu, Kalla hendak mengkritik mutu kepemimpinan dan kemandirian bangsa di tengah persaingan mondial dalam diskusi bertema ”Indonesia Incorporated: Kepemimpinan Politik Menggerakkan Kemandirian Bangsa”.
Yang menarik, diskusi ini mengawinkan postulat kepemimpinan dan kemandirian dalam satu larik. Pesannya jelas, bahwa kemandirian mengandaikan adanya strong leadership, kepemimpinan yang tidak mellow. Dengan kata lain, kepemimpinan yang kuat adalah conditio per quam bagi kemandirian bangsa.
Tak sedikit kalangan menuding pidato kenegaraan kali ini nihil makna. Kekerasan sipil yang merusak ruang publik tak disebut. Begitu juga ledakan tabung elpiji yang meresahkan masyarakat. Bahkan, petani sama sekali tak disebut dalam teks pidato yang begitu berwibawa itu. Sebaliknya, pertumbuhan makroekonomi dititikberatkan. Seolah- olah popularitas adalah tujuan. Makanya, ada wakil rakyat yang menyetarakan pidato SBY dengan naskah kampanye.
Pola politik ini yang mungkin pantas disebut ”Konsistensi Presiden” dalam tulisan Julian Aldrin Pasha (Kompas, 25/8). Karena itu, yang ngawur bukanlah pengamat, seperti dituduhkan, melainkan orang-orang dekat (dan?) Presiden yang kurang jernih dan jujur melihat realitas. Mereka asyik berapologia seperti dibilang Ikrar Nusa Bhakti (Kompas, 28/8). Padahal, problem kita adalah lemahnya kepemimpinan politik dan rapuhnya kemandirian bangsa. Kenapa? Bagaimana mengatasinya? Inilah yang penting dipikirkan.
Politik karambol
Sudah klasik, politik dilihat sebagai permainan kepentingan. Tetapi, anehnya, permainan kepentingan dalam politik kita cenderung tak mengenal aturan main. Secara deterministik, sulit diprediksi, sukar diukur, dan inkonsisten.
Medan politik pun tak berbeda dengan papan karambol. Satu bola disentil, bola lain turut bergeser. Empat lubang pada tiap sudut memberi kemungkinan sekaligus ketidakmungkinan bagi angka yang terkumpul. Semua bergantung pada pergerakan bola dan tentunya pada ketangkasan pemain. Politik demokrasi tak bisa dilandaskan pada gerakan random seperti itu. Gerak politik ideal adalah gerak yang terukur dan arahnya predictable.
Bola liar jabatan tiga periode untuk presiden yang belakangan bergulir seakan memastikan adanya gerakan politik karambol yang polanya acak dan sasarannya sumir. Bagi ilmuwan politik, fenomena ini mungkin saja memperkuat hipotesis tentang runtuhnya teori klasik konsolidasi demokrasi di negara post- otoritarian atau merangsang lahirnya teori baru.
Namun, bagi rakyat, wajah politik liar macam ini mendasari kejenuhan publik terhadap demokrasi. Inilah karakter politik yang miskin kepemimpinan.
Alasannya bisa karena krisis ideologi, miskin kualitas, ataupun pragmatisme yang menempatkan uang dan jabatan sebagai pencapaian teleologis. Padahal, dalam demokrasi, pencapaian material dan parsial hanyalah konsekuensi, bukan orientasi.
Dalam situasi begini, berbicara perubahan kepemimpinan terkesan sekadar wacana. Terkadang juga dihina sebagai kesibukan palsu ”para pemikir kurang kerjaan”. Padahal, selalu ada kontingensi untuk berubah.
Pertama, pemerintah perlu berbenah diri. Berbenah dalam hal motivasi, cara pandang, dan orientasi agar (1) bisa bekerja se- penuhnya untuk rakyat, (2) memilah mana prioritas di tengah kompleksnya masalah, (3) lebih berani dalam mengambil keputusan dalam situasi sulit yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara, (4) termasuk tegas dalam menegakkan ideologi Pancasila supaya keindonesiaan yang plural tak dibajak oleh elemen sipil tertentu yang menganut filsafat kekerasan.
Berikutnya, perlu pendidikan politik bagi masyarakat supaya ada kesadaran tentang hak dan kewajiban politik. Di ruang inilah partai politik, media massa, institusi pendidikan, dan keluarga perlu memainkan perannya.
Dengan kesadaran yang matang, rakyat di satu sisi bisa mengawasi pemerintah. Di lain sisi, ia mampu menuntut haknya dan tahu kewajibannya. Ia pun bisa menjadi agen bagi lahirnya kepemimpinan yang kuat, bukan politikus karambol dan picisan.
Boni Hargens Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesi
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/08/30/0311280/kontingensi..untuk.perubahan

haa iki Tumpulnya Diplomasi

Diplomasi Tumpul
Senin, 30 Agustus 2010 | 03:10 WIB
Oleh Kiki Syahnakri
Tudingan, cacian, bahkan makian bertubi-tubi dilemparkan pada wajah diplomasi kita yang dinilai lemah, menyusul kasus dengan Malaysia.
Kasus ditukarnya tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan yang ditangkap polisi Malaysia—yang menurut versi kita sedang bertugas di wilayah perairan nasional—dengan tujuh nelayan Malaysia yang ditangkap karena mencuri ikan di wilayah laut teritorial kita kemudian menimbulkan gelombang demonstrasi massa di kedua negara, disusul ketegangan diplomatik.
Secara historis, dengan Malaysia sudah sering terjadi sengketa diplomatik, terutama menyangkut masalah perbatasan, antara lain kasus Sipadan-Ligitan dan kasus Ambalat, serta klaim Malaysia atas kekayaan budaya kita sebagai milik mereka. Terkait ini, telah dilayangkan nota protes, tetapi tidak pernah ada respons diplomasi memadai.
Kasus diplomatik aktual lain terjadi dengan Australia menyangkut pencemaran Laut Timor. Dalam kasus ini pun telah dilayangkan nota protes, tetapi tampaknya tidak digubris sama sekali. Dengan demikian, cukup beralasan kalau publik menganggap diplomasi kita lemah atau tumpul. Sebagai bangsa besar, kita tak lagi punya pengaruh kuat di bidang diplomasi, bahkan kita telah kehilangan dignity. Dibandingkan era Pak Harto, apalagi Bung Karno, telah terjadi kemerosotan kemampuan diplomasi.
Masalah fundamental
Ada kaitan erat antara kekuatan diplomasi dan situasi di dalam negeri, terutama dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan negara.
Kuatnya fungsi pertahanan akan memberikan kesempatan buat pengembangan fungsi kesejahteraan dan diplomasi, demikian sebaliknya. Kita dapat menakar bagaimana potret aktual kekuatan pertahanan dan kesejahteraan atau ekonomi kita, apakah cukup memiliki daya topang buat kuatnya diplomasi?
Dunia diplomatik sebenarnya hanya mencerminkan realitas aktual di dalam negeri. Sehebat apa pun kemampuan menteri luar negeri dan para diplomat, ketajaman daya diplomasinya akan sulit diwujudkan manakala situasi dalam negeri lemah. Harus jujur diakui, sesungguhnya kondisi dalam negeri kita amat memprihatinkan. Indonesia bangsa besar, tetapi ke dalam kita keropos karena kemiskinan, korupsi, tidak disiplin, etos kerja rendah, masyarakatnya rentan konflik, anarki, dan sebagainya. Karena itu, keluar citra kita sebagai bangsa menjadi buram, sering dilecehkan bangsa lain. Dalam keadaan seperti ini, sulit bagi Indonesia untuk memiliki kekuatan diplomasi.
Masalah fundamental lain yang mampu menopang kuatnya diplomasi adalah ”kepemimpinan”. Pada era Bung Karno, fundamental ekonomi kita dapat dikatakan jauh lebih lemah daripada sekarang. Namun, pada saat itu kita memiliki kekuatan pertahanan yang diperhitungkan di kawasan. Dari perspektif balance of power, postur militer kita yang terkuat di Asia Tenggara. Namun, lebih dari itu, kepemimpinan Bung Karno yang tegas berkarakter merupakan faktor kunci bagi kuatnya diplomasi.
Pak Harto pun memiliki kepemimpinan andal, beliau tampil menjadi pemimpin yang disegani di kawasan ASEAN, bahkan di dunia internasional. Suksesnya pemerintah memelihara stabilitas dalam negeri, terutama dalam mendongkrak kemampuan ekonomi pada saat itu, turut mendorong kuatnya diplomasi kita.
Langkah solusi
Pertama, dalam penyelesaian masalah diplomatik aktual dengan Malaysia, Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah tegas dan konkret. Presiden harus mengambil alih kepemimpinan dan mengambil posisi terdepan dalam diplomasi. Dalam dunia militer masalah ini ibarat ”menghadapi situasi kritis”, di mana kehadiran komandan di depan merupakan solusinya.
Dalam kasus aktual dengan Malaysia, tidak bisa lagi kebijakan dan langkah penanganan diserahkan kepada para pejabat kementerian yang justru saling menampik dan menyalahkan. Lemahnya koordinasi antarpejabat tinggi justru menguak kelemahan bangsa dan negara keluar. Saatnya Presiden sebagai kepala negara tampil menunjukkan kewibawaan bangsa, menunjukkan sikap dengan tak sekadar mengedepankan kesantunan berkata- kata, tetapi juga penuh ketegasan, kejelasan, ketajaman, dan kekuatan karakter.
Kedua, perlu dipertimbangkan pembentukan Komite Khusus Penanganan Masalah Perbatasan. Alasannya, ke depan, akan lebih banyak lagi masalah perbatasan terkait potensi ekonomi. Kita tidak hanya menghadapi Malaysia dalam klaim teritorial, tetapi juga Filipina, Vietnam, Singapura, Australia, dan Timor Leste.
Ketiga, perlu sungguh-sungguh melakukan pembenahan di dalam negeri, terutama peningkatan kekuatan pertahanan, setidaknya pemerkuatan pengamanan di wilayah perbatasan dengan Malaysia. Perlu percepatan untuk memodernisasi alutsista militer kita karena sudah tertinggal jauh dibandingkan negara tetangga sehingga tidak lagi memancarkan deterrent power.
Kiki Syahnakri Ketua Bidang Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat 
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/08/30/03103149/diplomasi.tumpul

haa iki Konsisten VS Neoliberal

Presiden yang Konsisten Vs Neoliberal
Senin, 30 Agustus 2010 | 03:12 WIB
Oleh Makmur Keliat
Penulis sangat setuju dengan tulisan Julian Aldrin Pasha (Kompas, 25/8). Tidak ada keraguan apa pun dari penulis, SBY adalah pemimpin politik yang sangat konsisten dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya. Ia adalah pemimpin yang memiliki karakter tersendiri.
Pilihan kata yang diungkapkan SBY dalam berbagai pidato dan ucapannya menunjukkan karakter dan kualitas kecerdasan yang istimewa (extraordinary). Namun, terlalu tinggi harapan jika ada yang memproyeksikan karakter dirinya ini akan berubah dalam pola kerjanya. Ia akan tetap terus bekerja secara konsisten sesuai dengan karakternya itu. Kehati-hatiannya dalam mengambil keputusan mungkin tidak akan pernah bisa berubah hingga tahun 2014.
Ini tidak berarti pemimpin lain yang telah dimiliki Indonesia selama lebih dari satu dasawarsa terakhir tidak pula konsisten dengan karakter dirinya. Menurut penulis, baik Habibie, almarhum Gus Dur, maupun Megawati juga memiliki karakter tersendiri. Habibie sangat terbuka dan emosional. Gus Dur sangat ekspresif dan decisive. Megawati adalah pemimpin politik yang sederhana dan sangat karismatis di lingkaran pengikutnya.
Kondisi struktural
Bagi penulis, persoalan sebenarnya bukanlah pada karakter pemimpin yang dimiliki negeri ini. Yang jauh lebih penting untuk menjelaskan mengapa harapan tinggi yang dimunculkan pada awal reformasi kini seakan hilang ditelan kegelapan malam harusnya dijelaskan dari adanya empat faktor struktural yang sampai sekarang terus berlangsung. Pertama, tidak terdapatnya monopoli negara dalam penggunaan kekerasan maupun monopoli dalam pemungutan pajak. Dalam monopoli kekerasan, misalnya, kita bisa melihat dengan mata telanjang adanya kelompok-kelompok yang bukan mewakili negara, melainkan telah menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan politiknya. Kita juga bisa melihat munculnya keamanan telah menjadi komoditas yang diperdagangkan, misalnya melalui kehadiran satuan pemelihara keamanan di perumahan-perumahan kalangan atas.
Demikian juga halnya, negara belum mampu melakukan monopoli dalam pemungutan pajak. Penggelapan pajak yang merugikan negara terjadi di negeri ini terpampang jelas di hadapan kita. Pada lapisan atas, pungutan pajak secara gelap itu ditunjukkan oleh kasus Gayus dan di lapisan bawah diperlihatkan dari pungutan-pungutan tidak resmi oleh para preman dan centeng di sejumlah tempat, pasar, dan jalan.
Kedua, konstitusi yang kita miliki belum menunjukkan bahwa negeri ini memiliki kedaulatan sepenuhnya. Walau sudah memiliki perayaan Hari Konstitusi, negeri ini hanya memiliki sebatas kedaulatan hukum (legal sovereignty), tetapi belum mampu menggunakan kedaulatan hukum itu untuk mewujudkan kedaulatan material bagi penduduk negeri ini. ”Pencurian” terus terjadi terhadap sumber alam negeri ini, baik berupa barang tambang dan mineral di daratan maupun sumber alam hayati di wilayah laut. Pencurian itu telah dilakukan baik secara ilegal, seperti kasus yang baru saja terjadi di perbatasan laut dengan Malaysia, maupun yang kita rasakan sebagai sesuatu yang ”dilegalkan” dan ”diinstitusionalisasikan” dengan menandatangani kesepakatan dengan pihak asing melalui pemberian konsesi pertambangan selama puluhan tahun.
Ketiga, demokrasi yang kita kembangkan telah dibangun tanpa sekumpulan nilai yang perlu diawetkan dan terus diperjuangkan. Demokrasi kita adalah demokrasi mirip seperti yang dilakukan Berlusconi di Italia. Dalam gaya demokrasi Berlusconian yang telah dialami Italia dalam beberapa tahun terakhir ini, tali-temali antara kekuasaan ekonomi (economic power) dan kekuasaan media (media power) menjadi kunci untuk mendapatkan kekuasaan politik (political power). Akibatnya, demokrasi di negeri ini dijalankan hanya sebagai suatu kontestasi sebatas tontonan melalui media elektronik dan melalui berbagai survei politik menjelang pemilu, baik tingkat nasional maupun daerah. Nilai menjadi hilang ditelan gegap gempita demokrasi, fakta dan fiksi menjadi kabur, seperti yang mulai terlihat dalam perjalanan kasus Bank Century.
Keempat, badan-badan usaha negara dianggap menjadi parasit dan kebijakan swastanisasi, apakah dilaksanakan secara parsial maupun keseluruhan, dipandang sebagai ”jembatan emas” menuju kesejahteraan. Beberapa contoh untuk ini misalnya terdapat unit usaha dari rumah sakit publik yang dikelola secara swasta dengan bayaran yang lebih mahal, hadirnya jenjang-jenjang khusus dan label ”internasional” di perguruan tinggi negeri dengan biaya pendidikan yang tentu saja lebih mahal, dan munculnya perusahaan pasokan air untuk kebutuhan publik yang dijalankan oleh swasta. Kebijakan seperti ini tentu saja telah melupakan dua fakta. Fakta pertama, motif untuk pengelolaan badan usaha negara bukanlah karena efisiensi, melainkan karena adanya kesadaran bahwa kekuasaan ekonomi dapat dengan mudah diubah menjadi kekuasaan politik. Fakta kedua, badan usaha publik adalah wajah konkret dari kehadiran negara, yang menghubungkan para elite politik dengan rakyatnya. Dua fakta ini dihilangkan secara sengaja dari kebijakan swastanisasi.
Bukan soal konsistensi
Empat kondisi struktural inilah yang telah melanda Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir. Keempat kondisi ini saling terkait satu dengan lainnya. Penggerusan monopoli negara dalam kekerasan dan monopoli pajak sebagai misal dimungkinkan terjadi karena konstitusi hanya dipandang sebagai sekumpulan kertas belaka dan para elite politik hanya sibuk melakukan mekanisme transaksi politik dan karena mereka sekaligus merupakan pemain-pemain dalam proses swastanisasi itu. Dalam situasi seperti ini, siapa pun yang memimpin negeri yang kita sebut dengan Indonesia ini, secerdas apa pun dirinya, sekarismatis apa pun sosoknya, tidak akan mengubah secara substansial kondisi yang tengah kita hadapi kecuali ia berbuat sesuatu untuk membalikkan semua empat kecenderungan di atas.
Pembalikan itu hanya dapat dilakukan jika negara diperkuat. Tanpa penguatan negara, semua empat kecenderungan itu akan terus menguat. Kecenderungan itu akan menggerus otoritas negara. Karena itu, pemikiran neoliberal yang mendambakan negara yang minimalis, atau dalam istilah Philipp Bobbit (2002) sebagai negara yang mengabdi kepada pasar (market-state), bukanlah jawaban untuk memecahkan empat kondisi struktural itu. Bahkan neoliberal itu, seperti yang dikataan Erhard Eppler (2009), merupakan ibu yang telah melahirkan empat kecenderungan tersebut. Karena itu pula, persoalan yang kita hadapi sebaiknya tidak digeser pada isu karakter presiden negeri ini, sebagai misal apakah dirinya memiliki konsistensi atau tidak.
Bagi penulis dan mungkin juga banyak yang akan sepakat, kebesaran dari pemimpin negeri ini akan dicatat dalam sejarah kalau dia dapat melawan secara faktual empat kecenderungan di atas. Jika tidak, ia nantinya hanyalah bagian dari catatan kaki sejarah. Ringkasnya, kecerdasan verbal semata yang dimiliki seorang pemimpin politik bukanlah modal yang cukup untuk dikenang sebagai pembuat sejarah.
MAKMUR KELIAT Pengajar FISIP Universitas Indonesia
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/08/30/03122168/.presiden.yang.konsisten.vs.neoliberal

haa iki Perlunya Kepercayaan Pada Kemampuan Sendiri

SENGKETA WILAYAH
RI Harus Percaya Diri Hadapi Malaysia
Senin, 30 Agustus 2010 | 03:07 WIB
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Aktivis yang tergabung dalam Koalisi untuk Kedaulatan Indonesia berunjuk rasa di depan Gedung Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Kamis (19/8). Mereka menolak barter maling ikan asal Malaysia dengan petugas KKP. Mereka menganggap perlakuan tersebut melecehkan bangsa.
Oleh Wisnu Dewabrata
Kalau saja para petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan punya tingkat kepercayaan diri (pe-de) dan kengototan setinggi para petugas Polis Marin Diraja Malaysia, terutama dalam keberanian mengklaim kawasan kedaulatan, boleh jadi insiden kawasan perbatasan 13 Agustus lalu bakal beralur cerita beda. 
Alih-alih tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang digelandang, diborgol, lalu dipenjarakan dengan mengenakan seragam tahanan dan dipenjarakan macam kriminal oleh kepolisian Malaysia, yang lantas memicu kemarahan publik Indonesia, bukan tidak mungkin yang terjadi justru kebalikannya; para petugas KKP-lah yang ”berjaya” membawa pulang hasil ”tangkapan besar”.
Tangkapan besar setidaknya berupa lima kapal lengkap dengan sembilan nelayan pencuri ikan asal negeri jiran tadi dan juga tak lupa sejumlah petugas Polis Marin Diraja Malaysia (PMDM), yang nekat masuk wilayah perairan (yang diklaim) milik Indonesia dan lebih parah lagi malah mau bertindak arogan dengan mengganggu dan menyerang patroli KKP.
Dengan alur cerita macam itu, kesan heroik tentunya jauh lebih terasa ketimbang yang terjadi sekarang. Walau tentunya tetap berdampak sama-sama memicu ketegangan kedua negara dalam hal isu sengketa perbatasan.
Namun, sayang, alur cerita nan heroik tadi dipastikan mustahil terjadi, terutama lantaran sejumlah kelalaian fatal nan konyol yang dilakukan sendiri oleh para petugas KKP.
Kelalaian pertama, sejak awal petugas KKP ternyata diketahui tidak mempersiapkan peralatan dan perlengkapan patroli mereka dengan baik, terutama peralatan global positioning system (GPS), yang menjadi peralatan vital dalam menentukan koordinat posisi kapal untuk kemudian dipakai sebagai klaim siapa berada di wilayah teritorial siapa.
Padahal, persiapan dan pengecekan alat dan kelengkapan lain sebelum berpatroli adalah prosedur standar operasi di mana pun. Jangan heran ketika insiden terjadi, para petugas KKP terkesan kalah awu dan tidak percaya diri mengklaim merekalah yang benar dan nelayan serta polisi Malaysia telah melanggar wilayah kedaulatan Indonesia.
Tidak cuma soal peralatan, kelalaian lain yang juga tak kalah fatalnya dilakukan para petugas KKP terjadi sesaat sebelum berpatroli, mereka sama sekali tidak berkoordinasi dengan instansi lain macam Kepolisian Air dan Udara (Polairud) Polri, TNI Angkatan Laut, atau bahkan Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) yang disebut-sebut cikal bakal instansi Penjaga Pantai (Coast Guard) Indonesia.
Akibatnya, mereka bergerak sendirian tanpa ada dukungan bala bantuan, yang sewaktu-waktu siap meluncur memberikan pertolongan dalam kondisi darurat. Fakta itu sangatlah disayangkan.
Tak kurang Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto sendiri mengecam fakta itu seperti disampaikannya dalam jumpa pers seusai menggelar rapat koordinasi dengan para menteri di bawah koordinasinya, pekan lalu.
Turut hadir dalam rapat koordinasi itu Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Menteri KKP Fadel Muhammad, Panglima TNI Jenderal (TNI) Djoko Santoso, Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana (TNI) Agus Suhartono, dan Kepala Pelaksana Harian Bakorkamla Laksamana Madya (TNI) Y Didik Heru Purnomo.
”Dalam berpatroli, koordinasi antarinstansi harus selalu dilakukan. Setidaknya sekadar untuk saling berbagi informasi. Jangan sampai terjadi setiap instansi berjalan sendiri-sendiri atau malah mengerjakan hal sama di satu area dan dalam waktu yang bersamaan. Bakorkamla sudah membuat prosedur baku soal itu. Namun, sayang, dalam pelaksanaannya di lapangan kerap tidak sesuai,” ujar Djoko.
Penyesalan senada juga dilontarkan Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Havaz Oegroseno saat mendampingi Marty Natalegawa menghadiri rapat dengar pendapat Kementerian Luar Negeri dan Komisi I. Dia menyinggung, seharusnya para petugas di lapangan bisa lebih menaati prosedur standar operasi yang berlaku.
”Mekanisme koordinasi, kan, sudah disusun dan ditetapkan Bakorkamla. Jadi, kalau mau berpatroli, seharusnya saling memberi tahu. Lagi pula, kalau katanya mereka sudah menjalankan prosedur standar, bagaimana bisa itu peralatan GPS tidak bisa dipakai karena baterainya habis? Mbok ya, sebelum patroli beli baterai dahululah atau ya pakai saja GPS yang ada di pesawat telepon seluler. Hampir semua ponsel teknologi sekarang kan ada (fitur) GPS-nya,” sindir Havaz.
Havaz menambahkan, saat penangkapan para nelayan Malaysia, para petugas KKP juga melakukan kesalahan prosedural yang tak kalah fatal. Mereka memindahkan tujuh dari total sembilan orang nelayan Malaysia ke atas dek kapal patroli Dolphin 015, yang ketika itu hanya diawaki dua petugas KKP, sementara tiga petugas lainnya naik ke lima kapal nelayan, yang rencananya akan mereka sita dan bawa ke Batam.
”Menurut prosedur, tidak boleh terjadi di satu tempat jumlah aparat yang menangkap kalah banyak dengan jumlah orang yang mereka tangkap. Kalau seperti itu, namanya membahayakan diri sendiri. Seharusnya mereka paham prosedur standar seperti itu. Tambah lagi, kalau memang saat kejadian mereka merasa yakin benar, ya hadapi saja itu patroli PMDM. Jangan malah lari meninggalkan teman-temannya digelandang ke Malaysia,” ujar Havaz menyesalkan.
Meski begitu, ibarat pepatah, nasi sudah menjadi bubur. Ketiga aparat KKP walhasil memang digelandang dan ditangkap pihak Malaysia serta terpaksa mengalami perlakuan yang tidak mengenakkan, yang kemudian memicu kemarahan publik di Indonesia.
Tiga kesalahan Malaysia
Lebih lanjut, seperti disampaikan Menlu Marty dalam sejumlah kesempatan, Malaysia tercatat melakukan tiga kesalahan dalam insiden yang terjadi hanya empat hari menjelang peringatan hari kemerdekaan RI itu. Kesalahan pertama dan kedua, masuknya nelayan Malaysia dan patroli PMDM ke wilayah perairan yang diklaim Indonesia, sementara kesalahan ketiga adalah penangkapan terhadap tiga petugas KKP Indonesia oleh patroli PMDM serta kemungkinan terjadinya tindak kekerasan terhadap mereka, baik saat ditangkap maupun ketika ditahan di penjara kepolisian Malaysia.
Pemerintah dari hasil rapat koordinasi Kementerian Bidang Polkam mengeluarkan tiga rekomendasi agar peristiwa serupa tidak kembali terulang di masa mendatang. Ketiga rekomendasi itu adalah peningkatan koordinasi pengawasan dan keamanan laut oleh seluruh pemangku kepentingan, mulai dari TNI AL, Polairud, KKP, Bea dan Cukai, KPLP, dan Bakorkamla.
Selain itu juga diupayakan peningkatan pemahaman yang lebih mendalam tentang daerah operasi perbatasan, terutama untuk daerah yang masih dalam proses sengketa ataupun perundingan, sampai ke tingkat aparat dan petugas di lapangan.
Rekomendasi ketiga, percepatan proses perundingan perbatasan dengan negara lain.
Terkait rekomendasi kedua, sejumlah pihak juga menyoroti hal itu sebagai salah satu kelemahan utama. Para petugas di lapangan tidak paham perkembangan status wilayah yang disengketakan karena proses perundingan di tingkat pusat atau pejabat atas tidak sampai informasinya ke mereka yang ada di level lapangan dan operasional.
Dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andi Widjojanto, menegaskan, pihak Malaysia selama ini memang dikenal tidak pernah ragu mengklaim dan menetapkan wilayah teritorialnya secara sepihak (unilateral). Hal itu malah terjadi mulai dari level atas hingga petugas mereka di lapangan.
Sayangnya, hal serupa, menurut Andi, tidak dilakukan aparat Indonesia yang kerap ragu. Padahal, kalau mau meniru Malaysia, lebih baik klaim saja terlebih dahulu dan masalah lain diurus belakangan. Boleh jadi juga banyak aparat tidak pe-de lantaran, seperti dalam kasus KKP tadi, mereka tidak mempersiapkan diri dengan peralatan dan pengetahuan sebaik yang dibutuhkan sebelum ke lapangan.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/08/30/03074619/ri.harus.percaya.diri.hadapi.malaysia

haa iki Catatan Tentang Tata Kelola LALIN DKI

Senin, 30/08/2010 09:57 WIB
Catatan Agus Pambagio
6 Ruas Jalan Tol Dalam Kota? Mimpi Kali Yee

Agus Pambagio - detikNews

Jakarta - Lalu lintas di wilayah Jakarta semakin hari semakin tidak terkendali. Kepadatan lalu lintas sudah di atas ambang batas yang dapat diterima akal sehat. Meskipun demikian pertumbuhan kendaraan bermotor baru setiap harinya mencapai sekitar 1.100 (sekitar 800 lebih kendaraan roda dua dan 300 lebih kendaraan roda empat). Sementara petumbuhan panjang jalan dan jumlah angkutan umum tidak bertambah secara pasti.

Ironisnya Pemprov DKI Jakarta sebagai pengelola daerah dan Pemerintah Pusat sebagai pemilik Jakarta sebagai ibu kota negara tidak kunjung mempunyai langkah atau solusi nyata, selain lempar tanggung jawab. Publik rupanya memang benar-benar kehilangan pemimpin yang tegas bukan yang hanya bercitra dan bercurhat terus.

Setelah kegagalan pengoperasian TransJakarta (TJ) dan feedernya, pelaksanaan 3 in 1, pembangunan monorel, pengoperasian waterways, penerapan Electronic Road Pricing (ERP), penerapan parkir berlangganan, kenaikan tarif parkir, dan tertundanya pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) tiba-tiba Pemprov DKI Jakarta menyatakan akan membangun 6 ruas jalan tol dalam kota (Suara Pembaruan halaman 8, 25 Agustus 2010).

Apapun alasannya penanggulangan kemacetan dalam kota tidak bisa ditanggulangi hanya dengan penambahan ruas jalan. Sudah terbukti bahwa semakin bertambah ruas jalan, semakin bertambah pula jumlah kendaraan dan hunian di sekitar jalan baru itu.

Sama juga semakin banyak terowongan dan jembatan layang dibuat, semakin macet jalan yang dihubungkan oleh jembatan layang dan terowongan tersebut. Contohnya sepanjang Jl Sultan Iskandar Muda, Jakarta Selatan. Pada awalnya memang lancar tetapi beberapa bulan kemudian kemacetannya lebih parah dari saat sebelum dibangun jembatan layang maupun terowongan.

Pemda DKI Jakarta Paksakan Jalan Tol Dalam Kota
Di tengah kepanikan menangani kemacetan di kota Jakarta, Pemda DKI Jakarta melalui Deputi Gubernur DKI bidang Perdagangan, Industri dan Transportasi menyatakan bahwa: "Paling tidak DKI harus memiliki luas jalan sekitar 10%. Pembangunan enam ruas tol dalam kota sebagai bagian upaya Pemprov DKI meningkatkan jaringan jalan". Pertanyaannya: apakah asumsi itu benar?

Menurut saya apa pun alasannya, kemacetan di wilayah DKI Jakarta harus diselesaikan secara komprehensif dengan mengembangkan angkutan masal modern, tidak sepotong-sepotong. Pastikan Pemerintah Pusat berkontribusi membangun infrastruktur transportasi kota Jakarta. Jangan harapkan investasi itu kembali karena pembiayaan untuk pembangunan  infrastruktur  yang dilakukan oleh Pemerintah di mana pun selalu dikategorikan sebagai sunk cost.

Pembangunan jalan tol dalam kota selain membutuhkan biaya sangat besar (sekitar Rp 40 triliun) juga perlu waktu yang sangat panjang sampai bisa beroperasi, termasuk pembuatan studi AMDAL. Kalau semua lancar, kemungkinan  pembangunan 6 ruas baru selesai bersama-sama dengan selesainya ruas MRT Lebak Bulus – Dukuh Atas, yaitu 2016.

Pembangunan jalan tol dalam kota akan melanggar hak azasi manusia karena hanya masyarakat yang mempunyai mobil bisa menikmatinya. Bagaimana dengan pemilik kendaraan roda dua dan yang sama sekali tidak mempunyai kendaraan? Apa Pemda dan investor bersedia mengorbankan 1 ruas jalan tol dalam kota untuk kendaraan umum murah yang tidak bayar tol? Perlu kejelasan sikap Gubernur dan investor untuk ini.

Jika jalan tol dalam kota tidak terhubung dengan JORR I dan JORR II yang berfungsi sebagai beltway, maka arus kendaraan dari jalan tol dalam kota tidak akan tersalur ke JORR I dan II tetapi akan meluncur masuk kembali ke ruas jalan arteri yang ada di dalam kota. Apa akibatnya? Tentu kemacetan yang parah, sehingga jalan tol dalam kota akan jadi lahan parkir paling terluas di Jakarta.

Dengan adanya jalan tol dalam kota dan lemahnya kepemimpinan Pemprov DKI dikhawatirkan akan ada perubahan peruntukan lahan yang semakin parah di sekitar jalan tol dalam kota. Semua pengembang akan berduyun-duyun membangun gedung komersial disekitar jalan tol dalam kota. Tata ruang rusak dan Jakarta tambah tak jelas wajahnya. Lihat dampak pembangunan JORR I. Wilayah segi tiga emas Jakarta berpindah ke daerah jalan TB Simatupang. Apa dampaknya ? Kemacetan parah di sekitar wilayah pemukiman.

Belum lagi banyak cerita miring pada proses pembangunan jalan tol dalam kota ini yang meragukan publik. Mulai dari siapa yang akan membangun sampai siapa yang akan mengelola. Katanya BUMD namun setelah ditelusuri di bursa dan dokumen-dokumen yang ada, ternyata saham Pemda DKI pada kelompok perusahaan itu sangat kecil. Intinya jangan paksakan bangun jalan tol dalam kota.

Lalu Apa yang Harus Dilakukan Pemda DKI ?

Pemprov DKI sebaiknya tetap konsisten menyelesaikan persoalan transportasi kota dengan mengembangkan pola transportasi massal khususnya yang berbasis rel. Percepat pembangunan MRT, KA Loopline (jalur KA Jabodetabek melingkar), pengembangan Railink (jalur KA dari pusat kota Jakarta ke SHIA atau Soekarno-Hatta International Airport) dan penyelesaian monorel. Untuk loopline bisa segera dioperasikan karena jalurnya sudah ada tinggal PT KA melakukan penataan sedikit.

Sebelum angkutan masal berbasis rel tersebut tuntas dan bisa beroperasi, segera optimalkan semua koridor TJ. Jika MRT sudah selesai jadikan TJ koridor I dan II sebagai feeder MRT. Bangun tempat parkir yang luas dan aman di setiap ujung koridor TJ (Park & Ride). Kemudian bangun jalur sepeda dari Utara – Selatan di sisi trotoar supaya tidak digunakan oleh pedagang kaki lima. Baru bereskan tarif parkir, ERP dst.

Akhir kata, batalkan pembangunan jalan tol dalam kota dan jangan sekali-kali membatasi pengendara motor, membatasi usia kendaraan, menaikkan tarif parkir jika Pemprov DKI belum bisa memberikan layanan transportasi umum yang baik, aman, nyaman dan terjadwal bagi  warganya.

AGUS PAMBAGIO (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen).    

(nrl/nrl)
Sumber : http://www.detiknews.com/read/2010/08/30/095720/1430797/103/6-ruas-jalan-tol-dalam-kota-mimpi-kali-yee?991102605 

haa iki Cukup Empat Saja

Senin, 30/08/2010 08:55 WIB
Posisi Empat, Rossi Tetap Happy
Doni Wahyudi - detiksport



Getty Images
Indianapolis - Untuk kali kedua secara beruntun Valentino Rossi gagal naik podium. Meski tak memuskan, The Doctor tetap happy dengan posisi empat mengingat beberapa kecelakaan yang dia dapat.

MotoGP Indianapolis menjadi salah satu seri yang paling buruk buat Rossi di sepanjang musim ini. Bahkan sebelum balapan dimulai pembalap 31 tahun itu harus terjatuh sampai tiga kali: saat latihan, kualifikasi dan sesi pemanasan.

Perjuangan Rossi untuk meraih hasil bagus dalam balapan tersebut makin berat terkait tantangan suhu udara yang mencapai 35 derajat celcius. Karena itulah meski cuma bisa menuntaskan balapan di posisi empat, setelah start di urutan tujuh, pembalap Italia itu masih menyisakan kebahagiaan.

"Saya tetap gembira karena kami bisa kembali dengan setingan yang bagus dan saya membalap dengan baik, dan jika Anda mempertimbangkan saya mengalami tiga kecelakaan kecil di akhir pekan ini, posisi empat tidaklah buruk," ungkap Rossi di situs resmi MotoGP.

Satu sisi positif lain yang disyukuri Rossi dari hasil balapan di Indianapolis tersebut adalah dia bisa menemukan lagi ritme membalap yang diinginkan. Hanya karena kondisi fisik yang tidak maksimal sajalah yang membuat dia gagal meraih hasil lebih baik.

"Keempat sudah cukup bagus jika melihat situasinya, tapi yang terpenting adalah ritme membalap saya sudah kuat dan saya merasa lebih gembira di atas motor."

"Saya melalui beberapa lap dengan bagus dan tak tertinggal jauh dari motor Yamaha lainnya, tapi sayangnya saya harus membayar kondisi fisik yang tidak sempurna ini dalam kondisi panas seperti ini. Pada akhirnya saya harus berhenti memaksakan diri karena saya tak lagi punya tenaga," pungkas pembalap yang akan memperkuat Ducati di musim depan itu.

( din / mrp )
Sumber : http://www.detiksport.com/read/2010/08/30/085525/1430737/81/posisi-empat-rossi-tetap-happy?s99110169

haa ini Ternyata Pansel Lebih Terpercaya

Pansel Lebih Terpercaya Dibanding DPR

Minggu, 29 Agustus 2010 - 09:00 wib
Dede Suryana - Okezone
JAKARTA - Banyak pihak menganggap, dua calon pimpinan KPK yang berhasil dijaring Pansel akan kandas di DPR. Padahal, masyarakat menilai pansel sudah cukup kredibel dalam menentukan pilihannya itu.

Bagaimana tidak, pansel beranggotakan orang-orang yang cukup kompeten hampir di semua bidang. Karena itu tidak ada alasan DPR menolak dua tokoh terpilih, Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto dalam uji kepatutan dan kelayakan.

Demikian disampaikan pengamat politik Burhanudin Muhtadi. “Pansel diisi oleh orang-orang hebat, ada Syafi’i Ma’arif, ada Todung Mulya, ada Renald Kasali. Jadi dengan dalih apa pun baik dalih hukum atau dalih politik, DPR tidak bisa menolak keduanya,” ujar Burhan kepada okezone, Minggu (29/8/2010).

Burhan menilai, dua nama itu adalah tokoh terbaik yang diharapkan masyarakat bisa menyelematkan dari ancaman bahkan upaya kriminalisasi dari para koruptor.

“Saya kira dari segi kapasitas. Keduanya sudah cukup mumpuni. Mereka tinggal punya cukup keberanian. Justru yang agak aneh, tidak ada itikat baik dari anggota DPR untuk menyambut mereka. Mereka terlalu legal formal,” jelas dia.

Hal itu, kata Burhan, boleh jadi signal buruk bahwa keduanya tidak akan diterima di DPR karena dianggap membahayakan.(ded)
Sumber : http://news.okezone.com/read/2010/08/29/339/367742/339/pansel-lebih-terpercaya-dibanding-dpr

haa iki Signal DPR Menolak Calon Ketua KPK

Ada Signal DPR Tak Suka Busyro dan Bambang

Minggu, 29 Agustus 2010 - 08:31 wib
Dede Suryana - Okezone
JAKARTA - Panitia seleksi (Pansel) calon pimpinan KPK telah meloloskan dua kandidat yang akan menjalani seleksi selanjutnya di depan anggota DPR. Siapakah yang akan dipilih DPR, apakah Bambang Widjojanto atau Busyro Muqoddas?

Pengamat politik Burhanudin Mutadi mengkhawatirkan DPR justru menolak kedua calon bos KPK itu dengan alasan membahayakan anggota DPR korup.

“Ini pilihan sulit dari DPR. Dan Kalau melihat beberapa tanggapan dari beberapa anggota Komisi III, ini signal bahwa DPR bisa saja tidak menerima keduanya,” jelas Burhan saat berbincang dengan okezone, Minggu (29/8/2010).

Kenapa DPR menolak? Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) ini beralasan, kedua tokoh yang lolos menjalani verifikasi final yang dilakukan pansel KPK ini memiliki rekam jejak yang tinggi terkait pemberatasan korupsi.

“BW selama ini aktif dalam berbagai kegiatan antikorupsi, dia juga mantan pengacara Bibit dan Chandra. Dan semua orang tahu, DPR saat itu cenderung memihak Polri. Sementara BM, kiprahnya di KY juga dianggap memiliki komitmen tinggi. Dan ini akan membahayakan DPR,” terang Burhan.

Alhasil, kata dia, bukan tidak mungkin kerja keras Pansel selama akan dilebur oleh kewenangan DPR yang tidak memilih keduanya. “Dan ini pasti akan jadi polemik karena butuh mekanisme berikutnya,” katanya.

Karena itu menurut Burhan, masyarakat, LSM, akademisi dan media selayaknya mengawal sekaligus memberi tekanan kepada DPR agar penolakan itu tidak sampai terjadi.(ded)
Sumber : http://news.okezone.com/read/2010/08/29/339/367741/339/ada-signal-dpr-tak-suka-busyro-dan-bambang

Jumat, 27 Agustus 2010

haa iki Betapa Memang Malaysia Selalu Berinisiatif Duluan

26/08/2010 - 17:37
Malaysia Tuding RI Biang Kerok?
Vina Ramitha

(IST)
INILAH.COM, Putrajaya - Berdasarkan pemberitaan sebuah media Malaysia, catatan ketegangan dengan Tanah Air selalu bermula dari Indonesia. Benarkah demikian?
Media NST.com menuliskan beberapa poin ketika kedua negara bersitegang. Jika dilihat dari kata-kata yang digunakan, poin-poin tersebut mengesankan permasalahan kedua negara selalu bermula dari Tanah Air. Padahal faktanya Indonesia hanya menuntut haknya semata.
Misalnya pada Oktober 2007, Malaysia mencatat Indonesia memprotes penggunaan lagu nasional ‘Rasa Sayange’ untuk promosi Kementerian Pariwisata negara tersebut. Sempat terjadi ketegangan karena Menteri Pariwisata Malaysia Adnan Tengku Mansor ngotot lagu itu milik mereka.
Sedangkan Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu juga tak mau mengalah. Ia menyatakan lagu rakyat itu telah membudaya di provinsi Maluku sejak jaman leluhur. Sehingga klaim Malaysia itu salah. Tengku Mansor pun menantang Indonesia untuk memberikan bukti otentik.
Akhirnya ditemukan, lagu ‘Rasa Sayange’ direkam pertama kali oleh perusahaan Lokananta Solo pada 1962 silam. Akhirnya pada 11 November 2007, Menteri Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Budaya Malaysia Rais Yatim mengakui lagu asli Ambon itu memang milik Indonesia.
Juni 2009 tercatat perseteruan antara model Indonesia, Manohara Odelia Pinot dengan pangeran asal Kelantan, Malaysia, Tengku Mohammad Fakhry. Manohara mengklaim pria yang menjadi suaminya itu melakukan kekerasan padanya, secara fisik dan seksual.
Bahkan sempat beredar foto-foto luka di dada Manohara yang diklaim sebagai torehan silet akibat tindakan Fakhry. Sebaliknya, pihak sang pangeran yang kalem, secara perlahan menguak berbagai ‘tingkah aneh’ Manohara dan ibunya. Kisah Manohara ini menyedot perhatian publik Tanah Air yang kesal dengan Malaysia.
Kasus ini ditutup ketika pengadilan Malaysia mengetuk palu dan menyatakan Pangeran Kelantan tidak bersalah. Sementara Manohara dan ibunya memilih pulang kembali ke Tanah Air. Kasus ini tidak pernah disidangkan di Indonesia karena terjadi di ranah hukum Malaysia.
Bulan yang sama Malaysia juga mencatat Indonesia menghentikan sementara pengiriman tenaga kerja (TKI) hingga ada UU baru yang lebih baik guna melindungi TKI. Hal ini menyusul maraknya penyiksaan TKI yang berada di Malaysia yang tak jarang berujung pada kematian.
Masalah penyiksaan TKI ini sering dibahas di berbagai media di Tanah Air. Beberapa poin penting yang diubah dalam kesepakan kedua negara adalah hak libur. Kemudian juga mengenai siapa yang berhak menyimpang paspor. Sebelum diubah, majikan selalu menyimpan paspor TKI yang mereka pekerjaan.
Hal itu dilakukan karena majikan Malaysia tidak ingin merasa tertipu dengan TKI. Terutama jika ada yang melakukan pencurian. Namun sebaliknya, TKI yang tersiksa tidak bisa meminta pertolongan atau pulang kembali ke Tanah Air. Ke KBRI saja mereka harus terseok-seok berjalan dan secara diam-diam.
Persengketaan terpanjang kedua negara mungkin perebutan blok Ambalat, yang hingga kini masih tak jelas milik siapa. Blok laut seluas 15.235 kilometer persegi itu terletak di Laut Sulawesi atau Selat Makassar. Serta dekat perpanjangan perbatasan darat antara Sabah (Malaysia) dan Kalimantan Timur.
Persoalan klaim ini pertama diketahui pada 1967 ketika dilakukan pertemuan teknis pertama kali mengenai hukum laut antara Indonesia dan Malaysia. Kedua pihak sepakat diberlakukan status quo. Sementara mereka juga berebut pulau Sipadan dan Ligitan, yang akhirnya resmi jatuh ke Malaysia pada 2002.
Malaysia hanya mencatat protes-protes Indonesia saja, tanpa merujuk pada Persetujuan Tapal Batas Laut Indonesia-Malaysia yang disepakati sejak 1970. Indonesia melihatnya sebagai usaha terus-menerus dari pihak Malaysia untuk melakukan ekspansi yang mencomoti wilayah RI. [mdr]
Sumber : http://www.inilah.com/news/read/politik/2010/08/26/774371/malaysia-tuding-ri-biang-kerok/

haa iki Sejatinya Keluar Dari Masalah, tapi....Diplomasi kita?

26/08/2010 - 14:55
Ancaman Travel Advisory Malaysia
‘Out of Context’ Datuk!
R Ferdian Andi R
Seri Anifah Aman
(IST)
INILAH.COM, Jakarta - Rencana Malaysia mengeluarkan travel advisory bagi warga negaranya yang berada di Indonesia menambah persoalan baru hubungan kedua negara. Diplomasi Malaysia terlihat selangkah lebih maju. Meski diplomasi yang muncul justru keluar dari substansi persoalan.
Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Seri Anifah Aman menyebutkan agar pemerintah Indonesia memastikan keselamatan dan keamanan warga Malaysia. Anifah juga meminta agar pemerintah Indonesia tidak emosional menghadapi masalah yang saat ini tengah terjadi.
“Karena jika perlu, kami akan mengeluarkan travel advisory. Saya akan mengimbau warga Malaysia tidak bepergian ke Indonesia, kecuali untuk urusan yang benar-benar penting,” ujarnya.
Anifah pun mengecam provokasi dan cemoohan yang dilakukan masyarakat Indonesia terhadap negaranya. Ia menilai, unjuk rasa yang terjadi di Indonesia tak ubahnya upaya penantangan kepada Malaysia. “Tindakan tersebut seakan menantang kedaulatan kami,” cetusnya.
Pernyataan pejabat Malaysia jelas mengejutkan publik Indonesia. Pernyataan ini tak ubahnya menggiring substansi persoalan yang sejatinya menjadi perhatian pemerintah Indonesia kepada persoalan yang sama sekali tidak memiliki relevansi.
Anggota Komsi I DPR Ahmad Muzani menilai pernyataan pemerintah Malaysia dengan rencana mengeluarkan travel advisory merupakan upaya politik pengalihan isu serta pemutarbalikkan fakta.
“Kita akui memang ada demontrasi di Indonesia, ini merupakan konsekwensi negara demokrasi. Namun harus dingat ada pelecehan Malaysia ke Indonesia. Jadi Malaysia jangan memancing di air keruh,” tegasnya ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (26/8).
Sekjen Partai Gerindra ini pun berharap agar pemerintah Indonesia tidak terpancing dengan pernyataan pemerintah Malaysia dengan rencana mengeluarkan travel advisory. Karena menurut Muzani, pernyataan Malaysia justru keluar dari konteks (out of centoxt) persoalan yang sebenarnya.
“Pernyataan pemerintah Malaysia tidak terkait dengan susbtansi masalah. Mereka tidak ada kaitannya dengan kita. Jadi pemerintah Indonesia jangan terpancing,” cetusnya.
Pemerintah Indonesia, menurut Muzani tidak perlu menanggapi pernyataan itu. Selain bertujuan mengalihkan isu pokok terkait pelanggaran terhadap wilayah Indonesia, posisi pemerintah Malaysia sudah terpojok. “Adanya demontrasi yang mengecam pemerintah Malaysia menjadi cara mereka mencari simpati di internal Malaysia,” kata Muzani.
Kendati demikian, Muzani menilai, pernyataan pemerintah Malaysia di satu sisi menunjukkan diplomasi yang maju selangkah dibandingkan Indonesia. Karena telah memberi respon yang justru lebih keras dari Indonesia.
“Saya berpikir dengan kemampuan diplomasi ini, apakah kita mempunyai kemampuan untuk menjaga kedaulatan. Saya meragukan diplomasi kita dapat menjaga sejengkal tanah kita,” tandasnya.
Sementara Wakil Ketua DPR Anis Matta menegaskan agar pemerintah Indonesia tidak terpancing dengan pernyataan pemerintah Malaysia. Anis meminta pemerintah mengedepankan proses diplomasi dan proses hukum.
“Semua pihak agar tidak bersikap emosional, karena pelanggaran sejenis tidak hanya kali ini saja. Hal-hal seperti ini pasti akan terjadi. Karena itu, kita berikan kesempatan kepada pemerintah,” imbuhnya.
Anis meminta agar tidak terlalu jauh berpikir untuk memutus hubungan diplomatik dengan Malaysia. Karena selain akan berdampak nyata bagi Indonesia, persoalan serupa berpotensi muncul karena Indonesia memiliki perbatasan laut dengan 10 negara. “Jadi jangan keluar dari pola hukum dan diplomasi,” cetusnya.
Terpisah, Koordinator LSM Benteng Demokrasi untuk Indonesia (Bendera) Mustar Bona Ventura menegaskan tidak terpengaruh dengan pernyataan Menlu Malaysia terkait rencana mengeluarkan travel advisory.
“Sampai hari ini belum berubah baik pernyataan, sikap maupun tindakan akan kita lakukan,” ujarnya kepada INILAH.COM melalui saluran telepon di Jakarta, Kamis (26/8).
LSM Bendera justru melihat, pernyataan Menlu Malaysia menunjukkan sikap yang reaktif dan tidak mengerti akar konflik di antara kedua negara. Menurut Mustar, mereka menganggap dengan melepas tiga staf KKP lalu kemudian masalahnya selesai.
“Padahal tidak sekadar itu,” cetusnya seraya menegaskan akan melakukan aksi ke sejumlah titik pusat bisnis Malaysia termasuk akan mengusir sejumlah artis bekewarganeraan Malaysia. [mdr]
Sumber : http://www.inilah.com/news/read/politik/2010/08/26/773801/out-of-context-datuk/

haa ini Tanggapan Pejabat Kita Tentang Gertakan Malaysia

26/08/2010 - 16:37
Malaysia Menggertak, Indonesia Ogah Menanggapi

(IST)
INILAH.COM, Jakarta – Indonesia enggan menanggapi pernyataan Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Seri Anifah Aman yang di kalangan diplomatik tergolong sangat keras.
“Kita belum mendengar ada pernyataan resmi dari pemerintah Malaysia,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah kepada INILAH.COM, Kamis (26/8).
Menlu Datuk Seri Anifah mengecam keras demonstrasi di Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Menlu Malaysia itu juga mendesak pemerintah Indonesia menindak tegas para pendemo yang dinilainya sudah sangat keterlaluan dan anarkistis itu.
"Indonesia harus melakukan sesuatu guna memastikan unjuk rasa bisa dikendalikan, sebelum Malaysia kehilangan kesabaran," kata Anifah sebagaimana dikutip NST.com.
Bahasa yang dilontarkan Anifah itu tergolong sangat keras, apalagi untuk diplomat setingkat menteri luar negeri. Bahasa keras semacam itu lazimnya dilontarkan kalangan politisi, pengamat, lembaga swadaya masyarakat atau masyarakat awam.
Tidak hanya mengeluarkan pernyataan keras, kemarin, Menlu Datuk Anifah juga memanggil Wakil Duta Besar RI di Kuala Lumpur Tatang B Razak ke Wisma Putra.
Dalam pertemuan itu, Menlu Malaysia mengecam provokasi dan segala macam cemoohan terhadap negaranya. "Unjuk rasa ini (pelemparan kotoran ke kantor kedutaan Malaysia di Jakarta) merupakan tindakan tidak terhormat yang melukai Malaysia. Tindakan tersebut seakan menantang kedaulatan kami," katanya.
Faizasyah menilai pernyataan Menlu Malaysia itu dikeluarkan dalam konteks menjawab pertanyaan wartawan dan untuk khalayak dalam negeri Malaysia. “Jadi, jangan terlalu didramatisasi,” ujar Faizasyah agak gelagapan.
Ditanya apakah berarti Indonesia tidak menganggap pernyataan Menlu Malaysia itu ditujukan kepada pemerintah Indonesia, Faizasyah mengatakan, “Saya tidak mengatakan begitu. Saya hanya menegaskan bahwa pernyatan itu dikeluarkan dalam konteks menjawab pertanyaan pers.”
Faizasyah menjelaskan pernyataan Anifah itu sebagai respons pertanyaan pers tentang tindakan para pendemo yang sampai melemparkan kotoran ke kantor Kedubes Malaysia di kawasan Kuningan, Jakarta. “Kalau kedutaan kita dilempari kotoran, masyarakat kita tentu juga menentang kan.”
Apakah Indonesia menganggap pernyataan Menlu Malaysia yang keras itu sebagai hal yang wajar? Faizasyah kembali mengulangi jawabannya, “Saya tidak mengatakan begitu. Itu bukan pernyataan resmi yang disampaikan pemerintah (Malaysia kepada pemerintah Indonesia).” [nic]
Sumber : http://www.inilah.com/news/read/politik/2010/08/26/774271/malaysia-menggertak-indonesia-ogah-menanggapi/

haa iki Rumitnya Hubungan Dengan Malaysia

26/08/2010 - 19:45
Keresahan atas Malaysia Karena Pemerintah 'Ghaib'
Mevi Linawati
Din Syamsuddin
(inilah.com)
INILAH.COM, Jakarta - Gejolak di masyarakat terkait Malaysia dinilai suatu wujud keresahan dan kegundahan atas persoalan yang menumpuk. Pemerintah yang diharapkan bisa menyelesaikan persoalan tidak berbuat banyak.
"Itu karena keresahan dan kegundahan serta permasalahan yang menumpuk. Lebih karena pemerintah tidak hadir. Istilahnya ini adalah pemerintahan yang ghaib, yang abai yang melakukan pembiaran. Tidak hanya pemerintah, tapi juga keseluruhan termasuk penegak hukum," kata Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammdiyah Din Syamsuddin di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (26/8).
Karena itu Din meminta rakyat untuk imsak atau mengendalikan diri. Akan tetapi harus ada perubahan dan meminta perubahan adalah hak rakyat. Jika sikap bangsa seperti ini, maka Indonesia akan berada pada keterjajahan. Sebaiknya pemerintah di depan, jangan sampai rakyat yang mengambil jalannya sendiri. [TJ]
Sumber : http://www.inilah.com/news/read/politik/2010/08/26/774701/keresahan-atas-malaysia-karena-pemerintah-ghaib/

Rabu, 25 Agustus 2010

haa iki Pak Quraish Menjawab

Rabu, 25/08/2010 11:58 WIB

Mana yang Lebih Bagus Tarawih 20 atau 8 Rakaat?

Alifmagz - detikRamadan
GB
Jakarta - Tanya:
Assalamualaikum, saya mau bertanya dalam melaksanakan ibadah salat tarawih kita bagusnya mengikuti yang mana, 20 atau 8 rakaat?

(Abdul Jabar, abdjabarj@yahoo.com)

Jawab:
Anda boleh mengikuti yang mana saja. Keduanya benar, dan masing-masing salat memiliki kekuatan argumentasinya. Tidak ada yang lebih kuat dari yang lain.

(M Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an)

(Qur'an and Answer ini merupakan kerjasama dengan www.alifmagz.com)

( gst / vta )
Sumber : http://ramadan.detik.com/read/2010/08/25/115802/1427501/971/mana-yang-lebih-bagus-tarawih-20-atau-8-rakaat

haa iki Tentang Malaysia Yang Nakal

Rabu, 25/08/2010 11:58 WIB
Kronologi Pembebasan 3 Petugas KKP Versi Da'i Bachtiar


Laurencius Simanjuntak - detikNews

 
Jakarta - Tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ditahan Polisi Diraja Malaysia selama tiga malam, sebelum akhirnya dilepaskan tepat pada HUT ke-65 Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2010.

Dubes RI untuk Malaysia Jenderal (Purn) Da'I Bachtiar menjelaskan lika-liku diplomasi RI demi melepaskan 3 WNI itu. Berikut kronologinya:

14 Agustus


- Pagi hari, Kedubes RI mendapat laporan atas insiden penangkapan malam harinya. Saat itu juga Dubes berkoordinasi dengan semuat Konsulat Jenderal.

-Siang hari, Dubes dapat info 3 petugas KKP berada di kepolisian Johor Baru. Tapi belum dapat akses ke sana.

-Sore hari, Dubes komunikasi via telepon dengan Wakil Kepala Polisi Diraja Malaysia. Yang bersangkutan belum tahu soal penangkapan 3 petugas KKP, seraya berjanji kalau ada laporan akan dikomunikasikan.

-Malam hari, Dubes mengirim pesan ke Wakil Kepala Polisi Diraja Malaysia, namun masih belum ada perkembangan.

15 Agustus


-Pagi hari, Dubes memperoleh informasi yang cukup tentang 3 petugas KKP yang ditahan dari lapangan. Sementara kepolisian Malaysia belum mendapat informasi, meski mereka mengaku sudah mendengar; Dubes mendapat instruksi dari Menlu Marty Natalegawa untuk segera mengusahakan pembebesan.

-Dubes tetap tidak bisa menghubungi Kementerian Luar Negeri Malaysia karena di Malaysia Sabtu-Minggu tidak lazim digunakan untuk diplomasi.

16 Agustus

-Pagi hari, Dubes berhasil komunikasi dengan Kepala Polisi Diraja Malaysia. Polisi berjanji melepaskan sore hari.

-Tengah malam pukul 00.00 waktu setempat, Kepala Polisi Diraja Malaysia belum bisa memenuhi janji melepaskan 3 petugas KKP, dengan alasan belum bisa berkoordinasi dengan pihak terkait, Jaksa Agung (karena sudah diperiksa) dan Menlu. Polisi janji bebaskan besok harinya.

17 Agustus


-Pukul 08.00 waktu Malaysia, 3 petugas KKP belum juga dilepaskan oleh kepolisian Johor Baru, meski Kepala Polisi Diraja mengatakan sudah dilepaskan. Petugas pengantar minta paper (surat).

-09.30 dilepaskan dan 10.20 sampai di KJRI Johor Baru dan ikut upacara peringatan kemerdekaan.

(lrn/mad)
Sumber : http://www.detiknews.com/read/2010/08/25/115841/1427502/10/kronologi-pembebasan-3-petugas-kkp-versi-dai-bachtiar?991102605 

haa iki Masih Tentang Malaysia

Rabu, 25/08/2010 11:33 WIB
Menlu Ajak Kumpulkan Data Pelecehan yang Dialami 3 Petugas KKP
Laurencius Simanjuntak - detikNews


Jakarta - 3 Petugas Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) sempat diborgol dan diberi baju tahanan saat ditahan polisi Malaysia. Menlu Marty Natalegawa mengajak berbagai pihak bahu-membahu.

"Instruksi Presiden sudah sangat jelas, meminta kita menelusuri apa yang terjadi dan memproses keluhan kita kepada Malaysia," kata Marty dalam rapat dengan Komisi I di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (25/8/2010).

Ketidaknyamanan yang dialami 3 petugas ini merupakan pelecehan serius oleh Malaysia. "Jika ada ketidaknyamanan fisik, diborgol, diberi baju tahanan, mari kita kumpulkan data," kata Marty.

Menurut Marty, perlakukan yang tidak pantas itu harus diprotes kepada Malaysia. Namun informasi perlakuan yang diterima 3 petugas itu harus dikumpulkan dengan lengkap melibatkan lintas instansi.

"Butuh kerja sama antara Kemlu dan juga polisi, karena 3 petugas KKP ini juga sudah dibuat BAP-nya oleh kepolisian Riau," jelas Marty.
(fay/nrl)
Sumber : http://www.detiknews.com/read/2010/08/25/113317/1427435/10/menlu-ajak-kumpulkan-data-pelecehan-yang-dialami-3-petugas-kkp 

haa iki Masih Tentang Petugas DKP VS Polisi Malaysia

Rabu, 25/08/2010 11:42 WIB
Konjen Johor: Ketiga Petugas Diborgol dan Pakai Baju Tahanan
Laurencius Simanjuntak - detikNews


Jakarta - Tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan yang 13-16 Agustus lalu ditahan Polisi Diraja Malaysia diperlakukan seperti seorang tahanan. Selama berada di Polres Kota Tinggi, Malaysia, ketiganya diborgol dan dipakaikan baju tahanan.

"Pukul 10.20 (waktu setempat), kami langsung dipertemukan dengan ketiga petugas, kondisi mereka diborgol dan dikenakan pakaian tahanan," kata Konjen RI di Johor Baru Jonas Tobby dalam rapat dengar pendapat antara Kemlu-Komisi I di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (25/8/2010).

Melihat kondisi ketiganya, Jonas langsung protes kepada Kapolres Kota Tinggi. Jonas pun meminta agar ketiganya segera dilepaskan.

"Kami minta harus segera dibebaskan, kami diberi kesempatan untuk bicara. Mereka juga sempat berbicara dengan Bapak Menlu dan mereka menyatakan kondisinya baik, sehat dan diperlakukan manusiawi," kata Jonas.

Sejak pertemuan itu, Jonas selalu bersama-sama ketiga petugas KKP tersebut. Jonas terus melakukan pendekatan agar ketiganya segera dibebaskan dan bisa dipulangkan di Indonesia.

Ketiga petugas tersebut baru bisa dibebaskan pada tanggal 17 Agustus pagi. Ketiganya ditahan sejak tanggal 13 Agustus pukul 21.00 WIB.

Tiga petugas KKP Indonesia membawa 7 nelayan yang dituduh mencuri ikan, sedang polisi Malaysia menangkap petugas KKP ke Johor. Peristiwa ini membuat berbagai elemen masyarakat di Indonesia marah dan menggelar berbagai macam aksi.

(ken/nrl)
Sumber : http://www.detiknews.com/read/2010/08/25/114249/1427462/10/konjen-johor-ketiga-petugas-diborgol-dan-pakai-baju-tahanan?991101605

haa iki Sebuah Contoh Kegigihan (Mudah-mudahan tetap di JALUR YANG BENAR)

19/08/2010 - 16:43
Prof Firmanzah PhD
Usai Dekan Termuda, Kini Guru Besar
Asteria
Prof Firmanzah PhD
(inilah.com)
INILAH.COM, Jakarta – Meski terbilang muda, pria ini sudah mendulang banyak pujian dari kalangan intelektual atas prestasinya. Ia adalah Prof Firmanzah PhD, dekan termuda yang baru saja dikukuhkan sebagai guru besar termuda UI.
Pada pengukuhannya sebagai guru besar tetap dalam bidang ilmu manajemen strategis, Rabu (18/8) kemarin, di Balai Sidang Universitas Indonesia, Kampus UI-Depok, Firmanzah menyampaikan pidato berjudul ‘Coordination-Capability dan Daya Saing Nasional: Peran Boundary-Spanner dalam Perspektif Struktural-Interaksionisme.’
Dalam pidatonya, Ia menekankan pentingnya penataan hubungan kelembagaan, baik di lembaga tingkat nasional, daerah, maupun industri. Menurut Firmanzah, pekerjaan ini merupakan tugas kolektif dari setiap elemen bangsa Indonesia. Karena pengalaman sejumlah negara seperti Finlandia, Singapura, China, Jepang, dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa pembangunan daya saing nasional selalu dimulai dari perbaikan dan intesifikasi koordinasi kelembagaan.
"Bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin yang berperan sebagai boundary-spanner untuk berinteraksi dengan yang lain dalam membangun keterkaitan, komunikasi, dan kerja sama kelembagaan. Hanya dengan ini, daya saing Indonesia dapat ditingkatkan melalui penggabungan semua sumber daya dan keunggulan nasional," kata pria kelahiran 7 Juli 1976 tersebut.
Firmanzah adalah Dekan FEUI sejak 2009 dan merupakan dekan termuda dalam sejarah UI. Saat lulus SMA, Ia memilih Fakultas Ekonomi UI dan lulus dalam waktu 3,5 tahun. Ia pun sempat menjajal dunia asuransi sebagai analis pasar, sebelum memutuskan kembali ke bangku kuliah, setahun kemudian. Pria yang akrab dipanggil Fiz tersebut mengambil program S-2 di bidang yang sama dan menyelesaikannya dalam tempo dua tahun.
Melanjutkan studi di Universitas Lille di Prancis, merupakan momen titik balik Fiz mengenal dunia yang lebih luas. Ia mendalami bidang strategi organisasi dan manajemen atas beasiswa dari universtas tersebut. "Ketika mendapatkan beasiswa ke Prancis, itu merupakan perjalanan pertama saya ke luar negeri dan kali pertama pula naik pesawat," kenangnya.
Fiz juga sekaligus menjalani studinya pada tingkat doktoral dalam bidang manajemen internasional dan strategis di Universitas Pau and Pays De l’Adour, dan selesai pada 2005.
Karena lulus tercepat di angkatannya, Fiz lantas mendapatkan beasiswa program doktoral dalam bidang manajemen strategis internasional dari University of Pau et Pays de l" Adour dan meraih PhD pada 2005.
Ia pun sempat mengajar setahun di almamaternya, sebelum dipanggil pulang oleh dekan FE UI saat itu, Prof Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro untuk mengajar di UI. “Padahal, tiga hari sebelumnya, saya baru saja mendapat tawaran menjadi dosen tetap dengan gaji tinggi dan fasilitas lengkap,” ujarnya.
Fiz menilai, menetap di Prancis akan menjadikannya dosen terbang di berbagai negara di dunia, antara lain Maroko dan Inggris. Fasilitas perpustakaan yang lengkap merupakan surga baginya.
Mendapati bahwa kehidupan di Prancis akan terlalu mudah baginya, Ia pun memilih kembali ke Indonesia. “Ada banyak hal yang bisa dilakukan di sini dan itu akan lebih berarti, karena hidup ternyata tidak hanya mencari kenyamanan,” ujar suami Ratna Indraswari ini sambil tersenyum.
Tiga tahun berikutnya, yakni ketika berusia 32 tahun, Fiz terpilih sebagai Dekan ke-14 FE UI periode 2009-2013 yang tercatat sebagai dekan termuda dalam sejarah UI. Pria pelahap buku-buku filsafat yang mengidolakan filsuf dari Jerman, Schopenhauer itu, mengalahkan sejumlah kandidat kuat, seperti Prof Sidharta Utama PhD CFA dan Arindra A Zainal Ph.D.
Bahkan sebelum masuk tiga besar kandidat, ia harus bersaing dengan calon yang jam terbangnya sudah tinggi, seperti Dr Nining Soesilo (kakak kandung mantan Menkeu Sri Mulyani Indrawati), Dr Chaerul Djakman dan Dr Syaiful Choeryanto.
Firmanzah menghabiskan masa kecil hingga SMA di Surabaya. Ibunya, Kusweni, adalah seorang buta huruf yang bercerai ketika usianya dua tahun. Namun, Fiz kecil yang saat itu bercita-cita menjadi astronot, tidak lantas minder.
Anak ke-8 dari 9 bersaudara ini justru mempelajari semangat juang tinggi dari sang ibu. Selain intisari hidup terkait dengan kesetiaan, persahabatan dan kasih sayang.
Hal inilah yang membuat pengagum teori Tsun Zu ini memiliki falsafah hidup, bahwa rasa kemanusiaan adalah naluri yang paling kuat untuk memenangkan pertarungan dalam hidup. Baginya, pertarungan itu bisa terjadi di mana saja, dan yang membedakan antara yang menang dan yang kalah adalah strategi.
Dalam mendidik anak-anaknya, ibunya pun tak menerapkan manajemen belajar yang ketat dan disiplin. Ia diajarkan untuk lebih management by output, bukan management by process.
“Ibu bilang, mau belajar kayak apa, terserah. Yang penting, nilainya bagus,” ujarnya. Itulah yang membuatnya bisa membaca buku di sela-sela main gundu. Sedari belia pun, Fiz mengaku sudah mengetahui visinya, yakni menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. [mdr]
Sumber : http://www.inilah.com/news/read/ekonomi/2010/08/19/755001/usai-dekan-termuda-kini-guru-besar/

haa iki Tentang Paul Scholes

Rabu, 25/08/2010 07:11 WIB
Catatan Sepakbola
Si Wajah Pucat Paul Scholes
Liza Arifin - detiksport



Getty Images
London - Ketika David Beckham untuk pertamakalinya berlatih dengan pemain Real Madrid, pertanyaan pertama yang diajukan rekan barunya bukan bagaimana rasanya pindah ke Spanyol. Bukan pula akan tinggal didaerah mana di Madrid. Tentu juga bukan tentang istrinya, Victoria alias Posh Spice. Tetapi, "Bagaimana rasanya bermain dalam satu tim dengan Paul Scholes?"

Ya. Paul Scholes. Si pucat yang merupakan gelandang menyerang dari Manchester United. Walau penggemar sepakbola sering meremehkan pemain ini, tetapi dalam khazanah para jawara sepakbola di Eropa, namanya memang diunjung tinggi.

Bahkan sang maestro pemain tengah Eropa Zinedine Zidane menyebutnya sebagai pemain tengah terbaik untuk generasinya. Belum lama ini dalam sebuah wawancara ia mengaku menyesal tidak pernah berkesempatan bermain dengan Scholes. Maklum walau klub-klub besar Eropa tertarik, Paul Scholes tidak pernah ingin bermain untuk klub lain kecuali Manchester United.

Paul Scholes adalah salah satu anggota generasi emas Man United tahun 90-an bersama David Beckham, Ryan Giggs, Nicky Butt, dan Neville bersaudara. Tetapi dibandingkan kelima rekan angkatannya, profil Scholes seperti lepas dari radar.

Mungkin persoalannya adalah pribadi Scholes yang sangat pemalu dan secara sengaja menutup diri dari sorotan. Ia sangat jarang memberikan wawancara kepada wartawan, tidak pernah datang ke pesta-pesta selebriti, sangat pendiam bahkan dengan teman-teman akrabnya. Konon selama hampir dua puluh tahun bersepakbola ia baru empat kali memberi wawancara eksklusif.

Scholes bisa dikatakan satu dari sedikit pemain bola yang tidak pernah mengekpresikan diri kecuali di dalam lapangan. Setelah Eric Cantona mundur dialah denyut yang menjalin permainan lini pertahanan ke garis penyerangan Man United. Permainan satu-duanya diakui para pesepakbola sebagai yang terbaik di Eropa. Umpan-umpannya baik yang menelusur tanah maupun lambung sama akuratnya dan mematikan. Imajinasinya dalam memberi umpan tidak lumrah.

Yang luar biasa, menurut Ruud Gullit, adalah Scholes bisa melakukan semua itu dengan sangat sederhana. Sehingga yang ia lakukan seolah bukanlah sesuatu yang luar biasa. Itulah sebabnya, masih menurut Gullit, penonton melihatnya sebagai biasa-biasa saja, tetapi rekan maupun lawan sering terbengong-bengong.

Bukan sekadar menjalin serangan, ia sendiri seorang penyerang berbahaya baik dengan kaki maupun kepalanya. Ia mampu mencetak gol spektakuler dengan tendangan jarak jauhnya yang terkenal keras dan akurat. Tak heran kalau ia sudah mencetak 150 gol untuk Man United. Cukup bagus untuk seorang gelandang.

Menyebut sukses Man United usai Cantona, orang akan menyebut Beckham, Giggs, Keane, Cole, Yorke, Solksjaer dan nama-nama besar lainnya. Tetapi cabutlah Paul Scholes dari tim Man United itu maka semua pemain bintang itu akan mengatakan jangan. Itulah sebabnya semua pemain boleh silih berganti tetapi Paul Scholes tetap menjadi pantek Man United.

Namun seperti telah dikatakan, ia bisa tampil sangat hebat di lapangan tetapi begitu pertandingan usai dan wartawan berebut ingin mewancarainya, ia menghilang dari pencarian. Orang tidak pernah tahu apa yang dipikirkan maupun pandangan-pandangannya mengenai berbagai hal menyangkut sepakbola.

Misalnya orang sangat ingin tahu mengapa ia memutuskan untuk mundur dari tim nasional Inggris lima tahun lalu. Isu yang beredar ia tidak suka dengan gaya permainan yang ditampilkan Sven Goran Eriksson dan bosan dimainkan di posisi yang bukan menjadi posisi terbaiknya. Tetapi ia tak pernah mengatakan apapun sama sekali. Tidak menjelekkan, tidak mengritik, tidak mencela.

Steve Mclaren yang menggantikan Sven, membuang David Beckham tetapi dua kali membujuk Scholes untuk kembali ke tim nasional. Dua kali pula Scholes menolak dengan alasan ingin lebih meluangkan waktu untuk keluarga.

Bahkan diusianya yang ke-35, ketika kemampuannya sudah menurun terutama staminanya untuk menusuk ke kotak penalti, Fabio Capello membujuk untuk ikut ke Piala Dunia Afrika Selatan. Scholes menolak dengan alasan, salah satunya, tidak enak dengan pemain lain yang sudah berjuang untuk Inggris selama babak penyisihan.

Belum lama lalu ia mengaku menyesal tidak memenuhi panggilan itu. Itulah sebabnya kini terbetik berita Capello ingin memanggilnya untuk penyisihan Piala Eropa. Padahal pada saat bersamaan ia menutup pintu untuk pemain seangkatan Scholes dengan profil terbesar di Inggris, David Beckham dengan alasan sudah terlalu tua.

Sentimen Capello untuk pemain tua ini tidak luar biasa. Ambil misal pelatih jenial Arsenal Arsene Wenger. Belum lama ini ia masih mengatakan, kalau boleh memilih semua pemain Liga Primer yang ada, maka Scholes lah pemain pertama yang ada di susunan pemainnya. Carlo Ancelotti juga menyampaikan sentimen yang sama. Mungkin ini sudah agak usang karena dikatakan ketika ia masih memegang AC Milan.

Anak asuhnya saat itu akan bertemu dengan Man United di Piala Champions. Di hadapan wartawan ia mengatakan tidak satupun pemain Man United akan masuk ke 11 pemain utama Milan. Padahal disitu ada Ryan Giggs, Cristiano Ronaldo, Wayne Rooney dan sejumlah nama lain. Tetapi Ancelotti kemudian terdiam sebentar lalu berkata, "Yahhhh… kecuali Paul Scholes".

=====
* Penulis adalah wartawan detikcom, tinggal di London.
( lza / krs ) 
Sumber : http://www.detiksport.com/sepakbola/read/2010/08/25/071120/1427234/425/si-wajah-pucat-paul-scholes?b99110270

haa iki Komentar Pak Dahlan Iskan

Rabu, 25/08/2010 07:07 WIB
Dahlan Iskan: Listrik Mau Naik, Mau Enggak, Terserah
Suhendra - detikFinance



Jakarta - Direktur Utama PLN Dahlan Iskan tidak mau ambil pusing soal rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) di tahun 2011 oleh pemerintah. Dahlan mengaku lebih memilih memikirkan pasokan dan mencegah pemadaman listrik dari pada memikirkan TDL.

"Aku mikir listrik aja deh, aku nggak usah mikir TDL. Aku mau mikirkan listrik yang
sungguh-sungguh. Jadi nggak mau mikirkan TDL. TDL mau naik, mau nggak terserah lah," ucap Dahlan saat ditemui di kantornya Jakarta, Selasa malam (24/8/2010).

Ia lebih memilih  untuk berkonsentrasi memikirkan listrik agar pasokan listrik cukup, mencegah pemadaman dan jika terjadi pemdaman bisa cepat hidup kembali.

Dahlan juga mengaku hingga kini belum mendapat pemberitahuan resmi dari pemerintah
terkait kenaikan TDL 2011. Namun kata dia, apapun keputusan pemerintah, PLN akan
menjalankannya.

Selain itu kata dia, yang seharusnya  diberi tahu dahulu oleh pemerintah  mengenai
rencana kenaikan TDL adalah DPR, bukan PLN.

"Saya tahunya juga dari koran. Ya kita tahu sikap depkeu (kementerian keuangan) dari dulu begitu, bahwa ingin menyeimbangkan anggaran dan itu betul toh," katanya.

Sebelumnya pemerintah melalui beberapa menteri seperti Menteri ESDM Darwin Saleh
maupun Menteri Perindustrian MS Hidayat  mengungkapkan belum memastikan kenaikan TDL di 2011. Meski Menteri Keuangan Agus Martowardojo sejak awal sudah terang-terangan akan ada kenaikan TDL 15% di 2011 karena ada pengurangan subsidi listrik dari Rp 55,1 triliun di 2010 menjadi Rp 41 triliun di 2011.

(hen/qom)
Sumber : http://www.detikfinance.com/read/2010/08/25/070729/1427232/4/dahlan-iskan-listrik-mau-naik-mau-enggak-terserah?f9911023

Selasa, 24 Agustus 2010

haa iki Jawaban Pak Quraish

Selasa, 24/08/2010 14:34 WIB

Hikmah di Balik Wudhu

Nurvita Indarini - detikRamadan
GB
Jakarta - Wudhu tidak hanya membasuh fisik dengan air. Wudhu juga tidak sekadar membersihkan kotoran yang melekat di fisik manusia. Namun ada hikmah di balik aktivitas tersebut.

Tentang hikmah berwudhu ini ditanyakan oleh ShinBee dalam live chat di detikforum dengan cendekiawan muslim dalam ilmu-ilmu Al Qur'an yang juga mantan Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII (1998) Quraish Shihab yang digelar pada Selasa (24/8/2010).

Berikut ini, pertanyaan yang disampaikan oleh ShinBee:

1. Apa hikmah berwudhu itu?  Saya pernah dengar, katanya bagusnya salat seseorang dilihat dari wudhunya juga.
2. Lalu jika pada saat kita berwudhu lantas aliran air yg kita sudah gunakan untuk membasuh anggota wudhu lainnya dan aliran air tersebut ternyata terkena untuk basuhan wudhu selanjutnya, itu hukumnya bagaimana? Kalau tidak salah seperti istilah air musta'mal.

Pertanyaan tersebut dijawab langsung oleh Quraish Shihab. Menurutnya, wudhu juga dimaksudkan untuk kebersihan lahir dan batin. Berikut ini, jawaban Quraish selengkapnya.

1. Untuk kebersihan lahir dan batin. Nabi mencontohkan seorang yang beruwudu dengan membersihkan diri di sungai. Kekotoran jasmaninya hilang dan niatnya patuh kepada Tuhan dan bermaksud menghadap kepadaNya menggugurkan dosa-dosanya.

2. Kalau sisa air itu terjatuh di kolam yang berisi air yang banyak lalu dengan bercampurnya sisa air itu dengan air kolam maka dapat ditoleransi. Tetapi jika sisa air itu ditampung di satu wadah dan digunakan kembali maka airnya tidak dapat digunakan bersuci. Dalam arti ari musta'mal, air yang sudah terpakai.

Anda mempunyai pertanyaan-pertanyaan seputar agama Islam, silakan bergabung dengan live chat bersama Quraish Shihab di detikforum sekarang juga. Jangan ketinggalan ya!

( vta / ayu )
Sumber : http://ramadan.detik.com/read/2010/08/24/143407/1426764/631/hikmah-di-balik-wudhu

haa iki Gimana Nih Kelanjutan OpenOffice

Selasa, 24/08/2010 08:00 WIB
Apakah Oracle Akan Pertahankan OpenOffice?
Wicak Hidayat - detikinet


Logo OpenOffice 3
Jakarta - Setelah OpenSolaris resmi bubar, karena tak mendapatkan dukungan dari Oracle, apakah berikutnya nasib OpenOffice akan sama?

Cukup banyak yang dilakukan Oracle setelah mengakuisisi Sun Microsystems. Selain menuntut Google gara-gara Android-nya, Oracle juga menghentikan dukungan pada OpenSolaris.

Bagaimana dengan OpenOffice? Seperti dikutip detikINET dari PCWorld, Selasa (24/8/2010), peringatan untuk 'menunda' implementasi OpenOffice telah disampaikan analis dari Software Improvement Group.

Kekhawatiran utamanya adalah: Oracle akan menghentikan dukungan pada proyek OpenOffice.org. Diduga, perusahaan itu akan lebih senang mendukung versi berbayar StarOffice.

Pengguna OpenOffice di dunia saat ini diperkirakan mencapai 10 persen dari total pengguna software perkantoran sejenis. Boleh dikatakan, semua distribusi Linux utama akan menyertakan OpenOffice dalam paket instalasinya.

Jika Oracle memang tak akan mendukung OpenOffice lagi, komunitas Open Source diharapkan bisa 'memanggul cangkul' dan meneruskan pengembangannya.

Saat ini diperkirakan ada 450.000 pengembang yang pernah ikut menyumbangkan kemampuan mereka untuk membuat OpenOffice.

Di sisi lain, Oracle belum mengumumkan apa-apa seputar OpenOffice. Bahkan, pada OpenOffice versi terbaru (3.2.1) logo Oracle sudah ditempelkan di layar pembukanya.

( wsh / wsh ) 
Sumber : http://www.detikinet.com/read/2010/08/24/080056/1426355/317/apakah-oracle-akan-pertahankan-openoffice/?i991101105 

Minggu, 22 Agustus 2010

haa iki Pilihan Buat Denny

22/08/2010 - 15:12
Hanya Jadi Sapu, Denny Indrayana Diminta Tinggalkan Istana
Santi Andriani
Denny Indrayana
(inilah.com/Wirasatria)
INILAH.COM, Jakarta- Staf Khusus Bidang Hukum Kepresidenan yang juga Sekretaris Pemberatasan Mafia Hukum, Denny Indrayana disarankan mundur dari Istana dan kembali ke kampus. Alasannya, ia hanya menjadi sapu untuk pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Hal itu disampaikan anggota Tim Hukum Petisi 28, Ahmad Suryono dalam diskusi Nota Protes Terhadap Grasi, Remisi dan Pembebasan Koruptor di Doekoen Coffe, Kalibata, Minggu(22/8). Menurutnya, selama ini sikap Denny bertentangan dengan semangat pemberantasan mafia hukum.
Tindakan Denny menggerebek sel mewah Artalyta Suryani dan menengok terpidana korupsi Syaukani Hassan yang dibebaskan Presiden merupakan tindakannya yang saling bertentangan dengan semangat pemberantasan mafia Hukum. "Hanya ada dua pilihan untuk Denny, pertama mundur sebagai staf khusus dan kembali ke kampus, kembali pada pekerjaan sesuai hati nurani atau terus menerus menjadi sapu SBY," tandas Ahmad yang mengaku senior Denny di kampus.
Menurut dia, tindakan Denny menggerebek sel mewah Artalyta Suryani patut diacungi jempol karena menguatkan komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan mafia hukum. Namun dia malah membalikkan anggapan itu, ketika pada Sabtu (21/8) menjenguk terpidana Syaukani di RS Cipto Mangunkusumo sebagai sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum bersama Menkum HAM Patrialis Akbar.
Apalagi saat itu katanya Denny mengatakan bahwa Syaukani layak mendapatkan grasi dari Presiden. "Apakah waktu itu dia benar-benar sidak atau hanya pencitraan SBY, ternyata ini hanya pencitraan," sesal Ahmad. [TJ]
Sumber : http://www.inilah.com/news/read/politik/2010/08/22/760591/hanya-jadi-sapu--denny-indrayana-diminta-tinggalkan-istana/