Rabu, 31 Agustus 2011

haa iki Penjelasan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Soal penetapan Idul Fitri besok

Senin, 29-08-2011



Terkait Adanya pertanyaan di kalangan beberapa orang anggota masyarakat tentang lebaran besok Selasa di mana puasanya dengan demikian hanya 29 hari, apakah itu sah? Jawabannya adalah bahwa Nabi saw dalam beberapa hadisnya menyatakan bahwa umur bulan itu 29 hari atau terkadang 30 hari. Jadi orang yang berpuasa 29 hari dan berlebaran besok adalah sah karena sudah berpuasa selama satu bulan. Secara astronomis, pada hari ini, Senin 29 Agustus 2011, Bulan di langit telah berkonjungsi (ijtimak), yaitu telah mengitari bumi satu putaran penuh, pada pukul 10:05 tadi pagi. Dengan demikian bulan Ramadan telah berusia satu bulan. Dalam hadis-hadis Nabi saw, antara lain bersumber dari Abu Hurairah dan Aisyah,  dinyatakan bahwa Nabi saw lebih banyak puasa Ramadan 29 hari daripada puasa 30 hari. Menurut penyelidikan Ibnu Hajar, dari 9 kali Ramadan yang dialami Nabi saw, hanya dua kali saja beliau puasa Ramadan 30 hari. Selebihnya, yakni tujuh kali, beliau puasa Ramadan 29 hari.
Mengenai dasar penetapan Idulfitri jatuh Selasa 30 Agustus 2011 adalah hisab hakiki wujudul hilal dengan kriteria (1) Bulan di langit untuk bulan Ramadan telah genap memutari Bumi satu putaran pada jam 10:05 Senin hari ini, (2) genapnya satu putaran itu tercapai sebelum Matahari hari ini terbenam, dan (3) saat Matahari hari ini nanti sore terbenam, Bulan positif di atas ufuk.  Jadi dengan demikian, kriteria memasuki bulan baru telah terpenuhi. Kriteria ini tidak berdasarkan konsep penampakan. Kriteria ini adalah kriteria memasuki bulan baru tanpa dikaitkan dengan terlihatnya hilal, melainkan berdasarkan hisab terhadap posisi geometris benda langit tertentu. Kriteria ini menetapkan masuknya bulan baru dengan terpenuhinya parameter astronomis tertentu, yaitu tiga parameter yang disebutkan tadi.
Mengapa menggunakan hisab, alasannya adalah:
  1. Hisab lebih memberikan kepastian dan bisa menghitung tanggal jauh hari ke depan,
  2. Hisab mempunyai peluang dapat menyatukan penanggalan, yang tidak mungkin dilakukan dengan rukyat. Dalam Konferensi Pakar II yang diselenggarakan oleh ISESCO tahun 2008 telah ditegaskan bahwa mustahil menyatukan sistem penanggalan umat Islam kecuali dengan menggunakan hisab.
Di pihak lain, rukyat mempunyai beberapa problem:
  1. Tidak dapat memastikan tanggal ke depan karena tanggal baru bisa diketahui melalui rukyat pada h-1 (sehari sebelum bulan baru),
  2. Rukyat tidak dapat menyatukan tanggal termasuk menyatukan hari puasa Arafah, dan justeru sebaliknya rukyat mengharuskan tanggal di muka bumi ini berbeda karena garis kurve rukyat di atas muka bumi akan selalu membelah muka bumi antara yang dapat merukyat dan yang tidak dapat merukyat,
  3. Faktor yang mempengaruhi rukyat terlalu banyak, yaitu (1) faktor geometris (posisi Bulan, Matahari dan Bumi), (2) faktor atmosferik, yaitu keadaan cuaca dan atmosfir, (3) faktor fisiologis, yaitu kemampuan mata manusia untuk menangkap pantulan sinar dari permukaan bulan, (4) faktor psikologis, yaitu keinginan kuat untuk dapat melihat hilal sering mendorong terjadinya halusinasi sehingga sering terjadi klaim bahwa hilal telah terlihat padahal menurut kriteria ilmiah, bahkan dengan teropong canggih, hilal masih mustahil terlihat.
Memang perlu dilakukan upaya untuk menyatukan sistem penanggalan umat Islam agar tidak lagi terjadi perbedaan-perbedaan yang memilukan ini. Untuk itu kita harus berani beralih dari rukyat (termasuk rukyat yang dihisab) kepada hisab. Di zaman Nabi saw rukyat memang tidak menimbulkan masalah karena umat Islam hanya menghuni Jazirah Arab saja dan belum ada orang Islam di luar jazirah Arab tersebut. Sehingga bila bulan terlihat atau tidak terlihat di jazirah Arab itu, tidak ada masalah dengan umat Islam di daerah lain lantaran di daerah itu belum ada umat Islam. Berbeda halnya dengan zaman sekarang, di mana umat Islam telah menghuni seluruh penjuru bumi yang bulat ini. Apabila di suatu tempat hilal terlihat, maka mungkin sekali tidak terlihat di daerah lain. Karena tampakan hilal di atas muka bumi terbatas dan tidak meliputi seluruh muka bumi. Rukyat akan menimbulkan problem bila terjadi pada bulan Zulhijah tahun tertentu. Di Mekah terlihat, di Indonesia tidak terlihat, sehingga timbul masalah puasa Arafah.
Jadi oleh karena itu penyatuan itu perlu, dan penyatuan itu harus bersifat lintas negara karena adanya problem puasa Arafah. Artinya siapapun yang mencoba mengusulkan suatu sistem kalender pemersatu, maka kalender itu harus mampu menyatukan jatuhnya hari Arafah antara Mekah dan kawasan lain dunia agar puasa Arafah dapat dijatuhkan pada hari yang sama. Ini adalah tantangan para astronom Indonesia. Kita menyayangkan belum banyak yang mencoba memberikan perhatian terhadap penyatuan secara lintas negara ini. Perdebatan yang terjadi baru hanya soal kriteria awal bulan, yang itu hanya sebagian kecil saja dari keseluruhan masalah penyatuan kalender.
Sementara kita masih belum mampu menyatuakan penanggalan hijriah, maka bilamana terjadi perbedaan kita hendaknya mempunyai toleransi yang besar satu terhadap yang lain dan saling menghormati. Sembari kita terus berusaha mengupayakan penyatuan itu.


Tags: idul fitri 1432 H
Sumber : http://www.muhammadiyah.or.id/id/news-392-detail-penjelasan-majelis-tarjih-dan-tajdid-pp-muhammadiyah-soal-penetapan-idul-fitri-besok.html

Selasa, 30 Agustus 2011

haa iki Khutbah Ied: Tiga Rahmat Yang Dibawa Rasulullah

Selasa, 30 Agustus 2011 09:52 WIB
 
REPUBLIKA.CO.ID,BANDARLAMPUNG - Khatib salat Idul Fitri 1432 Hijriah, Masiran Malkan, mengatakan bahwa tiga rahmat yang dibawa rasulullah yakni kasih sayang, kecerdasan dan kesejahteraan. Tiga rahmat tersebut harus menjadi panutan umat muslim.
"Rasul Nabi Muhammad SAW diutus sebagai rahmatan lil alamin, sebagai mana dalam Al-quran surat Anbiya 107," kata Masiran Malkan pada khutbah shalat Ied di Lapangan Kalpataru, Kemiling Bandarlampung, Selasa (30/8).
Ia menyebutkan, rahmat kasih sayang harus sudah dimulai sejak dalam keluarga yakni anak menyayangi dan menghormati ayah dan ibu. Begitupun sebaliknya orangtua menyayangi mereka.
Menurutnya, upaya dari dalam kehidupan rumah tangga dapat membentuk pondasi komunitas umat yang kuat. Ia menjelaskan, nabi bersabda, rumah ku adalah surgaku, sehingga perlu adanya kasih sayang di dalam rumah tangga serta kepada orang lain.
Misi kedua Rasulullah, lanjutnya, yakni rahmat kecerdasan. Umat muslim harus memiliki kecerdasan dengan memiliki ilmu pengetahun dan teknologi yang mumpuni. "Kita dituntut untuk terus belajar, sebagaimana Nabi Muhammad disuruh membaca atau belajar (iqro) yang dipandu Malaikat Jibril," kata dia.
Masiran dalam khutbah Ied juga menjelaskan, pada sidang Itsbat penentuan 1 Syawal 4132 H, terdapat intelektual muslim yang memiliki pandangan masing-masing terhadap penentuan syawal. Ia mengatakan, mereka dengan ilmunya memperjuangkan penentuan syawal karena semata-mata untuk melaksanakan ibadah kepada Allah. Menurutnya, perbedaan penentuan 1 syawal tidak perlu dipersoalkan karena masing-masing kelompok atau ormas Islam memiliki dalilnya sendiri-sendiri.
"Perbedaan itu merupakan rahmat dan semata-mata tidak melihat siapa yang salah dan benar," ujarnya.
Terpenting menurut dia, umat telah melakukan ijtihad untuk beribadah kepada Allah Rahmat ketiga yakni kesejahteraan. Ajaran Islam tidak menginginkan adanya kemiskinan.
Menurutnya, para dermawan harus menyantuni kaum dhuafa. Orang yang berpuasa diwajibkan untuk berzakat fitrah. ''Itu merupakan dimensi kesejahteraan yang diajarkan Rasullulah,'' katanya. "Kehidupan sosial yang madani menjauhkan dari kemiskinan adalah keinginan kita semua."
Redaktur: Didi Purwadi
Sumber: Antara

Senin, 08 Agustus 2011

haa iki Sungguh sia-sia jika kita menempatkan Ramadan sebagai bulan pura-pura

Haji Bachdim Berpuasa

Senin, 8 Agustus 2011 - 09:09 wib
"Selamat puasa..." kata Haji Bachdim di tayangan televisi. Bachdim yang mana? Itu lho Irfan Bachdim, pesepakbola naturalisasi yang kini memperkuat timnas senior dan U 23. Haji? Lihat saja tampilannya dalam iklan minuman suplemen, ia bersarung dan baju koko dengan peci putih, simbol orang yang telah berhaji.
  
Tampilan yang serupa juga dilakukan oleh Cristian Gonzales. Sama-sama pesepakbola naturalisasi. Sama-sama memperkuat timnas, dan sama-sama tampil dalam iklan minuman berenergi, serta sama-sama "haji". Bedanya, Gonzales yang punya nama Islam; Mustafa Habibi itu berselempang sajadah seolah siap untuk menunaikan salat tarawih.
  
Bachdim dan Gonzales merupakan ikon untuk merepresentasikan kebugaran. Agar selama puasa Ramadan terus menerus tampil bugar, jangan lupa meneguk minuman suplemen itu. Kreatif iklan pun sengaja menampilkan keduanya sangat islami. Selain bersarung, mereka tak lupa dikenai peci putih. Biar pemirsa menyangka bahwa mereka sudah mencapai kesempurnaan Islam dengan berhaji. Saya tidak tahu persis, apakah Bachdim dan Gonzales sungguh-sungguh sudah pergi menunaikan haji. Kalaupun sudah bergelar haji, setidaknya kreatif iklan ingin menampilkan sosok yang religius dengan bersarung dan peci putih itu.
  
Peci putih merupakan salah satu simbol yang sering muncul di masyarakat untuk menunjukkan seseorang telah menjalankan ibadah haji. Seorang ustaz asal Cirebon bercerita, bagi sebagian masyarakat Cirebon, Jawa Barat, peci putih itu sangatlah sakral sehingga hanya layak dikenakan oleh orang yang sudah pergi haji. Bahkan ada pesantren di sana yang melarang santrinya memakai peci putih bilamana belum berangkat haji ke Mekah. Peci putih menjadi simbol kesempurnaan pengabdian hamba Allah. Warna putih merupakan lambang spiritual sebagaimana dalam tasawuf digambarkan sebagai;  takholli, tajjali dan tahalli.
  
Namun ustaz lain menjelaskan peci putih hanyalah sebuah pakaian yang tidak memiliki hubungan dengan islam atau kafirnya seseorang. Kata  ustadz itu, menggunakan peci putih hanyalah sebuah tradisi masyarakat muslim. Bahkan di Mekah saja banyak anak-anak yang belum haji sekalipun menggunakan peci haji itu. Sebaliknya banyak pula pria dewasa yang sudah berulang kali menunaikan ibadah haji tidak menggunakan peci putih.
  
Jadi, kalaupun Bachdim dan Gonzales belum naik haji maka tak ada persoalan jika Bachdim maupun Gonzales memakai peci putih dalam iklan mereka. Memang hal ini bukan untuk dipersoalkan. Saya cuma ingin melihat, betapa simbol-simbol Islam tiba-tiba bertebaran di televisi saat Ramadan. Bukan sekadar Bachdim dan Gonzales. Itu sih belum seberapa "mengejutkan". Coba perhatikan seksama, artis yang biasa berbusana sensual, pada Ramadan diupayakan tampil dengan busana muslim. Rapi dan terkesan religius. Mereka mengenakan simbol Islam semata-mata kehendak pasar, bukan kehendak nurani. Maka jangan kaget jika ada penulis yang secara garang menyatakan itulah "kepura-puraan" Ramadan yang mengejutkan pemirsa.
  
Dibahas dari sisi manapun, pura-pura itu tetap saja bermuatan negatif. Dari kaidah bahasa, secara harfiah pura-pura itu diartikan tidak sesungguhnya. Kita berpura-pura berarti kita berbuat tetapi sebenarnya tidak berniat untuk berbuat. Atau kita berpura-pura berarti kita berbuat seolah-olah. Jadi kalau berpura-pura islami, berarti berbuat seolah-olah islami, padahal tak ada niatan untuk sungguh-sungguh islami itu.
  
Kemudian kalau mau pakai semiotika, ini mirip pengertian simulasi. Mereka (yang berpura-pura) itu sekadar bersimulasi menuju citra islami! Mereka memakai topeng keislaman. Kita tak tahu persis karakter di balik topeng. Bisa saja karakter yang sebenarnya acap menerabas rambu-rambu haram. Begitulah jika mereka terobsesi pada realisme. Bila mereka ingin mengantongi kredibilitas Islam, tak pelak lagi, ia musti memiliki sifat ikonik, kemiripan yang amat sempurna, fotocopi yang “nyata” atas realitas yang sedang direpresentasikan. Ia harus pandai menyesuaikan antara ajaran sesungguhnya dan sifat ikonik itu. Tatkala masyarakat sedang berimajinasi (sebagai orang Islam yang taat), maka ia harus membuat kepalsuan yang nyata (Eco, 1987).
  
Kepalsuan adalah kedustaan. Dusta sebagai “melakukan, mengatakan, atau menulis sesuatu yang Anda tahu itu tidak benar”. Artinya, antara yang dilakukan, dikatakan atau ditulis tidak sesuai dengan realitas yang sesungguhnya. Terdapat hubungan yang tidak simetris antara tanda dan realitas.
  
Orang-orang yang berpura-pura itu selalu ada dalam Islam. Sejarah perkembangan Islam diwarnai kemunafikan. Misalnya, selepas Perang Badar yang dimenangi kaum muslim, banyak tokoh dan pembesar di Yatsrib berpura-pura memeluk Islam demi menyelamatkan warisan mereka. Di antaranya yang paling dikenal adalah Abdullah bin Ubay bin Sahul yang berpura-pura meninggalkan agamanya untuk memeluk Islam.
  
Sekarang budaya pop mempengaruhi kepura-puraan tersebut. Celaka ketika puasa dianggap budaya sehingga nilai sakralnya nyaris terhapus. Kemudian yang terjadi adalah komodifikasi Ramadan. Di sini segenap kepura-puraan itu muncul nyata ke permukaan tanpa malu lagi.  Segenap gimik pemasaran menempatkan Ramadan sebagai fokus. Nilai Ramadan seolah-olah pada transaksi bisnis, sama sekali tak menjunjung tinggi kesakralannya. Tentu saja segala kepuraan-puraan akan menghilangkan makna ritual yang sakral.
  
Jadi mulai jelas, bahwa ketika Ramadan dianggap budaya, saat itulah marak kepura-puraan. Mudah-mudahan kita tidak terseret pada kepura-puraan itu. Sungguh sia-sia jika kita menempatkan Ramadan sebagai bulan pura-pura. Ia melulu menampakkan kesalehan ritual tanpa berhasil menggapai kesalehan sosial. Bahkan ia tak memperoleh makna ritual keagamaan.
Semua berlangsung hampa, dan merekalah yang bakal memperoleh hukuman setimpal, “…Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tak dapat melihat….Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati…”(*)
Sumber : http://suar.okezone.com/read/2011/08/08/58/489260/haji-bachdim-berpuasa
Toto Suparto, esais
e-mail: puskabjogja@yahoo.com