Kamis, 30 Desember 2010

haa iki Bisa Menjadi Contoh

PARIWISATA
Belajar dari Keseriusan Malaka
Kamis, 30 Desember 2010 | 03:25 WIB
KOMPAS/ORIN BASUKI
Pemerintah Negeri Malaka (setingkat provinsi di Indonesia) di Malaysia membangun fasilitas pengatur debit air tepat di muara Sungai Malaka (pertemuan dengan Selat Malaka). Fasilitas ini memungkinkan permukaan air di sepanjang Sungai Malaka stabil sehingga 26 kapal hias (Malaka Cruise) dapat mengalir tenang memanjakan para pelancong yang mencapai 1.000 orang per hari.
 
Orin Basuki
”Target kami 10 juta wisatawan yang masuk ke Malaka,” demikian ditegaskan Ketua Menteri Malaka Datuk Seri Mohammad Ali bin Mohammad Rustam. Ini bukan omong kosong. Malaka punya modal keindahan untuk menarik wisatawan asing ke provinsi di bagian barat Semenanjung Malaysia ini.
Meski hanya sebuah provinsi, target kunjungan wisatanya melebihi target Indonesia sebagai negara. Kunci dari keberanian negara bagian ini menetapkan target adalah fokus pada kebijakan untuk mengembangkan sektor pariwisata mereka.
Lihat saja wisata di Sungai Malaka. Meski telah larut, sekitar pukul 23.00 waktu setempat, wisatawan masih dimanjakan dengan ketenangan, udara yang bersih, dan areal sekitar sungai yang ditata apik di sepanjang sungai ini.
Wisata di sungai ini tak mahal. Untuk menikmati wisata dengan 1 perahu, dari 26 perahu hias, yang disediakan Pemerintah Malaka, ongkosnya 10 ringgit Malaysia, sekitar Rp 28.000.
Dengan perahu hias, wisatawan menuju muara (pertemuan Sungai Malaka dengan Selat Malaka). Di kedua tepian sungai, berdiri bangunan tua dan baru yang tertata harmonis.
Antara bangunan rumah dan Sungai Malaka dibangun pedestrian, baik bagi pejalan maupun pengendara sepeda. Beberapa rumah penduduk telah disulap menjadi kafe, tempat wisatawan beristirahat.
Di beberapa bagian, di tepian sungai, tumbuh pepohonan, antara lain pohon buah Malaka. Di sisi lain sungai, Pemerintah Malaka membiarkan bakau tumbuh subur dan rapat. Area ini untuk habitat biawak, yang dibiarkan hidup bebas di sana.
Sepanjang perjalanan menyusuri sungai, suasana terang oleh kerlap-kerlip lampu, siang ataupun malam. Semua bangunan di sepanjang tepian sungai dipasangi lampu warna-warni, yang dinyalakan sepanjang hari. Pemerintah Malaka yang menanggung biaya listriknya.
Sesekali, perahu berada di bawah jembatan tua, yang dijaga keasliannya. Mirip Puente de Rialto di Venesia dalam ukuran lebih kecil.

Komitmen semua orang
Untuk membuat Sungai Malaka elok, Pemerintah Malaka menginvestasikan 370 juta ringgit Malaysia, atau Rp 1,11 triliun, untuk masa enam tahun.
”Dulu, perahu nelayan bisa keluar masuk sungai. Sekarang kami larang, dipindahkan ke bagian lain. Dulu, penduduk di tepi sungai leluasa membuang limbah rumah tangga, sekarang harus disaring dulu. Dulu, sungai ini tidak memiliki pengatur debit air, sekarang ada, sehingga kedalaman air tetap sama sepanjang hari. Kami bangun ini dengan komitmen semua orang,” kata Sekretaris Pemerintah Daerah Malaka Ramlee.
Upaya itu tak sia-sia. Kini, pendapatan Pemerintah Malaka dari penjualan tiket Malaka Cruise 10.000 ringgit Malaysia per hari, atau sekitar Rp 30 juta.
Keuntungan tidak hanya itu, dengan mengikuti wisata Malaka Cruise, pelancong melihat etalase wisata yang ada di Malaka. Dari pandangan pertama itu, pelancong diharapkan akan tinggal lebih lama.
Malaka dapat dicapai dari Dumai, Riau, menggunakan kapal cepat sekitar dua jam. Malaka bisa juga diakses dari Kuala Lumpur menggunakan bus dengan harga tiket 11 ringgit Malaysia, sekitar Rp 33.000. Bisa juga dari Singapura dan Johor dengan tiket bus 22 ringgit Malaysia, setara Rp 66.000.
Bus-bus ini sangat jarang ada di Indonesia. Semidouble decker, bersih, nyaman, dengan pelayanan maksimal, dan diberangkatkan setiap 30 menit sekali. Berapa pun jumlah penumpangnya, bus tetap berangkat sesuai jadwal. Jika tidak berminat naik bus, bisa dengan taksi.
Perjalanan Malaka-Kuala Lumpur ditempuh dua jam. Adapun jika dari Singapura empat jam. Semua perjalanan melintasi jalan bebas hambatan.
”Pelancong yang menetap di salah satu hotel di Malaka bisa ke Singapura pulang pergi, tak perlu khawatir kemalaman karena jaraknya dekat,” ujar Pak Mah, pengusaha penyewaan mobil.
Dengan semua kemudahan itu, Malaysia sudah siap menyedot pelancong asal Indonesia sebanyak-banyaknya. Bayangkan jika Malaysia dan Indonesia terhubung melalui darat.
Pemerintah Malaka antusias membangun jembatan untuk menghubungkan RI dan Malaysia, yaitu Jembatan Selat Malaka. Bahkan, Pemerintah Malaka sudah membentuk perusahaan untuk mewujudkan jembatan itu, yaitu Strait of Malacca Partner Sdn Bhd. Jembatan Selat Malaka dirancang untuk menghubungkan Malaka dengan Pulau Rupat Dumai, Riau.
Investasi untuk membangun jembatan itu diperkirakan 12 miliar dollar AS, atau sekitar Rp 108 triliun. Pembangunan jembatan menunggu izin dari Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Federal Malaysia.

Serius
Indonesia harus serius menyikapi rencana ini. Faktanya, infrastruktur di Dumai, Riau, dan sebagian besar Sumatera tertinggal dibandingkan Malaysia.
Perjalanan Dumai-Pekanbaru memang ditempuh empat jam, tetapi situasinya jauh dibandingkan Malaka-Singapura atau Malaka-Kuala Lumpur.
Jalan Dumai-Pekanbaru relatif sempit dan harus berbagi dengan truk pengangkut kelapa sawit, tangki minyak kelapa sawit mentah (CPO), atau truk pengangkut kayu akasia (bahan baku industri pulp dan kertas).
Sementara angkutan umum, hanya bus dengan fasilitas yang minim dan jam keberangkatannya tak terjadwal dengan baik.
”Jalan itu kelas tiga, hanya mampu menahan beban tidak lebih dari 10 ton per truk. Namun, sekitar 1.000 truk dengan muatan 10-15 ton setiap hari melintasi jalan Pekanbaru-Dumai. Hanya satu solusi, naikkan kualitas jalan ke kelas satu,” kata Gubernur Riau Rusli Zaenal.
Apabila soal jalan terselesaikan, beberapa tujuan wisata bisa terhubungkan. Riau punya tujuan wisata yang tidak kalah dengan Malaka. Istana Siak Sri Indrapura, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Taman Nasional Tesso Nelo, serta kekayaan kuliner yang tersebar di beberapa kota. Namun, semua itu ”terkubur” karena infrastruktur jalan menyedihkan.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/12/30/03251928/belajar.dari.keseriusan.malaka

haa iki Wisata Bahaya atau Wisata Alam?

Berkah Wisata Bencana
Kamis, 30 Desember 2010 | 03:27 WIB
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
 
 
Sejumlah wisatawan nekat melintasi material vulkanik sisa erupsi Merapi, yang masih mengepulkan asap panas dan bau belerang, untuk melihat kondisi Kali Gendol di Desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Rabu (29/12). Hampir dua bulan berlalu sejak erupsi besar Merapi, material vulkanik yang menutup Kali Gendol masih panas dan terkadang menimbulkan letupan gas belerang yang bisa membahayakan wisatawan.
Yogyakarta, Kompas - Libur panjang menjelang akhir tahun membawa berkah bagi korban bencana Gunung Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat dari berbagai tempat memadati kawasan yang tertimbun awan panas saat erupsi terjadi untuk berwisata.
Masyarakat pun mendirikan lapak dan berdagang makanan hampir di semua ruas jalan desa-desa di kawasan yang tertimbun awan panas di lereng Merapi, Rabu (29/12). Mereka beruntung karena pengunjung ramai sehingga mendapatkan omzet lumayan.
Pandi (54), warga Dusun Batur, Kepuharjo, Yogyakarta, bersama kerabatnya, Barli, mendirikan lapak di tepi Kali Gendol. Lapaknya masuk Dusun Kepuh, yang tertimbun material vulkanik 3-5 meter,
Sementara pedagang lain membuka lapak di tepi Kali Kuning dan Kali Boyong. Ketiga sungai berhulu di Gunung Merapi itu berisi material vulkanik.
Menuk (27), warga Dusun Pagerjurang, Kepuharjo, membuka lapak sepekan lalu dengan modal Rp 300.000. Ia sebelumnya bekerja di peternakan ayam di dusunnya, yang telah tutup karena tertimbun material vulkanik. Rumah Menuk juga tertimbun.
Bisnis perhotelan di Yogyakarta ternyata masih lesu. Kamar hotel berbintang rata-rata baru terisi 60 persen dan kamar hotel melati sekitar 40 persen.
”Kondisinya jauh lebih buruk dari tahun 2009. Tahun lalu, sejak 23 Desember, pemesanan kamar di hotel berbintang sudah 90 persen, sedangkan hotel melati sekitar 80 persen,” kata Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yogyakarta Deddy Pranowo Eryono.
Para pengelola hotel pun melakukan promosi, seperti potongan harga sampai 20 persen di hotel melati dan paket wisata ”Jogja Recovery” di hotel berbintang senilai Rp 800.000. Turis mendapat tur sehari ke Candi Borobudur dan Gunung Merapi serta menginap di hotel berbintang empat selama tiga hari dua malam.
Menurut Ketua Asosiasi Biro Perjalanan Wisata (Asita) DIY Edwin Ismedi Himna, arus kunjungan wisatawan setelah erupsi Merapi belum pulih benar. ”Desember memang lumayan, terutama dari liburan anak-anak sekolah,” ujarnya.
Asita DIY akan merancang paket wisata yang lebih murah dari ”Jogja Recovery”.
”Untuk menginap kami alihkan ke hotel bintang tiga sehingga lebih murah. Saat ini banyak hotel bintang III ke bawah yang minta dibuatkan paket wisata,” kata Edwin.
Kelesuan bisnis pariwisata juga dialami pelaku usaha di kawasan Gunung Bromo, Probolinggo, Jawa Timur.
Manajer Hotel Sukapura Permai di Kecamatan Sukapura, Probolinggo, Jawa Timur, M Taqrib, mengatakan bahwa tingkat hunian hotel yang ia kelola turun drastis menjelang datangnya tahun 2011. Dari 30 kamar di hotel tersebut, tidak sampai 10 kamar diisi tamu. Biasanya, dalam situasi normal, seluruh kamar hotel akan terisi penuh pengunjung seminggu sebelum dan sesudah pergantian tahun.
Banyak turis membatalkan pemesanan kamar sehingga banyak pemilik penginapan yang memilih tutup sementara.
”Mereka tidak mau mengambil risiko jika sewaktu-waktu Gunung Bromo membahayakan wisatawan,” kata Taqrib.
Menurut pemilik penyewaan jip, Andik Setyawan (29), tahun ini merupakan kondisi terburuk selama kurun 16 tahun.
Biasanya, Andik bisa mengantongi pendapatan kotor sedikitnya Rp 1 juta dengan mengantar turis yang ingin menyaksikan pergantian tahun di puncak gunung Bromo.

Hindari malam hari
Di Bandung, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Surono mengatakan, sebagian besar gunung berapi masih aman untuk dikunjungi saat malam pergantian tahun. Namun, pengunjung diharapkan mematuhi anjuran para pengawas gunung api.
”Mayoritas gunung api masih aman dikunjungi. Namun, tetap harus waspada untuk berjaga-jaga munculnya peningkatan status secara tiba-tiba,” ujarnya.
Wisatawan sebaiknya tidak mendekati kawah dalam radius 2,5 kilometer-3 kilometer karena berbahaya. Pengunjung juga dilarang mendekati kawah pada malam hari demi menghindari gas beracun. ”Jika ada upacara keagamaan sebaiknya berkoordinasi dengan petugas,” katanya. (pra/ENY/CHE/APO)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/12/30/03272437/berkah.wisata.bencana

haa iki Gatholoco

WARISAN BUDAYA
Gatholoco di Tepi Zaman
Kamis, 30 Desember 2010 | 08:05 WIB
 
Sebagai suluk karya sastra Jawa Klasik, Gatholoco kurang dikenal. Masyarakat Jawa lebih mudah mengasosiasikan Gatholoco sebagai bentuk ajaran ilmu sejati Islam-Kejawen. Padahal, sebagai karya budaya, seni Gatholoco mengandung pesan-pesan moral luhur.
Namun, seiring perkembangan zaman, Gatholoco tergerus. Para pelaku seninya pun tersudut ke ruang zaman.
Hal itu pula yang kini dialami grup kesenian Gatholoco Pitutur Madyo Dusun Ngrantunan, Desa Sonorejo, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Meskipun masih aktif, nyaris dalam setahun hanya sekali-dua kali ditanggap. Memang, dalam sebulan mereka kadang masih tampil, tapi itu hanya latihan rutin di rumah ketua kelompok seni ini, Midin (60).
”Kalau dibanding seni-seni sekarang, memang Gatholoco sudah tak ada ramainya. Kami bertahan sekadar untuk melestarikan warisan leluhur kami,” kata Midin usai tampil di pentas seni di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Magelang, pekan lalu.
Bagi warga Magelang berusia di atas 50 tahun, sesungguhnya Gatholoco Pitutur Madyo bukan seni asing. Pada era 1950-an hingga awal 1980- kesenian ini sangat populer mengisi acara-acara hajatan warga. Dengan baju ala militer keraton, berkacamata hitam, dan gerakan tari pelan, Gatholoco mudah dikenali dan dianggap trendy bagi warga setempat di era sebelum televisi begitu mendominasi.
”Dulu, saat Gatholoco ini masih dipegang leluhur saya dan awal-awal saya mengelolanya sekitar tahun 1970-an, sebulan sekali selalu ada yang mengundang. Bahkan, terkadang sebulan empat kali,” kata Midin.
Gatholoco Pitutur Madyo adalah perpaduan seni musik dan tari. Ada 12 penari yang umumnya adalah pria. Dengan baju khas militer keraton Jawa, berselempang, bertanda pangkat, dengan dominasi warna merah dan putih; mereka menarikan gerakan tari yang sesungguhnya amat sederhana. Formasi sejajar satu-satu memanjang dan entakan kaki beritme pelan mendominasi.
Namun, kekuatan seni ini sesungguhnya justru pada musik dan teks syair yang dibawakan pengiring di belakang para penari. Menurut Midin, lagu-lagu Gatholoco Pitutur Madyo berupa nasihat-nasihat dan perhitungan Jawa terkait ritual membangun rumah, selamatan untuk orang yang meninggal, upacara kelahiran, dan nasihat-nasihat kesehariannya.
Lagu itu dinyanyikan satu penyanyi didampingi dua orang penyenggak atau semacam vokal latar. Alat musik yang dimainkan pun sederhana, tiga rebana, satu kendang, dan satu gong.
”Kalau dilihat dari ciri vokalnya, baju, tarian, dan juga alat musiknya, Gatholoco ini perpaduan Jawa, Arab, bahkan Asia Tengah. Ada unsur sufisme yang dibangun,” ujar budayawan Magelang, Sutanto Mendut.
Sesungguhnya, sebagai suluk sastra, Gatholoco bermacam-macam. Di daerah-daerah tertentu, teks Gatholoco cenderung lepas dari unsur moral, bahkan tak jarang bertutur mengenai seksualitas pria-wanita. Ada pula yang memadukan Gatholoco dengan ajaran agama Islam. Di Magelang, Gatholoco lebih dikenal sebagai seni tutur perhitungan Jawa.
”Tapi perkembangan zaman memang sulit dilawan. Tuntutan hiburan masyarakat terus berubah. Itu salah satu yang membuat Gatholoco semakin ditinggal. Tapi, bukan berarti tak ada kesempatan untuk berkembang kembali asalkan dikemas lebih menarik,” ujar dosen Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Joko Aswoyo. (M Burhanudin)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/12/30/08055387/gatholoco.di.tepi.zaman

haa iki Merah Putih Di Aconcagua

Merah-Putih Berkibar di Puncak Aconcagua...
Kamis, 30 Desember 2010 | 04:12 WIB
WANADRI/MARTIN RIMBAWAN
 
 
Tiga pendaki tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia, Ardeshir Yaftebbi (kiri bawah), Fajri Al Luthfi, dan Martin Rimbawan, mengibarkan Merah-Putih di puncak Aconcagua (6.962 meter di atas permukaan laut), Argentina, Senin (27/12) sekitar pukul 15.15 waktu setempat atau Selasa dini hari WIB. Mereka tiba di puncak ditemani pemandu dari Aymara, Andres Girotti, setelah menempuh hampir sepuluh jam perjalanan melewati medan terjal bersalju. Aconcagua merupakan puncak keempat yang berhasil dicapai tim dari tujuh puncak tertinggi di dunia.
Setelah hampir 10 jam berjibaku dengan medan terjal bersalju, hawa dingin, dan tipisnya oksigen, tiga pendaki tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia akhirnya berhasil menjejakkan kaki dan mengibarkan Merah-Putih di puncak Aconcagua (6.962 meter di atas permukaan laut), Argentina, yang menjadi titik tertinggi di daratan Amerika Selatan, Senin (27/12) sekitar pukul 15.15 waktu setempat. Tangis haru pun mewarnai kedatangan mereka saat kembali ke kamp.
Ketiga pendaki tersebut adalah Ardeshir Yaftebbi, Fajri Al Luthfi, dan Martin Rimbawan. ”Kami hanya sekitar 15 menit di puncak. Setelah ambil foto, langsung turun,” kata Ardeshir, yang menjadi ketua pendakian, begitu turun dari puncak. Dari sembilan anggota tim yang mencoba menggapai puncak dari kamp terakhir, mereka bertigalah yang akhirnya mampu mengibarkan Merah-Putih.
Jika tidak didukung faktor mental dan cuaca yang baik, pencapaian ke puncak ini nyaris tidak berhasil karena ketiganya juga didera kelelahan fisik yang luar biasa. Bahkan, Martin saat turun dari puncak harus diikatkan tali oleh pemandu karena kondisi fisiknya drop. ”Badan saya lemas sekali, kalau tidak diikat saya bisa jatuh,” ucap Martin yang mengaku pendakian ini merupakan yang terberat dibandingkan puncak-puncak sebelumnya.
Sembilan anggota tim yang terdiri atas enam pendaki, manajer tim, wartawan Kompas, dan wartawan Metro TV memulai pendakian dari kamp terakhir tempat tim menginap di Camp Cholera (5.900 mdpl), saat hari masih gelap dan beku, atau sekitar pukul 05.30 waktu setempat. Pada musim panas di Argentina, matahari baru terbit pukul 06.41 dan tenggelam pukul 21.08.
Seluruh anggota tim didampingi tiga pemandu dari Aymara selama perjalanan ke puncak yang jadwalnya dimajukan sehari karena pertimbangan perkiraan cuaca. Pendakian ke Aconcagua ini dimulai pada 18 Desember lalu melalui rute normal yang diikuti 10 orang, tetapi salah satu dari dua wartawan Metro TV yang ikut serta harus tinggal di kamp utama Plaza de Mulas karena alasan kesehatan.
Ketika pendakian menuju puncak dari kamp terakhir baru beberapa puluh meter, Gina Afriani yang merupakan satu-satunya pendaki perempuan dalam tim tiba-tiba jatuh tersungkur dan muntah darah. Akhirnya, ia ditemani manajer tim, Yoppi Rikson, turun kembali ke kamp utama Plaza de Mulas (4.300 mdpl).
Dengan anggota tim yang tersisa dan pemandu, perjalanan terus berlanjut dengan medan berbatu yang cukup terjal. Tim sempat beristirahat di Refugio Independencia (6.400 mdpl), sebuah pondok kecil yang atapnya rusak, tempat jasad Didiek Samsu, pendaki dari Mapala UI, ditemukan meninggal pada akhir Maret 1992. Tak lama, hujan salju pun mengiringi perjalanan tim.
Lewat dari Independencia atau sekitar ketinggian 6.500 mdpl, saya yang berjalan perlahan di belakang tim akhirnya dihampiri salah satu pemandu, Juan Manuel Tillard yang akrab disapa dengan Kwanci, yang berkata, ”Kamu kelihatan sudah sangat lelah, sebaiknya turun kembali ke kamp dengan saya.” Perjalanan saat itu sudah lebih dari lima jam.
Dengan kondisi fisik yang sudah sangat lelah dan sulit bernapas akibat efek ketinggian, saya kemudian mengikuti Juan tanpa banyak membantah.
Hujan salju yang masih mengguyur Aconcagua membuat medan bebatuan tertutup hingga sekitar 30 sentimeter dan perjalanan turun ke kamp Cholera hanya dapat dipandu oleh alat GPS (global positioning system). Tampak beberapa grup yang mencoba ke puncak akhirnya juga turun.
Selang beberapa jam kemudian, saat tim melewati medan terjal bersalju yang bernama Canaleta atau pada ketinggian 6.800 mdpl, tiga orang lagi, yaitu Nurhuda, Iwan Irawan, dan wartawan Metro TV Popo Nurakhman, akhirnya juga harus turun ditemani seorang pemandu.

Percobaan kedua
Dengan hanya tiga pendaki yang tiba di puncak, Manajer Tim sekaligus Ketua Harian Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia Yoppi Rikson Saragih merencanakan percobaan pendakian kedua bagi mereka yang gagal mencapai puncak. Dengan berbagai pertimbangan, yang diputuskan untuk kembali mendaki adalah Gina Afriani, Iwan Irawan, Nurhuda, dan Popo Nurakhman.
Percobaan kedua menuju puncak direncanakan pada tanggal 1 Januari 2011. Keputusan waktu pendakian didasarkan pada perkiraan waktu cuaca yang baik ditambah waktu pemulihan anggota tim.
Meskipun ekspedisi dinyatakan berhasil, Yoppi Rikson mengatakan, percobaan kedua ini ditujukan agar enam pendaki dari tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia dapat menapakkan kaki di puncak Aconcagua dan menjadi seven summiter Indonesia.
Selain tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia, terdapat tim dari Mahitala Universitas Parahyangan yang berencana mendaki puncak Aconcagua pada awal Januari 2011 melalui jalur Gletser Polandia (Polish Glacier). Mereka juga dalam misi pendakian tujuh puncak tertinggi dunia. (Harry Susilo/*/ush)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/12/30/04120183/merah-putih..berkibar.di.puncak.aconcagua...

Jumat, 24 Desember 2010

haa iki Sebuah Totalitas Kepedulian

Ulrike von Mengden
Acar Kol untuk Orangutan
Jumat, 24 Desember 2010 | 03:28 WIB

Soren Kittel

Setiap sore, ketika Ulrike von Mengden pulang ke rumahnya, setelah berkeliling Kebun Binatang Ragunan, Jakarta, seekor orangutan menyambutnya. Makhluk berbulu coklat kemerahan itu mengangkat tangan, menghampirinya perlahan-lahan, dan menyentuh lengannya dengan halus. Ia berciut tertahan. Itu suara tanda dia sedang senang. Binatang itu menjabat tangan Ulrike dengan lembut, seakan tahu harus berhati-hati dengan wanita berusia 90 tahun yang terlihat renta itu.
Ulrike von Mengden membelai pipi si orangutan, dan orangutan itu membalas belaiannya. ”Kita harus menghadapi dalam posisi sama tinggi dan tidak boleh bersikap dominan,” ujarnya. Ibu Ulla—demikian panggilannya—kemudian menyenandungkan lagu karangannya untuk si orangutan, Liebeliebelei, Liebeliebelei.
Penyandang gelar bangsawan Jerman ”Freifrau” itu adalah penjaga tidak resmi orangutan di KB Ragunan. Ya, tidak resmi karena wanita kelahiran Prussia itu tidak mendapat bayaran dari siapa pun. Dia sudah lebih dari 40 tahun tinggal di tengah-tengah Ragunan, di sebuah rumah yang tampak mencolok di tengah kehijauan hutan rimba.
Kusen pintu dan jendelanya bercat merah. Selain para pembantu dan penjaga malam, tidak ada orang yang boleh tinggal di rumah tersebut. Janda seorang diplomat Jerman ini memang sudah mengabdikan hidupnya untuk mengurus para orangutan, yang secara konsekuen disebutnya sebagai ”leluhur manusia”.
Ibu Ulla seakan menjadi ibu bagi ke-38 orangutan asuhannya. Ia memberi makan orangutan minimal dua kali sehari; mengawasi pemeliharaannya; mengontrol renovasi kandang; dan menyuruh para pembantunya memelihara kandang.
Pukul 09.00 Ibu Ulla mulai berkeliling. Ia menyapa setiap hewan, memberi belaian, membagikan buah-buahan dan sayur-sayuran. ”Kecuali pisang enggak. Pisang selalu mereka lempar kembali,” ujarnya.
Dia menyapa semuanya, mulai dari Ratna yang asal Sumatera, lalu beralih ke Saima yang suka bersembunyi dari pengunjung. Nama-nama orangutan itu diberikan terkait dengan peristiwa yang terjadi seputar kelahiran mereka. Misalnya, Pascal lahir pada hari Paskah, Imlek pada Tahun Baru China, dan Vulkana ketika pemberitaan di Eropa sedang didominasi oleh awan debu vulkanik. Atau si Obama, yang lahir pada hari pelantikan Presiden AS itu.
Cuma di kandang Budi, Ibu Ulla sengaja menjaga jarak. ”Dia agak aneh,” ujarnya. Kera besar itu mengguncang-guncangkan kerangkengnya dan terus meludah. Ibu Ulla menghela napas panjang. Ia lebih suka melihat Budi di alam bebas di Kalimantan.

Tidak peduli ”leluhur”
Walaupun demikian, dia selalu harus berhati-hati. Tenaga orangutan tujuh kali lipat tenaga manusia. Makanya Ibu Ulla harus sangat berhati-hati saat berkeliling menyapa para anak asuhnya. Sepuluh tahun lalu, kakinya ditarik seekor orangutan dari balik pintu kandang. Alhasil, kakinya terkilir dan bahunya membengkak. Pernah pula kakinya patah karena terpeleset di jalan yang licin setelah hujan. ”Bisa saja kaki saya patah dua-duanya sekaligus,” ujarnya.
Namun, dia tidak pernah merasa kesal kepada hewan-hewan asuhannya. Orangutan itu pernah menjatuhkan semua buku-buku dari rak ke lantai, makan krem pelembut kulit, atau membuat berantakan seisi rumahnya.
Kedekatannya dengan orangutan meyakinkan Ibu Ulla bahwa metabolisme orangutan sangat mirip dengan metabolisme manusia. Beberapa tahun lalu, si Budi dan si Sukarna terserang parasit strongyloides. Mereka mengalami diare. Ibu Ulla teringat obat yang manjur untuk mengobati gangguan perut dari masa kecilnya di Prussia Timur: acar kol yang dirajang.
Budi diberi makanan tradisional Jerman itu, sedangkan Sukarna tidak. Wanita yang sempat belajar menjadi asisten teknik medis ini pun menjadi ilmuwan kera dan berhasil. Pada kelompok acar kol, penyakit itu menghilang dan tidak kambuh lagi. Sejak itu, ”obat” tersebut juga digunakan di pos perawatan orangutan lainnya.
Atas dedikasinya dalam mengurus hewan-hewan itu, Ibu Ulla dianugerahi tanda jasa Bundesverdienstkreuz kelas satu dari Pemerintah Jerman. Selain itu, dia juga telah memperoleh berbagai penghargaan lingkungan. Di pintu masuk KB Ragunan, terdapat patung perunggu dirinya. Namun, dia tidak menyukai patung tersebut karena tidak ingin dikultuskan seperti seorang kaisar. Ia akan lebih senang seandainya orang Indonesia akhirnya mengembangkan rasa sayang binatang seperti yang menahannya di Jakarta sejak 60 tahun lalu.
”Sayangnya orang Indonesia masih kurang peduli kepada leluhur mereka yang berharga,” ujarnya. Ulrike menyesalkan, di Jakarta ini semuanya seakan-akan harus berhubungan dengan uang. Sudah berulang kali ia mencoba mengalihkan hewan-hewan itu kepada berbagai organisasi perlindungan hewan. Tetapi, langkah yang dahulu jauh lebih mudah kini tiba-tiba selalu terkait dengan pembayaran uang dalam jumlah besar. Itu pun tidak selalu jelas untuk apa sesungguhnya uang yang ia bayarkan. Ia yang kenal Indonesia dengan baik, tidak memungkiri korupsi merupakan bagian dari negeri ini.
Sejak dulu, para pemikir besar dan politisi ulung pun biasa bertandang ke rumahnya. ”Soekarno orang yang sangat karismatik,” komentarnya. Nama presiden pertama itu dipinjam untuk nama bayi kera Sukarna. ”Bila Soekarno berbicara, semua orang mendengarkannya, mirip dengan Obama sekarang ini,” kenangnya. Selain Soekarno, presiden yang memahami bahasa Jerman dan pernah berjumpa dengannya adalah BJ Habibie dan KH Abdurrahman Wahid. Mereka bisa berkomunikasi dalam bahasa Jerman.
Jika ia berbicara tentang politik, suaranya bisa mendadak lantang. Tubuhnya yang mungil akan membungkuk, seakan-akan ia hendak menggebrak meja. Namun, lengannya tak lagi memiliki tenaga yang diperlukan untuk itu. ”Rasa gusar membuat saya tetap sehat,” katanya. Andai kata ia terbiasa memendam kemarahan, ia sudah lama terserang kanker, karena itu semuanya harus langsung diungkapkan. Tetapi ia tidak sering marah. ”Saya hanya dikelilingi oleh orangutan yang baik hati,” kata Ibu Ulla.
Tahun depan, Ibu Ulla mau ”pensiun” atau berhenti dari tugasnya mengasuh orangutan di KB Ragunan. Hingga kini belum ada orang yang mau mengambil alih pekerjaannya itu.

Soren Kittel,Wartawan Die Welt, Peserta Program Goethe Institut Magang di Kompas
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/12/24/03284514/acar.kol.untuk.orangutan

haa iki Usaha Yang Berhasil

Dari Pemasok, Kini Punya Merek Sendiri
Kamis, 23 Desember 2010 | 22:07 WIB
 
KOMPAS.com - Kelihaian Yayat Hidayat berinovasi membuatnya sukses menghidupkan bisnis sandal gunung yang hampir mati. Kini, dengan membuat sandal outdoor aneka warna dengan merek Sabertooth, ia berhasil meraup sukses di bisnis sandal gunung.
Kesuksesan usaha seseorang terkadang tidak datang dari sesuatu yang ia sukai. Tapi, dengan kemauan belajar yang besar, orang bisa saja menjadi berhasil.
Yayat Hidayat telah membuktikannya. Meski awalnya tak menggemari dunia kerajinan sandal, kini, ia justru sukses menjadi pengusaha sandal dengan merek Sabertooth.
Oke, mungkin, sebagian orang masih asing dengan merek Sabertooth. Tapi, jika menyebut nama Sandal Dody, barangkali, Anda yang cukup lama tinggal di Bandung bakal mengenalnya. Sebab, merek sandal ini sudah ada sejak 1980 dan sempat menjadi produk wajib para pecinta alam. Nah, Sabertooth merupakan nama baru Sandal Dody sejak tahun 2010.
Yayat bukanlah pemilik dan pencipta merek Sandal Dody yang kini bernama Sabertooth. Pemilik merek ini adalah Doddy Kasoem, pengusaha di Bandung yang juga memiliki bisnis peralatan outdoor dengan merek Jayagiri. Yayat merupakan orang di balik dua merek itu. “Saya adalah perajin yang memasok sandal,” ujar pria 34 tahun ini.
Kisah Yayat membuat sandal berawal selepas ia kuliah di Jurusan Teknik Mesin Universitas Pasundan, Bandung. Kebetulan, Yayat dan Doddy sama-sama aktif di sebuah masjid. Pada tahun 2002, jalinan kerjasama semakin kuat saat Doddy memintanya jadi pemasok sandal.
Meski tawaran itu menarik, usaha untuk mewujudkannya tidak semudah yang dibayangkan. Sebab, Yayat tidak tahu-menahu soal bisnis sandal, apalagi membuatnya. Saat itu, minat utamanya adalah dunia otomotif. Beruntung, sang ayah yang merupakan salah satu perajin sepatu di daearah Parakan Saat, Bandung, mau mengajarinya membuat sandal.
Pertama kali Yayat memasok Sandal Dody pada tahun 2004 atau baru dua tahun kemudian sejak dia diminta Doddy membuat sandal. “Saya belajar dulu, dan berulang kali desain saya ditolak,” tuturnya.
Setelah berhasil memenuhi pesanan pertama, selanjutnya, Yayat rutin memasok 500 pasang sandal tiap bulan. Harga sepasang sandal saat itu sekitar Rp 30.000. Saat itu, outlet Sandal Dody di Bandung tersisa tiga. Sebelumnya, Sandal Dody memiliki belasan outlet yang tersebar sampai ke Sumatra.
Suatu kali pada tahun 2008, Doddy menyatakan ingin fokus menggarap produk outdoor dengan merek Jayagiri. Lantaran jalinan kerjasama dengan Yayat sudah cukup dekat dan seperti keluarga, Doddy lantas menyerahkan merek Sandal Dody kepada Yayat.
Inovasi produk Hingga tahun 2009, Yayat bertahan dengan membuat sandal bermerek Sandal Dody. Namun, lama kelamaan, ia merasakan bahwa usahanya tidak tambah maju.
Akhirnya, setelah membaca minat pasar, sejak awal 2010, Yayat membuat sandal outdoor dengan aneka warna. “Bisa dibilang, ini adalah sandal outdoor pertama yang berani menggunakan aneka warna,” ujar bapak tiga anak ini. Tak hanya membenahi desain, ia juga merombak merek dagangnya menjadi Sabertooth.
Menyadari luasnya pasar di dunia maya, Yayat lantas menawarkan sandal buatannya lewat sejumlah situs jejaring sosial dan membuat website. Modal awalnya kala itu sebesar Rp 10 juta yang ia ambil dari tabungan. Pada Februari 2010, ia mendapat suntikan modal dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII sebesar Rp 20 juta.
Tak disangka, inovasi produk berupa sandal outdoor aneka warna itu mendapat sambutan hangat di pasar. Sejak diluncurkan pada April 2010, setiap bulan, Yayat bisa memproduksi 2.500–4.000 pasang sandal. Di luar merek sendiri, ia mengaku tiap bulan juga memasok sandal ke dua merek lain. Jumlahnya mencapai 300 pasang.
Dari produksi sebanyak itu, 70 persen di antaranya adalah sandal outdoor dengan aneka warna. Sisanya adalah sandal outdoor warna hitam seperti yang kebanyakan beredar di pasar. Dengan harga sandal Rp 70.000– Rp 85.000 per pasang, tiap bulan, Yayat bisa menangguk omzet ratusan juta rupiah.
Model pemasaran dengan menggunakan jalur dunia maya ternyata juga mampu menjerat pembeli asal Malaysia. Melalui pedagang perantara, Yayat mendapat pesanan membuat 6.500 pasang sandal. Paling lambat, awal tahun depan, pesanan sudah harus dikirim ke negeri jiran tersebut.
Menghadapi permintaan yang semakin banyak, Yayat mulai memperluas kapasitas produksi. Ia tidak kesulitan melakukannya lantaran kembali mendapatkan dana bantuan dari PTPN VIII sebesar Rp 150 juta pada Agustus 2010.

Respons positif dari pasar mancanegara itu kian mengibarkan rasa optimistis Yayat. Tahun depan, dia bersiap melebarkan sayap dengan menambah rekanan bisnis lewat sistem konsinyasi. Ia berniat melebarkan sayap bisnis ke Singapura dan Brunei Darussalam.
Tak tanggung-tanggung, tahun depan, ia menargetkan bisa memasarkan sandal Sabertooth ke 100 toko. (Kontan/ Anastasia Lilin Y)
Sumber : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/12/23/22070664/Dari.Pemasok..Kini.Punya.Merek.Sendiri-8

haa iki Bagaimana Masa Depan Mereka?

32 Ribu Anak Indonesia Bermasalah di Malaysia

Jum'at, 24 Desember 2010 - 07:00 wib
Muhammad Saifullah - Okezone
ILustrasi. Dua siswi SD di areal perkebunan sawit Desa Bah Kerapu, Serdang Bedagai (Foto: Koran SI)
JAKARTA - Komisi Nasional Anak mengungkapkan data yang mencengangkan. Sebanyak 32 ribu anak Indonesia bermasalah di Malaysia. Mereka adalah anak para TKI ilegal yang mayoritas bekerja di sektor perkebunan di wilayah pedalaman.

“Mereka tersebar di Kinabalu, Serawak, Tawau, dan beberapa daerah lain di Malaysia,” ungkap Ketua Komnas Anak Arist Merdeka Sirait kepada okezone di Jakarta, Jumat (24/12/2010). “Kami sudah merekomendasikan ke pemerintah untuk mengurus mereka tapi tak digubris.”

Persoalan yang dihadapi ribuan anak Indonesia itu, kata Arist, adalah ketidakjelasan status. Sebab mereka lahir dari orangtua yang tidak memiliki legalitas pernikahan. Sehingga anak-anak malang tersebut tidak bisa dibuatkan akta lahir. Status kewarganegaan mereka pun kemudian menjadi tidak jelas.

“Orantua mereka adalah TKI ilegal, lalu bertemu pasangan TKW ilegal pula. Di sana kan tidak ada KUA,” terangnya.

Situasi di atas membuat anak-anak Indonesia tersebut tidak mendapatkan fasilitas pendidikan dan kesehatan memadai. Pemerintah Malaysia juga abai karena status anak-anak tersebut tidak jelas.

“Sehingga mereka rentan dieksploitasi secara ekonomi, lama-kelamaan mereka bisa jadi seperti budak, tenaga kerja murah karena tak punya identitas dan tidak bisa keluar dari daerahnya,” ujarnya.

Arist menyesalkan kondisi ini karena para pejabat Indonesia sudah mengetahui nasib anak-anak tersebut tapi tidak memberikan solusi konkret. Berulangkali para pejabat Indonesia berkunjung tempat para anak tersebut terlantar, namun aspirasi mereka tetap tak didengar.

“Komnas sendiri sudah dua kali ke sana dan memberikan rekomendasi pemutihan akte lahir massal, tapi rekomendasi kami tak didengar. Tolong pemerintah jangan hanya menekankan pada aspek formalitas saja,” tandasnya.(ful)
Sumber : http://news.okezone.com/read/2010/12/24/337/406706/32-ribu-anak-indonesia-bermasalah-di-malaysia

Selasa, 21 Desember 2010

haa iki Riset & Pendidikan

Inilah Curahan Hati Ilmuwan yang Melarikan Diri
Headline
Dr. Irwandi Jaswir - Foto:Istimewa
Oleh: Ellyzar Zachra PB
 
Nasional - Selasa, 21 Desember 2010 | 07:32 WIB
INILAH.COM, Jakarta- Kendati mencari nafkah di luar negeri, bukan berarti ilmuwan ini tidak cinta tanah air. Penggondol berbagai gelar ini mengaku masih menjunjung tinggi nasionalisme, meski kecewa karena merasa kurang dihargai di tanah leluhurnya.

Dr. Irwandi Jaswir, associate professor di Departemen Teknik Bioteknologi, International Islamic University Malaysia (IIUM), adalah salah satu warga Indonesia yang lebih memilih mengembangkan ilmu pengetahuan di Kuala Lumpur, Malaysia.
”Saya mencari kondisi yang nyaman untuk beraktivitas, khususnya ketika mengembangkan riset dan mengajar. Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bahwa keinginan untuk riset tidak terlalu besar dan belum terfasilitasi dengan baik,”katanya.
Setelah lulus dari Institut Pertanian Bogor di bidang teknologi pangan pada 1993, ia sudah mempublikasikan riset dari negara tetangga. Meski secara teknis belum pernah berkecimpung secara akademik di Indonesia, Irwandi yang berasal dari keluarga dosen menilai, Malaysia jauh lebih unggul dari Indonesia.
“Ini seharusnya dilihat dari segi profesionalisme, di mana saya harus bisa bersaing di mana saja. Saya penyuka tantangan, ketika berada di luar negeri pun, saya tetap warga negara yang membawa nama Indonesia,” ujar dosen yang ikut membentuk departemen bioteknologi pertama kali di IIUM ini.
Menurut Irwandi, iklim di Malaysia membantu para ilmuwan dalam lingkup akademisi untuk fokus melakukan penelitian dan mempublikasikan studi di jurnal internasional. Berbeda dengan Indonesia, dimana beberapa universitas kerap menuntut jam mengajar pada para peneliti atau dosen. Kondisi ini membuat kontribusi riset menurun setelah berada di Indonesia.
Hal ini, imbuhnya, juga diakui koleganya yang sempat menimba ilmu di luar negeri. Ia memberi contoh beberapa temannya yang tidak lagi produktif saat berada di lingkungan akademisi Indonesia. “Mereka mengajar terlalu banyak sehingga kegiatan riset terganggu. Konsentrasi terpecah. Menulis pada dasarnya tidak gampang. Perlu ketenangan untuk menulis yang baik,” tambahnya.
Ia menuturkan, di luar negeri, jika seseorang teridentifikasi sebagai pelaku riset, maka jumlah jam mengajar dikurangi. Karena pada dasarnya, riset yang berkualitas juga membuat citera universitas bertambah baik. “Di Malaysia, mereka tahu saya memang orang riset. Apapun yang saya harapkan di proposal sebagian besar disetujui. Selain itu saya bebas berkarya dan menarik mahasiswa Indonesia untuk menjadi S2 dan S3.”
Keunggulan di negeri lain salah satunya adalah mudahnya pendanaan yang diberikan, dibandingkan birokrasi di Indonesia. Anggaran riset Malaysia dinilai Irwandi jauh lebih baik daripada di Indonesia. Karenanya, ilmuwan tidak perlu khawatir dan memusingkan diri dengan pencarian dana. Cukup fokus kepada penelitian.
Selain itu, dunia akademik di luar negeri lebih selektif. Untuk meluluskan keberadaan suatu departemen saja sangat sulit, karena perlu survei dari berbagai tahapan. Selain itu, ada tuntutan baku dan jelas dari unversitas kepada dosen. Contohnya, batas untuk jumlah materi hasil studi dan jam pengajaran.
Para dosen setiap tahun juga mendapat evaluasi yang ketat. Tidak seperti di Indonesia di mana beberapa pengajar menjabat sebagai pegawai negeri, kadang hal tersebut bisa membuat seseorang merasa santai. “Di Malaysia, saya menjadi tertantang untuk menunjukkan eksistensi diri,” kata Irwandi.
Dari segi Industri, ini dianggap sebagai quality control yang sangat baik. Jadwal tersusun dengan jelas. Kalau di Indonesia, kadang ada yang telat. Di luar negeri, orang harus komitmen dan profesional.
“Kalau tidak terbiasa kita pasti merasa ini sangat rumit. Tapi lama-lama kita menyadari bahwa ini cara untuk maju,” tegas Irwandi.
Meskipun begitu, Irwandi tidak menutup kemungkinan dirinya kembali ke Indonesia untuk berkontribusi.
“Saya akan melihat apakah saya bisa berkembang. Saat ini saya tidak tahu karena belum pernah coba melamar pekerjaan di Indonesia. Saya tertarik untuk pulang sebagai warga negara Indonesia. Tapi, pertimbangan lebih dari itu. Apakah kenyamanan untuk bekerja bisa saya rasakan di Indonesia?” ujar Iswandi pelan.
Keengganan ilmuwan Indonesia untuk berkecimpung di negara sendiri diakui Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan saat ditemui INILAH.COM. Menurutnya, Indonesia memang memiliki banyak masalah. Namun, ia optimis, dengan komitmen semua orang, sisi kelam dunia pendidikan dapat dihapus.
“Indonesia adalah negara besar. Kalau rata-rata kita pasti kalah. Lagipula yang bersaing itu apa, rata-rata atau manusia? Manusia tentu saja. Ambil 10% siswa terbaik di Indonesia maka lebih banyak orang cerdas kita dibandingkan jumlah penduduk di Malaysia. Jadi jangan katakan kepada saya bahwa Indonesia kalah daripada Malaysia,” tegasnya.
Menurut Anies, salah satu cara yang dapat dilakukan pemerintah adalah memberi insentif kepada pihak swasta untuk turut serta mengembangkanpendidikan yang dapat langsung diaplikasikan.
“Tidak semua harus dikerjekan pemerintah. Di seluruh dunia, laboratorium swasta banyak sekali. Tanpa birokrasi. Pemerintah seharusnya merangsang agar pihak swasta mau membangun sebuah iklim riset teknologi. Padahal riset teknologi sangat menguntungkan.” [ast]
Sumber : http://nasional.inilah.com/read/detail/1075512/inilah-curahan-hati-ilmuwan-yang-melarikan-diri

Senin, 20 Desember 2010

haa iki Imajinasi Tentang Erupsi Bromo

Kelinci dan Beruang di Gunung Bromo
Senin, 20 Desember 2010 | 11:10 WIB
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Gunung Bromo kembali meletus dilihat dari Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Minggu (19/12/2010). Meski meletus beberapa kali pada Minggu kemarin, status Bromo masih siaga. Material vulkanik seperti abu dan pasir mengarah ke Kabupaten Probolinggo yang merusak pepohonan dan sayuran.
Oleh: Fabiola Ponto dan Nina Susilo

"Lihat, Papa. Asapnya banyak sekali. Lihat yang itu, bentuknya seperti seekor kelinci. Si kelinci rupanya berada di antara kabut putih yang berada di atas Gunung Bromo."
Sisshadre Thamudarn (9) bersama kakaknya, Sudhharshern (11), dan adiknya, Harish (4), bersemangat menunjuk kepulan asap kelabu kecoklatan yang pekat. Gunung Bromo tidak terlihat karena kabut menutup rapat. Akan tetapi, keduanya sangat bersemangat.
Hawa dingin dan angin bertiup cukup kencang di Gunung Bromo melalui Penanjakan II, Dusun Cemorolawang, Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Minggu (19/12/2010) pagi. Membuat kulit semriwing.
Toh kondisi itu tidak mengganggu tiga putra pasangan warga Malaysia, Kunalan dan Anita Thamudarn. Berdiskusi dalam bahasa Inggris, Kunalan menjelaskan tentang gunung berapi dan proses erupsi.
Kunalan mengatakan sudah mengetahui kondisi Gunung Bromo dari siaran televisi Indonesia. Kunalan, yang lancar berbahasa Indonesia, sudah tiga tahun bekerja di Balikpapan. Bulan ini dia mengajak istri dan tiga anak berlibur di Jatim. Perjalanan dimulai dari Gunung Bromo ke Batu.

Tetap menarik wisatawan
Kendati berstatus Siaga dan aktivitas manusia dalam radius 2 km dari kawah dilarang, Gunung Bromo tetap menarik sebagai tujuan wisata. Apalagi, erupsi Gunung Bromo sejauh ini tidak besar. Material vulkanik seperti pasir dan batu umumnya jatuh di sekitar kawah.
Adapun material yang dikeluarkan dan terbawa angin sampai jauh umumnya abu vulkanik. Penyebaran abu vulkanik ini sangat tergantung pada arah angin. Kemarin, abu vulkanik mengarah ke timur laut, ke arah Probolinggo. Tidak heran di sepanjang perjalanan menuju Bromo, jalan, pepohonan, tanaman di kebun, rumah, dan kendaraan diselimuti abu vulkanik.
Hampir sepanjang jalan tanaman dan daun-daun di pepohonan miring seperti akan roboh karena menjadi berat oleh abu vulkanik.
Status Gunung Bromo masih Siaga, wisatawan pun belum diperkenankan untuk melalui jarak aman dua kilometer. Tidak heran para pelaku wisata gesit mengalihkan usaha.
Karena para wisatawan diarahkan mengamati Gunung Bromo dari Penanjakan II di Dusun Cemorolawang, Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, para penyedia jasa kuda juga bersiap di sana. Sugeng (22) dengan kudanya, Saprol, juga gesit menawarkan jasa antar pengunjung mulai batas akhir jalan untuk kendaraan sampai ujung tangga Penanjakan II.
Jalan setapak menuju Penanjakan II pun terasa dekat dilalui dengan biaya Rp 30.000. Sisanya, tinggal beberapa ratus anak tangga yang membuat badan terasa hangat.
Menurut Sugeng, ketika Gunung Bromo berstatus Awas, para penyedia jasa kuda sempat mengandangkan kuda sekitar sepekan. Setelahnya mereka mencoba mengail nafkah di Penanjakan II. Selain itu, beberapa titik pengamatan lain adalah di depan Hotel Lava View Lodge atau di sekitar Pos Pengamatan Gunung Bromo, masih di Dusun Cemorolawang, Ngadisari, Sukapura, Probolinggo.
Langkah pindah ke Penanjakan II juga dilakukan Rifki (35) yang baru dua tahun belakangan ini bertindak sebagai penyedia jasa kuda. Setiap hari dia berkebun seperti umumnya warga lain, tetapi dia berupaya memperbesar pendapatannya. ”Karena saya punya kuda, kenapa tidak menyewakan kuda saja,” tuturnya tentang latar belakang menyediakan jasa kuda.
Jalan berkelok dan sempit tidak menghalanginya menawari pengunjung yang akan naik maupun turun dari dan ke Penanjakan II. Tanpa menunjukkan rasa lelah, Rifki, yang memiliki kuda bernama Poki, menarik kuda mulai dari tempat parkir kendaraan sampai batas anak tangga.
”Bukannya tidak cukup dari hasil berkebun, tetapi dengan begini lumayan untuk mencari tambahan, sedikitnya dua orang dalam sehari,” ujarnya.
Erupsi Gunung Bromo sudah berlangsung hampir sebulan. Kepulan asap yang terkadang berwarna kehitaman, kadang terlihat kecoklatan, bahkan sedikit jingga memberi nuansa tersendiri.
Jadi, amati saja kepulan asap yang terus keluar. Dan terlihat bentuk-bentuk menarik sesuai imajinasi. Bila Shissadre dan Sudhharshern melihat bentuk kelinci, Minggu (19/12/2010) Kompas mendapatkan bentuk dua beruang Teddy duduk di atas kabut putih.
Kompas Cetak
Sumber :
Editor: I Made Asdhiana / http://travel.kompas.com/read/2010/12/20/11100734/Kelinci.dan.Beruang.di.Gunung.Bromo-4
 

haa iki Barca Yang Memang Ruaar Biasa

Senin, 20/12/2010 08:22 WIB
Barca Si Raja Tandang
Narayana Mahendra Prastya - detiksport



Getty Images

Jakarta - Meski berlaga di luar kandang, Barcelona tetap tampil impresif. Kemenangan di Espanyol akhir pekan kemarin mengukuhkan Lionel Messi dkk. sebagai raja tandang di La Liga.

Barcelona meraih kemenangan mantap 5-1 dalam laga di kandang Espanyol Minggu (19/12/2010) dinihari WIB. Dikutip dari situs resmi Barca, itu merupakan kemenangan tandang kesepuluh secara berturut-turut yang dibukukan oleh The Catalans.

Sepuluh kemenangan away berturut-turut merupakan sebuah rekor baru di La Liga. Angka sepuluh itu didapat dari delapan laga tandang yang dilakoni di kompetisi liga musim ini, ditambah dengan dua lawatan ke markas lawan di musim 2009/10 yaitu sat menghadapi Villarreal dan Sevilla.

Dalam sepuluh pertandingan itu, Barca total membukukan 36 gol dan hanya kemasukan tujuh. Lionel Messi menjadi top skorer The Catalans saat tandang dengan 11 gol, diikuti Pedro (4 gol), David Villa (4 gol) dan Bojan Krkic (4 gol).

Untuk La Liga musim ini, catatan away tim asuhan Josep Guardiola justru lebih baik dari rapor mereka ketika tampil di Camp Nou. Dari delapan pertandingan di kandang sendiri Barca sempat sekali seri dan sekali kalah.

Sementara dari delapan laga away yang sudah dilakoni sejauh ini, tim "biru-merah" berhasil melakukan sapu bersih.

Rapor positif juga ditunjukkan dalam hal memasukkan dan kemasukan. Di kandang lawan Barca memiliki catatan 29-4, sementara di Camp Nou adalah 22-5.

( nar / din )
Sumber : http://www.detiksport.com/sepakbola/read/2010/12/20/082221/1528469/75/barca-si-raja-tandang?b99110270

Minggu, 19 Desember 2010

haa iki Hukum Rimba Di Jakarta

Jakarta Suatu Sore...!
Sabtu, 18 Desember 2010 | 04:51 WIB


Oleh ANDI SURUJI

Jakarta sore hari jam pulang kerja. Lampu pengatur lalu lintas mati. Hujan deras pula. Polisi tak tampak bertugas di jalanan.
Bisalah Anda bayangkan seperti apa situasi seperti itu di jalan raya Jakarta, etalase negeri ini…! Kesemrawutan luar biasa, macet total di mana-mana. Klakson kendaraan bersahut-sahutan memekakkan telinga. Serobot sana serobot sini. Telikung sana telikung sini. Tidak ada yang mau mengalah. Sekecil apa pun peluang digunakan pengendara untuk masuk memaksakan kehendak. Padahal, kalau mau mengalah sedikit saja, mungkin bisa lebih lancar.
Kondisinya lebih parah jika ada ruas jalan yang tergenang air. Kendaraan yang seharusnya mengalir lancar akhirnya bergerak maju perlahan menambah panjang antrean dan kemacetan. Akan tetapi, walaupun tidak ada genangan air, penderitaan pengendara juga tidak kalah beratnya kalau kita melintas di bawah jalan layang. Soalnya, jalan di bawah jembatan atau jalan layang diokupasi pengendara sepeda motor untuk berteduh.
Tidak tanggung-tanggung, sebab kadang-kadang mereka memarkir kendaraannya secara sembarangan sampai menggunakan dua atau tiga lajur. Akibatnya, jalan yang semula tiga atau empat lajur bisa-bisa tersisa tinggal satu lajur sempit yang pas-pas lolos satu kendaraan. Tentu saja situasi itu membuat kebuntuan arus kendaraan dan antrean panjang untuk ”selamat” melewati kerumunan sepeda motor parkir tersebut.
Masalah lalu lintas Jakarta, sudah dipahami semua, kian parah. Kendaraan bermotor semakin bertambah, sementara kapasitas jalan nyaris tidak bertambah. Kalaupun ada ”penambahan”, tak lebih dari tambal sulam. Tidak sedikit pembuatan jalan layang justru hanya mengalihkan titik kemacetan.
Menurut keterangan dari kalangan industri otomotif, sekitar 25 persen dari penjualan sepeda motor yang setiap tahun sekitar 6 juta unit menetap di Jakarta dan sekitarnya. Sementara motor-motor yang tidur di luar Jakarta, seperti Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi, banyak yang beroperasi di Jakarta pada siang hari. Begitu juga kendaraan roda empat, sekitar 45 persen dari total penjualan yang mencapai 600.000 per tahun beredar di Jakarta dan sekitarnya.
Akibat kepadatan lalu lintas, tanpa penyediaan jalur khusus motor, apalagi sepeda, maka yang terjadi adalah pengendara sepeda motor berjuang mencari jalan dengan serobot sana serobot sini, salip sana salip sini. Menyenggol, bahkan mencederai, kendaraan lain seolah hal biasa saja. Tidak jarang pengendara motor yang menggores badan atau menyenggol kaca spion mobil, mereka pula yang lebih dulu marah. Waualah… walah.…
Pembangunan mal atau pusat perbelanjaan juga kurang memperhitungkan faktor lalu lintas. Akibatnya, setiap ada mal atau pasar, terminal, kemacetan pasti terjadi. Tata kota menjadi kunci dalam mengurai kemacetan kota Jakarta, seperti perhitungan daya dukung perkotaan, termasuk persoalan lalu lintas di sekitar bangunan.
Pembangunan infrastruktur dan sarana transportasi Jakarta sebagai ibu kota, pusat aktivitas pemerintahan dan bisnis, seolah berjalan tanpa perencanaan matang.
Sejak lama kita telah mendengar akan adanya pembangunan mass rapid transit (MRT), subway, jalan bawah tanah, tetapi belum terlihat juga hasilnya. Karena itulah orang sering memelesetkan MRT itu sebagai ”masih rapat terus”.
Karena sarana transportasi yang nyaman dan aman tidak kunjung hadir, jangan salahkan jika masyarakat terus menyediakan sendiri. Peluang ini juga dilihat perusahaan produsen kendaraan bermotor. Produksi digenjot karena ada pasar. Begitu pula perusahaan pembiayaan dan perbankan sangat gencar menawarkan kredit kendaraan.
Tidak heran jika setiap hari Anda menerima SMS tawaran kredit, dengan syarat yang sangat mudah. Uang muka Rp 300.000, bawa KTP dan kartu keluarga, bukti rekening pembayaran listrik, Anda sudah bisa membawa sebuah sepeda motor.
Tanpa penambahan jalan yang signifikan, sementara kendaraan terus bertambah, maka yang bakal terjadi hanyalah kemacetan yang kian hari kian parah. Waktu tempuh dari suatu titik keberangkatan ke titik tujuan semakin lama dari biasanya.
Kondisi itu membuat warga Jakarta dan sekitarnya semakin tidak produktif. Konsumsi bahan bakar makin melonjak dari waktu ke waktu. Waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk kegiatan produktif akhirnya terbuang sia-sia karena, ketika mengendara, tidak banyak yang bisa dilakukan.
Warga Jakarta sering kali frustrasi menghadapi situasi lalu lintas kayak begini. Tetapi mereka tidak punya pilihan, kecuali berteriak melalui Twitter, Facebook. Ya, setidaknya melalui media sosial itulah mereka melepaskan kejengkelan, sekaligus berbagi informasi kondisi lalu lintas. Pemecahan masalah transportasi Jakarta memerlukan kemauan politik yang kuat dari pemerintah provinsi dan pusat.
Tapi, jangan-jangan situasi lalu lintas Jakarta seperti digambarkan di awal tulisan ini merupakan cermin dari kondisi kehidupan kita berbangsa dan bernegara saat ini? Semrawut di semua sektor, ya politik, ekonomi, sosial, dan budaya!
Bagaimana menurut Anda?
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/12/18/04514331/jakarta.suatu.sore....

haa iki Waikabubak

Dani Ladu Ringgulangu
Penjaga Kampung Adat Waikabubak
Sabtu, 18 Desember 2010 | 03:44 WIB
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
DANI LADU RINGGULANGU
Oleh Kornelis Kewa Ama

Setiap tamu yang melintas dengan kendaraan atau berjalan kaki di Waikabubak, ibu kota Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, biasanya langsung tergoda untuk melihat dari dekat sekelompok bangunan tua tradisional yang terletak di bukit Tarung dan Waitabar.
Bukit yang juga perkampungan adat Tarung dan Waitabar itu sengaja dipertahankan oleh Dani Ladu Ringgulangu sejak tahun 1970-an. Selama empat periode masa pemerintahan bupati Sumba Barat, kampung adat Tarung dan Waitabar itu hendak digusur untuk diganti dengan pertokoan dan perhotelan.
Ketika ditemui di kampung adat Waitabar, awal November, Ringgulangu, Ketua Paguyuban Penganut Kepercayaan Sumba Barat ini mengatakan, dia tidak paham dengan cara berpikir pemerintah daerah setempat. Kampung adat yang jelas-jelas sering dikunjungi para turis asing itu malahan tidak pernah mendapat perhatian serius dari pemerintah.
”Pemerintah Kabupaten Sumba Barat berulang kali ingin menggusur kampung ini karena letaknya di tengah Kota Waikabubak. Sesuai rencana (Pemerintah Kabupaten Sumba Barat), kawasan ini akan dimanfaatkan untuk perhotelan karena pemandangannya cukup menarik. Dari ketinggian ini, hampir seluruh wilayah Waikabubak dapat terlihat,” kata Ringgulangu.
Kampung adat itu, menurut Ringgulangu, ditempati Marapu, leluhur orang Sumba menurut ajaran agama asli Sumba. Pada kayu, batu, bukit, kuburan, dan rumah-rumah adat yang ditempati warga, para leluhur Sumba tetap tinggal.

Kukuh mempertahankan adat
Melengkapi prinsipnya untuk tetap mempertahankan kampung adat tradisional yang sering disebut kampung pariwisata itu, Ringgulangu pun bersumpah tidak akan bersedia dibaptis atau menjadi Kristen sampai mati.
Dia ingin tetap menjadi penganut kepercayaan asli Marapu, yang menghormati leluhur dan roh-roh halus sebagai perantara kepada Sang Pencipta.
Tetapi, Ringgulangu mengizinkan enam dari tujuh anaknya untuk dibaptis dan menganut agama Kristen agar bisa mengikuti pendidikan. Putra bungsunya, Lango Reda Mata (9), tidak dibaptis dengan tujuan agar bisa melanjutkan adat tradisi.
Oleh karena itulah setiap ada upacara adat Marapu, Lango Reda Mata selalu dilibatkan. Bahkan, pada kesempatan tertentu, dia sudah diberi kepercayaan untuk memimpin ritual adat Marapu.
”Di Sumba Barat mayoritas orang beragama Kristen, kecuali Sumba Barat Daya yang beragama Katolik. Di sini, sekolah-sekolah bisa dikatakan mewajibkan anak-anak memiliki surat baptis. Di sekolah negeri pun, yang mengajar guru-guru dari kalangan Kristen,” kata Ringgulangu.
Kampung adat di tengah Waikabubak itu memiliki nilai tersendiri. Di rumah warga, termasuk rumah Ringgulangu, terdapat puluhan rahang babi dan tanduk kerbau. Setiap kali dilaksanakan adat pemulihan kampung, selalu dikorbankan ternak peliharaan kepada Marapu. Tanduk atau rahang hewan korban kemudian dilekatkan di dinding rumah.
Di kampung itu, para turis, budayawan, peneliti, mahasiswa dan para pelajar sering berkunjung. Mereka tak sekadar melihat, tetapi sebagian di antaranya sampai mempelajari budaya dan adat istiadat Marapu.
Ringgulangu bercerita, dia jarang meninggalkan kampung adat itu. Setiap hari dia setia menemani dan menunggu para tamu. Buku tamu pun dia sodorkan, termasuk kesan dan pesan para tamu.
”Umumnya para tamu mendukung perjuangan saya agar kampung adat ini dipertahankan, terutama tamu-tamu asing. Mereka bahkan mengusulkan agar dibangun semacam homestay agar mereka juga bisa menginap dan menyaksikan kehidupan tradisional masyarakat,” kata Ringgulangu.
Segala sesuatu yang bernilai mistis, magis, dan mengandung nilai-nilai kepercayaan asli masih dianut oleh sekitar 300 warga di dua kampung berdekatan itu. Kampung itu pun dibangun sesuai konstruksi asli yang dikehendaki para leluhur.
”Semua bahan bangunan di sini dari hutan, tidak ada bahan bangunan dari bahan besi, aluminium atau produk pabrik. Jika ada bahan produk pabrik, nenek moyang tidak setuju, penghuni bangunan tidak aman tinggal, selalu sakit, dan bangunannya cepat rusak,” katanya.
Ringgulangu berharap, pemerintah turut memerhatikan kampung adat pariwisata itu, bukan sebaliknya berupaya menggantikannya dengan hotel. Kemajuan suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh bangunan–bangunan modern, tetapi juga oleh keberadaan tradisi-tradisi lokal yang masih dipertahankan.
Ringgulangu juga mempertahankan keberadaan kubur batu tua peninggalan para raja di kampung itu. Setiap ada kegiatan adat di Kampung Tarung dan Waitabar, Ringgulangu kerap kali tampil sebagai penggerak.

Kodrat manusia
Ringgulangu bercerita, dia sudah beberapa kali mengikuti seminar, pertemuan atau pembahasan mengenai aliran kepercayaan di tingkat nasional. Ternyata semua agama di dunia ini mengakui adanya suatu kekuatan yang luar biasa, dan mereka memberi nama berbeda-beda, termasuk aliran kepercayaan Marapu.
”Marapu, sama dengan aliran kepercayaan lain di Jawa, memiliki nilai religius dan kuasa besar yang terealisasi lewat perlindungan, hukuman, kegagalan, kutukan, pertolongan, keselamatan, dan bencana alam. Dalam bahasa adat Marapu disebut Ina papa nuku, ama papa sara, artinya semua manusia dan segala isi bumi terlahir dari sumber yang sama. Semua manusia sesuai kodratnya adalah sama,” katanya.
Menurut kepercayaan Marapu, hutan-hutan di sekitar kampung itu, termasuk seluruh daratan Sumba, memiliki penjaga dari leluhur. Hutan tidak boleh ditebang sebelum dibuat ritual adat, meminta izin kepada leluhur.
Sumber mata air yang keluar di kaki Bukit Tarung dan Waitabar pun diyakini sebagai pemberian dari Yang Kuasa, dan bagi masyarakat Sumba diyakini sebagai pemberian Marapu.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/12/18/0344018/penjaga.kampung.adat.waikabubak

haa iki Keuletan Berusaha

Hasil Kegigihan Memopulerkan Produk Jamur
Sabtu, 18 Desember 2010 | 03:38 WIB
KOMPAS/REGINA RUKMORINI
Widodo
Oleh Regina Rukmorini

Kisah sukses tentulah membutuhkan perjuangan panjang yang tak mudah. Widodo (41), warga Desa Pandesari, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, membuktikan hal itu. Setelah jatuh bangun menekuni usaha jamur selama satu dekade, kini dia pun menangguk sukses dari kegigihannya itu.
Dia kini memiliki sebuah Warung Gaul Stemba, warung yang menyajikan aneka masakan berbahan jamur, dan berdagang aneka obat kulit berbahan dasar jamur. Baik warung maupun penjualan obatnya beromzet puluhan juta rupiah per bulan.
Widodo mengaku memulai segalanya sungguh dari nol. Sebelumnya, dia menekuni berdagang barang-barang elektronik dan tembakau, yang akhirnya bangkrut setelah diterpa krisis tahun 1997. Kendatipun terus-menerus mencoba membangkitkan usahanya lagi, kegagalan demi kegagalan terus menderanya. Puncaknya pada tahun 1997, dia terpaksa menjual dua toko elektroniknya untuk menutupi utang.
Tahun 1999, di tengah keterpurukan nasibnya, Widodo bertemu teman-teman seangkatan semasa di Sekolah Teknik Mesin (STM) Pembangunan Temanggung atau yang kini dikenal dengan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri Temanggung. Kebanyakan dari mereka saat itu pulang kampung karena baru diberhentikan dari tempat mereka bekerja.
Sebagai sesama penganggur, salah seorang temannya mengusulkan untuk mengembangkan usaha bertani jamur. Akhirnya, pada tahun 2000, Widodo bersama sejumlah rekannya membuat usaha pembibitan dan penanaman jamur dengan bendera CV Primordia Agroteknologi.
Ketika itu, jamur yang dikembangbiakkan adalah jamur tiram. Mereka pun mencoba melakukan inovasi dengan membuat produk olahan berupa keripik jamur. Namun, karena jamur saat itu belum populer, produk tersebut tidak direspons baik oleh pasar. Setiap bulan, keripik jamur yang dikembalikan toko karena tidak terjual sebanyak 3-4 kuintal.
”Waktu itu, masyarakat masih takut mengonsumsi jamur. Mereka khawatir jamur itu mengandung racun,” ujarnya.
Dengan kondisi itu, usaha pembuatan keripik jamur akhirnya hanya bertahan dua hingga tiga bulan saja.
Selanjutnya, mereka pun beralih membuat bakso jamur yang dikemas dan didistribusikan ke swalayan di Wonosobo. Berbeda dengan keripik jamur, bakso jamur jauh lebih bisa diterima. Pihak swalayan meminta agar pasokan bakso jamur dikirim rutin sebanyak 25 kilogram per minggu. Namun, permintaan ini sulit dipenuhi dan produksi jamur tidak bisa diteruskan karena terkendala modal.

Jamur lingzhi
Tahun 2002, CV Primordia Agroteknologi memulai mengembangbiakkan jamur kuping dan pada tahun 2004 mengembangkan pembibitan jamur lingzhi. Seorang pengusaha dari Yogyakarta rutin membeli 10 kilogram-25 kilogram jamur lingzhi, suatu saat ia meminta pasokan jamur lingzhi ditambah menjadi 300 kg-500 kg. Ketika itu, jamur dijanjikan dibeli seharga Rp 150.000 per kg.
Tergiur dengan nilai uang yang dijanjikan, Widodo pun mengumpulkan 20 petani untuk menanam 3.000-5.000 bibit jamur lingzhi. Namun, janji tinggal janji. Setelah panen, pengusaha itu menolak membeli dengan alasan khasiat jamur lingzhi masih ditelitinya.
Di tengah kondisi tertipu dan menganggung utang Rp 150 juta kepada petani, CV Primordia Agroteknologi bubar. Widodo yang memang berhubungan langsung dengan petani, secara otomatis, akhirnya sering diteror oleh petani yang menagih uang pembelian jamur. Terdesak dengan situasi, Widodo melakukan pendekatan kepada petani, mengambil semua jamur hasil panen, dan berupaya menawarkannya ke pabrik dan pedagang jamu. Namun, semua upayanya ditolak.
Widodo pun akhirnya berinovasi dengan membuat jamu olahannya sendiri, yang disebut Gano Slice, dan minuman instan Gano Mix. Dua produk ini ditampilkan dalam pameran yang diikuti Pemerintah Kabupaten Temanggung di Semarang. Tak dinyana, jamur lingzhi sudah populer di Semarang dan produk ini pun laku keras.
Tahun 2005, dua produk ini kembali ditampilkan dalam pameran sains dan teknologi yang diikuti SMK Negeri 1 di Semarang. Ketika itu Gano Slice terjual 180 bungkus. Selain itu, obat ini pun diberikan Widodo kepada pejabat kepala SMK Negeri 1 Temanggung dan keluarganya yang ketika itu sedang sakit keras.
Setelah merasakan khasiat dan mengetahui produk ini laku, pihak SMK Negeri 1 Temanggung mengajak Widodo bekerja sama mengembangbiakkan jamur lingzhi. Usaha ini sukses dan pada tahun 2006, semua utang CV Primordia Agroteknologi lunas terbayar.
Untuk mengembangkan usahanya, Widodo pun membuat gerai penjualan Gano Slice dan Gano Mix dengan menyewa gedung milik SMK Negeri 1 Temanggung. Agar lebih menarik minat pengunjung, gedung itu pun disulap menjadi warung bakso jamur dengan nama Warung Gaul Stemba.
”Belakangan, bakso jamur ini jauh lebih terkenal dibandingkan obat-obatan yang saja jual di sini,” ujar Widodo terkekeh.
Untuk bakso jamur saja, Widodo mendapatkan omzet Rp 30 juta per bulan. Omzet dari obat-obatan jamur lingzhi mencapai Rp 20 juta per bulan. Penjualan bibit jamur lingzhi dalam polybag mencapai omzet Rp 75 juta per bulan.
Setelah Gano Slice dan Gano Mix, Widodo saat ini sudah mengembangkan obat-obatan jamur lingzhi dalam bentuk bedak, Gano Powder, dan Gano Capsule, yang semuanya untuk kesehatan kulit. Tahun ini, dia pun berencana membuat terobosan terbaru dengan membuat obat kulit dalam bentuk krim atau yang disebut Gano Cream.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/12/18/03384969/hasil.kegigihan.memopulerkan.produk.jamur

haa iki Kopi Luwak

Kopi Luwak, dari Era Tanam Paksa ke "Oprah Winfrey Show"
Sabtu, 18 Desember 2010 | 04:48 WIB
KOMPAS/LASTI KURNIA
Musang atau dikenal juga dengan sebutan luwak di kebun kopi di kawasan Way Mengaku, Liwa, Lampung Barat, Jumat (17/12).
 
Kehadiran kopi luwak di Tanah Air adalah sebuah ironi. Di era cultuurstelsel atau tanam paksa, kopi luwak merupakan ”obat” pelipur lara bagi para petani yang terjajah Belanda. Namun, kini menjelma menjadi komoditas papan atas, yang harga jualnya di pasar internasional bisa mencapai Rp 32 juta per kilogram.
Tak perlu heran jika presenter ternama yang juga pengusaha, Oprah Winfrey, mengulas kenikmatan kopi yang satu ini dalam acaranya, Oprah Winfrey Show, yang ditayangkan salah satu televisi Amerika Serikat. ”Cita rasanya unik dan lezat,” demikian komentarnya, meski ia nyaris tersedak saat mengetahui cara pembuatannya.
Awal abad ke-19, sejumlah petani di Tanah Air, khususnya di Lampung, dipaksa menanam kopi sebagai komoditas andalan. Mereka lalu diwajibkan menyetorkan semua hasil panen kepada pemerintah kolonial Belanda. Suatu ketika, mereka menemukan sebuah cara untuk menikmati kopi hasil panen tersebut.
”Caranya dengan ngelahang (mengumpulkan) kopi yang jatuh di tanah, termasuk yang berupa kotoran luwak,” kata Sukardi (34), perajin kopi luwak di Way Mengaku, Liwa, Kabupaten Lampung Barat, Lampung, menceritakan sejarah panjang kemunculan kopi luwak di daerahnya.
Ratusan tahun berjalan hingga kini, kebiasaan ngelahang kopi luwak itu dilakukan segelintir petani kopi di Lampung Barat dan Sumatera Selatan. Bagi Minariah (39), petani kopi di Liwa, menikmati kopi luwak hasil ngelahang adalah sebuah kenikmatan tersendiri.
”Brangkalan (biji-biji kopi yang masih tercampur kotoran luwak) biasanya banyak ditemukan saat musim panen (kopi). Bisa di dahan, batang, atau tanah. Saya kumpulkan, digiling, lalu diminum sendiri karena memang jumlahnya tidak banyak,” papar Minariah.
Kopi luwak hutan. Demikian warga Liwa menyebut kopi luwak yang diperoleh dari alam itu. Komoditas yang satu ini memiliki rasa yang sangat unik. Aromanya sangat tajam, gurih, dan tidak terlalu asam.
Di pasaran, kopi luwak hutan dijajakan dengan rasa yang beragam, bahkan ada yang ditambah aroma tanah yang eksotis.
Kekhasan kopi luwak, antara lain, karena di dalam organ pencernaan hewan tersebut kopi mengalami fermentasi secara alamiah oleh enzim-enzim yang dihasilkan bakteri. Enzim terkait ternyata mengurangi kadar keasaman biji-biji kopi.
”Proses itu juga menurunkan kadar kafein secara tajam pada kopi. Jadi, orang yang minum kopi luwak sehari 10 gelas pun tidak masalah. Tidak merusak tubuh,” kata Sukardi setengah mempromosikan kopi luwak.
Di daerah tertentu, lanjutnya, kopi sengaja disimpan hingga tujuh tahun semata-mata untuk menurunkan kadar kafein dan keasamannya.
Pernyataan senada dikemukakan Massimo Marcone, peneliti kopi dari Universitas Guelph, Kanada, sebagaimana dipublikasikan jurnal Food Research International. ”Pencernaan luwak otomatis menurunkan kadar protein sehingga menghasilkan rasa kopi yang unik dan kaya. Kopi ini karakteristiknya lembut, terkadang berasa cokelat atau karamel. Satu dari kopi terbaik di dunia,” paparnya. Marcone memfokuskan riset kopi luwaknya di Indonesia.
Dipelihara
Seiring ketenarannya, kopi luwak yang beredar di pasaran kini tidak lagi hanya merupakan hasil pencarian di alam terbuka, seperti di kebun kopi atau hutan. Sebagian besar bahkan dihasilkan dari tempat-tempat pemeliharaan luwak.
Di Way Mengaku, Liwa, misalnya, luwak yang terkenal liar dan buas dipelihara di dalam kandang di pekarangan rumah warga. Akan tetapi, yang dipelihara itu hanya yang jenis Paradoxurus dan Arctictis.
Musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus) tercatat sebagai salah satu hewan yang biasa memakan buah kopi dan menghasilkan kopi terbaik. Hewan ini banyak ditemukan di perkebunan kopi dan hutan di Sumatera dan Jawa.
Luwak binturung (Arctictis binturong) menghasilkan kotoran yang lebih besar. Namun, saat ini musang ”beruang” termasuk hewan yang dilindungi.
Wahyu Anggoro (25), perajin kopi luwak di Way Mengaku, mengatakan, tak mudah memelihara hewan penghasil kopi terbaik itu. ”Tidak jarang luwak kabur setelah berhasil menggigiti penutup kandang yang terbuat dari kayu dan kawat. Berkaca dari pengalaman, kini tutup kandang umumnya dibuat dari bahan besi berdiameter 10 milimeter,” katanya.
Luwak juga tergolong hewan kanibal karena bisa saling membunuh jika ditaruh di dalam satu kandang. Karena itu, umumnya binatang tersebut ditempatkan dalam kandang berukuran sekitar 1 meter x 1,5 meter secara terpisah.

Biaya tinggi
Menurut Gunawan S (41), ketua kelompok perajin kopi luwak Raja Luwak di Pekonan, Way Mengaku, biaya operasional pemeliharaan luwak sangat tinggi, mencapai Rp 55.000 per ekor per hari. ”Seekor luwak tiap hari diberi makan buah kopi segar (yang dinilai terbaik) 5 kg, pisang minimal satu tandan, serta suplemen atau vitamin. Harga kopinya saja sudah Rp 6.000 per kg,” ujarnya.
Tidak semua buah kopi yang disajikan dimakannya. Luwak hanya memakan yang benar-benar matang dan segar.
Berbagai proses inilah yang membuat harga kopi luwak sangat mahal. Dewi Ana (33), eksportir kopi dan pemilik merek Dewi Luwak, mengatakan, harga kopi luwak di pasar internasional berkisar Rp 7 juta-Rp 32 juta per kg. ”Kopi ini tetap ada yang mencari karena langka dan prestisenya,” ujar pengusaha yang mengekspor kopi luwak asal Liwa ke Jepang, Korea, Hongkong, dan Kanada. Sebagai perbandingan, biji kopi Hacienda dari Panama dan kopi St Helena Afrika yang masuk di dalam jajaran kopi papan atas harganya masing-masing Rp 1,5 juta dan Rp 1 juta per kg.
Jadi, pantas saja jika majalah Forbes menyebut kopi luwak asal Indonesia sebagai kopi termahal di dunia. Di New York, AS, seperti yang terekam dalam sebuah tayangan berita di CNN, secangkir kopi luwak dihargai 100 dollar AS atau hampir Rp 1 juta. Wow...!
(Yulvianus Harjono)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/12/18/04481871/kopi.luwak.dari.era.tanam.paksa.ke.oprah.winfrey.show

Jumat, 17 Desember 2010

haa iki Berprestasi Selagi Muda

Aero Raih Emas Ketiga
Jumat, 17 Desember 2010 | 05:27 WIB
GETTY IMAGES/ROBERT PREZIOSO
Pebalap Indonesia, Aero Sutan Aswar, berkelebat membelah air pada lomba jetski runabout endurance open Asian Beach Games ke-2 di Muskat, Oman, Kamis (16/12). Aero mempersembahkan medali emas ketiga untuk Indonesia.
 
 
Muskat, Kompas - Aero Sutan Aswar (15), atlet jetski Indonesia, mempersembahkan emas ketiga bagi Indonesia dari cabang jetski nomor endurance open pada hari terakhir laga Asian Beach Games 2010 Muskat, Kamis (16/12) di Al-Musannah Sports City, Oman. Dengan 3 emas, 2 perak, dan 6 perunggu Indonesia menempati urutan kelima peraihan medali.
Thailand merajai Asian Beach Games 2010 dengan 15 emas, 10 perak, 11 perunggu. Posisi berikutnya ditempati China (12-6-5), Oman (5-3-7), Irak (3-3-1).
Aero meraih nilai sempurna, masing-masing 400 poin dalam dua kali balapan mengendarai Yamaha FZR. Sedangkan pejetski Indonesia lain, Iskandar Fitramsyan, finis di urutan keempat dengan total poin 700.
Medali perak diraih pejetski Thailand, Kritsada Wuttithosaporn, dengan total skor 760 poin. Medali perunggu direbut pejetski Kuwait, Mohammad Albaz dengan 736 poin.
”Senang bisa menang setelah di nomor runabout kalah. Senang ’Indonesia Raya’ bisa terdengar,” kata Aero seusai pengalungan medali.
Aero yakin, ia bisa meraih emas untuk nomor ini karena ia bisa mengukur kemampuannya. Begitu melihat ombak, ia langsung yakin. ”Aku sudah bisa dapat sejak motor pertama. Motor kedua juga yakin,” katanya.
Ayah Aero yang juga manajer tim jetski Indonesia, Syaifullah Sutan Aswar, mengatakan, prediksi emas untuk Aero ini tidak sembarangan. ”Sudah terukur, melihat perkembangan Aero di berbagai kejuaraan,” kata Fully, panggilan Syaifullah.
Balapan kemarin berlangsung seru. Aero tertinggal dari pebalap Thailand dan Kuwait sewaktu start. Namun, beberapa detik kemudian, Aero menyusul, dan setelah susul-menyusul beberapa saat, Aero pun melaju tidak terbendung.
”Pas start itu, aku masih harus ngegas jetski dulu. Kan waktu dipanggil suruh ke starting line itu aku buru-buru. Jadi, aku memang sengaja agak lama ngegas dulu sebelum jetski dilepas,” kata Aero, yang terus berdiri di atas jetskinya saat balapan.
Pada perlombaan nomor runabout open sehari sebelumnya, Aero hanya mampu finis di urutan keempat. Posisi pertama dan kedua direbut pebalap Thailand dan perunggu oleh pebalap Kuwait.

Milik adik
Aero mengendarai jetski milik adiknya, Aqsa Sutan Aswar (13), yang dicoret dari perlombaan karena masih di bawah umur. ”Aku bad mood, karena kan ada as yang copot di jetskiku. Tetapi aku tidak merasa kecewa karena sudah aku balas hari ini,” kata Aero.
Kemarin, tim bola tangan putri Indonesia masih bermain untuk mencari peringkat. Namun, lagi-lagi mereka kalah dan kali ini dari Jepang, 0-2 (11-14, 8-18). Atas hasil ini, tim bola tangan putri belum pernah sekali pun memenangi laga di ABG Muskat ini.


Evaluasi
Menanggapi hasil yang diperoleh Indonesia, Wakil Ketua Kontingen ABG 2010 Djoko Pramono mengatakan, KONI bersama Kemenpora dan Prima akan mengevaluasi hasil ABG. Djoko yakin, ABG III di China akan lebih baik, mengingat ada beberapa cabang andalan Indonesia yang dipertandingkan, seperti paragliding dan perahu naga. ”Kami akan evaluasi agar ke depan lebih berhasil lagi. ABG makin baik penyelenggaraannya dan semua mengirim tim terbaik,” kata Djoko.
Perhelatan olahraga pantai pasti akan terus berkembang karena lokasinya yang spesifik, yaitu di pantai. ”Pantai selalu riuh oleh wisatawan. Pantai makin hidup dengan olahraga,” kata Djoko.
Karena itu, ia menambahkan, meski tidak semapan ajang multicabang lain, ABG patut diseriusi.
(Susi Ivvaty dari Muskat, Oman)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/12/17/05274612/aero.raih.emas.ketiga

Kamis, 16 Desember 2010

haa iki Sentilan di Pojok

POJOK
Kamis, 16 Desember 2010 | 03:30 WIB
 
 
Papua ditawarkan ke BUMN China.
Freeport tetap punya ”Paman Sam”!

Sampah di Tangerang Selatan tak terangkut.
Pun sampah suara pilkada ulang?

Ribuan penumpang telantar, jadwal perjalanan 43 KRL batal.
Sudah biasa ”wong cilik” ditelantarkan!



Rencana pembatasan BBM bersubsidi potensial distorsi.
Biasa, kan distorsinya di lapangan!

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/12/16/0330380/pojok

 

haa iki Sepak Bola & Politik

Sepak Bola dan Politik
Kamis, 16 Desember 2010 | 04:46 WIB
oleh anton sanjoyo

Generasi tim nasional sepak bola Indonesia saat ini boleh dibilang paling mujur. Meskipun mutu kompetisi tak beranjak banyak dalam satu dekade terakhir dan tim ”Merah Putih” tiap tahun makin redup pamornya di pergaulan internasional, tiap kali timnas bertanding, Stadion Gelora Bung Karno selalu bergemuruh riuh.
   Bagi penggila timnas Merah Putih, pada akhirnya kalah atau menang bukan lagi isu utama. Saat timnas tampil heroik di putaran final Piala Asia 2007, penonton memuja mereka meski kalah. Apalagi saat menang. Maka, tiga kemenangan beruntun atas Malaysia, Laos, dan Thailand di kejuaraan Piala AFF seakan membawa tim ”Garuda” asuhan Alfred Riedl itu melayang ke langit.
Bagi sebagian besar orang Indonesia yang makin hari makin merasa tak punya masa depan, di tengah terus melambungnya angka inflasi, di tengah semakin tidak fokusnya pemerintah menangani problema utama rakyat, di tengah makin merajalelanya korupsi, sepak bola sekali lagi menjadi katup penyelamat. Euforia kemenangan Bambang Pamungkas dan kawan-kawan merembes cepat ke seluruh negeri, ke semua strata dan kelas masyarakat.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun tak ketinggalan larut dalam euforia ini. Bukan ucapan pujian semata yang dilontarkan dari Istana, dia pun menyambangi Bambang Pamungkas dan kawan-kawan di lapangan latihan Senayan. Sempat membuat kalang kabut pejabat PSSI karena kunjungan mendadaknya, Presiden Yudhoyono memberikan suntikan moral bagi pasukan Garuda.
Kunjungan mendadak Presiden ke kamp latihan timnas PSSI barangkali patut dicatat dalam sejarah. Sebab, rasanya baru kali inilah seorang RI 1 sudi mampir ke lapangan latihan dan secara khusus memberikan dukungan moral kepada timnas sepak bola. Sulit untuk tidak menduga bahwa Presiden memanfaatkan euforia luar biasa di tengah masyarakat berkat penampilan tim Garuda. Dilihat dari sudut komunikasi politik, Istana memanfaatkan momentum sepak bola untuk menaikkan lagi pamor dan citranya setelah habis-habisan diterpa badai kritik, terakhir soal Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta.
Meski begitu, apa pun motivasi di balik kunjungan Presiden Yudhoyono ke Senayan, hal ini harus dipandang sebagai babak baru pembangunan sepak bola Indonesia. Perhatian yang sangat besar dari pemimpin negeri ini terhadap timnas harus pula dipandang sebagai momentum untuk memberikan tenaga ekstra bagi pembangunan sepak bola. Apalagi, Presiden Yudhoyono sempat mendapat masukan dari Alfred Riedl soal buruknya mutu lapangan latihan timnas PSSI, yang notabene masih menyewa dari Yayasan Gelora Bung Karno, yang berada dalam koordinasi Sekretariat Negara.
Begitu mendengar keluhan Riedl, Presiden pun segera memerintahkan PSSI berkoordinasi dengan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng untuk proyek perbaikan lapangan latihan timnas. Segera angka-angka dalam hitungan puluhan miliar rupiah berseliweran di media massa untuk proyek perbaikan lapangan timnas yang sebenarnya dibandingkan dengan sejumlah lapangan sepak bola lainnya di lingkungan GBK kondisinya paling baik. Hanya saja, untuk ukuran lapangan latihan timnas sebuah negara, memang sangat jauh dari layak.
Sebenarnya, lebih dari itu, Presiden Yudhoyono pun sebaiknya diberikan informasi lebih lengkap dan komprehensif. Sampai sekarang, timnas sepak bola tidak mempunyai kamp latihan sendiri. Idealnya, timnas sepak bola memiliki kompleks latihan sendiri yang modern, dengan lapangan berstandar internasional serta dilengkapi dengan mes pemain, fasilitas kebugaran, dan sarana penelitian yang benar-benar mumpuni.
Ketua Umum PSSI Nurdin Halid belum lama membenarkan bahwa timnas yang merupakan ujung dari pembinaan sepak bola memang harus mempunyai fasilitas latihan dan kamp tersendiri demi mencetak prestasi yang lebih baik. ”Kami sedang menyiapkan lahannya di daerah Lido,” ujar Nurdin. Jika demikian, PSSI seharusnya segera menangkap momentum ini dengan mengajak pemerintah merealisasikan proyek itu sesegera mungkin. Dengan ”lampu hijau” dari Presiden, keperluan fundamental timnas itu seharusnya bisa direalisasikan tahun depan.
Di sisi lain, Kementerian Pemuda dan Olahraga pun seharusnya langsung menyambar pesan Presiden ini dengan segera membuat perencanaan untuk membangun lapangan-lapangan berstandar internasional di sejumlah daerah. Secara gamblang, Riedl sebenarnya menyebut lapangan sintetik sangat ideal untuk kondisi geografis Indonesia bercurah hujan tinggi. Meski investasinya lebih mahal ketimbang lapangan rumput, dalam jangka panjang lapangan jenis ini lebih ekonomis. ”Kalau hujan, tetap bisa dipergunakan dan teknik pemain tidak akan rusak,” ujar Wolfgang Pikal, asisten Riedl, dalam sebuah kesempatan.
Lapangan sepak bola dengan kualitas baik memang menjadi salah satu faktor yang membuat pembangunan sepak bola di negeri ini tersendat. Di Jakarta saja, mencari lapangan berkualitas baik untuk menggelar kompetisi ibarat mencari jarum di seonggok jerami. Jika Kementerian Pemuda dan Olahraga menargetkan paling tidak bisa membangun dua lapangan sintetik di setiap daerah kantong pemain bola—bekerja sama dengan pemerintah daerah—rasanya dalam lima tahun ke depan timnas Garuda sudah mendapatkan ribuan bibit pemain terbaik.
Dalam tiga dekade terakhir, fasilitas lapangan sepak bola di sejumlah daerah memang tidak sekadar memburuk mutunya, tetapi terlebih merosot kuantitasnya. Pemda jauh lebih suka menggandeng tangan swasta untuk membangun lahan bisnis, terutama mal dan perkantoran, dalam pemanfaatan lahan. Sebenarnya, lahan olahraga pun punya prospek bisnis yang sangat cerah jika dikelola secara profesional. Barangkali, memang, tingkat pengembalian keuntungan fasilitas olahraga jauh lebih lama ketimbang lahan bisnis. Namun, tugas pemerintah, dalam hal ini pemda, seharusnya juga membangun dunia olahraga. Yang dibutuhkan hanya sebuah kemauan politik untuk tidak terlalu serakah dalam pemanfaatan lahan. Tanpa kemauan politik yang kuat, olahraga, khususnya sepak bola, hanya akan dijadikan alat politik untuk membangun citra alias politik pencitraan.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/12/16/04465083/sepak.bola.dan.politik

Senin, 13 Desember 2010

haa iki Cuplikan Nagasasra Sabuk Inten

...............................................Arya menarik kekang kudanya sekuat-kuatnya, sehingga kuda itu meringkik dan berdiri tegak di atas kedua kaki belakangnya. "Api," jawab Arya. Pada saat itu kuda Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berlari disampingnya, tidak ke arah api itu. Dan terdengarlah suara Mahesa Jenar
tanpa menghentikan kudanya, "Itu adalah suatu cara untuk memancing kita. Aku telah mengenal akal itu."

Kembali Arya Salaka menggeretakkan giginya. Dengan cepatnya ia mencambuk kudanya dan berlari mengikuti gurunya.
Mereka langsung pergi ke rumah kepala daerah perdikan yang sedang diguncang oleh peristiwa-peristiwa yang
menyedihkan. Ketika mereka semakin lama menjadi semakin dekat, maka dada merekapun semakin berdebar-debar pula.
Meskipun demikian, Arya masih belum sadar benar akan keadaannya, sehingga dengan berteriak ia bertanya,
"Bagaimana dengan api itu paman?"

Mahesa Jenar menoleh. Dilihatnya Arya telah menyusul dekat dibelakangnya,
"Jangan perdulikan," jawabnya "mereka hanya ingin menarik perhatian kita.
Tempat yang menyala itu adalah tempat-tempat yang tak berarti.
Mudah-mudahan laskarmu telah berusaha untuk menyelesaikannya.
Bukankah api itu telah surut?" "Ya," sahut Arya.

Ia mengerti sekarang, bahwa bahaya yang sebenarnya tidak terletak di daerah api itu.

Cuplikan   : Nagasasra & Sabuk Inten
Karangan  : SH. Mintardja

Minggu, 12 Desember 2010

haa iki Cerita Tentang pak Mahfud

Mahfud Enggan Terkurung dalam Sangkar
Minggu, 12 Desember 2010 | 03:48 WIB
 Sarie febriane 

Bagi Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD (53), tempat tinggal tak harus mentereng untuk membuat dirinya merasa betah. Tinggal di apartemen mewah milik negara malah membuatnya seperti terkurung dalam sangkar.
Baru di rumah dinas tua di kawasan Widya Chandra, Jakarta Selatan, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu merasa tenteram. Tak peduli meski wallpaper rumah sudah mengelupas.
Pagi itu, tepat pukul 06.30, Mahfud muncul di ruang tamu dengan sepatu dan pakaian olahraga. Obrolan singkat kemudian berlanjut ke ruang keluarga sembari menemaninya berlari di atas treadmill. Sesuai saran dokter, Mahfud harus berolahraga setiap 48 jam dengan berjalan cepat atau berlari di atas treadmill selama 30 menit (3,25 kilometer).
Sembari berlari, Mahfud rupanya masih sanggup bercerita tanpa napasnya harus tersengal-sengal. Mantan perokok berat sejak kecil ini bercerita, dia dan keluarganya sempat menempati apartemen dinas di kawasan Kebayoran Baru, seperti juga para hakim MK lainnya. ”Apartemennya baru, bagus sekali. Tetapi kok rasanya berada di dalam sangkar. Terkurung. Lebih nyaman di sini walaupun rumah tua,” ujar pria kelahiran Sampang, Madura, ini.
Karena tak betah, apartemen tersebut akhirnya nyaris tak pernah ditinggali oleh Mahfud dan keluarganya. Selama enam bulan, sebelum akhirnya tinggal di Widya Chandra, Mahfud memilih tinggal di rumah pribadinya yang kini ditempati salah satu anaknya di kawasan Tanjung Barat, Jakarta Selatan.
Rumah itu dibelinya ketika dia selesai bertugas sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia tahun 2001 di era pemerintahan Abdurrahman Wahid. ”Rumah di perkampungan, waktu itu ada orang menawarkan dengan harga cukup murah, Rp 317 juta, karena sedang butuh dana,” cerita Mahfud.

Seadanya
Rumah dinas di Widya Chandra yang kini ditempatinya, sebelumnya ditempati oleh mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie. Meski tampak kuno, dengan langit-langit rendah dan ubin teraso, rumah itu cukup luas dan sejuk karena dikelilingi kerindangan pepohonan dan tanaman. Di halaman belakang sebuah pendopo mungil dijadikan tempat untuk sekadar duduk-duduk atau shalat.
Biasanya, orang mengira rumah dinas pejabat tinggi negara sering kali tampil serba mentereng. Sebab, setiap kali penghuninya berganti, dengan anggaran pemerintah, si pejabat baru biasanya gemar mengganti berbagai perabot di rumah dinas dengan model paling mutakhir.
Akan tetapi, Mahfud tampaknya membiarkan rumah dinasnya apa adanya. Di area ruang tamu yang langit-langitnya rendah, wallpaper malah tampak dibiarkan mengelupas. Tampak sekali, wallpaper di rumah itu memang sudah lama tidak diganti.
”Saya sempat ganti sarung sofa itu sih karena sudah dekil. Habis Rp 400 ribu semuanya kalau tak salah ingat. Sofanya sendiri masih bagus kok, enggak perlu diganti,” cerita Mahfud.
Selain itu, tambah Mahfud, dia juga menyulap salah satu kamar di lantai dua menjadi ruang karaoke. ”Jadi kalau mau karaoke, ya, di rumah saja, sama keluarga. Nanti kita lihat ya,” ajak Mahfud.
Setelah aktivitasnya di atas treadmill usai, kami lalu beranjak ke lantai dua, area pribadi Mahfud dan keluarganya. Dia lalu membuka pintu ruang karaoke yang dimaksudnya. Ruangan yang sejatinya kamar tidur itu berukuran sekitar 3 x 4 meter persegi, dan dilapisi bantalan kedap suara seadanya. Beberapa panel bantalan itu tampak mulai terlepas sambungannya. Sebuah kasur busa, dengan guling, menjadi tempat leyeh-leyeh untuk berkaraoke.
Masih di lantai dua, berhadapan dengan kamar karaoke tadi, menjadi ruang kerja Mahfud sehari-hari. Saban pagi, setelah shalat subuh, Mahfud langsung membuka internet membaca berbagai situs berita. ”Saya buka kompas.com, detik.com, dan vivanews. Sebab, koran baru tiba sekitar pukul 06.30. Di rumah ini saya langganan tiga koran, Kompas, Rakyat Merdeka, dan Indopos. Di kantor, langganan lebih banyak lagi,” tutur Mahfud, yang saban hari bangun pukul 03.00.
Stiker bertuliskan ”Ganyang Koruptor! Mafia Hukum!” tertertempel di lemari buku di samping meja komputernya. Di ruang kerja itu pula Mahfud kerap mencicil pekerjaannya di MK dan memeriksa tugas-tugas mahasiswa. Saat ini, Mahfud masih aktif mengajar di berbagai universitas, seperti di Universitas Diponegoro, Universitas Islam Indonesia (Yogyakarta), dan Universitas Gadjah Mada.

http://cetak.kompas.com/read/2010/12/12/03484315/mahfud.enggan.terkurung.dalam.sangkar