haa iki Sungguh sia-sia jika kita menempatkan Ramadan sebagai bulan pura-pura
Haji Bachdim Berpuasa
Senin, 8 Agustus 2011 - 09:09 wib
"Selamat puasa..." kata Haji Bachdim di tayangan televisi. Bachdim yang  mana? Itu lho Irfan Bachdim, pesepakbola naturalisasi yang kini  memperkuat timnas senior dan U 23. Haji? Lihat saja tampilannya dalam  iklan minuman suplemen, ia bersarung dan baju koko dengan peci putih,  simbol orang yang telah berhaji. 
   
Tampilan yang serupa juga  dilakukan oleh Cristian Gonzales. Sama-sama pesepakbola naturalisasi.  Sama-sama memperkuat timnas, dan sama-sama tampil dalam iklan minuman  berenergi, serta sama-sama "haji". Bedanya, Gonzales yang punya nama  Islam; Mustafa Habibi itu berselempang sajadah seolah siap untuk  menunaikan salat tarawih. 
   
Bachdim dan Gonzales merupakan  ikon untuk merepresentasikan kebugaran. Agar selama puasa Ramadan terus  menerus tampil bugar, jangan lupa meneguk minuman suplemen itu. Kreatif  iklan pun sengaja menampilkan keduanya sangat islami. Selain bersarung,  mereka tak lupa dikenai peci putih. Biar pemirsa menyangka bahwa mereka  sudah mencapai kesempurnaan Islam dengan berhaji. Saya tidak tahu  persis, apakah Bachdim dan Gonzales sungguh-sungguh sudah pergi  menunaikan haji. Kalaupun sudah bergelar haji, setidaknya kreatif iklan  ingin menampilkan sosok yang religius dengan bersarung dan peci putih  itu.
   
Peci putih merupakan salah satu simbol yang sering  muncul di masyarakat untuk menunjukkan seseorang telah menjalankan  ibadah haji. Seorang ustaz asal Cirebon bercerita, bagi sebagian  masyarakat Cirebon, Jawa Barat, peci putih itu sangatlah sakral sehingga  hanya layak dikenakan oleh orang yang sudah pergi haji. Bahkan ada  pesantren di sana yang melarang santrinya memakai peci putih bilamana  belum berangkat haji ke Mekah. Peci putih menjadi simbol kesempurnaan  pengabdian hamba Allah. Warna putih merupakan lambang spiritual  sebagaimana dalam tasawuf digambarkan sebagai;  takholli, tajjali dan  tahalli.
   
Namun ustaz lain menjelaskan peci putih hanyalah  sebuah pakaian yang tidak memiliki hubungan dengan islam atau kafirnya  seseorang. Kata  ustadz itu, menggunakan peci putih hanyalah sebuah  tradisi masyarakat muslim. Bahkan di Mekah saja banyak anak-anak yang  belum haji sekalipun menggunakan peci haji itu. Sebaliknya banyak pula  pria dewasa yang sudah berulang kali menunaikan ibadah haji tidak  menggunakan peci putih.
   
Jadi, kalaupun Bachdim dan Gonzales  belum naik haji maka tak ada persoalan jika Bachdim maupun Gonzales  memakai peci putih dalam iklan mereka. Memang hal ini bukan untuk  dipersoalkan. Saya cuma ingin melihat, betapa simbol-simbol Islam  tiba-tiba bertebaran di televisi saat Ramadan. Bukan sekadar Bachdim dan  Gonzales. Itu sih belum seberapa "mengejutkan". Coba perhatikan  seksama, artis yang biasa berbusana sensual, pada Ramadan diupayakan  tampil dengan busana muslim. Rapi dan terkesan religius. Mereka  mengenakan simbol Islam semata-mata kehendak pasar, bukan kehendak  nurani. Maka jangan kaget jika ada penulis yang secara garang menyatakan  itulah "kepura-puraan" Ramadan yang mengejutkan pemirsa.
   
Dibahas  dari sisi manapun, pura-pura itu tetap saja bermuatan negatif. Dari  kaidah bahasa, secara harfiah pura-pura itu diartikan tidak  sesungguhnya. Kita berpura-pura berarti kita berbuat tetapi sebenarnya  tidak berniat untuk berbuat. Atau kita berpura-pura berarti kita berbuat  seolah-olah. Jadi kalau berpura-pura islami, berarti berbuat  seolah-olah islami, padahal tak ada niatan untuk sungguh-sungguh islami  itu. 
   
Kemudian kalau mau pakai semiotika, ini mirip  pengertian simulasi. Mereka (yang berpura-pura) itu sekadar bersimulasi  menuju citra islami! Mereka memakai topeng keislaman. Kita tak tahu  persis karakter di balik topeng. Bisa saja karakter yang sebenarnya acap  menerabas rambu-rambu haram. Begitulah jika mereka terobsesi pada  realisme. Bila mereka ingin mengantongi kredibilitas Islam, tak pelak  lagi, ia musti memiliki sifat ikonik, kemiripan yang amat sempurna,  fotocopi yang “nyata” atas realitas yang sedang direpresentasikan. Ia  harus pandai menyesuaikan antara ajaran sesungguhnya dan sifat ikonik  itu. Tatkala masyarakat sedang berimajinasi (sebagai orang Islam yang  taat), maka ia harus membuat kepalsuan yang nyata (Eco, 1987). 
   
Kepalsuan  adalah kedustaan. Dusta sebagai “melakukan, mengatakan, atau menulis  sesuatu yang Anda tahu itu tidak benar”. Artinya, antara yang dilakukan,  dikatakan atau ditulis tidak sesuai dengan realitas yang sesungguhnya.  Terdapat hubungan yang tidak simetris antara tanda dan realitas. 
   
Orang-orang  yang berpura-pura itu selalu ada dalam Islam. Sejarah perkembangan  Islam diwarnai kemunafikan. Misalnya, selepas Perang Badar yang  dimenangi kaum muslim, banyak tokoh dan pembesar di Yatsrib berpura-pura  memeluk Islam demi menyelamatkan warisan mereka. Di antaranya yang  paling dikenal adalah Abdullah bin Ubay bin Sahul yang berpura-pura  meninggalkan agamanya untuk memeluk Islam. 
   
Sekarang budaya  pop mempengaruhi kepura-puraan tersebut. Celaka ketika puasa dianggap  budaya sehingga nilai sakralnya nyaris terhapus. Kemudian yang terjadi  adalah komodifikasi Ramadan. Di sini segenap kepura-puraan itu muncul  nyata ke permukaan tanpa malu lagi.  Segenap gimik pemasaran menempatkan  Ramadan sebagai fokus. Nilai Ramadan seolah-olah pada transaksi bisnis,  sama sekali tak menjunjung tinggi kesakralannya. Tentu saja segala  kepuraan-puraan akan menghilangkan makna ritual yang sakral. 
   
Jadi  mulai jelas, bahwa ketika Ramadan dianggap budaya, saat itulah marak  kepura-puraan. Mudah-mudahan kita tidak terseret pada kepura-puraan itu.  Sungguh sia-sia jika kita menempatkan Ramadan sebagai bulan pura-pura.  Ia melulu menampakkan kesalehan ritual tanpa berhasil menggapai  kesalehan sosial. Bahkan ia tak memperoleh makna ritual keagamaan. 
Semua  berlangsung hampa, dan merekalah yang bakal memperoleh hukuman  setimpal, “…Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan  membiarkan mereka dalam kegelapan, tak dapat melihat….Atau seperti  (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap  gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya  karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati…”(*)
 
 
 
          
      
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar