Kamis, 21 November 2013

haa iki : Artidjo, hakim agung yang ditakuti para koruptor




Merdeka.com - Lagi-lagi Artidjo Alkostar membuat publik tercengang. Hakim Agung kelahiran Situbondo, Jawa Timur, pada 22 Mei 1948 ini membanduli Angelina Sondakh dengan hukuman yang lebih berat di tingkat kasasi.

Angelina Sondakh sebelumnya hanya divonis 4 tahun 6 bulan di tingkat Pengadilan Negeri Tipikor, namun vonis itu dilipatgandakan oleh Artidjo, MS Lumme dan Mohammad Askin menjadi 12 tahun.

Sebelumnya trio Hakim Agung (Artidjo Alkostar, MS Lumme dan Mohammad Askin) ini juga memperberat hukuman bagi Tommy Hindratno, pegawai pajak pada Kantor Pajak Sidoarjo, dari 3 tahun 6 bulan menjadi 10 tahun. Trio Hakim Agung ini juga memperberat hukuman Zen Umar, Direktur PT Terang Kita atau PT Tranka Kabel, dari 5 tahun menjadi 15 tahun.

Vonis hukuman naik 3 kali lipat lebih tinggi dari hukuman semula adalah rekor saat ini. Rekor sebelumnya hukuman hanya naik dua kali lipat dan itu pun juga dipegang oleh Artidjo bersama Suryajaya, Abdul Latief, Krisna Harahap, dan MS Lumme yang memperberat hukuman Anggodo Widjojo dari lima tahun menjadi 10 tahun penjara.

Lalu siapa sebenarnya Hakim Artidjo?

Sebelum menjadi hakim agung, Artidjo aktif sebagai dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan advokat. Sebagai seorang advokat, Artidjo pernah menangani beberapa kasus penting, di antaranya Anggota Tim Pembela Insiden Santa Cruz di Dili (Timor Timur 1992), dan Ketua Tim Pembela gugatan terhadap Kapolri dalam kasus Pelarungan Darah Udin (wartawan Bernas Fuad M Syafruddin).

Alumnus FH UII angkatan 1976 ini juga pernah menjadi Direktur LBH Yogyakarta pada 1983-1989. Artidjo juga pernah menempuh pendidikan untuk lawyer mengenai Hak Asasi Manusia di Columbia University selama enam bulan. Artidjo juga bekerja di Human Right Watch divisi Asia di New York selama dua tahun.

Pulang dari Negeri Paman Sam, Artidjo lalu mendirikan kantor pengacara yang dia namakan Artidjo Alkostar and Associates. Namun pada tahun 2000, pria berdarah Madura ini harus menutup kantor hukumnya karena terpilih sebagai hakim agung.

Artidjo hingga saat ini masih mengajar di kampus almamaternya. Artidjo mengajar setiap Sabtu, dari pagi hingga malam hari. Mantan aktivis HMI ini mengajar hukum acara pidana dan etika profesi serta mengajar mata kuliah HAM untuk S2. Artidjo biasa pulang ke Yogyakarta Jumat sore dan dijemput keponakannya di bandara dengan menggunakan motor.

Saat awal menjadi Hakim Agung, Artidjo bahkan sering naik bajaj atau taksi untuk menuju Gedung Mahkamah Agung. Hal itu karena di awal karirnya, hakim agung belum mendapatkan kendaraan dinas. Bahkan karena belum juga mendapat fasilitas rumah dinas dari MA, Artidjo mengontrak sebuah rumah di perkampungan di Kramat Kwitang, Jakarta Pusat, di belakang deretan bengkel las.

Kesederhanaan dan kejujuran telah menempa Artidjo. Berangkat dari padepokan kesederhanaan dan kejujuran itu kini Artidjo menjadi Hakim Agung yang tanpa ampun menghukum koruptor. Vonis ringan yang dijatuhkan hakim di bawahnya dia rombak dan tetap dengan argumen hukum yang kuat.

Lalu siapa lagi koruptor yang bakal merasakan beratnya palu besi yang digenggam Artidjo?
(dari berbagai sumber)
[hhw]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar