Senin, 07 November 2011

haa iki : Elit Indonesia Makin Tak Beretika


inilah.com/Wirasatria
Oleh: Derek Manangka
Nasional - Senin, 7 November 2011 | 07:30 WIB

INILAH.COM, Jakarta - Ada tiga kasus serius yang mengemuka dan menjadi perdebatan luas di tengah masyarakat.Semuanya akibat etika kaum elit di Tanah Air yang makin tergerus.
Pertama soal perjuangan Indonesia untuk memenangkan kontes internasional agar Komodo bisa terpilih menjadi satu di antara 7 keajaiban dunia ciptaan Tuhan. Kedua soal pencaplokan beberapa bagian wilayah Indonesia di daerah Kalimantan Barat oleh Malaysia. Ketiga soal ketidak-puasan Fadel Muhammad yang dicopot dari jabatan Menteri oleh Presiden SBY.
Dalam kasus pertama yang konyol dan kontroversi dari perdebatan ini adalah elit Indonesia terbelah dalam menghadapi pihak asing. Terbelah dalam arti elit Indonesia sendiri yang saling berseberangan. Mereka saling membantah dan saling menyalahkan.
Namun yang menyedihkan dalam perdebatan ini, mereka yang terlibat di dalamnya merupakan orang-orang yang terpelajar. Mereka pernah tinggal dan belajar di negara maju sehingga kontras dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang mereka miliki.
Adalah Duta Besar RI di Swiss, Djoko Susilo yang membongkar fakta dan data dari Panitia 7 Keajaiban Dunia (New 7 Wonders -N7W). Menurut versi bekas koresponden Jawa Pos di Amerika Serikat itu, alamat N7W di Swiss palsu, sehingga ia meragukan kredibilitas lembaga tersebut.
Dubes RI ini tidak sadar dengan caranya yang terbuka seperti itu, dia telah mempermalukan Jusuf Kalla, bekas Wakil Presiden RI (2004-2009). Sebab JK merupakan Dubes Komodo yang saat ini sedang gencar-gencarnya memperjuangkan Komodo menjadi salah satu keajaiban dunia. Sebagai ‘sesama dubes’ Djoko Susilo semestinya tidak sembrono.
Sebagai Dubes, wakil pemerintah Indonesia, seharusnya Djoko Susilo ‘menegur’ JK dengan cara santun dan prosedural. Misalmya menyampaiklan hal itu langsung tanpa melalui publikasi. Cara Djoko Susilo justru mencerminkan dia tidak peduli dengan kehormatan dan martabat seorang mantan Wapres RI. Dia lebih tertarik mendapatkan publikasi yang hanya menguntungkan diriya sendiri. Dia lebih berpikir sempit seluas ruang kerjanya di KBRI Swiss sana.
Ketidak santunan elit diplomat RI itu makin dipertebal oleh sikap Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sapta Nirwandar. Sebab Sapta justru lebih memperjelas bahwa antara Kementerian Pariwisata dengan Jusuf Kalla sebagai Dubes Komodo dalam soal N7W, memang berseberangan.
Nirwandar yang jebolan Prancis, lupa, bahwa baru beberapa hari sebelum dia membuat pernyataan yang berseberangan dengan Jusuf Kalla, Presiden SBY sudah ikut mendukung perjuangan JK dengan cara mengetik SMS Komodo. Artinya SBY memiliki visi yang sama dengan JK.
Sehingga disini terlihat ketidakpatutan. Wakil Menteri bisa berbeda kebijakan dengan Presiden. Tidak patut seorang Wakil Menteri berbicara semaunya. Tanpa peduli opini dunia luar yang melihat adanya ketidaksinkronan di antara para elit pemimpin.
Sapta Nirwandar seharusnya berterima kasih kepada Jusuf Kalla. Karena JK sempat menyebut nama Sapta Nirwandar sebagai pihak yang membuat kontes komodo bermasalah saat meluncurkan gagasan SMS komodo bulan lalu. Tetapi kepada semua wakil media, JK meminta supaya hal ini tidak diekspos. Sasarannya hanya satu, jangan sampai orang luar menyaksikan bangsa kita kerjanya cuma bisa berkelahi di antara sesama kita. Sebuah pandangan yang bijak.
Itu sebabnya sejak itu nama Sapta Nirwandar tidak pernah diungkit oleh media sekalipun banyak wartawan yang terkaget-kaget ketika Nirwandar diangkat sebagai Wakil Menteri.
Bangsa Indonesia sepatutnya bangga dengan elit seperti Dubes Djoko Susilo dan Wakil Menteri Sapta Nirwandar. Sebab mereka merupakan putera-putera terbaik yang memiliki kelebihan dan kesitimewaan tersendiri di antara 200-an juta penduduk Indonesia.
Tapi untuk itu mereka juga harus menjaga status keistimewaan dan kelebihan yang mereka miliki. Mereka harus punya kesadaran, apapun yang mereka kerjakan, kepentingan bangsa yang harus lebih diutamakan. Bukan memperjuangkan ego diri mereka sendiri.
Dalam kasus kedua, menyangkut bantahan oleh anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Ramadhan Pohan terhadap temuan Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi PDI-P, Mayjen (pur) TB Hasanuddin.
Pohan bersikeras bahwa tidak ada sejengkal tanah pun dari wilayah Indonesia yang dicaplok Malaysia. Pohan secara khusus menggelar pertemuan pers. Disini terlihat wakil rakyat yang bekas wartawan ini sangat jelas memperlihatkan ketidakpahamanya tentang esensi persatuan dan kesatuan NKRI.
Jika Pohan punya prinsip, "salah benar saya akan tetap membela negara saya", dia tidak akan merasa perlu membantah temuan atau pernyataan TB Hasanuddin. Dalam isu pencaplokan tersebut, Pohan tidak dirugikan sama sekali.
Pohan mungkin tidak sadar, ketika pernyataannya dikutip Kedubes Malaysia di Jakarta, lalu laporan diplomat Malaysia itu dikirim ke Kualalumpur akan berbunyi :" Wakil rakyat Aulia Pohan,tergolong orang kita. Dia bersama seluruh handaitaulannya, patut diundang oleh pemerintah dan kerajaaan Malaysia untuk menikmati liburan panjang dengan fasilitas kelas satu. Bahkan bila perlu encek Pohan diberikan gelar kehormatan, Tan Sri ...."
Katakanlah Hasanuddin sudah berbohong kepada rakyat Indonesia. Tapi yang harus Pohan sadari, Hasanuddin berbohong demi untuk mengingatkan semua kekuatan agar berhati-hati terhadap Malaysia. Peringatan Hasanuddin wajar sebab tetangga kita itu sudah dijuluki oleh para tukang pleset kata-kata : "Maling Asia".
Dan kalau itu konteksnya, bekas Sekretaris Militer RI tersebut, tidak patut disalahkan. Dia justru perlu dibela. Jangan hanya karena berbeda partai, lalu dalam soal NKRI pun wakil rakyat kita harus berbeda. Sebagai elit politik, jika Pohan masih ngotot mempersalahkan TB Hasanuddin, maka aparat intelejens Indonesia patut memeriksa kadar kebangsaannya.
Sedang kasus Fadel Muhammad, yang tidak patut dari apa yang dilakukannya adalah dengan terus menyodok Mensesneg Sudi Silalahi. Fadel jangan berpura-pura tidak paham. Bahwa yang menentukan kabinet, pada akhirnya Presiden SBY bukan Sudi Silalahi.
Kalau Presiden SBY kita umpamakan sebagai kepala rumah tangga kemudian dia menceraikan isterinya, tentu isteri SBY tidak bisa menyalahkan Sudi Silalahi. Oleh karena itu kalau isteri SBY masih terus menumpahkan semua kekesalahannya terhadap Sudi Sillalahi, maka wajar dipertanyakan, siapa yang masih berfikir secara sehat dan siapa yang tidak.
Terlepas dari soal apakah Sudi Silalahi yang membuat Fadel merasa dizalimi, tetapi juga cara elit seperti Fadel termasuk hal yang sudah tidak beretika. Dengan mengangkat isu dan masalah ini, harapan yang kita impikan, semoga saja akan lahir elit-elit bangsa yang lebih baik. [mdr]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar