Jumat, 03 Februari 2012

haa iki : (Tafsir Ihdinash Shirathal Mustaqim (3)) Belajar dari Sasmita dan Gusti Pangeran Haryo

Sumber : http://m.inilah.com/read/detail/1826185/belajar-dari-sasmita-dan-gusti-pangeran-haryo

Oleh: Ahmad Munjin
Jumat, 3 Februari 2012, 11:55 WIB
INILAH.COM, Jakarta – Alkisah, Sasmista adalah seorang punya kemampuan tahu sebelum diberi tahu. Sedangkan Pangeran Haryo justru sebaliknya. Diberi tahu pun, dia tak percaya. Seperti apa?
Cendekiawan Muslim Jalaluddin Rakhmat mengatakan, di dalam cerita silat China kuno, terdapat banyak jurus yang diambil bukan dari ajaran pendeta Shaolin, tetapi diambil dari melalui pengamatan terhadap alam semesta. Misalnya, jurus bangau, jurus pusaran angin, dan jurus-jurus lainnnya.
Menurut Jalal, ada orang-orang tertentu yang kabel penghubungnya sudah putus dengan cahaya Ilahi. Allah tinggalkan mereka dalam kegelapan sehingga mereka tidak bisa melihat. Kalau itu sudah terjadi, akalnya menjadi tumpul.
Apapun yang terjadi di sekitarnya dan masyhud (nasihat yang bisa disaksikan) tidak akan menjadi pelajaran baginya. Apalagi, hal-hal masmu’ (nasihat yang bisa didengar) yang ia dengar.
Jalal melanjutkan, budayawan Emha Ainun Nadjib bercerita orang seperti itu. Namanya, Gusti Pangeran Haryo. Ia sudah tidak bisa mendengar nasihat dari orang-orang terdekatnya, apalagi, orang yang jauh darinya.
Bahkan nasihat dari seluruh bangsa ini yang berteriak-teriak setiap hari, sudah tidak didengarnya. “Saya tidak tahu sebenarnya siapa orang itu,” kata Jalal.
Ada pula orang yang disebut dalam bahasa Jawa dengan Sasmita, orang yang sudah tahu sebelum diberi tahu. Itu adalah tingkatan orang yang aliran petunjuknya sangat besar, yang tegangannya tinggi, sehingga cahayanya bersinar terang.
Meski nasihat itu belum datang, mereka sudah memperoleh pelajaran. Lawan dari Sasmita adalah orang yang disebutkan di atas yaitu orang yang sudah diberi tahu berkali-kali namun tetap saja tidak mau tahu.
“Sawaun ‘alaihim a’andzartahum am lam tun dzirhum la yu’minun. Kamu beri tahu dia atau tidak kamu beri tahu dia, tetap saja ia tidak percaya.” (Q.S. al-Baqarah: 6).
Sesungguhnya orang seperti itu hidup dalam sebuah pulau yang terpencil dan terisolasi dari kejadian di dunia ini. Padahal, banyak yang dapat diambil pelajaran dari bencana demi bencana yang terjadi di negeri ini. Mulai dari kebakaran hutan, banjir, hingga krisis ekonomi.
Menurut Jalal, kalau kita sudah tidak bisa mengambil pelajaran, baik dari apa yang kita dengar maupun dari apa yang kita saksikan, berarti kita sudah terputus dari petunjuk Allah SWT.
“Karena itu, kita ucapkan, Ihdinash Shirathal Mustaqim, Ya Allah tunjukkanlah kami jalan yang lurus,” imbuh Jalal. [Bersambung. Sumber: Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), h. 396-397].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar