Senin, 13 Februari 2012

haa iki : Ironi PDB

Sumber : http://web.inilah.com/read/detail/1829593/ironi-pdb

Kolom Andi Suruji

Ironi PDB!

Headline
Andi Suruji - inilah.com
Oleh:
Senin, 13 Februari 2012 | 13:37 WIB 
 
PEREKONOMIAN tumbuh cukup tinggi. Pendapatan per kapita masyarakat meningkat. Itu klaim pemerintah. Lantas mengapa panjang barisan pengangguran tak berkurang, dan jumlah orang miskin tidak menurun signifikan?
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan besaran perekonomian Indonesia yang diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun lalu telah mencapai Rp7.427,1 triliun. Kalau diukur pakai dolar Amerika Serikat, ya kira-kira US$850 miliar. Nah dari besaran PDB itu, jika dibagi dengan jumlah penduduk pada posisi tengah tahunan (sesuai teori ekonominya), diperoleh angka Rp30,8 juta atau US$ 3,542,9 per orang. Itulah yang diklaim sebagai pendapatan per kapita.
Hebat…! Selayaknyalah kita berbesar hati menyaksikan angka-angka itu. Apalagi, banyak negara lain yang terpuruk perekonomiannya. Teorinya, jika pertumbuhan ekonomi tinggi, pendapatan per kapita melonjak, menjadi indikator bertambahnya tingkat kesejahteraan rakyat. Sayangnya, apa yang dilihat mata – seperti angka-angka tadi – belum tentu bisa terkoneksi dengan rasa perasaan rakyat kebanyakan.
Mari kita merenung sejenak! Kita periksa orang-orang sekitar! Contoh paling dekat, pembantu rumah tangga. Apakah betul mereka itu, yang bekerja kadang-kadang lebih dari delapan jam sehari, memang telah mengantongi pendapatan Rp30,8 juta dalam setahun? Jika ya, syukur Alhamdulillah.
Fenomena pembantu rumah tangga ini membalikkan teori ekonomi. Kita sering kali kesulitan mencari pembantu. Artinya pembantu itu langka. Padahal teori ekonomi mengajarkan, sesuatu yang langka, permintaan tidak bisa terpenuhi oleh penawaran, pasti harganya mahal. Nyatanya, walaupun kita kesulitan, pontang-panting mencari pembantu, bahkan harus antre dan inden berbulan-bulan, toh harga alias upah mereka tidak juga mampu mensejahterakan mereka. Inilah salah satu yang diledek dalam buku “Matinya Ilmu Ekonomi”.
Nah, kembali ke soal pendapatan pembantu. Kalau mereka belum menerima pendapatan sebesar itu dalam setahun, mungkin Anda bertanya dalam hati bagaimana BPS melakukan penghitungan pendapatan per kapita tersebut?
Inilah…! BPS hanya membagi rata total nilai PDB dengan seluruh penduduk. Termasuk juga mereka yang tidak berproduksi sekalipun. Anak-anak, orang jompo, pun masuk sebagai pembagi. Padahal, pembentukan PDB, hanya disumbang oleh segelintir orang. Jangan-jangan PDB itu disumbang oleh hanya sekitar 20% dari total penduduk. Soalnya, PDB dihitung dari seluruh nilai tambah yang dihasilkan oleh semua unit usaha dan penduduk. Padahal, ada orang miskin, ada pengangguran, yang sangat kecil, bahkan nihil kontribusinya dalam perhitungan PDB.
Kalau kembali mempersoalkan PDB senilai Rp7.427,1 triliun dan pendapatan per kapita yang senilai Rp30,8 juta tadi, rasanya sudah tidak ada lagi orang miskin di Indonesia ini, bukan…! Dengan jumlah pendapatan sebanyak itu, tentu tidak perlu lagi ada anggaran beras untuk orang miskin.
Akan tetapi, nyatanya, menurut data BPS sendiri, jumlah orang miskin masih sekitar 30 juta orang. Belum lagi yang dikategorikan hampir miskin (near poor). Nah, yang hampir miskin ini, begitu ada gejolak harga, sementara pendapatan tidak membaik, atau bahkan sebaliknya justru memburuk, maka mereka juga langsung jatuh miskin. Ironis, memang. Padahal, anggaran untuk bantuan pemberantasan kemiskinan juga terus meningkat dari tahun ke tahun dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.
Itulah yang sering dikatakan para pengamat, bahwa pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6,5 persen pada tahun 2011, bahkan dinilai yang tertinggi pasca gelombang dahsyat tsunami krisis ekonomi belasan tahun silam, masih belum berkualitas. Tidak berkualitas karena pertumbuhan ekonomi yang terjadi, tidak banyak membuka lapangan kerja baru.
PDB justru dipicu sektor-sektor yang kurang mampu menyerap tenaga kerja secara masif. Lihat saja sektor pertanian, porsinya kian mengkerut dalam pembentukan PDB. Padahal di sektor inilah sekitar 40 juta orang menggantungkan hidupnya. Sektor keuangan yang relatif kecil daya serap tenaga kerjanya, justru meningkat signifikan perannya dalam pembentukan PDB.
Kesimpulan dari cerita indah PDB dan pendapatan per kapita ini, adalah masih terjadinya, atau bahkan semakin melebarnya kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Inilah tugas pemerintah, mempersempit jurang perbedaan itu. Terapkanlah konsep pembangunan yang lebih adil.
Malulah bicara pertumbuhan ekonomi tinggi, pendapatan per kapita semakin meningkat, tetapi kian berjubel pula orang tidur di kolong jembatan. Pengemis makin banyak di jalanan, usia produktif terpaksa menjadi tukang ojek. Pedagang kaki lima semakin menyesaki trotoar, anak-anak putus sekolah. Ah, sederet indikator dan karikatur kemiskinan lainnya.
Oh…! Para elite tak lagi bicara konsep keberpihakan pada rakyat yang didera kemiskinan. Mereka sibuk bergunjing tentang proyek dan strategi mengorupsi uang negara. Amat bersemangat mengatur fasilitas ruang kerja mewah yang dilengkapi tempat tidur, padahal saat rapat pun mereka cuma tidur. Oh, negeri ini memang bertabur anekdot….
Andi Suruji, CEO & Editor-in-Chief Inilah Group. Artikel ini juga diterbitkan di majalah Inilah REVIEW edisi ke-24 yang terbit Senin, 13 Februari 2012.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar