Jumat, 03 Februari 2012

haa iki : (Tafsir Ihdinash Shirathal Mustaqim (1)) Mengenal Dua Jenis Nasihat

Sumber : http://m.inilah.com/read/detail/1821173/mengenal-dua-jenis-nasihat

Oleh: Ahmad Munjin
Jumat, 20 Januari 2012, 12:01 WIB
INILAH.COM, Jakarta – Anda mungkin sering mendengar nasihat atau petunjuk dari seorang mubalig, guru atau orang tua. Tapi, apakah Anda sering menangkap petunjuk yang tak dapat didengar?
Cendekiawan Muslim Jalaluddin Rakhmat mengatakan, “Ihdinash shirathal msutaqim, tunjukilah kami ke jalan yang lurus (Q.S. al-Fatihah:6).” Jalal mempertanyakan, mengapa setelah mendapat petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Rasullullah Saw dengan menjalankan agama Islam, kita masih juga memohon kepada Allah untuk diberi petunjuk?
Seorang ulama mutakhir, Syekh Makarim al-Syirazi, menyatakan, bahwa petunjuk Allah itu harus berlangsung secara terus menerus. Seperti lampu yang terus menyala karena ada aliran listrik. Begitu aliran listrik itu terhenti, lampu itu padam.
Seperti itu juga hidup kita yang juga harus terus dialiri oleh petunjuk Allah swt. Begitu Allah Swt menghentikan alirannya, cahaya petunjuk di dalam diri kita menjadi padam. Al-Qur’an menyebutkan orang seperti itu, “Wa tarakahum fi zhulumatil la yubsirun, Allah tinggalkan mereka dalam kegelapan sehingga mereka tidak bisa melihat apa-apa.” (Q.S. al-Baqarah: 17).
Menurut Jalal, pada tingkat tertentu, orang sudah tidak bisa lagi menerima petunjuk lewat jalan apapun. Nasihat dan teguran sudah tidak ia dengar. “Ada dua macam nasihat yang memberikan pelajaran dalam hidup kita,” ucapnya.
Pertama, Almasmu’ yaitu nasihat yang bisa kita dengar. Misalnya, nasihat seorang mubalig kepada pendengarnya, nasihat guru kepada muridnya, atau nasihat orang tua kepada anaknya. Nasihat-nasihat itu menjadi pelajaran karena bisa kita dengar.
Kedua, Al-Masyhud, yaitu nasihat yang tidak kita dengar tapi dapat kita saksikan. Seluruh perjalanan hidup kita kadang kala bisa menjadi nasihat. Al-Qur’an membrikan contoh Qabil yang membunuh saudaranya Habil.
Qabil tidak tahu bagaimana harus menguburkan mayat saudaranya itu. Tiba-tiba ia melihat burung yang menggali tanah. Terpikirlah dalam benaknya untuk menguburkan mayat. “Jadi, dia memperoleh pelajaran dari apa yang dia saksikan,” imbuh Jalal. [Sumber: Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), h. 394 – 395].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar