Minggu, 31 Januari 2010

haa sa'unine he


sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/31/04212374/tertawa.dan.nyanyi.bersama..saunine.

Tertawa dan Nyanyi Bersama Sa'Unine
Minggu, 31 Januari 2010 | 04:21 WIB
Oleh Tonny D Widiastono
SaUnine String Orchestra dari Yogyakarta mengajak penonton tertawa, bernyanyi, dan merasakan suasana riang, lepas tanpa beban. Mereka tampil di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (28/1).
Mereka tampil tidak dengan jas atau tuksedo. Tapi, cukup dengan surjanbaju khas masyarakat pedesaan di Yogyakarta yang sengaja mbledh , tidak dikancingkan. Mereka mengenakan celana pendek hitam selututkhas celana petanidililit batik, dan nykr , tanpa alas kaki. Dengan cara itu, bocah-bocah ndeso itu ingin menyapa penonton dalam suasana santai, ramah, penuh kekeluargaan.
Mengawali pergelaran, SaUnine dengan konduktor Oni Krisnerwinto menyuguhkan Di Bawah Sinar Bulan Purnama karya Maladi dan aransemen digarap Jozef Cleber. Bahan latihan wajib mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) ini disuguhkan mulus, bahkan, mungkin terlalu halus untuk panggung berformat pop dan penonton yang beragam.
Meskipun demikian, suasana nyamleng alias nikmat kian terasa saat disuguhkan Sapu Lidi karya Sukamto. Diawali gesekan contra bass pada satu nada, disusul cello, melodi segera diambil alih biola satu dan dua. Suasana nikmat kian meresap manakala cello (dimainkan Dimawan Krisnowo Aji, pembuat aransemen) mengambil alih melodi dan dibawakan dengan apik berikut cengkok-cengkoknya yang indah.
Hadirnya lagu Ilir-ilir yang dibawakan oleh sinden, Silir Pujiwati, agaknya menjadi adikarya pergelaran malam itu. Ilir-ilir memberi rasa teduh dan terasa kontras dengan situasi di sejumlah tempat yang pagi, siang, hingga sore sebelumnya digaduhkan dengan demonstrasi.
Indonesia
Untuk membuat suasana kian cair, Oni Krisnerwinto segera menyambar mikrofon, mengajak hadirin untuk menikmati keindahan Indonesia dengan lagu-lagu dari Kalimantan, Jawa, lalu ke Sumatera Barat. Inilah cara kelompok SaUnine mewujudkan rasa cinta Tanah Air. Meluncurlah Paris Barantai , dibawakan dengan indah dalam suasana riang, disusul Padang Bulan .
Ketika Yasril Adha meniup banzi, penonton segera paham sedang dibawa ke Sumatera Barat dan meluncurlah Kambanglah Bungo Parautan . Keindahan lagu kian terasa saat biola satu dan dua mengambil alih peran talempong, sementara Yasril menimpali dengan tiupan banzi, rasa haru pun segera mencuat mengenang ranah Minang yang beberapa waktu lalu diluluhlantakkan gempa. Suasana pun dibuat cair dan kembali meriah dengan hadirnya Stamboel Lagoe Manis, Cublak-Cublak Suweng , dan Belaian Sayang .
Tak ingin penonton terjebak dalam suasana monoton, Oni segera berbalik dari tempat konduktor, menghadap publik, tangan memegang gitar elektrik, siap tampil bersama Krishna Widiyanto. Krishna adalah pemain musik alam dan penggubah lagu yang semasa kuliah di Yogyakarta tahun 1980-an banyak bersentuhan dengan kelompok musik sastra di Fakultas Sastra UGM.
Ia sudah akrab dengan Oni dan Dimawan. Diiringi konco-konco ndeso -nya, Krishna melantunkan Ibuku Bumi , yang berisi tentang kerisauan atas kerusakan alam. ... Aku rindu bulan, aku rindu matahari, aku rindu bintang-bintang, bumiku hampir mati... kini berselimut awan hitam... .
Pada lagu kedua mereka berkolaborasi mengiringi Krishna yang membawakan Derita . Tampilnya Krishna memang bisa dinilai menempel suasana yang dibangun oleh kelompok string, tetapi di lain pihak juga bisa dinilai sebagai memberi suasana lain.
Lagu dolanan
Pergelaran ditutup dengan Medley Sulawesi , yang terdiri dari lagu Anging Mamiri dan O ina ni keke . Dan, sebagai lagu imbuhan, disuguhkan Dolanan Pizzicato yang merupakan medley atas lagu Gundhul-gundhul Pacul, Jaranan, Cublak-Cublak Suweng yang aransemennya digarap oleh Dimawan Krisnowo Adji.
Suguhan terakhir menjadi puncak pergelaran. Dimainkan dengan cara pizzicato yaitu dengan memetik dawai biola diselingi gesekan jari ke bodi instrumen sehingga menghasilkan bunyi aneh membuat lagu-lagu dolanan itu terasa jenaka. Belum lagi gerak bau dan tubuh ke-45 anggota SaUnine membuat suasana benar-benar riang. Edan..., pancen apik tenan, komentar penonton (memang bagus sekali). Sungguh kontras dengan nama SaUnine, bahasa Jawa yang berarti asal bunyi.
Ditampilkannya lagu daerah dan lagu dolanan memang mempunyai alasan tersendiri. Kalau yang ditampilkan hanya lagu-lagu daerah, tentu akan membosankan. Sementara itu, kalau pergelaran hanya menyuguhkan lagu-lagu dolanan, kita masih kekurangan, dan apakah masyarakat umum mengetahui lagu-lagu dolanan yang disajikan, tutur Oni.
Namun, hadirnya lagu-lagu daerah dan tembang dolanan yang dinilai kuno dan ndeso dalam format baru itu sesuai dengan sesanti Masa Lalu Selalu Aktual yang menjadi semangat dan selalu dibawa oleh Tembi Rumah Budaya, sponsor utama sekaligus pemeran besar dalam konser ini.
Aransemen yang dibawakan Saunine ikut memperkaya sekaligus mengangkat lagu daerah ke dalam suasana internasional. Paling tidak, orkes gesek asing pun, kini ada kesempatan untuk bisa ikut memainkan Gundhul-gundhul Pacul atau Cublak-Cublak Suweng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar