Minggu, 24 April 2011

haa iki Rasa Nusantara di Negeri Samba

Minggu, 24 April 2011

Rasa Nusantara di Negeri Samba

KOMPAS/ FRANS SARTONO - Tohpati Ethnomission tampil di festival budaya Virada Cultural 2011, Sao Paulo, Brasil, yang berlangsung pada 16-17 April.
frans sartono 

Kelompok musik Tohpati Ethnomission tampil di Virada Cultural 2011, sebuah festival budaya akbar di Sao Paulo, Brasil, 16-17 April lalu. Di negeri samba itu, mereka menyodorkan rasa Nusantara yang memikat publik. 
Lonceng di Basilika Sao Bento di kota Sao Paulo itu berdentang-dentang. Jarum jam di menara gereja besar itu menunjuk pukul lima sore waktu Brasil. Saat itu sedang akan dimulai misa Minggu Palma pada Minggu, 17 April. Tepat pada saat itulah Tohpati Ethnomission mengakhiri penampilan mereka di perhelatan Virada Cultural.
Virada Cultural merupakan festival budaya tahunan yang diselenggarakan oleh Perfektur Sao Paulo, Brasil, sejak tahun 2005. Seperti pada festival sebelumnya, acara digelar pada hari Sabtu dan Minggu selama 24 jam nonstop. Tampil ratusan kelompok musik, antara lain band trash metal Sepultura, POD dan The Misfits, serta musisi jazz Deodato.
Festival menggunakan salah satu bagian kota sebagai arena pertunjukan musik. Terdapat puluhan arena yang menempati berbagai sudut kota Sao Paulo. Tohpati Ethnomission tampil di panggung yang berada di kawasan Largo Sao Bento. Panggung berada di tikungan jalan, persis di depan Basilika Sao Bento.
Sekitar 500-an penonton sangat apresiatif menikmati musik Tohpati Ethnomission yang berawak Tohpati pada gitar, Indro Hardjodikoro (bas), Demas Narawangsa (drum), Endang Ramdan (kendang), dan Diki Suwarjiki (suling). Penonton belum beranjak pergi ketika Tohpati dan kawan-kawan berpamitan.
Kelompok yang dibentuk tahun 2009 itu meramu elemen musik dari beragam ranah etnis Nusantara, seperti Sunda, Bali, Jawa, Aceh, Minang, dan Kalimantan. Tohpati dan kawan-kawan, didukung lembaga sosial Bakrie untuk Negeri, menyodorkan rasa Nusantara itu ke negeri samba lewat Virada Cultural.

Ditengok
Tohpati Ethnomission membuka penampilan dengan permainan paduan drum dan perkusi kendang. Pada bagian perkusi terdapat kecrek dan kempluk. Gitar Tohpati mengalunkan melodi dengan cengkok Bali mirip lagu ”Janger”. Penonton yang tampak apresiatif memberi aplus riuh ketika bagian solo kendang dari Endang Ramdan yang khas Sunda itu berpadu dengan suling Sunda dari Diki Suwarjiki.
Untuk sebuah festival berskala internasional, Tohpati merasa perlu untuk menampilkan identitas Indonesia dalam musiknya. ”Saya mencari musik lain supaya ditengok orang di luar negeri,” kata Tohpati yang membawakan komposisi dalam album mereka Save The Planet.
”Kalau fusion kan sudah banyak. Kalau main jazz standar yang biasa-biasa itu saya tak yakin akan ditengok,” katanya menambahkan.
Dan rupanya musik Tohpati dengan sentuhan etnisnya itu cukup ditengok oleh publik festival Virada Cultural. Mereka sangat responsif pada suguhan Tohpati dan kawan-kawan yang secara nama belum mereka kenal. Nyatanya, khalayak Brasil
merespons musik Tohpati dengan teriakan tanda puas dan gerak tubuh yang senantiasa bergoyang.
”Orang Brasil itu menyukai rhythm (irama), peka dengan rhythm. Di Brasil rhythm itu menjadi elemen penting dalam kehidupan mereka sehari-hari,” kata Leonardo Pavkovic, produser dari MoonJune Records yang merekomendasi Tohpati Ethnomission tampil di Virada Cultural.
Seusai pentas, sejumlah penonton menanyakan apakah Tohpati menyediakan album. Seorang penikmat bahkan ada yang penasaran dengan datang ke hotel tempat Tohpati menginap untuk mencari album Save The Planet. Album tersebut sebenarnya juga diproduksi di Brasil oleh MoonJune Records, sebuah label yang berbasis di New York.

”Musik Kartu Pos”
Tohpati cukup berhati-hati meramu elemen etnis dalam komposisi musiknya. Ia mengaku berusaha keras agar elemen etnis itu tidak menjadi sekadar tempelan. Ia berupaya meleburkan elemen tradisi dan jazz dalam satu kesatuan komposisi utuh. Suling, misalnya, dirancang Tohpati untuk masuk mengikuti diatonis, namun dengan tidak meninggalkan akar rasa tradisi.
”Ini satu kesatuan lama dan baru, tradisi-modern.
Ini bukan fusion yang dimasukin suling atau kendang. Kalau dicabut (salah satu elemen musiknya) akan terdengar aneh,” kata Tohpati menjelaskan konsep musiknya.
Produser MoonJune Records Leonardo Pavkovic melihat karya Tohpati bukan sebagai musik postcard music, musik kartu pos. Istilah itu merujuk pada musik yang sekadar menjual eksotisme suatu negeri tertentu. ”Musik Tohpati bukan postcard music. Ia melampaui elemen eksotika musik Indonesia itu,” kata Leonard.
Elemen etnis, lanjut Leonard, telah teramu dalam satu konsep artistik yang utuh. Di dalamnya ada elemen jazz yang menjadi semacam lingua franca, bahasa pergaulan global. Dalam format itu, nuansa etnis dari beragam ranah di Nusantara memberi warna tersendiri.
”Saya ingin orang menikmati warna musik seperti itu. Kalau tidak, mereka akan sulit didengar,” kata Leonard. Dan rupanya, misi etnis Tohpati dan kawan-kawan itu sampai dan—meminjam istilah Tohpati—ditengok publik Brasil.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/24/03590556/rasa.nusantara.di.negeri.samba
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar