Senin, 09/05/2011 18:18 WIB
Konyolnya Studi Banding DPR (6)
   Burhanudin Muhtadi: Studi Banding Hanya Tutupi Nafsu Pelesiran      
 M. Rizal - detikNews
Jakarta -   Studi banding anggota DPR ke luar negeri diusulkan agar dihentikan  sementara (moratorium). Studi banding sekarang dinilai tidak efektif  karena lebih banyak menjadi acara pelesiran anggota DPR.
"Kita  lihat saat ini banyak studi banding yang dilakukan DPR hanya sekadar  menutupi nafsu pelesiran saja. Tidak tepat sasaran, urgensinya tidak  jelas, kabur dan tidak akuntabel, mekanisme tidak jelas, sebagian besar  seperti itu," kata pengamat politik yang juga peneliti Lembaga Survei  Indonesia (LSI) Burhanudin Muhtadi kepada detikcom.
Studi banding  yang tidak tepat sasaran misalnya terjadi pada studi banding Komisi  VIII RUU Fakir Miskin di Australia. Kemiskinan dialami suku Aborigin  yang mendiami wilayah Australia bagian utara. Tapi anggota DPR justru  mendatangi Sydney dan Melbourne.
"Coba dicek kok anggota Komisi  VIII DPR malah jalan-jalannya ke Sydney dan Melbourne, padahal  konsentrasi kemiskinin ada di Darwin dan wilayah utara lainnya. Ini  kelihatan dari awal bila nafsu pelesiran jelas, karena tujuan turis kan  ke Sydney dan Melbourne," kata Burhan. 
Bagaimana soal survei yang dilakukan LSI tentang studi banding anggota DPR?
Kalau  ini ditanyakan kepada masyarakat atau publik, hampir sebagian besar  masyarakat, 78 persen masyarakat menolak bahwa studi banding meskipun  dengan alasan meningkatkan kinerja. 78 persen masyarakat menolak studi  banding dengan alasan meningkatkan kinerja, karena selama ini studi  banding yang dilakukan DPR lebih tampak sebagai kedok untuk menutupi  nafsu pelesiran, ketimbang retorika meningkatkan kinerja.
Contoh  sederhana, kalau memang argumennya peningkatan kinerja, kenapa fungsi  legislasi anggota DPR sekarang, khususnya tahun 2010 jauh dari harapan.  Dari target 170 RUU yang harusnya mereka undangkan, hanya tercapai 17  UU, atau hanya 10 persen dari 170 RUU untuk tahun 2010. Dari sisi  bujeting, itu ada Rp 1,1 triliun dana APBN Perubahan tahun 2010 yang  tidak jelas peruntukannya.
Terkait fungsi kontrol, fungsi  pengawasan yang selama ini dilakukan anggota DPR tidak lebih sekadar  untuk meningkatkan posisi tawar mereka. Misal kasus Bank Century yang  tidak jelas kelanjutannya. Fungsi pengawasan sering ujung-ujungnya  sekadar untuk mencari atau memeras mitra kerja. Karena itu, di mata  publik, alasan untuk meningkatkan kinerja melalui studi banding hanya  retorika kosong.
Apa alasan LSI melakukan survei saat itu?
Kita  melakukan survei khusus terkait DPR karena bagaimana pun DPR pilar  penting demokrasi. DPR adalah produk dari kinerja demokrasi yang  seharusnya mendengarkan aspirasi publik. 
Saya prihatin dengan  DPR, karena dibanding dengan lembaga demokrasi lain tingkat kepercayaan  publik pada DPR paling rendah. Bandingkan dengan kepercayaan publik  terhadap lembaga kepresidenan, Mahkamah Konstitusi dan lembaga institusi  lain. Kepercayaan pada DPR dan partai politik paling rendah.
Hasil  survei kita sebenarnya pernah kita laporkan ke DPR, untuk memperbaiki  kinerja mereka. Karena bagaimana pun DPR adalah institusi penting dalam  struktur dan sistem tata negara kita, yang harus menjaga kepercayaan  publik, bukan terus-menerus membuang deposito kepercayaan publik. Sebab,  jika sebagai lembaga perwakilan produk demokrasi DPR gagal menjaga  kepercayaan publik, itu sama saja membunuh demokrasi. 
Seperti apa detail hasil survei LSI ini?
Survei  ini kita lakukan kepada 1.220 orang di 33 provinsi, pada akhir  November-September 2009. Tidak lama setelah anggota DPR periode  2009-2014 dilantik. 
Jadi kita temukan ekspetasi profil anggota  DPR melalui sistem suara terbanyak, yang sebelum mereka bekerja, tingkat  harapan masyarakat sebenarnya cukup lumayan.Makanya harapan publik itu  seharusnya direalisasikan dan dipenuhi anggota DPR.
Sebab,  dibanding periode sebelumnya, periode sekarang dari komposisi gender,  keterwakilan perempuan cukup banyak. Dari sisi usia, kebanyakan usianya  lebih muda, ketimbang periode sebelumnya. Periode sekarang, anggota  berusia 25-60 tahun 60 persen, terbesar dibanding masa-masa sebelumnya.  Dilihat dari sisi pendidikan, saat ini relatif tinggi, sampai ada yang  Master dan doktor.
Yang berlatar belakang pengusaha juga besar.  Karena pemilu tahun 2009 lalu dengan sistem suara terbanyak, popularitas  menjadi penting. Hal ini melahirkan kompetensi, dan banyak caleg yang  membutuhkan uang besar. Akhirnya yang terseleksi mereka-mereka yang  terpilih berlatar belakang pengusaha. 
Dan hampir sebagian besar  70 persen dari 500-an anggota DPR itu adalah muka-muka baru. Nah awalnya  ini menjadi harapan, tapi belakangan menjadi beban juga, karena belum  punya pengalaman, belum punya jam terbang.
Akhirnya mengulang  kekonyolan-kekonyolan yang tidak perlu yang lebih parah dibanding  periode sebelumnya. Kekonyolan ini distimulasi oleh kekurangan  pengalaman dan kekurangmampuan mereka dalam melaksanakan fungsi-fungsi  legislasi, bujeting dan pengawasan yang seharusnya mereka emban.  Akhirnya mereka masuk dalam sebuah sistem yang jauh lebih buruk, semacam  predator parlemen, atau parlemen pemangsa yang semacam menjauhkan dari  harapan publik.
Secara umum, persepsi (baik dan sangat baik)  publik terhadap upaya DPR dalam memberantas korupsi sekitar 51,3 persen,  moral anggota DPR sekitar 39,8 persen, kapasitas anggota DPR sekitar  55,7 persen dan tingkat keaktifan dalam mengikuti sidang DPR sekitar  40,4 persen. Dari empat indikator di atas, masyarakat menilai bahwa  anggota DPR sekarang ini punya masalah serius dengan isu-isu moral dan  juga tingkat keaktifan di DPR yang relatif rendah.
Sementara  ketika reponden tentang kunjungan anggota DPR keluar negeri, sekitar 0,8  persen responden menjawab sangat setuju, 18,9 persen setuju, 61,3  persen tidak setuju, 9,8 persen sangat tidak setuju dan 9,3 persen  menjawab tidak tahu. Di antara beberapa pernyataan yang kita sodorkan,  masyarakat terbelah sebagian mengatakan bahwa anggota DPR lebih banyak  memperjuangkan kepentingan rakyat tapi pada kisaran yang sama responden  mengatakan bahwa anggota DPR banyak yang memperjuangkan kepentingan  partainya. 
Proporsi yang menjawab anggota DPR lebih banyak  memperjuangkan kepentingan sendiri juga besar. Sebagian besar masyarakat  pernah mendengar pemberitaan soal anggota DPR yang tersangkut kasus  hukum/korupsi dan mendengar informasi soal kasus moral. Tingkat  kepercayaan publik terhadap media massa, DPR, birokrasi dan partai  politik dalam menyalurkan aspirasi masyarakat relatif rendah. Dari empat  lembaga tersebut, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai  politik yang paling rendah.
Secara umum, masyarakat menilai  kinerja anggota DPR dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap jalannya  pemerintahan, memberi masukan kepada pemerintah, legislating, bujeting  dan responsif terhadap aspirasi rakyat dalam memperjuangkannya dalam  bentuk kebijakan berada di kisaran 45 persen hingga 57 persen.
Dari  kelima fungsi tersebut, tingkat responsiveness anggota DPR terhadap  aspirasi rakyat dinilai paling rendah. Adapun kinerja lembaga-lembaga  lainnya, menunjukkan lembaga kepresidenan dan tentara yang paling  diapresiasi publik. Sementara itu, partai politik, Kementerian  Koordinator Ekonomi dan Kejaksaan berada paling rendah.
Jadi ini berbanding terbalik dengan tingkat pendidikan anggota DPR ini?
Oh  iya. Kalau dari sisi pendidikan jauh lebih berpendidikan banyak yang S2  dan S3. Semua memang anggota partai politik semua, tapi mereka baru  periode sekarang menjadi anggota DPR, makanya saya sebut muka baru.
Efektif tidak studi banding yang dilakukan DPR sekarang?
Kalau  dikatakan efektif atau tidak, tapi sebagian besar memang tidak efektif.  Saya sendiri tidak menolak bahwa studi banding itu penting. Tapi  mekanisme studi banding ini diperjelas. Sebelum mekanisme, transparansi  dan konsep studi banding diperjelas, seharusnya studi banding itu  dimoratorium atau dihentikan sementara dahulu. 
Konsep, urgensi,  mekanisme dibereskan dahulu, baru kemudian bicara kelanjutan studi  banding. Ada beberapa studi banding yang urgen, misalnya studi banding  untuk perumusan RUU Otoritas Jasa Keuangan, dan dilakukan di suatu  negara yang tepat sasaran.
Tapi kita lihat saat ini banyak studi  banding yang dilakukan DPR hanya sekadar menutupi nafsu pelesiran saja.  Tidak tepat sasaran, urgensinya tidak jelas, kabur dan tidak akuntabel,  mekanisme tidak jelas, sebagian besar seperti itu. Misalnya dalam  penyusunan RUU Rumah Susun, itu studi banding tidak tepat dan salah  sasaran. Yang terakhir kasus studi banding RUU Fakir Miskin di  Australia. Kita tahu, postur kemiskinan di Australia dan Indonesia lain.
Di  Australia didominiasi kemiskinan dialami suku Aborigin yang mendiami  wilayah Australia bagian utara. Coba dicek kok anggota Komisi VIII DPR  malah jalan-jalannya ke Sydney dan Melbourne, padahal konsentrasi  kemiskinin ada di Darwin dan wilayah utara lainnya. Ini kelihatan dari  awal bila nafsu pelesiran jelas, karena tujuan turis kan ke Sydney dan  Melbourne.
Melihat penolakan masyarakat menolak studi banding, apakah studi banding layak dihapuskan?
Kalau  saya fair saja. Saya kira penolakan besar masyarakat itu terkait dengan  sering kalinya anggota DPR memanipulasi alasan peningkatan kinerja  untuk menjustifikasi studi banding, iya. Tapi kalau misalnya anggota DPR  berhasil meyakinkan publik, bahwa studi banding urgen, konsep jelas,  transparan, tepat sasaran, mungkin publik tidak akan menolak sebesar  itu.
Jadi saya fair saja, studi banding dalam beberapa hal memang  perlu seperti dalam pembahasan RUU Otoritas Jasa Keuangan perlu, kita  harus akui itu. Tapi jangan sampai studi banding itu dipakai sekadar  untuk membuang-buang uang anggaran. Seperti yang kita lihat sekarang  kesan buang-buang anggarannya terlihat, konsep tidak jelas dan  seterusnya. 
Kalau dihapus tidak, hanya diperjelas saja konsep,  urgensi, mekanisme yang tepat dan tranparasi yang jelas. Kalau  syarat-syarat ini dipenuhi, paling studi banding itu tidak banyak,  selebihnya bisa ganti format studi banding dengan memanggil ahli dari  luar negeri, kan lebih murah.
 (zal/iy) 
Sumber : 
http://www.detiknews.com/read/2011/05/09/181848/1635852/159/burhanudin-muhtadi-studi-banding-hanya-tutupi-nafsu-pelesiran?9911022