Senin, 09/05/2011 12:15 WIB
Konyolnya Studi Banding DPR (1)
   Pendidikan Tinggi Tetap Bikin Frustasi      
 Didik Supriyanto - detikNews
Jakarta -   Tak lama lagi istilah studi banding akan berubah makna. Dari sebuah  konsep belajar di lokasi dan lingkungan berbeda, menjadi jalan-jalan ke  lokasi atau lingkungan lain.
Perubahan makna ini sebagai konsekuensi atas terus berlangsungya kegiatan studi banding yang dilakukan DPR.
Sudah  jelas, tidak ada yang dipelajari dari kegiatan tersebut. Tetapi mereka  selalu ngotot, bahwa mereka belajar banyak. Namun ketika ditanya apa  yang mereka pelajari, mereka tidak bisa menunjukkan. Yang terlihat  adalah aktivitas jalan-jalan dan belanja-belanja.
Apa boleh buat,  daripada terus beradu argumen dan beradu bukti dengan anggota DPR,  lebih baik yang waras mengalah. Studi banding berubah arti saja menjadi  jalan-jalan, atau dimaknai secara khusus kegiatan jalan-jalan pejabat ke  luar negeri atau ke luar daerah.
Mengapa pejabat? Mengapa bukan  anggota DPR saja? Ya, kenyataannya kalau ditelisik lebih lanjut para  pejabat eksekutif juga suka melakukan kegiatan jalan-jalan ke luar  negeri dengan dalih studi banding. Tidak percaya? Lacak saja laporan  keuangan departemen atau instansi pemerintah ke BPK.
Apakah  pejabat daerah, anggota DPRD dan pejabat pemerintah daerah, juga  melakukan? Sama saja, dan mungkin lebih parah. Hanya karena lepas dari  kontrol masyarakat dan media saja, kegiatan jalan-jalan mereka tidak  ketahuan. Jika di DPR setiap RUU harus distudibandingkan, demikian juga  dengan setiap Raperda.
Tentu saja, DPRD studi bandingnya tidak ke  luar negeri, melainkan ke daerah lain. Dalam hal ini daerah di sekitar  Jakarta, Yogyakarta dan Bali, jadi sasaran daerah di Luar Jawa. Sedang  daerah di sekitar Batam, Palembang, dan Manado, jadi sasaran DPRD Jawa.
Oleh  karena itu, rasanya “tidak adil” bila para aktivis LSM, akademisi dan  media hanya menyorot habis kegiatan studi banding DPR. Mestinya mereka  juga memantau kegiatan serupa dari pejabat eksekutif, anggota DPRD dan  pejabat pemerintah daerah. Dengan demikian perubahan makna studi banding  menjadi sekadar jalan-jalan itu bisa langsung diterima di seluruh  penjuruh tanah air.
Pertanyaan, “apa manfaat studi banding?”,  tidak relevan lagi jika dikaitkan dengan posisi dan fungsi pejabat  publik. Studi banding adalah jalan-jalan yang membikin pelakunya senang.  Paling-paling manfaatnya: segar kembali saat menjalani tugas.
Pertanyaannya  mungkin harus ditarik lebih ke belakang: mengapa DPR/DPRD diisi oleh  orang-orang yang sampai tega hati mengubah makna studi banding menjadi  jalan-jalan? Mengapa anggota DPR/DPRD yang diharapkan dapat mengontrol  pejabat eksekutif, justru ikut-ikutan melakukan kegiatan yang mestinya  mereka cegah?
Studi banding sebetulnya sudah lama dipraktekkan  oleh DPR. Abaikan DPR hasil pemilu-pemilu Orde Baru, perhatikan DPR  hasil tiga kali pemilu terakhir. DPR hasil Pemilu 1999 tercatat  melakukan beberapa perjalanan ke luar negeri, lalu jumlahnya meningkat  pada DPR hasil Pemilu 2004, dan semakin lebih banyak pada hasil Pemilu  2009.
Pada DPR hasil Pemilu 2004, masyarakat berhasil menunjukkan  kejanggalan-kejanggalan kegiatan perjalanan ke luar negeri. Keluhan  dari staf Kedutaan Besar RI di berbagai negara yang dikunjungi para  anggota DPR juga mulai keluar. Namun hal itu tidak menyurutkan langkah  mereka untuk mengulangi perjalanan ke luar negeri. Hanya beberapa  anggota dewan saja yang menolak ikut karena merasa tidak ada manfaatnya.
DPR  hasil Pemilu 2009 menghadirkan harapan baru. Profil mereka masih muda  dari sisi usia, semangat kerja mereka akan tinggi karena 70% adalah  orang-orang baru. Sebagian besar mereka adalah lulusan S-2 dan S-3,  sehingga akan lebih pandai dalam menghadapi masalah-masalah sosial  politik yang kompleks.
Lebih dari itu semua, mereka dipilih  langsung oleh rakyat melalui mekanisme calon terpilih berdasarkan suara  terbanyak.Dengan demikian, mereka pasti akan memperhatikan suara rakyat.  Karena selama ini banyak pemantau dan pengamat yakin, sistem suara  terbanyak akan meningkatkan akuntabilitas wakil rakyat terhadap  rakyatnya. Apalagi mereka pasti takut tidak terpilih kembali pada pemilu  mendatang, jika berperilaku buruk dan kinerjanya rendah.
Akan  tetapi, harapan tidak kunjung datang, asumsi tidak kunjung terbukti.  Yang terjadi justru sebaliknya. Hanya dalam jangka satu tahun,  masyarakat sudah dibikin frustasi oleh anggota DPR: berlaku konyol dan  memalukan, bersikap angkuh dan tak peduli, berpikir picik tak malu hati.  Inilah hasil pemilu berdasarkan suara terbanyak.
 (diks/iy) 
Sumber : http://www.detiknews.com/read/2011/05/09/121540/1635387/159/pendidikan-tinggi-tetap-bikin-frustasi?9911012
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar