Senin, 02/05/2011 10:46 WIB
Catatan Agus Pambagio
  Mahalnya Koordinasi di Republik Ini      
 Agus Pambagio - detikNews
Jakarta -   Di Republik Indonesia ada satu kata yang sejak reformasi menjadi  langka dan sulit dinikmati oleh publik, yaitu koordinasi. Arti kata  'koordinasi' itu sendiri adalah mengatur suatu organisasi atau kegiatan  sehingga peraturan dan tindakan yang akan dilaksanakan tidak saling  bertentangan atau simpang siur (artikata.com). Tanpa koordinasi yang  tegas dan jelas, negara dengan jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa,  pasti sangat sulit diatur lahir batin.
Di tingkat nasional koordinator paling tinggi tentu saja presiden, di  daerah pastinya kepala daerah. Pasca berlakunya UU No 34 tahun 2004  tentang Otonomi Daerah dan munculnya puluhan partai politik, masalah  koordinasi untuk pengambilan keputusan menjadi semakin langka dan kacau  balau karena harus mempertimbangkan berbagai kepentingan politik namun   melupakan kepentingan publik.
Masalah koordinasi bagi sebagian  besar rakyat Indonesia, mulai dari ibu rumah tangga sampai pengusaha  saat ini memang telah menjadi bahan langka. Selain membingungkan juga  menambah beban hidup. Kondisi tersebut diperburuk dengan rendahnya  kualitas kepemimpinan dari para pemimpin kita saat ini. Lengkap sudah  penderitaan kita hidup di negara demokrasi dan tak tahu mau di bawa  kemana negara ini. Itulah mahalnya koordinasi.
Banyak persoalan  di negeri ini yang tak kunjung diselesaikan atau diputuskan tetapi terus  diayun ke sana ke mari dan sangat merugikan publik. Persoalan  ketenagalistrikan, persoalan BBM bersubsidi, persoalan transportasi,  persoalan air bersih, dan masih banyak lagi.
Koordinasi Oh Koordinasi 
Kegagalan  koordinasi antarinstansi atau lembaga di Indonesia lebih banyak  disebabkan oleh lemahnya kepemimpinan di hampir semua lini, termasuk  pemimpin nasional. Kondisi ini membuat bangsa Indonesia menjadi semakin  terbelakang. Hampir tidak ada keputusan strategis yang membuat rakyat  bangga sebagai bangsa Indonesia. Sudah terlalu banyak persoalan yang  digantung dan merugikan publik.
Persoalan ketenagalistrikan yang  sampai hari ini belum menunjukkan kemajuan sama sekali. Program 10.000  MW tahap I yang katanya dikembangkan dengan bantuan Pemerintah Cina,  saya anggap gagal total. Bagaimana tidak gagal, dari pembangkit listrik  yang sudah berhasil dibangun di Pulau Jawa maupun pulau-pulau lainnya  belum mencapai 35% dari target yang direncanakan atau kurang dari 3.500  MW.
Suatu saat saya sempat mengunjungi salah satu pembangkit  listrik tenaga uap (PLTU) yang sudah selesai karena diajak oleh teman  yang menjadi sub-kontraktor, saya terperanjat dan dalam hati berpikir:  'betapa bodohnya dan mudahnya bangsa Indonesia dibohongi'. Banyak  peralatan dan fasilitas yang ada di PLTU tersebut sudah  korosif/berkarat, dan patut diduga kualitas pengerjaannya buruk. Bahan  bakunya mungkin kw 10. Siapa yang bertanggungjawab? Tidak jelas.
Jadi jangan heran kalau sampai sekarang pembangkit tersebut lebih sering  'semaput'-nya daripada berproduksi. Artinya bangsa ini masih akan tetap  kekurangan daya listrik karena gagalnya para pembangkit listrik 10 ribu  MW tahap pertama ini masuk ke sistem jaringan PT PLN.
Jangan-jangan semua pembangkit yang dibangun akan segera menjadi bangkai. 
Kemudian  persoalan penarikan bensin subsidi yang sampai hari ini masih terus  berupa wacana. Tidak jelas siapa yang paling berani. BP Migas-kah? BP  Hilir Migas-kah? Kementerian ESDM-kah? Atau si Pailul tukang bensin  eceran di ujung jalan? Tidak jelas, padahal UU-nya jelas! Bayangkan  berapa banyak dana yang bisa dihemat dan dapat digunakan untuk membangun  infrastruktur di negeri ini dan mengembangkan sumber daya manusia ke  luar negeri, seperti yang dilakukan Malaysia sejak 25 tahun lalu. Dan  terbukti sekarang Malaysia sudah 10 langkah di depan kita. 
Persoalan lain adalah tentang penanggulangan kemacetan di pusat  perekonomian Indonesia, Jakarta, yang tak kunjung jelas penangannya.  Perebutan kewenangan dan proyek penanggulangan kemacetan di wilayah DKI  Jakarta, baik antar kelompok di dalam Pemerintah Provinsi DKI Jakarta  maupun antar kelompok pejabat pemprov dengan BUMD serta antara Pemprov  DKI Jakarta dengan Pemerintah Pusat masih terus berlangsung tanpa akhir.
Persoalan koordinasi lainnya adalah pembangunan jalan layang nontol  Antasari yang tiba-tiba muncul dan dikerjakan tanpa proses AMDAL yang  sesuai dengan peraturan yang ada, ternyata akan diulangi. Dengan alasan  akan ada kemacetan di Jalan Patimura, maka jalan layang tersebut akan  dilanjutkannya pembangunannya sampai ke jalan Asia Afrika, dengan  cara  membangun flyover (FO) yang akan merusak keindahan Patung Pemuda di  Bundaran Senayan atau membangun underpass (UP) yang akan mengorbankan  pembangunan MRT. PT MRT harus merubah studi desain dasar yang sudah  selesai, jika UP akan dibangun. 
Begitu pula dengan pembangunan 6  ruas jalan tol dalam kota Jakarta yang tiba-tiba saja didorong paksa  tanpa ada kajian ulang sesuai dengan yang diperintahkan oleh Menko  Perekonomian kala itu, Boediono, melalui surat yang ditujukan kepada  Menteri PU dengan No S-33/M.EKON/03/2008 tertanggal 10 Maret 2008. Surat  tersebut menjawab surat Menteri PU No PR.02-Mn/575 tertanggal 31  Oktober 2007 dan Surat Gubernur DKI Jakarta No 453/I.792.I tertanggal 12  Maret 2007 serta Surat No 2907/-1.792.1 tertanggal 4 Oktober 2007.
Lalu persoalan air bersih di kota-kota besar Indonesia saat ini sudah  sangat kritis tanpa bisa diselesaikan secara jelas dan cerdas oleh para  pemimpin daerah masing-masing maupun keementrian yang terkait, seperti  Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Keuangan dsb.
Contoh  kasus air bersih di DKI Jakarta. Dasar kontrak antara Pemerintah  Provinsi DKI Jakarta dengan operator air bersih adalah full cost  recovery namun tarif tidak boleh dinaikkan. Tanpa tarif naik, mustahil  operator bisa memberikan pelayan prima pada konsumen. Lalu apa tindakan  Pemprov DKI dan Pemerintah Pusat? Tidak ada! Andaikan.
Andaikan  rakyat mengetahui siapa sebenarnya yang berani, berhak dan mau mengambil  risiko untuk mengambil keputusan demi kesejahteraan rakyat, negara ini  pasti sudah jauh lebih makmur.
Sayangnya kita belum punya seorang  pemimpin yang berani melakukan koordinasi dan memutuskan dengan  bijaksana, meskipun pemilihan pimpinan sudah dilakukan secara  demokratis. Yang ada para pemimpin kita lebih senang melakukan kegiatan  yang mengarah pada pencitraan dan pengeluhan saja. Salam.
*) Agus Pambagio adalah pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen.
 (vit/vit) 
Sumber : http://www.detiknews.com/read/2011/05/02/104650/1630108/103/mahalnya-koordinasi-di-republik-ini?9911032
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar