Minggu, 01 Mei 2011

haa iki Lidah Tak Sabaran kalau soal Bebek

Minggu, 01 Mei 2011
 Lidah Tak Sabaran kalau soal Bebek
Oleh Agnes Swetta Pandia

Gurih dan lembut rasa dagingnya. ”Nendang” pula rasa sambalnya. Itulah suguhan Nasi Bebek ”Sayang Anak” Cak Yudi, Surabaya.
Daging bebek goreng tersaji panas-panas di atas meja. Maklum, setiap pemesan akan dilayani dengan daging bebek yang langsung digoreng. Aroma daging segera mengundang selera. Perpaduan rasa daging bebek yang lembut dan gurih, nasi pulen hangat serta sambal mangga muda (pencit) yang pedas itu memang menjadi ciri rasa Nasi Bebek ”Sayang Anak” Cak Yudi, Surabaya, Jawa Timur. Tempat santap ini buka di tiga tempat, yaitu
Jalan Tanjung Tarowitan, Jalan Kepanjen, dan Jalan Mulyosari.
Daging bebek tidak terasa amis karena telah diolah dengan bumbu
kunyit, jahe, dan serai. Gurihnya rasa daging bebek hadir dari bumbu yang digunakan dalam proses pengolahan. ”Saya membumbui bebek yang direbus dengan bumbu empon-empon, kumpulan bumbu terdiri dari serai, jahe, lengkuas, daun jeruk, daun salam, kunci,” ujar Sumiyati (52), istri Cak Yudi.
”Lama merebus tiga jam sehingga bumbu meresap dan membuat daging bebek empuk dan gurih,” ujarnya.
Dalam sehari, Nasi Bebek Sayang Anak membutuhkan sekitar 340 bebek untuk tiga lokasi penjualan.
Bebek dipasok oleh pedagang dari Pasar Babalan dan Pabean Surabaya. Harga bebek yang dibeli Rp 35.000-Rp 45.000 per ekor itu dipotong menjadi empat bagian.

Pedas
Ketika menikmati nasi bebek, harap diingat sambal pencit atau mangga muda yang pedasnya bukan kepalang. ”Saking pedasnya, begitu di lidah, sambalnya langsung nendang, tetapi tetap saja enak meski tanpa pelengkap seperti lalapan,” kata Andreas (46), pelanggan setia bebek goreng Cak Yudi.
Bagi penyuka rasa pedas, tingkat kepedasan sambal pencit dirasa klop saat
dicampur dengan daging bebek. Daging bebek makin nikmat jika disiram dengan air jeruk nipis yang sudah disiapkan di meja.
”Rasa sambal benar-benar menggoyang lidah ditambah nasi yang pulen,” kata Lusi (35), pengusaha konfeksi di Surabaya, yang menjadi pelanggan tetap warung tersebut sejak duduk di bangku SMA.
Sambal hanya menggunakan cabai rawit dan mangga muda. Ketika tidak ada mangga muda, mereka menggunakan buah kedondong sebagai pengganti. Untuk melayani penyuka rasa pedas, Cak Yudi menghabiskan cabai rawit sebanyak 10 kilogram per hari. ”Ketika harga cabai rawit mencapai Rp 100.000 per kilogram, kami sempat kewalahan,” kata Sumiyati.
Harga seporsi nasi bebek dengan satu bagian bebek dipatok Rp 10.000. Jika ditambah jeroan berupa hati dan rempela, harganya menjadi Rp 16.000, dan jika dua potong bebek, harganya Rp 21.000 per porsi. Nasi bebek disajikan tanpa lalapan.

Jangan terlambat
Cak Yudi (52) pria asal Lamongan itu, semula adalah pedagang kue atau jajan pasar keliling. Ia lalu banting setir berjualan bebek goreng. Alasannya, kue kurang menjanjikan karena konsumen cepat bosan dan pembelian kue juga tidak rutin. Cak Yudi kemudian merintis usaha nasi bebek sejak tahun 1983 di Jalan Perlis, Surabaya, di wilayah Pelabuhan Perak.
Begitu membuka warung nasi bebek goreng, Cak Yudi langsung menghabiskan 25 bebek. Bahkan, pada hari pertama saja sudah banyak orang yang datang, terutama ketika jam pulang kerja. Keesokan harinya, jumlah bebek ditambah dua kali lipat dan juga ludes.
Karena pelanggan terus meningkat, Cak Yudi pindah ke Jalan Tanjung Tarowitan karena mendapat tempat lebih luas dengan 20 kursi. Atas permintaan pelanggan pada tahun 1994, Cak Yudi bersedia membuka cabang di Jalan Kepanjen. Alasannya, untuk mendekatkan pada konsumen di tengah Kota Surabaya, terutama pada jam makan siang. Lalu, pada tahun 2010 dibuka lagi warung di Jalan Mulyosari.
Ketiga warung itu melayani konsumen pada waktu berbeda-beda. Warung di Jalan Kepanjen buka pukul 12.00-14.00, melayani konsumen untuk makan siang. Warung di Jalan Tanjung Tarowitan buka pukul 15.00-17.00, melayani pelanggan yang hendak makan sore. Adapun warung di Jalan Raya Mulyosari waktu santap malam.
Meski memiliki tiga lokasi penjualan bebek goreng, warung-warung itu masing-masing hanya memiliki tak lebih dari 20 kursi sehingga pembeli harus rela antre. Tak sedikit pembeli yang rela datang lebih awal agar kebagian bebek. Warung di Jalan Kepanjen, misalnya, buka persis menjelang santap siang. Namun, jangan datang lebih dari pukul 13.00 karena bisa-bisa bebeknya sudah tandas. Begitu pula warung di Jalan Tanjung Tarowitan yang kadang pada pukul 16.00 sudah ludes. Maklum, pada sore hari pembeli umumnya membawa pulang ke rumah sehingga cepat habis.
Penikmat memang harus cermat berhitung soal waktu untuk bersantap karena warung-warung itu hanya buka selama tiga jam.
Lidah rupanya tidak mempunyai rasa sabar untuk melahap nikmatnya daging bebek dengan sambal yang nendang itu.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/05/01/04073066/lidah.tak.sabaran.kalau.soal.bebek

Tidak ada komentar:

Posting Komentar