3/9/2011 | 04 Syawal 1432 H | Hits: 6.327
Oleh: Prof. Dr. H Syamsul Anwar, MA.
dakwatuna.com - Alhamdulillah hari raya Idulfitri  1432 H telah dapat dirayakan dengan khidmat. Walaupun ada perbedaan  tentang hari jatuhnya Idulfitri itu, di mana pada satu sisi ada yang  menjatuhkannya pada hari Selasa 30 Agustus 2011 dan di sisi lain ada  yang menjatuhkannya pada hari Rabu 31 Agustus 2011, namun masing-masing  pihak telah dapat menjalankannya dengan damai dan rukun, tanpa terjadi  pertikaian antara pihak-pihak yang merayakannya pada hari berbeda itu.  Bahkan masyarakat umum yang tidak begitu memahami sumber masalah  perbedaan itu dapat memilih hari yang mereka inginkan untuk ber-Idul  Fitri.
Akan tetapi meskipun Idulfitri telah berjalan dengan damai  dan rukun, tetap saja tersisa permasalahan yang timbul dari perbedaan  itu. Tidak dipungkiri bahwa perbedaan jatuhnya hari raya itu adalah  suatu ketidaknyamanan karena ada ketidakbersamaan kaum Muslimin dalam  merayakannya. Di satu sisi ada yang saling kunjung ke rumah tetangga dan  makan-makan, sementara yang lain masih berpuasa. Namun juga harus  diakui bahwa penyatuan jatuhnya hari Idulfitri itu tidak gampang, tidak  semudah sepasang remaja bikin janji ke pantai bersama, “Mas Minggu besok  rekreasi bareng ya di pantai, soalnya habis ujian semester pikiranku  buntet banget, perlu 
refreshing.”  “Ya, setuju, aku juga sama.  Dah, besok kuampiri ya!”  Selesailah masalah. Kesepakatan untuk  “rekreasi Minggu besok” tidak memerlukan pertimbangan ilmiah yang  mendalam karena itu hanya soal selera dan bisa diputuskan dengan prinsip  “setuju-setuju saja”. Namun tentu tidak demikian halnya dengan  penentuan jatuhnya hari raya semisal Idulfitri atau Idul Adha. Masalah  ini bukan soal selera. Masalah ini memerlukan suatu kajian panjang dan  mendalam baik dari segi ilmu syariah maupun dari segi ilmu astronomi.  Keputusan itu tidak dapat diambil berdasarkan prinsip “setuju-setuju  saja”. Ini semua tentu menjadi tantangan para ilmuwan terkait baik dari  bidang syariah maupun astronomi.
Diskusi mengenai masalah ini  cukup ramai. Dan dalam diskusi yang ramai itu ada pakar yang langsung  menyalahkan Muhammadiyah karena terlalu jumud berpegang kepada hisab  wujudul hilal (walaupun Muhammadiyah juga dapat mengatakan hal yang sama  bahwa pihak lain terlalu kaku berpegang kepada rukyat atau hisab  imkanur rukyat 2 derajat yang tidak ilmiah itu). Dikatakan, “sumber  masalah utama adalah Muhammadiyah yang masih kukuh menggunakan hisab  wujudul hilal.”  Dikatakan lagi, “Banyak kalangan di intern Muhammadiyah  mengagungkannya, seolah itu sebagai simbol keunggulan hisab mereka yang  mereka yakini, terutama ketika dibandingkan dengan metode rukyat.   Tentu saja mereka [adalah] anggota fanatik Muhammadiyah, tetapi  sesungguhnya tidak paham ilmu hisab, seolah hisab itu hanya dengan  kriteria wujudul hilal.” “Dari segi astronomi, kriteria wujudul hilal  adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli  falak.”
Tampaknya nada statemen ilmuwan tersebut sangat memihak  dan sedikit emosional juga terasa ada semacam (dengan bahasa diperhalus)  “kebanggaan” tersembunyi atas status sebagai astronom senior.  Seolah-olah apa yang berjalan sekarang ini, itulah yang betul dan karena  itu tidak dikritik. Justru yang mengkritik dan menolak, dalam hal ini  Muhammadiyah, adalah pihak yang harus dipersalahkan sebagai biang keladi  permasalahan. Dalam sejumlah tulisan pakar bersangkutan, penulis belum  menemukan kritik-kritiknya terhadap penetapan awal bulan kamariah yang  berlaku sekarang, kecuali kritik terhadap kriteria yang dipakai sebagian  ormas seperti Muhammadiyah. Juga disayangkan pakar bersangkutan belum  pernah menyarankan satu rancangan kalender pemersatu yang pasti padahal  di tangannya terdapat perangkat ilmu untuk itu.
Apakah orang  Muhammadiyah sangat fanatik terhadap hisab wujudul hilal? Hal itu  mungkin saja demikian, tetapi jelas tidak semuanya. Tentu banyak  ahli-ahli falak Muhammadiyah yang juga mengerti hisab yang lain dan  dapat membandingkannya dan kemudian dari hasil perbandingan itu  menjatuhkan pilihan pada hisab wujudul hilal. Penulis sendiri adalah  warga Muhammadiyah (dengan bidang studi syariah, bukan astronomi) yang  tentu secara emosional akan sangat bersimpati dengan kebijakan penetapan  awal bulan Muhammadiyah. Tetapi di sini penulis tidak ingin membela  hisab wujudul hilal. Hisab wujudul hilal hanyalah salah satu metode  hisab penentuan awal bulan di antara sekian metode hisab yang ada.  Walaupun demikian tentu boleh memberi pendapat. Cuma memang pasti akan  dirasakan sebagai sebuah pendapat apologis karena diberikan oleh orang  yang secara emosional adalah bagian daripadanya. Namun demikian silakan  pembaca untuk melihatnya secara obyektif saja.
Kalau soal  usangnya, menurut penulis, hisab wujudul hilal tidak usang-usang banget.  Hisab ini merupakan perkembangan dari hisab-hisab sebelumnya yang  dirasa tidak dapat memberikan kepuasan. Di Arab Saudi, hisab wujudul  hilal dipakai oleh Pusat King Abdul Aziz untuk Pengembangan Sains dan  Teknologi, yang bertanggung jawab atas penyusunan kalender resmi  pemerintah Arab Saudi Kalender Ummul Qura yang berkembang luas di  berbagai bagian dunia termasuk digunakan oleh Windows Vesta, baru pada  tahun 1424 H (baru sejak 7 tahun lalu) karena kasus bulan Rajab 1424 H  (Agustus 2003). Sampai saat itu kaidah kalender yang digunakan adalah 
moonset after sunset (artinya  bahwa apabila pada sore hari ke-29 bulan berjalan, bulan terbenam  sesudah terbenamnya matahari, maka malam itu dan keesokan harinya adalah  bulan baru). Namun ternyata kaidah kalender tersebut mengalami problem  dengan “hilal” Rajab 1424 H pada sore Rabu 27 Agustus 2003 M. Pada sore  itu matahari terbenam di Mekah (Ka’bah) pukul 18:45 Waktu Saudi dan  bulan terbenam 8 menit kemudian, yakni pukul 18:53 Waktu Saudi. Jadi  kriteria bulan baru telah terpenuhi, yaitu bulan tenggelam sesudah  tenggelamnya matahari, sehingga mestinya malam Kamis 28 Agustus 2003 M  dan keesokan harinya (Kamis 28 Agustus 2003 M) adalah tanggal 1 Sya’ban  1424 H. Tetapi ternyata saat matahari terbenam sore Rabu 27 Agustus 2003  itu belum terjadi ijtimak (konjungsi) karena ijtimak terjadi hampir dua  jam kemudian, yakni pukul 18:26 Waktu Saudi. Karena kasus ini, para  penanggung jawab kalender Ummul Qura memperbaiki kaidah kalendernya  dengan menambahkan satu parameter baru, yakni saat matahari terbenam  harus sudah terjadi ijtimak. Sejak saat itu kemudian kalender Ummul Qura  memakai wujudul hilal. Jadi ini adalah perkembangan dari metode  sebelumnya yang dirasa tidak memuaskan.
Di dalam Muhammadiyah  hisab wujudul hilal sudah digunakan sejak abad yang lalu. Sejak penulis  mulai masuk menjadi pengurus Muhammadiyah tahun 1985 di PMW DIY dan  sejak tahun 1990 di Pimpinan Pusat, hisab ini sudah dipakai dan terus  berlaku hingga sekarang. Ada perubahan, namun hanya perubahan cara  menghitung, bukan perubahan kriteria (kaidah memulai bulan baru). Harap  dibedakan antara kaidah memasuki bulan baru dan metode perhitungan.  Kaidah memasuki bulan baru dalam hisab wujudul hilal adalah tiga  parameter yang kita semua sudah tahu, yaitu (1) telah terjadi ijtimak,  (2) ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam, (3) saat matahari  terbenam hilal di atas ufuk. Kriteria ini adalah suatu kriteria yang  sifatnya non penampakan, karena itu tidak memerlukan observasi untuk  mengujinya seperti halnya peristiwa ijtimak dan terbenamnya matahari  tidak diobservasi. Kalau diragukan akurasi kriteria ini, jangan-jangan  bulan sebetulnya di bawah ufuk, namun diklaim di atas ufuk karena kurang  akurasinya perhitungan, maka ini bukan soal kriteria itu sendiri,  melainkan ini adalah soal akurasi metode menghitung posisi bulan. Metode  menghitung ini bisa terus menerus diperbaiki. Dalam praktik wujudul  hilal di Muhammadiyah metode menghitung ini mengalami perkembangan dalam  hal daftar ephemeris yang menjadi sumber data benda langit pada waktu  tertentu yang digunakan. Di Zaman Kiyai Wardan, sebagaimana  disebutkannya dalam bukunya 
Hisab Urfi dan Hakiki, digunakan daftar yang diambilnya sebagian dari kitab 
al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisabat al-Kawakib ‘ala ar-Rashd al-Jadid dan dari 
Zij Aala’uddin Ibn Syathir, kemudian pada zaman 
Sa’duddin Dajmbek digunakan digunakan 
nautical almanac, lalu terakhir digunakan 
Ephemeris Hisab Rukyat.Bahkan  rumus hitungannya pun terbuka untuk dikoreksi tanpa mengubah kaidah  memasuki bulan baru itu sendiri. Kalau metode hitung ini juga mau diuji  secara empiris pun bisa dilakukan tanpa mengubah kriterianya. Ketika  hilal dihitung dengan metode ini ternyata tingginya adalah 6 derajat  seperti jelang Ramadan lalu, maka silakan diuji melalui observasi apa  memang betul tingginya 6 derajat. Kalau betul, berarti hitungan itu  akurat atau mendekati akurat. Kalau tidak, berarti metode menghitungnya  harus diperbaiki tanpa mengubah kaidah bulan baru itu sendiri. Jadi  alasan bahwa hisab wujudul hilal lemah karena tidak dapat diuji secara  empiris adalah tidak relevan. Apa yang dikemukakan di atas adalah suatu  pendapat, tidak bermaksud memberikan apologi terhadap keunggulan wujudul  hilal. Silakan pembaca menilainya.
Penulis juga ingin mengajak  pembaca untuk melihat suatu yang menurut penulis adalah hal positif  dalam kebijakan penetapan awal bulan Muhammadiyah itu. Tetapi ini  mungkin sekali lagi terasa sebagai sebuah apologi karena dikemukakan  oleh orang yang merupakan bagian dari sistem bersangkutan. Tetapi tujuan  penulis di sini tidak hendak berapologi. Hanya ingin mengemukakan  pendapat. Ini tentu sah-sah saja, dan sekali lagi silakan pembaca  melihatnya secara obyektif saja. Hal positif dimaksud adalah bahwa dalam  kebijakan penetapan awal bulan Muhammadiyah itu terkandung 
suatu nilai edukasi bagi masyarakat luas bahwa  suatu sistem penanggalan yang baik adalah suatu sistem kalender yang  dapat memberikan penjadwalan waktu yang akurat dan pasti jauh ke depan  sehingga bisa dipedomani jauh-jauh hari sebelumnya. Sistem yang tidak  dapat memberikan penjadwalan waktu (hari/tanggal) yang pasti jauh ke  depan adalah suatu sistem yang buruk dan bertentangan sifat sebagai  sebuah kalender yang terstruktur secara seksama, bahkan bertentangan  dengan maksud dari kalender itu sendiri. Sistem kalender bertujuan untuk  memudahkan masyarakat penggunanya merencanakan kegiatannya disesuaikan  dengan sistem penjadwalan waktu yang dimilikinya. Untuk itu sistem waktu  tersebut harus akurat dan pasti agar rencana kegiatannya tidak menjadi  berantakan akibat sistem waktu yang tidak pasti. Suatu sistem  penanggalan yang akurat dan bagus harus dapat menjadwalkan waktu secara  pasti ke depan dan harus dapat dilacak secara pasti pula jadwal waktunya  di masa lalu. Untuk itu penetapan jadwal waktu itu harus lahir dari  kaidah matematis kalender itu sendiri tanpa campur tangan otoritas luar  mana pun selain dari kaidah kalender tersebut. Apabila setiap penetapan  momen penting ditentukan oleh suatu otoritas lain di luar kaidah  matematis kalender itu sendiri, maka kita akan menghadapi penjadwalan  waktu yang tidak pasti karena jadwal waktu tersebut akan sangat  tergantung kepada ketetapan yang akan dikeluarkan pada detik-detik akhir  menjelang saat dimulainya momen bersangkutan. Sebaliknya juga kita  tidak dapat melacak jadwal waktu penanggalan tersebut di masa lalu  karena tidak lahir dari kaidah matematisnya yang ajek. Kita harus  mencari arsip surat keputusan otoritas yang menetapkannya hari apa ia  menjatuhkan 1 Syawal tahun tertentu di masa lampau. Ini adalah sistem  yang buruk. Saudara-saudara kita umat Kristiani dalam menentukan kapan  melakukan selebrasi hari Natal telah dapat mengetahui hari jatuhnya jauh  hari sebelumnya berdasarkan kaidah kalender Masehi yang mereka gunakan,  bukan karena keputusan otoritas penguasa yang melakukan isbat menjelang  saat dimulainya momen itu.
Jadi apabila Muhammadiyah dikatakan  terlalu kuat berpegang kepada hisab, hal itu adalah karena alasan ini.  Dari segi kesederhanaan prosedur, biaya murah, dan kemampuan memberikan  kepastian jadwal tanggal di masa depan, pendekatan Muhammadiyah jauh  lebih maju. Dalam sistem kalendernya, penentuan tanggal merupakan hasil  dari logika kalender sendiri tanpa campur tangan Pimpinan Pusat  Muhammadiyah dan memang ia tidak mempunyai kewenangan itu. Pimpinan  Pusat hanya mengumumkan hasil dari sistem kalender itu sendiri dan  karena itu dapat dilakukannya jauh hari sebelumnya dan itu sangat  memudahkan bagi masyarakat untuk menyusun dan menyesuaikan kegiatan  hidupnya. Memang, kalender Muhammadiyah itu belum bersifat global dan  ini tentu menjadi tantangan para ahli ilmu falak dan astronom  Muhammadiyah untuk melakukan kajian guna menyempurnakan sistemnya hingga  dapat menjadi suatu kalender pemersatu yang baik.
Kebijakan  penggunaan hisab dengan memastikan penjadwalan waktu jauh hari  sebelumnya sekaligus merupakan suatu kritik yang tidak diucapkan,  melainkan disampaikan melalui praktik, terhadap kebijakan penjadwalan  waktu dalam kalender yang, maaf kalau ini subjektif, amat buruk yang  berlaku sekarang. Bayangkan menjelang detik-detik terakhir, awal bulan  baru belum dapat ditentukan karena otoritas “berwenang” belum  menetapkannya. Betapa tidak buruk, orang Muslim di Indonesia bagian  timur sudah pukul 10:00 malam WIT masih belum mendapat kepastian apakah  masih akan shalat tarawih atau akan melakukan takbiran untuk menyambut  datangnya lebaran. Kalau ternyata besoknya belum lebaran berarti mereka  akan melaksanakan shalat tarawih setelah jam 10:00 malam itu yang mereka  mungkin sudah ngantuk dan lelah karena seharian berpuasa dan bekerja  berat. Seandainya ada suatu sistem kalender yang pasti yang bisa  menetapkan penjadwalan waktu jauh hari sebelumnya berdasarkan kaidah  kalender itu sendiri, maka para tokoh alim ulama, para pakar ilmuwan dan  para pejabat yang berkumpul di sidang isbat itu tentunya akan bisa  berada di masjid untuk shalat tarawih bila menurut kalender lebarannya  lusa, atau takbiran guna menyambut lebaran besok harinya.
Penulis  setahun lalu pernah mendapat keluhan dari mahasiswa Indonesia yang  kuliah di luar negeri di mana umat Islam minoritas. Keluhannya adalah  mendapat kesulitan untuk menyewa tempat shalat id karena tempat tersebut  harus di
booking jauh hari sebelum id, sementara ketentuan  lebarannya belum pasti kapan karena masih menunggu hasil rukyat. Serta  banyak lagi keluhan lain semisal pekerja Muslim di negara minoritas  Islam sulit mendapatkan cuti Idulfitri karena tidak bisa memberi  kepastian jatuhnya id jauh hari sebelumnya.
Semua ini terjadi  karena tiadanya suatu sistem kalender yang memastikan tanggal  berdasarkan kaidah kalender itu sendiri. Yang ada adalah menanti  keputusan otoritas kekuasaan yang akan memutuskannya pada detik-detik  terakhir menjelang hari H. Selain itu penyelenggaraan sidang isbat untuk  menentukan kepastian tanggal itu juga tentu memakan biaya besar,  apalagi ditambah dengan biaya tim pengintai hilal di puluhan titik  pengamatan. Apabila sistem kalender menggunakan metode yang lebih  sederhana tetapi pasti tentu biaya itu tidak perlu dikeluarkan. Apa itu  bukan sebuah pemborosan yang sebetulnya bisa digunakan untuk keperluan  lain yang lebih mendesak. Akan tetapi hal ini memang tidak dapat  dielakkan dalam suatu sistem penetapan awal bulan yang berbasis rukyat  karena rukyat harus divalidasi oleh otoritas berwenang.
Para  astronom yang terlibat dengan persoalan ini nampaknya tidak memberi  perhatian serius terhadap masalah ini. Tidak pernah terdengar  kritik-kritik mereka, seakan sistem yang ada ini adalah hal yang wajar  saja. Untuk sebagian mungkin dapat dimaklumi karena mereka adalah bagian  dari sistem itu sendiri. Bahkan bukan hanya sekedar bagian, melainkan  juga adalah pendukung bersemangat yang tidak kurang “fanatiknya  dibandingkan dengan kefanatikan pendukung wujudul hilal dalam  Muhammadiyah.” Para pendukung sistem sekarang ini juga terbelenggu oleh  metode mereka sendiri sehingga tidak dapat memanfaatkan perangkat  keilmuan yang ada di tangan mereka untuk suatu pembaruan yang  berorientasi kepada suatu sistem penanggalan yang dapat menjadwalkan  waktu secara pasti di masa depan dan juga dapat melacak tanggal di masa  lalu secara akurat melalui kaidah sistem itu sendiri.
Syarat untuk  pembaruan ini memang berat. Kita harus ridha meninggalkan rukyat yang  sesungguhnya hanyalah warisan masa lalu yang telah usang dan tidak lagi  mampu memenuhi hajat sistem penanggalan umat Islam kontemporer. Bahkan,  menurut Ketua Asosiasi Astronomi Maroko, “sebab umat Islam belum dapat  memiliki suatu sistem penanggalan global terpadu adalah karena mereka  masih terlalu kuat berpegang kepada rukyat.” Jadi sudah saatnya kita  beranjak dari rukyat jika kita ingin mencapai suatu sistem penanggalan  yang baik. Ini bukan pendapat subjektif personal, melainkan hasil dari  sebuah konferensi internasional yang juga dihadiri oleh para pakar yang  sebagian mereka memiliki reputasi dunia. Pada butir kedua dari  kesimpulan Temu Pakar II tahun 2008 ditegaskan bahwa para peserta telah  menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan kamariah di  kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan  penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan kamariah, seperti  halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat. Para ahli  fiqih pun banyak yang berpendapat demikian. Bahkan Syeikh Syaraf  al-Qudhah, setelah melakukan kajian terhadap ayat-ayat al-Quran dan  hadits-hadits terkait masalah hisab-rukyat menegaskan 
al-ashlu fi itsbat asy-syahri an yakuna bil-hisab (pada  asasnya penetapan awal bulan itu adalah dengan hisab). Di sini bukan  tempatnya untuk menjelaskan argumen beliau untuk pandangannya tersebut.
Hisab  imkanu rukyat, yang sering diklaim sebagai alternatif terbaik, bukannya  tanpa masalah. Kriteria imkanu rukyat sendiri ada sebanyak pakar yang  mengusulkannya. Akan tetapi ini mungkin bisa diatasi dengan para pakar  itu sendiri bersepakat. Tetapi bukan sekedar sepakat, melainkan  berdasarkan hasil riset yang komprehensif. Akan tetapi terlepas dari  soal kriteria itu, hisab imkanu rukyat yang ada sekarang masih belum  dapat menyatukan penanggalan umat Islam. Sebagai contoh adalah Kalender  Hijriah Universal (al-Taqwim al-Hijri al-‘Alami) yang dibuat oleh  Muhammad Audah (Odeh). Kalender ini didasarkan kepada kriteria imkanu  rukyat Audah sendiri sebagai hasil analisis statistik terhadap 737 hasil  rukyat akurat dan teruji. Namun problemnya kalender ini masih harus  membelah dunia menjadi dua zona tanggal yang pada masing-masingnya  berlaku tanggal berbeda pada tahun tertentu. Akibatnya kalender ini  tidak dapat menyatukan jatuhnya hari Arafah antara Mekah dan kawasan  dunia lainnya. Audah adalah pendukung rukyat bersemangat. Baginya tidak  mungkin memulai awal bulan baru di dunia Islam tanpa terjadinya imkanu  rukyat di salah satu tempat di kawasan dunia Islam yang terbentang dari  Maroko hingga Indonesia. Namun kalendernya sendiri dalam sejumlah kasus  menjadikan dunia Islam masuk bulan baru pada hal imkanu rukyat dengan  teropong hanya terjadi pada kawasan sangat kecil di barat Portugal atau  di bagian barat Inggris. Dari 20 tahun jadwal tanggal dalam Kalender  Hijriah Universal Audah ini (sejak 1431 H s/d 1450 H) terdapat 9 kali  (45 %) terjadinya perbedaan jatuhnya hari Arafah sehingga menimbulkan  masalah kapan melaksanakan puasa Arafah.
Pendapat bahwa hari  Arafah hanya penamaan hari 9 Zulhijjah, sama dengan hari Nahar (10  Zulhijjah) dan hari Tasyrik (11-13 Zulhijjan), dan hari Arafah di Arafah  adalah hari wukuf, tetapi tidak harus sama untuk seluruh dunia sehingga  puasa Arafah boleh beda harinya dengan hari wukuf di Arafah, pendapat  tersebut bukanlah suatu penjelasan ilmiah. Pendapat ini hanya penjelasan  sementara yang sifatnya lebih politis, bukan syar’i, yang hanya dapat  dipegangi sementara waktu saat kalender umat Islam masih kucar kacir.  Pendapat ini hanya untuk menenangkan masyarakat yang tanggal 9  Zulhijahnya jatuh berbeda dengan hari Arafah di Mekah. Apabila dikatakan  bahwa mereka yang berpuasa Arafah pada tanggal 9 Zulhijah di tempatnya  sementara di Mekah sudah Idul Adha (10 Zulhijah) tidak sah puasanya,  maka akan timbul kebingungan di tengah masyarakat yang tidak tahu  apa-apa tentang problem penanggalan Islam. Akan tetapi secara ilmiah dan  berdasarkan sistem penanggalan yang valid, hari Arafah harus jatuh sama  di seluruh dunia, dan kalender yang menjatuhkannya berbeda adalah  kalender yang tidak valid.
Itulah mengapa dikatakan bahwa  penyatuan penanggalan Islam harus bersifat global. Siapa pun yang  membuat suatu rancangan kalender Islam, maka kaidah kalender itu harus  bersifat global dengan prinsip satu hari satu tanggal di seluruh dunia,  sehingga penanggalan tersebut benar-benar menjadi suatu sistem penandaan  hari yang akurat di dalam aliran waktu di masa lalu, kini dan akan  datang. Kalau dikatakan bahwa perbedaan jatuhnya hari Arafah (9  Zulhijah) itu adalah suatu konsekuensi yang tidak terelakkan, maka ini  dapat dikatakan sebagai suatu konsekuensi yang buruk. Konsekuensi buruk  ini tentu timbul dari anteseden yang buruk pula, yaitu rukyat atau hisab  imkanu rukyat yang selalu membelah bumi dan kurve yang membelah bumi  itu dijadikan batas tanggal.
Akan halnya imkanu rukyat 2 derajat  sebagaimana diamalkan di Kemenag adalah kaidah kalender yang sama sekali  tidak ada dasar syar’inya apalagi dasar astronomis. Semua astronom  tentu sangat mengetahui hal ini. Para meter tunggal saja, yaitu  ketinggian, adalah parameter yang buruk. Para astronom sudah hampir  sepakat bahwa parameter imkanu rukyat yang baik haruslah sekurangnya  ganda, misalnya ketinggian plus elongasi, atau ketinggian plus lebar  permukaan bulan yang tersinari matahari yang menghadapi ke bumi, dan  lain sebagainya. Parameter tunggal, seperti ketinggian saja, elongasi  saja, umur bulan saja atau mukus hilal saja, sama sekali tidak akan  dapat meramalkan visibilitas hilal secara lebih shahih. Apalagi kalau  parameter tunggal itu cuma dengan ukuran ketinggian 2 derajat. Ini dalam  kasus tertentu hanya akan membuat kita hidup dalam ilusi atau bahkan  bisa juga dalam kepalsuan atau kebohongan. Apabila ketinggian bulan  berada antara 2 s/d 5 derajat, maka ini berpotensi untuk terjadinya apa  yang dikatakan di atas. Seperti kasus Ramadan tahun lalu, ketinggian  hilal hanya sekitar 2,5 derajat. Namun diputuskan hilal telah dapat  terlihat karena ada saksi-saksi yang mengklaim dapat merukyat dan  karenanya keesokan harinya dinyatakan bulan baru (seperti Ramadan 1431  H). Padahal tidak ada seorang astronom pun dapat membuktikannya  terlihat. Data ketinggian hilal Ramadan 1431 H itu jauh di bawah  kriteria imkanu rukyat Audah, bahkan juga kriteria Istanbul 78. Salah  seorang teman dosen pengajar ilmu falak mengatakan bahwa selama 7 tahun  pengalamannya mengikuti rukyat belum pernah terjadi bahwa hilal dengan  ketinggian di bawah 5 derajat dapat terukyat. Apa ini tidak berarti  bahwa kita hidup dalam ilusi atau di bawah bayang-bayang kepalsuan.  Kenapa kita tidak realistis saja? Kenapa kita tidak mengambil sistem  yang lebih sederhana, tidak berbiaya tinggi, tetapi dapat memberikan  kepastian jadwal tanggal jauh ke depan sehingga memudahkan kehidupan  kita? Wallahu a’lam bis-sawab. Allahummagfir li khata’i. Innaka  antal-gafurur-rahim.
Sumber : 
http://www.dakwatuna.com/2011/09/14341/otoritas-dan-kaidah-matematis-refleksi-atas-perayaan-idul-fitri-1432-h-tanggapan-atas-kritik-thomas-djamaluddin/