Jumat, 03 Desember 2010

haa iki Mafia

"Capo Di Tutti Capi"
Sabtu, 27 November 2010 | 05:12 WIB
Oleh Budiarto Shambazy


Mungkin Indonesia satu-satunya negara yang memakai kata ”mafia” di instansi pemerintahnya. Nama resmi instansi itu Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang disingkat Satgas PMH.
Penggunaan kata mafia lebay, seram, kurang pantas masuk ke wilayah negara, dan agak sensasional. Kenapa tak diganti dengan ”gerombolan” atau ”komplotan”?
Mafia awalnya organisasi rahasia di Sisilia, Italia. Kala itu itu tujuannya menentang Pemerintah Italia yang tidak demokratis, tetapi berubah menjadi organisasi kriminal.
Akhir abad ke-19 mafia berkembang di Amerika Serikat (AS) dibawa imigran Italia. Mungkin karena kita bekas jajahan Belanda, kata mafia sebaiknya diganti dengan ”preman” (vrij man) sehingga namanya Satgas PPH (Pemberantasan Preman Hukum).
Dalam buku panduan Satgas PMH, berjudul Mafia Hukum: Modus Operandi, Akar Permasalahan dan Startegi Penanggulangan, dijabarkan siapa mafia hukum. Mereka pejabat kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan.
Di AS anggota mafia justru bukan dari pemerintahan, melainkan swasta. Misalnya saja Alphonse Gabriel ”Al” Capone alias Al Capone, bos mafia yang menguasai perdagangan segala macam barang ilegal di Chicago tahun 1920-an.
Satgas pemberantas mafia dipimpin Eliot Ness, yang memulai karier sebagai petugas pajak. Bertolak belakang dengan di sini: orang pajak bernama Gayus Tambunan yang menjadi anggota mafia hukum.
Itulah perbedaan kita dengan AS. Dan, di negeri ini ada sebuah kata sakti yang setiap saat bisa dimanipulasi pejabat untuk menghindari tanggung jawab, yakni ”oknum”. Ironisnya, kata ini dalam agama Katolik justru bermakna sakral.
Jika ada pejabat yang melanggar aturan yang mencoreng wajah instansinya, ia diberikan gelar oknum. Kalau sudah mendapat predikat oknum, habislah kariernya seperti penderita kusta yang diasingkan.
Setelah si oknum dikucilkan, citra instansi seolah harum kembali walau mafia-mafia tetap berkeliaran bebas di instansi itu. Mereka bangga dengan nama baik ”korps” yang pulih kembali bak bayi suci yang baru lahir.
Itulah ironi antara oknum dan korps. Beberapa kali terjadi seorang aparat dikeroyok habis penduduk suatu tempat karena yang bersangkutan, misalnya, ogah membayar setelah makan siang sampai kenyang di sebuah warung karena merasa sebagai pejabat terhormat.
Sehabis digebukin sampai bonyok oleh si empunya warung dan teman-temannya, si aparat itu pulang ke markasnya. Ia mengadu kepada para atasan ataupun teman-temannya, yang langsung naik darah menyerbu warung ngegebukin siapa pun yang mereka temukan sampai bonyok.
Dalam konteks ini, Anda dan teman-teman terbukti bersalah karena telah ”menyerang nama baik korps” aparat dan kantor tempatnya bekerja. Jadi, kalau ada sebuah apel busuk disebut oknum; sebaliknya kalau ada yang mencuri apel, dianggap merusak nama baik sekeranjang apel.
Makanya, dalam konteks mafia dan oknum versus korps ini, tak mengherankan kepala kita makin puyeng mencerna kasus Gayus. Wajar ’kan kalau sebagian masyarakat apatis dan sudah sinis menganggap republik ini sebagai ”republik mafia”?
Maklum saja karena mafia, preman, gerombolan, atau komplotan hukum dalam kasus Gayus terdiri atas terlalu banyak oknum di sejumlah kementerian yang membawahkan pajak, polisi, jaksa, penjara, dan entah apa lagi. Bayangkan, Gayus sudah 68 kali masuk-keluar penjara!
Gayus, yang cuma PNS golongan III, memiliki kekayaan ratusan miliar rupiah. Mungkin kita yang bekerja jujur harus sebanyak tujuh kali meninggal dunia, lalu tujuh kali reinkarnasi, untuk sekadar mendekati jumlah kekayaan Gayus.
Tetapi, percayalah, kasus Gayus paling hanya berputar-putar di situ-situ saja. Mau bolak-balik ganti Kapolri, Jaksa Agung, Ketua KPK, Satgas PMH, saya enggak yakin kasus ini akan selesai. Kita tak punya kepemimpinan yang patut diteladani.
Akhirnya kasus Gayus menjadi siaran tayang ulang saja. Pemimpin-pemimpin kita hanya sibuk dengan pergantian puncak pimpinan aparat penegak hukum, pelantikan, pidato, sertijab, bersih-bersih ruangan, perkenalan dengan bawahan, pidato lagi, jumpa pers, dan ganti bos-bos lagi.
Nanti pakar-pakar mengemukakan harapan terhadap pejabat-pejabat baru, bos-bos baru ngomong tentang janji gombal memberantas korupsi. Tak lama kemudian mereka mulai cari cara berkilah memperpanjang, memoles, dan mengarang janji gombalnya sendiri dengan berbagai versi.
Sementara kita? Sebagian yakin dengan apa yang dikatakan Albert Einstein, ”Insanity is doing the same thing over and over again and expecting different results”. Seolah bos-bos baru bakal berani, padahal di atas langit masih ada langit.
Sebagian bersikap apatis, lebih baik urus diri sendiri. Ini kurang sehat dalam demokrasi, tetapi bisa diterima akal sehat karena mereka terlalu sering dibohongi.
Sebagian lagi punya rasa humor menertawakan kondisi. Ngapain stres, lebih baik, seperti kata bahasa gaul, ”Ketawa-ketiwi daripada mati berdiri?” Namanya juga mafia, organisasi yang sulit diberantas selama masih ada ”bos dari segala bos” yang dalam bahasa Italia disebut dengan capo di tutti capi.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/11/27/05123961/capo.di.tutti.capi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar