Senin, 06 Desember 2010

haa iki Dunia & Akhirat

Mereka Bekerja Sambil Berhaji
Senin, 6 Desember 2010 | 03:34 WIB
 
 
Bus rombongan jemaah haji yang transit di kawasan Batha Quraish, Makkah al-Mukarromah, belum juga diberangkatkan menuju Arafah.
Tiba-tiba sekelompok anak muda, laki-laki dan perempuan, bergegas naik dan langsung menduduki kursi-kursi kosong di bagian belakang.
Sejenak terdengar riuh pembicaraan berbahasa Indonesia dalam ragam dialek: Melayu-Banjar, Sunda, dan Jawa. Kegembiraan terpancar pada wajah-wajah muda yang tampak semringah itu. Arafah, Musdalifah, dan Mina jadi tujuan sekaligus impian umat Islam pada umumnya, tak terkecuali anak-anak muda itu.
”Akhirnya jadi juga melaksanakan ibadah haji tahun ini,” kata Ahmad Lufti (27), salah satu di antara rombongan anak muda tersebut, dalam nada riang. ”Kalau saya, ini yang kedua kali,” timpal rekannya, Ahmad Rizal (26).
Ahmad Lufti dan Ahmad Rizal memang bukan anggota rombongan resmi jemaah dari biro penyelenggara perjalanan haji Masy’aril Haram Tour & Travel, tempat mereka bergabung untuk ikut melaksanakan ibadah haji. Sejak 1-2 tahun terakhir mereka tinggal di Arab Saudi, bekerja, hingga akhirnya berkesempatan melaksanakan ibadah haji.
Hanya saja, selama di Arafah dan Mina (8-12 Zulhijah 1431 H), Lufti dan Rizal—juga rekannya—mengemban dua tugas sekaligus. Pada satu sisi melaksanakan rukun Islam kelima (baca: berhaji), pada sisi lain mereka juga harus menyiapkan dan melayani kebutuhan makan rombongan jemaah yang mereka ”ikuti”.
Sebagai petugas bagian masak yang bekerja pada biro jasa katering Dapur Kita, selama di Arafah dan Mina—juga di Mekkah dan Madinah—Lufti dan Rizal mau tidak mau harus melaksanakan ibadah haji dengan tenaga ekstra. Pada saat jemaah pada umumnya khusyuk berzikir atau beristirahat di tenda-tenda khusus ber-AC, Lufti dan Rizal—bersama sejumlah pekerja lain—berpeluh keringat menyiapkan menu makan (pagi, siang, dan malam) bagi anggota jemaah haji khusus (baca: ONH plus) yang mengikat kontrak dengan Dapur Kita.
”Kalau air panas untuk bikin kopi di sini habis, ambil saja langsung ke dapur yang ada di sudut sana, Pak. Tersedia selama 24 jam,” kata Rizal memberi tahu saat rombongan masih di Arafah. ”Di Mina nanti akan disediakan sate, dua kali,” ujar Lufti memberi semacam bocoran menu makan.

Dua manfaat
Bagi Lufti dan Rizal, musim haji kali ini juga memberi dua manfaat sekaligus. Selain bisa berhaji di sela-sela bekerja, penghasilan mereka pun lumayan bertambah.
Paling tidak itu yang diungkapkan Lufti. Jika di luar musim haji ia digaji 1.800 riyal (1 riyal sekitar Rp 2.500), saat musim haji dengan jam kerja sedikit lebih panjang dan lebih sibuk tersebut ia bisa menerima 3.200 riyal.
Selama di Arafah dan Mina, Lufti dan Rizal—juga rekannya sesama pekerja yang jumlahnya lebih dari 10 orang—terpaksa tidur setelah larut malam. Pada saat sebagian besar jemaah sudah pulas di atas kasur kecil beralas karpet, mereka masih sibuk di dapur. Paginya, bersamaan orang-orang bangun untuk shalat subuh, mereka pun mesti bergegas kembali ke dapur.
”Memang lebih capek, tapi kan bisa berhaji,” kata Lufti, bujangan asal Kalimantan yang sudah dua tahun bekerja di Arab Saudi.
Itulah harga yang harus mereka bayar. Kalau berhaji biasa, sebagai mukimin (orang yang sudah bermukim di Arab Saudi), seperti pengalaman Wijaya pada musim haji tahun lalu, mereka harus bayar jasa biro perjalanan 1.000-1.500 riyal.
”Meski keluar uang lumayan besar untuk ukuran pekerja seperti saya, memang kenyamanan beribadah lebih terjamin. Sebab, selama di Arafah dan Mina bisa tidur di tenda,” kata bujangan asal Desa Sukajadi, Pagar Alam, Sumatera Selatan, yang bekerja sebagai kasir di pusat perbelanjaan Carrefour, Madinah.
Berhaji sepenuhnya secara mandiri juga bisa. Caranya dengan naik kendaraan umum hingga sampai Arafah dan Mina, lalu tidur di tempat terbuka atau di emperan bangunan serta di bawah jembatan. ”Paling habis 500-600 riyal untuk ongkos transportasi dan makan,” ujarnya.
Tidak semua pekerja Indonesia di Arab Saudi bernasib baik, bisa berhaji dengan ongkos relatif murah.
Mereka yang tak beruntung cukup banyak. Salah satunya Parman (21), tenaga kerja asal Praya, Lombok Tengah. Sudah menghabiskan biaya Rp 15 juta agar dapat diberangkatkan ke Arab Saudi, Parman kini hanya bisa gigit jari. Disalurkan bekerja sebagai tenaga kebersihan di Masjid Nabawi, Madinah, Parman mengaku hanya bergaji 529 riyal per bulan.
”Sampai habis kontrak 2 tahun rasanya modal biaya berangkat ke sini pun tidak akan bisa kembali. Soalnya biaya hidup sehari-hari juga lumayan tinggi,” kata Parman saat ditemui tengah bertugas di pelataran atas Masjid Nabawi.
Bagi sebagian pekerja Indonesia di Arab Saudi, musim haji kali ini membawa berkah. Mimpi-mimpi mereka pun terwujud. Bekerja sambil berhaji.
Di Musdalifah mereka bersama jutaan anggota jemaah dari berbagai penjuru dunia menyatu dalam pencarian jati diri. Mencari batu kerikil di tengah malam buta, untuk dilempar dalam ritual melempar jumrah di jamarat.
Namun, tengoklah sejenak pekerja-pekerja seperti Parman, yang hanya bisa menyaksikan dari tempat yang sangat dekat ”kegembiraan” ribuan jemaah sebangsanya.
Dan mereka, para pekerja itu, hanya bisa menyaksikan semua itu dalam diam. Dari lorong-lorong dan pelataran Masjid Nabawi, ratusan di antara ribuan pekerja yang bertugas di sana adalah orang-orang Indonesia yang bergaji hanya beberapa ratus ribu di atas upah minimum provinsi di Tanah Air.... (KEN)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/12/06/03340631/mereka.bekerja.sambil.berhaji

Tidak ada komentar:

Posting Komentar