Selasa, 21 Desember 2010

haa iki Riset & Pendidikan

Inilah Curahan Hati Ilmuwan yang Melarikan Diri
Headline
Dr. Irwandi Jaswir - Foto:Istimewa
Oleh: Ellyzar Zachra PB
 
Nasional - Selasa, 21 Desember 2010 | 07:32 WIB
INILAH.COM, Jakarta- Kendati mencari nafkah di luar negeri, bukan berarti ilmuwan ini tidak cinta tanah air. Penggondol berbagai gelar ini mengaku masih menjunjung tinggi nasionalisme, meski kecewa karena merasa kurang dihargai di tanah leluhurnya.

Dr. Irwandi Jaswir, associate professor di Departemen Teknik Bioteknologi, International Islamic University Malaysia (IIUM), adalah salah satu warga Indonesia yang lebih memilih mengembangkan ilmu pengetahuan di Kuala Lumpur, Malaysia.
”Saya mencari kondisi yang nyaman untuk beraktivitas, khususnya ketika mengembangkan riset dan mengajar. Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bahwa keinginan untuk riset tidak terlalu besar dan belum terfasilitasi dengan baik,”katanya.
Setelah lulus dari Institut Pertanian Bogor di bidang teknologi pangan pada 1993, ia sudah mempublikasikan riset dari negara tetangga. Meski secara teknis belum pernah berkecimpung secara akademik di Indonesia, Irwandi yang berasal dari keluarga dosen menilai, Malaysia jauh lebih unggul dari Indonesia.
“Ini seharusnya dilihat dari segi profesionalisme, di mana saya harus bisa bersaing di mana saja. Saya penyuka tantangan, ketika berada di luar negeri pun, saya tetap warga negara yang membawa nama Indonesia,” ujar dosen yang ikut membentuk departemen bioteknologi pertama kali di IIUM ini.
Menurut Irwandi, iklim di Malaysia membantu para ilmuwan dalam lingkup akademisi untuk fokus melakukan penelitian dan mempublikasikan studi di jurnal internasional. Berbeda dengan Indonesia, dimana beberapa universitas kerap menuntut jam mengajar pada para peneliti atau dosen. Kondisi ini membuat kontribusi riset menurun setelah berada di Indonesia.
Hal ini, imbuhnya, juga diakui koleganya yang sempat menimba ilmu di luar negeri. Ia memberi contoh beberapa temannya yang tidak lagi produktif saat berada di lingkungan akademisi Indonesia. “Mereka mengajar terlalu banyak sehingga kegiatan riset terganggu. Konsentrasi terpecah. Menulis pada dasarnya tidak gampang. Perlu ketenangan untuk menulis yang baik,” tambahnya.
Ia menuturkan, di luar negeri, jika seseorang teridentifikasi sebagai pelaku riset, maka jumlah jam mengajar dikurangi. Karena pada dasarnya, riset yang berkualitas juga membuat citera universitas bertambah baik. “Di Malaysia, mereka tahu saya memang orang riset. Apapun yang saya harapkan di proposal sebagian besar disetujui. Selain itu saya bebas berkarya dan menarik mahasiswa Indonesia untuk menjadi S2 dan S3.”
Keunggulan di negeri lain salah satunya adalah mudahnya pendanaan yang diberikan, dibandingkan birokrasi di Indonesia. Anggaran riset Malaysia dinilai Irwandi jauh lebih baik daripada di Indonesia. Karenanya, ilmuwan tidak perlu khawatir dan memusingkan diri dengan pencarian dana. Cukup fokus kepada penelitian.
Selain itu, dunia akademik di luar negeri lebih selektif. Untuk meluluskan keberadaan suatu departemen saja sangat sulit, karena perlu survei dari berbagai tahapan. Selain itu, ada tuntutan baku dan jelas dari unversitas kepada dosen. Contohnya, batas untuk jumlah materi hasil studi dan jam pengajaran.
Para dosen setiap tahun juga mendapat evaluasi yang ketat. Tidak seperti di Indonesia di mana beberapa pengajar menjabat sebagai pegawai negeri, kadang hal tersebut bisa membuat seseorang merasa santai. “Di Malaysia, saya menjadi tertantang untuk menunjukkan eksistensi diri,” kata Irwandi.
Dari segi Industri, ini dianggap sebagai quality control yang sangat baik. Jadwal tersusun dengan jelas. Kalau di Indonesia, kadang ada yang telat. Di luar negeri, orang harus komitmen dan profesional.
“Kalau tidak terbiasa kita pasti merasa ini sangat rumit. Tapi lama-lama kita menyadari bahwa ini cara untuk maju,” tegas Irwandi.
Meskipun begitu, Irwandi tidak menutup kemungkinan dirinya kembali ke Indonesia untuk berkontribusi.
“Saya akan melihat apakah saya bisa berkembang. Saat ini saya tidak tahu karena belum pernah coba melamar pekerjaan di Indonesia. Saya tertarik untuk pulang sebagai warga negara Indonesia. Tapi, pertimbangan lebih dari itu. Apakah kenyamanan untuk bekerja bisa saya rasakan di Indonesia?” ujar Iswandi pelan.
Keengganan ilmuwan Indonesia untuk berkecimpung di negara sendiri diakui Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan saat ditemui INILAH.COM. Menurutnya, Indonesia memang memiliki banyak masalah. Namun, ia optimis, dengan komitmen semua orang, sisi kelam dunia pendidikan dapat dihapus.
“Indonesia adalah negara besar. Kalau rata-rata kita pasti kalah. Lagipula yang bersaing itu apa, rata-rata atau manusia? Manusia tentu saja. Ambil 10% siswa terbaik di Indonesia maka lebih banyak orang cerdas kita dibandingkan jumlah penduduk di Malaysia. Jadi jangan katakan kepada saya bahwa Indonesia kalah daripada Malaysia,” tegasnya.
Menurut Anies, salah satu cara yang dapat dilakukan pemerintah adalah memberi insentif kepada pihak swasta untuk turut serta mengembangkanpendidikan yang dapat langsung diaplikasikan.
“Tidak semua harus dikerjekan pemerintah. Di seluruh dunia, laboratorium swasta banyak sekali. Tanpa birokrasi. Pemerintah seharusnya merangsang agar pihak swasta mau membangun sebuah iklim riset teknologi. Padahal riset teknologi sangat menguntungkan.” [ast]
Sumber : http://nasional.inilah.com/read/detail/1075512/inilah-curahan-hati-ilmuwan-yang-melarikan-diri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar