Minggu, 19 Desember 2010

haa iki Hukum Rimba Di Jakarta

Jakarta Suatu Sore...!
Sabtu, 18 Desember 2010 | 04:51 WIB


Oleh ANDI SURUJI

Jakarta sore hari jam pulang kerja. Lampu pengatur lalu lintas mati. Hujan deras pula. Polisi tak tampak bertugas di jalanan.
Bisalah Anda bayangkan seperti apa situasi seperti itu di jalan raya Jakarta, etalase negeri ini…! Kesemrawutan luar biasa, macet total di mana-mana. Klakson kendaraan bersahut-sahutan memekakkan telinga. Serobot sana serobot sini. Telikung sana telikung sini. Tidak ada yang mau mengalah. Sekecil apa pun peluang digunakan pengendara untuk masuk memaksakan kehendak. Padahal, kalau mau mengalah sedikit saja, mungkin bisa lebih lancar.
Kondisinya lebih parah jika ada ruas jalan yang tergenang air. Kendaraan yang seharusnya mengalir lancar akhirnya bergerak maju perlahan menambah panjang antrean dan kemacetan. Akan tetapi, walaupun tidak ada genangan air, penderitaan pengendara juga tidak kalah beratnya kalau kita melintas di bawah jalan layang. Soalnya, jalan di bawah jembatan atau jalan layang diokupasi pengendara sepeda motor untuk berteduh.
Tidak tanggung-tanggung, sebab kadang-kadang mereka memarkir kendaraannya secara sembarangan sampai menggunakan dua atau tiga lajur. Akibatnya, jalan yang semula tiga atau empat lajur bisa-bisa tersisa tinggal satu lajur sempit yang pas-pas lolos satu kendaraan. Tentu saja situasi itu membuat kebuntuan arus kendaraan dan antrean panjang untuk ”selamat” melewati kerumunan sepeda motor parkir tersebut.
Masalah lalu lintas Jakarta, sudah dipahami semua, kian parah. Kendaraan bermotor semakin bertambah, sementara kapasitas jalan nyaris tidak bertambah. Kalaupun ada ”penambahan”, tak lebih dari tambal sulam. Tidak sedikit pembuatan jalan layang justru hanya mengalihkan titik kemacetan.
Menurut keterangan dari kalangan industri otomotif, sekitar 25 persen dari penjualan sepeda motor yang setiap tahun sekitar 6 juta unit menetap di Jakarta dan sekitarnya. Sementara motor-motor yang tidur di luar Jakarta, seperti Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi, banyak yang beroperasi di Jakarta pada siang hari. Begitu juga kendaraan roda empat, sekitar 45 persen dari total penjualan yang mencapai 600.000 per tahun beredar di Jakarta dan sekitarnya.
Akibat kepadatan lalu lintas, tanpa penyediaan jalur khusus motor, apalagi sepeda, maka yang terjadi adalah pengendara sepeda motor berjuang mencari jalan dengan serobot sana serobot sini, salip sana salip sini. Menyenggol, bahkan mencederai, kendaraan lain seolah hal biasa saja. Tidak jarang pengendara motor yang menggores badan atau menyenggol kaca spion mobil, mereka pula yang lebih dulu marah. Waualah… walah.…
Pembangunan mal atau pusat perbelanjaan juga kurang memperhitungkan faktor lalu lintas. Akibatnya, setiap ada mal atau pasar, terminal, kemacetan pasti terjadi. Tata kota menjadi kunci dalam mengurai kemacetan kota Jakarta, seperti perhitungan daya dukung perkotaan, termasuk persoalan lalu lintas di sekitar bangunan.
Pembangunan infrastruktur dan sarana transportasi Jakarta sebagai ibu kota, pusat aktivitas pemerintahan dan bisnis, seolah berjalan tanpa perencanaan matang.
Sejak lama kita telah mendengar akan adanya pembangunan mass rapid transit (MRT), subway, jalan bawah tanah, tetapi belum terlihat juga hasilnya. Karena itulah orang sering memelesetkan MRT itu sebagai ”masih rapat terus”.
Karena sarana transportasi yang nyaman dan aman tidak kunjung hadir, jangan salahkan jika masyarakat terus menyediakan sendiri. Peluang ini juga dilihat perusahaan produsen kendaraan bermotor. Produksi digenjot karena ada pasar. Begitu pula perusahaan pembiayaan dan perbankan sangat gencar menawarkan kredit kendaraan.
Tidak heran jika setiap hari Anda menerima SMS tawaran kredit, dengan syarat yang sangat mudah. Uang muka Rp 300.000, bawa KTP dan kartu keluarga, bukti rekening pembayaran listrik, Anda sudah bisa membawa sebuah sepeda motor.
Tanpa penambahan jalan yang signifikan, sementara kendaraan terus bertambah, maka yang bakal terjadi hanyalah kemacetan yang kian hari kian parah. Waktu tempuh dari suatu titik keberangkatan ke titik tujuan semakin lama dari biasanya.
Kondisi itu membuat warga Jakarta dan sekitarnya semakin tidak produktif. Konsumsi bahan bakar makin melonjak dari waktu ke waktu. Waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk kegiatan produktif akhirnya terbuang sia-sia karena, ketika mengendara, tidak banyak yang bisa dilakukan.
Warga Jakarta sering kali frustrasi menghadapi situasi lalu lintas kayak begini. Tetapi mereka tidak punya pilihan, kecuali berteriak melalui Twitter, Facebook. Ya, setidaknya melalui media sosial itulah mereka melepaskan kejengkelan, sekaligus berbagi informasi kondisi lalu lintas. Pemecahan masalah transportasi Jakarta memerlukan kemauan politik yang kuat dari pemerintah provinsi dan pusat.
Tapi, jangan-jangan situasi lalu lintas Jakarta seperti digambarkan di awal tulisan ini merupakan cermin dari kondisi kehidupan kita berbangsa dan bernegara saat ini? Semrawut di semua sektor, ya politik, ekonomi, sosial, dan budaya!
Bagaimana menurut Anda?
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/12/18/04514331/jakarta.suatu.sore....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar