Kamis, 30 Desember 2010

haa iki Gatholoco

WARISAN BUDAYA
Gatholoco di Tepi Zaman
Kamis, 30 Desember 2010 | 08:05 WIB
 
Sebagai suluk karya sastra Jawa Klasik, Gatholoco kurang dikenal. Masyarakat Jawa lebih mudah mengasosiasikan Gatholoco sebagai bentuk ajaran ilmu sejati Islam-Kejawen. Padahal, sebagai karya budaya, seni Gatholoco mengandung pesan-pesan moral luhur.
Namun, seiring perkembangan zaman, Gatholoco tergerus. Para pelaku seninya pun tersudut ke ruang zaman.
Hal itu pula yang kini dialami grup kesenian Gatholoco Pitutur Madyo Dusun Ngrantunan, Desa Sonorejo, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Meskipun masih aktif, nyaris dalam setahun hanya sekali-dua kali ditanggap. Memang, dalam sebulan mereka kadang masih tampil, tapi itu hanya latihan rutin di rumah ketua kelompok seni ini, Midin (60).
”Kalau dibanding seni-seni sekarang, memang Gatholoco sudah tak ada ramainya. Kami bertahan sekadar untuk melestarikan warisan leluhur kami,” kata Midin usai tampil di pentas seni di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Magelang, pekan lalu.
Bagi warga Magelang berusia di atas 50 tahun, sesungguhnya Gatholoco Pitutur Madyo bukan seni asing. Pada era 1950-an hingga awal 1980- kesenian ini sangat populer mengisi acara-acara hajatan warga. Dengan baju ala militer keraton, berkacamata hitam, dan gerakan tari pelan, Gatholoco mudah dikenali dan dianggap trendy bagi warga setempat di era sebelum televisi begitu mendominasi.
”Dulu, saat Gatholoco ini masih dipegang leluhur saya dan awal-awal saya mengelolanya sekitar tahun 1970-an, sebulan sekali selalu ada yang mengundang. Bahkan, terkadang sebulan empat kali,” kata Midin.
Gatholoco Pitutur Madyo adalah perpaduan seni musik dan tari. Ada 12 penari yang umumnya adalah pria. Dengan baju khas militer keraton Jawa, berselempang, bertanda pangkat, dengan dominasi warna merah dan putih; mereka menarikan gerakan tari yang sesungguhnya amat sederhana. Formasi sejajar satu-satu memanjang dan entakan kaki beritme pelan mendominasi.
Namun, kekuatan seni ini sesungguhnya justru pada musik dan teks syair yang dibawakan pengiring di belakang para penari. Menurut Midin, lagu-lagu Gatholoco Pitutur Madyo berupa nasihat-nasihat dan perhitungan Jawa terkait ritual membangun rumah, selamatan untuk orang yang meninggal, upacara kelahiran, dan nasihat-nasihat kesehariannya.
Lagu itu dinyanyikan satu penyanyi didampingi dua orang penyenggak atau semacam vokal latar. Alat musik yang dimainkan pun sederhana, tiga rebana, satu kendang, dan satu gong.
”Kalau dilihat dari ciri vokalnya, baju, tarian, dan juga alat musiknya, Gatholoco ini perpaduan Jawa, Arab, bahkan Asia Tengah. Ada unsur sufisme yang dibangun,” ujar budayawan Magelang, Sutanto Mendut.
Sesungguhnya, sebagai suluk sastra, Gatholoco bermacam-macam. Di daerah-daerah tertentu, teks Gatholoco cenderung lepas dari unsur moral, bahkan tak jarang bertutur mengenai seksualitas pria-wanita. Ada pula yang memadukan Gatholoco dengan ajaran agama Islam. Di Magelang, Gatholoco lebih dikenal sebagai seni tutur perhitungan Jawa.
”Tapi perkembangan zaman memang sulit dilawan. Tuntutan hiburan masyarakat terus berubah. Itu salah satu yang membuat Gatholoco semakin ditinggal. Tapi, bukan berarti tak ada kesempatan untuk berkembang kembali asalkan dikemas lebih menarik,” ujar dosen Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Joko Aswoyo. (M Burhanudin)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/12/30/08055387/gatholoco.di.tepi.zaman

1 komentar:

  1. Di dusun kami dulu ada kesenian gatoloco,
    Bagaimana caranya ya untuk mengembangkan kembali / mengemas lebih menarik ??!!

    BalasHapus