Kamis, 24 Maret 2011

haa iki Perang Asimetri di Libya

Kamis, 24 Maret 2011

Perang Asimetri di Libya

Sayidiman Suryohadiprojo

Serangan militer koalisi Barat terhadap Libya yang dipimpin Moamar Khadafy menghangatkan kembali masalah perang asimetri.
Apa perang asimetri (asymmetric warfare) itu? Ini adalah satu pengertian relatif baru dalam ilmu perang. Artinya merujuk pada perang antara belligerent atau pihak-pihak berperang yang kekuatan militernya sangat berbeda.
Akibat adanya perbedaan besar dalam kekuatan militer itu, lalu digunakan strategi dan taktik yang juga berbeda. Pihak yang relatif lemah kekuatan militernya, apabila ada pimpinan yang cerdas, tidak melakukan perlawanan konvensional karena pasti amat sulit dan berat menghadapi keunggulan lawannya. Maka, ia melakukan perlawanan nonkonvensional (unconventional warfare) yang dapat mengompensasi kelemahannya. Perang kemerdekaan bangsa Indonesia terhadap Belanda dan Perang Vietnam adalah contoh jelas dari perang asimetri.
Pengertian ini dimunculkan oleh seorang warga Amerika Serikta, Andrew R Mack, lewat bukunya yang berjudul Why Big Nations Lose Small Wars (1975). Tentu buku itu ditulis berhubungan dengan kegagalan AS dalam Perang Vietnam.
Akan tetapi, kalangan pertahanan AS semula tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap buku itu. Baru pada tahun 1990 diadakan penelitian serius tentang masalah tersebut. Setelah tahun 2004 baru kalangan militer AS memberikan perhatian sungguh-sungguh terhadap berbagai persoalan yang timbul akibat perlawanan nonkonvensional itu. Mungkin sekali hal itu dirangsang oleh perlawanan yang mereka hadapi di Afganistan dan Irak.

Adu kecerdasan
Belum tentu dalam perang asimetri pihak yang relatif lemah beralih pada perlawanan nonkonvensional. Kalau pimpinannya kurang cerdas atau kurang dapat mengendalikan cara berpikirnya, sangat mungkin ia tetap melawan secara konvensional. Akibatnya, perlawanan mereka dengan mudah diruntuhkan oleh lawan.
Pada tahap awal Perang Kemerdekaan Indonesia, misalnya, sampai pada penyerangan Belanda 21 Juli 1947, kekuatan pertahanan kita masih melakukan perlawanan konvensional. Maka, tentara Belanda dengan keunggulan senjata dan peralatan, organisasi dan latihan, dapat dengan cepat menembus pertahanan kita di semua front sehingga seakan-akan seluruh wilayah RI sudah dikuasai Belanda, kecuali beberapa daerah di Jawa dan Sumatera.
Ketika itu pemerintah kita belum paham perlawanan nonkonvensional. Ketika ada penghentian tembak-menembak, kita pun menyetujui kehendak Belanda agar semua kekuatan militer di Jawa Barat ditarik ke Jawa Tengah yang masih dikuasai Pemerintah RI.
Padahal, tepat sebelum Perang Kemerdekaan I itu pecah, pimpinan TNI sadar akan manfaat perlawanan gerilya kalau pertahanan konvensional kalah. Namun, sebelum kesadaran itu dijadikan perintah ke semua pasukan TNI, sudah terjadi serangan Belanda. Maka, pasukan Siliwangi di bawah pimpinan Jenderal Mayor (sebutan pangkat waktu itu) AH Nasution yang tahu sikap pimpinan TNI langsung beralih ke perlawanan nonkonvensional. Taktik gerilya pun diterapkan setelah Belanda menguasai sejumlah kota di Jawa Barat. Saat itu Belanda memang hanya menguasai kota-kota di Jawa Barat, sedangkan di luar kota, RI tetap berkuasa.
Oleh sebab itu, perintah Pemerintah RI agar Siliwangi meninggalkan Jawa Barat merupakan kegagalan strategi yang amat menguntungkan Belanda. Baru kemudian Pemerintah RI sadar dan paham akan pentingnya perlawanan nonkonvensional dalam perang asimetri itu.
Perang Kemerdekaan II yang berkembang setelah serangan Belanda ke Yogyakarta pada 18 Desember 1948 bertitik berat perlawanan gerilya TNI bersama rakyat. Perang pun berakhir dengan kemenangan Indonesia ketika Belanda pada 27 Desember 1949 harus mengakui kedaulatan bangsa Indonesia atas wilayah Indonesia.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah Moammar Khadafy cukup cerdas dan kuat kendali dirinya untuk melakukan perlawanan nonkonvensional kalau nanti kekuatan militer koalisi Barat tidak hanya mengebom Libya, tetapi juga mendaratkan pasukan untuk menguasai Libya. Sebab, dengan pengeboman saja mustahil koalisi Barat dapat memaksa Khadafy tunduk pada kehendak mereka.
Lagi pula, sekarang yang menggunakan cara nonkonvensional tidak hanya pihak yang lemah. Pihak yang kuat juga menggunakan cara itu untuk merongrong kekuatan perlawanan pihak lemah. Perang intelijen, perang informasi, perang ekonomi, perang komunikasi, dan perang budaya sekarang sudah lazim digunakan pihak kuat, seperti AS, untuk meluaskan dominasinya di dunia.
Maka, akan kita lihat siapa pihak yang lebih cerdas, lebih kuat mental dan fisik, serta lebih mampu kendali diri dan kendali organisasi dalam menjalankan pertarungan di antara mereka.

Sayidiman Suryohadiprojo Mantan Gubernur Lemhannas dan Mantan Dubes
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/24/04140395/.perang.asimetri.di.libya
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar