Selasa, 15 Maret 2011
Batan dan Logika PLTN
Nengah Sudja
Hati tergelitik baca berita koran ini, 1 Maret lalu, tentang Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) yangmenyiapkan Rp 159 miliar untuk studi kelayakan pembangunan PLTN di Provinsi Bangka Belitung.
Rencana  itu patut diberi tanggapan terbuka. Beberapa teman bertanya: apa dasar  membangun PLTN di pulau terpencil yang jauh dari pusat beban listrik di  Jawa dan Sumatera? Beban listrik Babel 2010 hanya 90 megawatt (MW).  Dengan prakiraan pertumbuhan 10 persen per tahun, dalam 20 tahun  kebutuhan provinsi penghasil timah itu hanya 605 MW.
Berdasarkan  standar yang dipakai di banyak negara, PLTN baru ekonomis dibangun  dengan daya 1.000 MW atau 1 gigawatt (GW). Batan menjanjikan listrik  murah bila PLTN berdiri di Babel. Kelebihan listrik bisa disalurkan ke  Jawa dan Sumatera. Jika PLTN berdiri, Babel akan jadi lumbung listrik  nasional.
Pembangunan PLTN di dunia dimulai pada 1954 disertai  optimisme menghasilkan listrik amat murah. Kurun 1960-1989 PLTN tumbuh  pesat: 424 reaktor dengan daya 322 GW. Selama 1990-2009 pertumbuhan  turun.
Pada 2009 jumlah reaktor 436 unit dengan daya 370 GW.  Pemilik terbesar PLTN adalah AS: 104 unit dengan daya 100,7 GW dan  memenuhi 19,7 persen kebutuhan listrik. Sejak 1973 tak ada pesanan PLTN  baru. Di Eropa, sejak 1991 tak ada pesanan baru. Pembangunan PLTN  kembali dimulai di Finlandia (2005), dilanjutkan di Perancis (2006).
Kemunduran
Sebab  utama kemunduran, antara lain, peningkatan biaya pembangunan, tak ada  kepastian jadwal penyelesaian proyek, biaya penonaktifan pembangkit  setelah masa operasi selesai, penyimpanan limbah, keselamatan reaktor,  penyebaran senjata nuklir, dan penerimaan masyarakat. Austria, Belgia,  Denmark, Jerman, dan Spanyol, misalnya, mulai menghentikan, bahkan  melarang, pembangunan PLTN.
Sebaliknya, Malaysia, Vietnam, dan  Turki mulai merencanakan pembangunannya. Biaya yang dikeluarkan cukup  besar. Korsel mengeluarkan 20,4 miliar dollar AS untuk membangun empat  PLTN, masing-masing 1.400 MW, belum termasuk biaya persiapan lokasi,  pengawasan pembangunan, dan bunga selama pembangunan.
PLTN pertama  Indonesia dirancang 1980-1990-an di Tanjung Muria, Jawa Tengah.  Targetnya memenuhi kebutuhan listrik Jawa. Rancangan menghabiskan dana  negara sampai 20 juta dollar AS. Muria dipilih karena tingkat gempa dan  kepadatan penduduk relatif rendah. Namun, pemilihan Muria ditolak keras  penduduk setempat. Setelah isu penolakan PLTN redup, tiba-tiba pilihan  lokasi dialihkan ke Babel.
Pilihan tapak lokasi adalah salah satu  syarat membangun PLTN selain aspek tak kalah penting: beban daya  listrik. Dengan beban listrik di Babel yang rendah, muncul ide  menyalurkan lebih banyak daya ke Sumatera dan Jawa. Dari segi biaya dan  harga jual listrik, menyalurkan listrik dari PLTN di Babel ke Sumatera  jelas tak ekonomis. Harga listrik dari PLTN Babel tak akan dapat  bersaing dengan listrik hasil pembangkit listrik tenaga uap yang  dibangun di mulut tambang batu bara di Sumatera. PLTU mulut tambang  lebih mangkus karena lokasi lebih dekat ke pusat beban dan sistem  jaringan tegangan tinggi PLN.
Penyaluran listrik dari Bangka ke  Jawa sudah pasti jadi lebih mahal. Perlu dibangun jaringan kabel listrik  bawah laut arus searah sejauh 250 kilometer dengan biaya 2 miliar  dollar AS hingga 3 miliar dollar AS.
UU No 10/1997 tentang  Ketenaganukliran membatasi tugas badan pelaksana (Batan) pada penelitian  kesehatan, pertanian, industri, termasuk bahan bakar nuklir. Ihwal  reaktor nuklir komersial, Pasal 13 Ayat (3), menyebutkan, pembangunan,  pengoperasian, dan peniraktifan reaktor nuklir komersial dilaksanakan  oleh BUMN, koperasi, dan atau badan swasta.
Pemilihan lokasi dan  studi tapak untuk membangun PLTN dengan reaktor komersial bukan wewenang  Batan, melainkan investor PLTN dengan perizinan dan pengawasan badan  pengawas (Bapeten). Putusan pemberian dana Rp 159 miliar kepada Batan  untuk studi kelayakan membangun PLTN tergolong pelanggaran UU.
Dana  itu lebih pantas dialokasikan bagi kegiatan lebih mendesak: perluasan  listrik desa, pengembangan sumber daya dalam negeri, atau biaya  eksplorasi panas bumi. Banyak terobosan kebijakan lain di sektor  kelistrikan yang lebih propertumbuhan dan prolingkungan ketimbang  membangun PLTN yang mahal, berteknologi kompleks, dan sebagian besar  dengan alat impor.
Nengah Sudja Mantan Sekretaris Komisi Persiapan Pembangunan PLTN
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/15/03100983/batan.dan.logika.pltn
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar