Selasa, 08 Maret 2011

haa iki Anatomi Revolusi Libya

Selasa, 08 Maret 2011
Oleh Zuhairi Misrawi
 

Saat revolusi bergejolak di Mesir, penulis berjumpa dengan warga Libya di Bandara Internasional Kairo. Ketika ditanya apakah angin revolusi akan berembus dari Mesir ke Libya, ia hanya tersenyum.
Senyuman tersebut dapat ditafsirkan perihal munculnya gejala yang kuat tentang proliferasi revolusi ke wilayah lain di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Hanya beberapa hari setelah Hosni Mubarak mundur, aksi unjuk rasa berkobar di Benghazi, Libya. Revolusi di negara yang dikenal dengan kilang minyaknya itu bergejolak sejak 17 Februari hingga kini.
Sumber utama revolusi Libya adalah Moammar Khadafy, diktator paling sadis abad ini. Ribuan rakyatnya dibunuh atas dasar mempertahankan takhta kekuasaan. Jika dibandingkan dengan Ben Ali (Tunisia) dan Hosni Mubarak (Mesir), Khadafy adalah pemimpin terlama di takhta kekuasaan, khususnya di dunia Arab dan Afrika Utara.
Khadafy naik takhta pada 1969 setelah menaklukkan Raja Idris I. Ia memimpin Libya selama lebih kurang 42 tahun. Kekuasaan yang sangat awet itu direngkuh dengan tangan besi. Khadafy memimpin Libya tanpa konstitusi.
Di samping itu, militer yang jadi tulang punggung pertahanan dan keamanan juga dipimpin iparnya sendiri, Abdullah Senussi. Sementara putranya, Khamis, memimpin pasukan khusus istana. Khadafy sadar betul, pihak yang mampu menjatuhkan kekuasaannya adalah militer. Sebab itu, ia sejak awal sudah mengamankan pihak militer yang dipimpin langsung oleh putra dan familinya sendiri.
Fakta tersebut menggambarkan betapa alotnya upaya kalangan oposisi untuk menjatuhkan rezim Khadafy. Konteks sosial-politiknya berbeda 100 persen dengan Tunisia dan Mesir. Tak ada partai politik, media oposisi, dan masyarakat sipil yang kuat. Apalagi dengan kekayaan minyak yang dimiliki Libya, Khadafy mampu membeli rakyat dan kalangan pro-penguasa yang setiap saat dapat digunakan untuk melawan kalangan oposisi.
Untuk membaca kekuatan politik Arab, seperti Libya, Muhammad Abid al-Jabiry dalam Al-’Aql al-Siyasi al-’Arabi menggambarkan tiga pilar politik Arab, yaitu akidah, upeti, dan kabilah.
Dalam kasus Libya, Khadafy berhasil bertahan karena masih dapat dukungan penuh dari kabilah yang selama ini menguasai birokrasi pemerintahan. Sebagaimana Yaman dan Irak, kekuatan politik Libya dibangun di atas pertalian kabilah. Kabilah Qadhadfa merupakan loyalis yang sejauh ini digunakan sebagai tameng untuk menunjukkan kepada dunia luar bahwa Khadafy masih punya pendukung yang solid, utamanya di Tripoli dan Sarte, tanah kelahirannya.
Pilar kedua penopang kekuasaan Khadafy adalah upeti atau uang yang didapatkan dari minyak. Tercatat 85 persen minyak Libya diekspor ke Eropa, khususnya Italia, dan 15 persen ke Asia. Minyak telah jadi berkah bagi rakyat Libya. Pendapatan per kapitanya 12.000 dollar AS, jauh di atas Mesir dan Tunisia. Bahkan, saat revolusi berlangsung, Khadafy mengucurkan 400 dollar AS kepada setiap warganya. Langkah ini tidak bisa dilakukan Ben Ali dan Hosni Mubarak. Kekayaan Libya saat ini dapat membantu Khadafy memperkuat konsolidasi dan soliditas di antara para loyalis dan militer.

Tidak mudah
Seperti perjuangan para demonstran di belahan dunia Arab dan Afrika Utara lainnya, harus diakui, perjuangan pihak oposisi di Libya bukanlah hal yang mudah. Di Tunisia dan Mesir, militer punya komitmen kuat menjaga negara dan rakyat. Sementara di Libya, militer cenderung menjaga negara dan penguasa. Menggulingkan rezim Khadafy tak semudah menggulingkan rezim otoriter di Tunisia dan Mesir.
Khadafy masih punya banyak kartu yang dapat dimainkan untuk melawan oposisi. Salah satunya menggunakan senjata kimia, sebagaimana digunakan Saddam Husein di Irak (1988) dan Hafez al-Assad (1982). Kekuatan militer yang masih solid di belakang Khadafy juga akan menjadi keuntungan tersendiri dalam mempertahankan kekuasaannya (Omar Ashour, 2011).
Meski demikian, gelombang revolusi sepertinya tidak terbendung lagi. Ada tiga cara yang mungkin dilakukan untuk menguasai Tripoli dan menjatuhkan Khadafy. Pertama, menggalang kekuatan perlawanan dari para kabilah yang sementara ini menjadi kompetitor kabilah Qadhadfa, seperti kabilah Warfalla dan Magariha. Kedua, koalisi antara kalangan prodemokrasi dan hak asasi manusia yang umumnya dipimpin kalangan muda dengan kabilah anti-Khadafy. Langkah ini penting agar masa depan Libya pasca-Khadafy tak mengulangi kesalahan pada masa lalu, yaitu jatuhnya Libya dari pemimpin otoriter, Idris I, menuju otoriter yang lain, Khadafy.

Ketiga, kekuatan militer asing. Langkah ini cenderung ditolak oleh oposisi karena dapat jadi alasan bagi Khadafy mengambil langkah-langkah represif atas dasar mempertahankan negara- bangsa dari intervensi asing. Meski demikian, langkah ini bukan mustahil jika situasi kian memburuk dan korban berjatuhan semakin besar. Skenario penjatuhan Saddam Hussein di Irak bisa jadi akan terulang di Libya.
Zuhairi Misrawi Analis Politik Timur Tengah
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/08/04294097/anatomi.revolusi.libya
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar