Jumat, 25 Maret 2011

haa iki Dari Fukushima ke Muria...

Jumat, 25 Maret 2011

Dari Fukushima ke Muria...

Ahmad Arif

Korban bencana gempa bumi dan tsunami yang seharusnya mendapat prioritas penanganan tersisihkan. Padahal, bencana alam kali ini merupakan salah satu yang terhebat dalam sejarah Jepang. Nyatanya, ketakutan akan ancaman bencana nuklir reaktor Fukushima Daiichi, sekitar 230 kilometer dari Tokyo, lebih menakutkan dan menyedot nyaris semua perhatian.
Kekhawatiran yang kini meliputi masyarakat Jepang bermula ketika tsunami datang pascagempa berkekuatan 9,0 skala Richter, 11 Maret 2011. Gempa dan tsunami menyebabkan sistem pendingin di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi gagal bekerja. Ledakan terjadi di Reaktor Unit 1 pada 12 Maret sore, disusul kebakaran di Reaktor Unit 2, 3, dan 4.
Horor merembet ke negara lain. Sebagian bergegas mengungsikan warganya dari negeri itu. Sejumlah orang kaya menyewa pesawat sendiri untuk pergi. Sekalipun tingkat kerusakan sejauh ini tidak sampai melelehkan bahan bakar nuklir, kegemparannya mengalahkan guncangan gempa 9,0 skala Richter.
Teknologi nuklir memang berisiko sekaligus merupakan optimisme terbesar dalam sejarah manusia, yang dengan sangat tepat digambarkan Alvin M Weinberg, ahli teknologi nuklir dan penganjur penerapan tenaga nuklir untuk maksud damai, sebagai ”The Faustian Bargain” atau ”Kontrak Faust”.
Jepang menjadi representasi ironi ”Kontrak Faust” ini. Meski menjadi satu-satunya negara yang pernah merasakan dampak paling fatal dari teknologi nuklir, yaitu bom nuklir, Jepang justru menjadi salah satu negara yang paling ekspansif menggunakan nuklir. Negara ini memiliki 54 PLTN yang memasok 30 persen kebutuhan listriknya. Jumlah reaktor ini terbanyak setelah Amerika (104 reaktor) dan Perancis (58 reaktor).

Transparansi informasi
Di tengah terpaan bencana gempa dan tsunami, Pemerintah Jepang sibuk menangani kebakaran di sejumlah reaktor Fukushima Daiichi, mengkaji dampaknya, dan mengabarkan data terbaru kepada publik. Ke-47 pemerintah prefektur di Jepang juga jungkir balik memantau kandungan radiasi di wilayah mereka, dari udara, tanah, air, hingga produk pertanian. Sementara untuk kawasan 20-30 km dari reaktor nuklir, data terus diperbarui setiap 10 menit.
Pada 21 Maret 2011, Pemerintah Jepang menyatakan, produk sayuran dan susu di empat prefektur—Ibaraki, Tochigi, Gunma, dan Fukushima—tercemar iodin-131 dan cesium-134 sehingga dilarang dipasarkan. Sehari kemudian, mereka juga menyatakan, terjadi pencemaran radiasi terhadap air laut di sekitar Fukushima Daiichi. Pada 23 Maret 2011, Pemerintah Metropolitan Tokyo menyatakan, air leding mereka tercemar iodin-131 dan tak aman dikonsumsi dalam jangka waktu lama.
Kerugian ekonomi sejauh ini belum dihitung pasti. Namun, bisa dipastikan hal itu akan berdampak luas dan jangka panjang, mengingat cesium-134 memiliki titik luruh hingga 34 tahun, sedangkan iodin-131 hanya delapan hari.
Masyarakat Jepang yang biasa patuh kepada otoritas pemerintahnya mulai dilanda krisis kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah mengatasi masalah itu. ”Banyak orang Jepang berpikir krisis nuklir ini sangat serius dan mulai meninggalkan Tokyo sekalipun pemerintah berulang kali mengatakan kebocoran radiasi tidak serius,” kata Yamamoto Nobuto, profesor ilmu politik di Keio University, Tokyo.
Sekalipun menuai banyak protes di kalangan warga, di satu sisi kita bisa belajar betapa Pemerintah Jepang sungguh-sungguh melindungi warganya. Jepang juga memiliki perangkat teknologi deteksi radiasi di semua prefekturnya. Lebih penting lagi, pemerintah dituntut transparan memaparkan situasi terbaru dan ancamannya bagi masyarakat.
”Pascatragedi Chernobyl di Ukraina (dulu wilayah Uni Soviet), transparansi menjadi salah satu syarat penting dalam industri nuklir komersial,” kata M Kunta Biddinika, mahasiswa doktoral di Tokyo Institute of Technology. Banyaknya korban Chernobyl disebabkan Pemerintah Soviet berusaha menutupi terjadinya kebocoran radiasi. Kebocoran terdeteksi 10 hari kemudian oleh detektor nuklir Swedia.
Transparansi pula yang membuat realisasi PLTN di Jepang sebenarnya tak juga berjalan mulus. Menurut Kunta, sebagian masyarakat Jepang tegas menolak PLTN. Warga kota Maki di Prefektur Niigata, misalnya, pernah menggelar referendum menolak rencana pembangunan PLTN di wilayah mereka.
Penolakan yang sama sebenarnya terjadi terhadap rencana pembangunan PLTN di Muria, Jawa Tengah. Sejauh ini Pemerintah Indonesia sepertinya yakin, secara teknologi PLTN aman dibangun di Indonesia.

Bukan hanya teknologi
Belajar dari kasus Fukushima Daiichi, masalah terbesar nuklir bukanlah pada kecanggihan dan keamanan teknologi nuklir semata. ”Teknologi nuklir terbaru didesain bisa mengoreksi kesalahan manusia,” kata Kunta, anggota Tim Nuklir Kedutaan Besar Republik Indonesia di Jepang.
Reaktor Fukushima, meski termasuk generasi lama, sudah diperbarui teknologinya untuk langsung padam saat gempa, seperti Jumat dua pekan lalu.
Pemerintah Jepang juga telah menyiapkan tanggul penahan tsunami setinggi 7,5 meter, sebagaimana diperkirakan terjadi dengan kemungkinan 99,9 persen dalam kurun waktu 30 tahun. ”Namun, kekuatan tsunami dan gempa dua pekan lalu ternyata di luar perkiraan kami,” kata ahli gempa dari The University of Tokyo, Teruyuki Kato.
Kekuatan prediksi dan mitigasi memiliki batas dibandingkan dengan gempa dan tsunami. Gempa Sendai, menurut Kato, berpotensi terjadi lagi dengan kekuatan yang tetap menjadi misteri. Sebagaimana Jepang, nyaris tak ada daratan di Indonesia yang aman dari ancaman gempa dan tsunami.
Lalu, benar siapkah Indonesia membangun PLTN?
Belajar dari Fukushima Daiichi, dalam pemanfaatan energi nuklir dibutuhkan kesigapan dan kredibilitas tinggi dari negara, terutama Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten).

Bahkan, Amerika Serikat, melalui USNRC—semacam Bapeten—semakin mempersulit syarat pembangunan nuklir pascakecelakaan Three Mile Island. Pemerintah AS juga memperkuat USNRC dengan pakar nuklir, mengimbangi para teknokrat di industri nuklir yang mencari untung dari berdagang teknologi nuklir.
Sudahkah Bapeten memperkuat diri, baik dari sisi keilmuan maupun tanggung jawab moral sehingga tak mudah tergiur bujuk rayu para pengejar rente teknologi nuklir? Sebagai bahan perenungan, mari kita buka catatan hitam pada 2008 saat dua pejabat Bapeten divonis dua tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi karena kasus korupsi....(Ahmad Arif, dari Tokyo)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/25/04140048/dari.fukushima.ke.muria...
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar