Senin, 14 Maret 2011

haa iki Dunia harus belajar dari Jepang: bagaimana melakukan mitigasi bencana

Senin, 14 Maret 2011

Pemerintah Berperan Besar

JAKARTA, KOMPAS - Dunia harus belajar dari Jepang: bagaimana melakukan mitigasi bencana. Ketegasan pemerintah dan ketangguhan masyarakat terbukti berperan besar dalam menekan dampak bencana. Di Jepang, Jumat (11/3), terjadi gempa berkekuatan 8,9 skala Richter dan tsunami setinggi 10 meter dengan kecepatan 800 kilometer per jam.
Diperkirakan lebih dari 10.000 orang dinyatakan hilang dan sekitar 2.000 orang dinyatakan tewas. Sementara itu, lebih dari 1 juta orang menderita tanpa suplai air, makanan, dan listrik.
”Untuk Jepang, jumlah korban itu sudah terlalu besar. Saya tadinya memperkirakan jumlah korban tidak akan sebesar itu,” ujar Direktur Pusat Penelitian Penanggulangan Bencana Universitas Pembangunan Nasional, Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu. ”Jepang adalah maskot untuk kemampuan penanggulangan bencana,” ujarnya.
Dampak, tambahnya, bergantung pada banyak hal, tetapi yang pasti sangat bergantung pada ketangguhan pemerintah dan masyarakatnya. ”Masyarakat tangguh, standar prosedur operasi jalan bagus, konstruksi bangunan bagus, dan sistem peringatan dini jalan. Itu sebabnya, jumlah korban bisa ditekan,” ujarnya.
Negara dengan kekuatan ekonomi nomor tiga di dunia ini sekarang sedang bergulat mengatasi dampak bencana tersebut. Bahkan, sekarang muncul ancaman risiko bencana yang lebih berbahaya, yaitu lepasnya unsur radioaktif ke udara akibat rusaknya reaktor nuklir pada pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Provinsi Fukushima.
”Gempa bumi, tsunami, dan insiden nuklir ini merupakan krisis terbesar yang dialami Jepang dalam 65 tahun terakhir, sejak berakhirnya Perang Dunia II,” ujar Perdana Menteri Naoto Kan. Pada Perang Dunia II, Jepang mengalami bencana akibat serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Ia menambahkan, ”Kini kami diamati, apakah mampu mengatasi krisis ini.”
Jepang, pascagempa Kobe tahun 1995, bangkit, belajar, dan menyusun strategi untuk mengurangi dampak bencana, terutama bencana gempa dan tsunami. Jepang amat rawan gempa dan tsunami, yang sudah tercatat terjadi setidaknya sejak dua abad lalu.

Gempa Kobe
Pascagempa Kobe yang menelan korban sekitar 6.000 jiwa, pembangunan di Jepang harus memenuhi standar bangunan tertentu. Hal itu menjadi bagian dari mitigasi bencana. Bukan hanya bangunan, infrastruktur pun kena peraturan ketat.
Di sisi lain, menurut ahli seismologi Sri Widiyantoro dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, yang pernah menempuh ilmu di Universitas Kyoto, Jepang, ”Kesiapan pemerintah dan masyarakat amat bagus meski tetap ada korban.”

Data sejarah
Banyaknya bangunan yang rusak, yang antara lain menyebabkan jatuhnya korban, memang tidak terhindarkan. Pasalnya, standar bangunan yang berlaku di Jepang didasarkan pada data historis. ”Di Jepang belum pernah terjadi gempa 8,9 skala Richter. Banyak bangunan hancur karena dibangun untuk menahan gempa berkekuatan di bawah itu,” ujar Sri Widiyantoro.
Jika bangunan dibangun berdasarkan standar gempa yang lebih kuat, biayanya akan mahal. Namun, ia yakin, setelah kejadian ini, Pemerintah Jepang akan menaikkan standar bangunan.

Kerusakan moral
Eko Teguh juga mengaitkan banyaknya korban suatu bencana dengan kerusakan moral suatu masyarakat atau pemerintah. ”Sumber daya manusia kita tidak kalah kualitasnya. Persoalannya, peraturan di Indonesia menjadi sekadar syarat administratif. Di Jepang tingkat korupsi rendah, jadi peraturan bisa ditegakkan,” ujar Eko Teguh.
Ia mengatakan, ”Yang berat itu adalah kerusakan moralnya, bukan kemampuan manusianya. Banyak kasus, saat gempa, bangunan yang rontok adalah bangunan yang dananya dikorupsi. Yang bagus bangunan Belanda, bangunan swasta. Yang rontok adalah bangunan pemerintah.”
”Untuk menekan dampak bencana, selain teknologi dan sistem peringatan dini, masalah moral berperan besar,” katanya.
Tahun 2005 di Kobe, Jepang, lahir Kerangka Aksi Hyogo yang ditandatangani 168 negara, termasuk Indonesia. ”Yang ditegaskan pada kerangka kerja itu ketangguhan negara dan masyarakat. Pemerintah yang tangguh akan menegakkan peraturan dengan tegas,” ujar Eko Teguh.
Peraturan ketat yang diterapkan Pemerintah Jepang pada standar bangunan serta struktur bangunan yang canggih telah menuai pujian dari banyak pihak yang berlalu lalang di jejaring sosial Twitter.
Pujian pada konstruksi bangunan dan jembatan yang dibangun dengan amat baik bermunculan karena bangunan-bangunan tersebut telah menyelamatkan ”jutaan nyawa”. Salah satu video yang dikirim menunjukkan betapa bangunan pencakar langit Tokyo Tower—mirip menara Eiffel di Perancis—puncaknya berayun-ayun. Seorang anggota jejaring sosial Twitter menuliskan, ”Di Tokyo tidak ada gedung yang runtuh pada gempa terbesar dalam 140 tahun ini. Pujian bagi insinyur Jepang.”
Menurut koresponden surat kabar Inggris Telegraph, Peter Foster, ”Bangunan tahan gempa dengan fondasi amat dalam dan diberi penyerap guncangan yang meredam energi seismik.”
Metode lain, tambahnya, ”Memungkinkan dasar bangunan bergerak semi-independen dari struktur dasarnya untuk mengurangi getaran gempa. Saat gempa, bangunan berayun. Ayunan terasa keras di bagian atas gedung, tetapi gedung tetap berdiri.”
Norimitsu Onishi dari The New York Times melaporkan, komunitas pantai di Jepang secara teratur berlatih penyelamatan diri saat bencana dan di setiap rumah dipasang alarm yang akan berbunyi jika ada gempa. Sensor gempa juga memberi sinyal agar pintu air tertutup secara otomatis. Tanpa semua sistem itu, korban jiwa bisa lebih besar.
Sistem peringatan dini Pasifik juga berperan besar. Pascatsunami Aceh tahun 2004, dibangun Sistem Peringatan Dini Tsunami (TEWS) di Pasifik. Sekitar 50 pelampung dipasang untuk memantau tsunami—dulu hanya ada empat. Juga dipasang 200 seismometer—sebelumnya hanya ada 20 seismometer. Semua alat itu memberikan data sewaktu (real time). (ISW)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/14/0241279/pemerintah.berperan.besar
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar