Rabu, 02 Maret 2011

haa iki Alasan Sultan Menolak Jabatan Gubernur Utama

Draft RUU Keistimewaan DIY dibahas di DPR. Sultan diundang. Cemas ada dualisme kekuasaan.
Rabu, 2 Maret 2011, 01:31 WIB
Ismoko Widjaya, Suryanta Bakti Susila
Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (ANTARA/ Widodo S. Jusuf)
    VIVAnews -Ini tentang Rancangan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta. Polemik ini ramai Desember 2010. Ribuan rakyat di kota Keraton itu turun ke jalan. Menuntut agar Sultan mereka ditetapkan sebagai gubernur. Sempat rehat sejenak, kasus ini ramai lagi semenjak Selasa kemarin, 1 Maret 2011.
    Dan kali ini panggungnya di Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II yang membidangi masalah pemerintahan yang digelar kemarin, Sri Sultan Hamengkubuwono melansir sejumlah alasan mengapa Keraton menolak rancangan undang-undang itu.
    Sesudah diributkan Desember tahun lalu itu, pemerintah memang berusaha mencari jalan tengah. Membentuk sebuah stuktur baru dalam pemerintahan Yogyakarta. Ada Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama dan ada pula Gubernur dan Wakil Gubernur. Gubernur  Utama dan wakilnya akan ditunjuk langsung, sedang Gubernur dan wakilnya akan dipilih lewat pemilihan umum. Dan sultan didaulat menduduki jabatan Gubernur Utama.
    Draft rancangan undang-undang itu sudah diserahkan ke wakil rakyat di Senayan. Sebagaimana lazimnya, dewan mengundang sejumlah pihak  guna didengar pendapatnya sebelum sebuah rancangan diputuskan menjadi undang-undang. Dan untuk soal ini mereka mengundang sultan.
    Tapi justru soal jabatan Gubernur Utama itulah yang menjadi titik sentral penolakan Sultan dalam draft rancangan itu. Menurutnya, draft itu sungguh bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
    Dalam konstitusi, kata Sultan, kepala pemerintahan provinsi adalah gubernur bukan Gubernur Utama.  Lagi pula lanjutnya, " Posisi Gubernur Utama hanya akan menyebabkan dualisme kepemimpinan yang berpotensi merusak kepastian hukum."
    Sultan memblejeti sejumlah pasal dalam draft itu yang berpotensi menabrak Undang-undang Dasar. Pasal 1 ayat 8 dan pasal 8 ayat 2, yang mengatur soal stuktur pemerintahan yang baru itu, sangat bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 paal 18 ayat 4 yang secara gamlang menyebutkan bahwa kepala pemerintahan provinsi adalah gubernur.
    Sultan menegaskan bahwa keberadaan Gubernur Utama akan menciptakan dualisme yang secara mutatis mutandis melanggar prinsip negara hukum cq kepastian hukum.

    "Kalau yang dimaksud Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama sekadar peristilahan atau sebagai pengganti parardhya maka secara filosofis bertentangan dengan  ruh keistimewaan DIY, karena ketika berintegrasi dengan Republik Indonesia, raja yang berkuasa saat itu  menjelma menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan sebutan Gubernur dan Wakil Gubernur.
    Dengan menggiring raja menjadi Gubernur Utama, lanjutnya, itu sama saja dengan mempersempit ruang kekuasaannya.
    Selain soal gubernur utama itu, Sultan juga menyampaikan delapan keberatan lain dalam draft rancangan itu. Antara lain, misalnya, bahwa DIY itu dalam undang-undang disebut sebagai daerah yang setingkat provinsi. Setingkat artinya tidak sama persis dengan provinsi. Sebutan setingkat itu, katanya, jelas sebagai pembeda.
    Sultan juga mengkritik batas wilayah dalam draft rancangan itu, yang disebutnya kurang pas. Di situ disebutkan bahwa batas timurnya adalah dengan Klaten, Jawa Tengah, padahal menurut Sultan batas timur itu adalah dengan Kabupaten Sukohardjo dan Wonogiri di Jawa Tengah.
    Sultan juga mengkritik soal hak atas tanah. Dia menyebutkan bahwa draft rancangan itu, hanya akan membuat banyak tanah di sana tidak bertuan.
    Memasukan stuktur baru dalam pemerintahan Yogyakarta, seperti jabatan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama itu  bisa mengancam keberadaan kesultanan. Bayangkan saja, jika ada yang mengajukan judicial review atas pasal itu, dan dimenangkan di Mahkamah Konstitusi, maka itu, "Jelas berbahaya bagi eksistensi DIY," katanya,

    Jalan Tengah dari Istana
    Usulan membentuk stuktur Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama sesungguhnya merupakan jalan tengah yang ditawarkan pemerintah atas polemik soal jabatan gubernur itu. Sebab memang banyak yang mendesak Sultan ditetapkan sebagai gubernur, tapi sejumlah kalangan mendesak agar gubernur haruslah dipilih lewat pemilihan umum, sebagaimana provinsi lain di Indonesia.
    Karena itu sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat mendukung draft rancangan yang diajukan pemerintah itu. Dalam rapat pandangan fraksi soal draft itu, Rabu 2 Februari lalu, Juru Bicara Fraksi Demokrat, Djufri, menegaskan bahwa dengan pemisahan ini martabat Sri Sultan Hemengku Buwono dan Sri Paku Alam sebagai simbol pemersatu tetap terjunjung tinggi. Mereka tidak lagi terlibat dalam masalah yang dapat berimplikasi hukum.
    Sultan, kata Djufri, bisa bertahta selamanya dan tidak mungkin kena perkara hukum dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan sehari-hari.  (Baca selengkapnya sikap Fraksi Demokrat di sini)
    Fraksi Golkar dalam rapat pandangan fraksi itu, menegaskan akan mengkaji secara mendalam usulan pemerintah yang menempatkan Sultan sebagai Gubernur Utama itu. Juru Bicara Fraksi Golkar, Nurohkmah, berjanji akan memperhatikan semua aspek, terutama aspirasi rakyat Yogyakarta dalam kasus ini.
    Sumber : http://fokus.vivanews.com/news/read/207216-ini-9-alasan-sultan-tolak-ruuk-diy

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar