Rabu, 23 Maret 2011

haa iki Misteri Paket Bom Buku

Misteri Paket Bom Buku

Selasa, 22 Maret 2011 - 09:50 wib
IKRAR NUSA BHAKTI
Di tengah hiruk-pikuk pemberitaan dua harian Australia, The Age dan The Sydney Morning Herald, soal kemungkinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan abused of power (penyalahgunaan kekuasaan), satu demi satu paket bom dikirim oleh kelompok tidak dikenal ke beberapa individu yang dikenal masyarakat.

Paket pertama dikirim ke Kantor Radio KBR 68H ditujukan kepada Ulil Abshar Abdala, aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) yang kini menjadi anggota Partai Demokrat, berisi buku Mereka Harus Dibunuh, dengan surat memohon untuk menuliskan kata pengantar terhadap buku tersebut. Paket-paket berikutnya ditujukan kepada berbagai pihak, ada yang ke musisi Ahmad Dhani, ke Komjen Pol Gorries Mere, ke tokoh Pemuda Pancasila Yapto S, ke mantan Kapolda Jawa Barat, ada pula yang dikirim ke perumahan Kota Wisata Cibubur, dan salah satu pos polisi di Bandung.

Menanggapi aksi teror bom buku itu, Presiden SBY menyatakan ”meminta agar kelompok tertentu yang ingin menciptakan instabilitas jangan mengorbankan rakyat” (Seputar Indonesia, Sabtu, 19 Maret 2011). Hingga kini teror paket bom buku ini masih merupakan misteri, siapa pelakunya dan apa motif di balik aksi mereka? Karena peristiwa tersebut sangat berdekatan dengan berbagai rangkaian peristiwa sebelumnya seperti heboh pemberitaan dua harian Australia tersebut, dijalankannya ”Operasi Sajadah” yang mengikutsertakan prajurit Kodam Siliwangi. Begitu juga kasus-kasus penegakan hukum yang belum selesai terkait Bank Century dan mafia perpajakan (Gayus Tambunan), publik lalu mengaitkannya dengan teori konspirasi. Paling tidak ada lima konspirasi politik.

Konspirasi pertama, teror paket bom buku itu dilakukan oleh pemain lama, yaitu kelompok radikal Islam. Kekuatan mereka bisa saja telah melemah karena dua tokoh ahli bom asal Malaysia, DR Azahari dan Noordin M Top, telah tewas, para dalang pelaku Bom Bali I dan II serta Bom Marriott I dan II juga sudah ada yang dihukum mati atau masih di penjara, jaringan keuangan internasionalnya juga semakin dipersulit, dan keahliannya dalam merakit bom juga melemah karena sebagian ahlinya sudah tewas. Namun, jika dilihat modus operandi dan sasarannya, kemungkinan besar pelaku teror paket bom buku yang marak pekan lalu itu bukan kelompok ini.

Konspirasi kedua, yang banyak dipergunjingkan sebagian publik di Jakarta, ini bagian dari politik pengalihan agar masyarakat beralih topik pembicaraannya dari soal abused of power yang dilakukan Presiden SBY ke soal teror bom tersebut. Jika ini benar, pemerintah seakan sedang ”menabur angin dan akan menuai badai” yang jauh lebih besar lagi terkait legitimasi pemerintahan SBY-Boediono. Legitimasi politik Presiden SBY yang dari waktu ke waktu seperti dapat dilihat dari berbagai hasil survei semakin menurun itu bukan mustahil akan mencapai titik nadir jika nanti terbukti benar ada konspirasi penerapan politik pengalihan melalui teror bom.

Konspirasi ketiga, ini bagian dari konspirasi pelemahan rezim yang sedang berkuasa. Diduga ada kelompok-kelompok yang memiliki keahlian di bidang terorisme berupaya melemahkan rezim yang sedang berkuasa demi mencapai tujuan politik mereka.Teror bom bukan hanya menciptakan instabilitas politik, ketakutan pada masyarakat, melainkan juga melemahkan kredibilitas rezim di mata rakyat dan dunia internasional. Konspirasi keempat, ini dilakukan oleh kelompok yang ingin melakukan tekanan politik kepada pemerintah dengan dalih rezim bisa ”kami” lemahkan jika permintaan ”kami” ditolak. Jika ini benar, tetap masih menjadi misteri apa yang diminta kelompok ini kepada pemerintahan SBY-Boediono.

Apakah ini bermotifkan politik ataukah konsesi jabatan, kewenangan, atau ekonomi. Konspirasi kelima, konsistensi kelompok status quo untuk terus mengganggu reformasi dan demokratisasi di Indonesia. Ini pun tidak jelas siapa anggota kelompok ini dan apa tujuannya. Apakah mereka ingin memutar kembali jarum jam dari sistem demokrasi ke otoriter, ataukah ini sekadar ingin menunjukkan bahwa demokrasi telah gagal memenuhi aspirasi mereka dan aspirasi rakyat.

Lepas mana dari kelima teori konspirasi itu yang benar, perancang dan pelaku teror bom ini pastinya pernah belajar mengenai intelijen, terorisme, teror kota, atau gerakan antiteror. Mereka juga tentu mengetahui betapa amburadulnya sistem keamanan di negeri ini, termasuk, dan tidak terbatas pada, betapa Presiden SBY tidak berani mengambil tindakan strategis yang tepat, dan masih kurang baiknya koordinasi di antara aparat Polri dan TNI serta koordinasi di antara jaringan intelijen di negeri kita. Aparat intelijen dari berbagai instansi di negeri ini bukan mustahil sudah mengetahui siapa dalang dan pelaku teror paket bom buku ini. Jajaran Kantor Kementerian Koordinator Polhukam pastinya juga sudah memiliki informasi dan data awal yang akurat mengenai siapa pelakunya.

Kecanggihan aparat untuk melakukan penyadapan telepon dan menganalisis modus operandinya tentu juga semakin memperjelas siapa pelaku dan apa motifnya. Persoalannya adalah, hingga saat ini Presiden SBY hanya ”meminta” agar kelompok pelaku teror itu ”jangan mengorbankan rakyat” dan bukan mengambil tindakan tegas untuk menghentikan aksi teror ini dan jika perlu mengambil tindakan hukum yang sesuai. Dalam keadaan memaksa, tidak ada jalan lain selain Presiden SBY melakukan tindakan yang dikategorikan unnecessary evil (tindakan pantas dan tepat sasaran) yang memang tidak populer, tetapi harus diambil demi menegakkan kedaulatan negara,otoritas pemerintah, serta menjaga wibawa pemerintah.

Jika misalnya tindakan tersebut terpaksa dilakukan tanpa menimbulkan informasi yang memburukkan citra Indonesia di mata internasional, aparat negara tentu memiliki cara terbaik untuk melakukannya, asalkan teror bom ini benar-benar dapat dihentikan. Jika teror bom ini terus berlanjut, bukan hanya wibawa pemerintah yang berada di ujung tanduk, melainkan nama Indonesia juga akan buruk di mata internasional sebagai negara yang lemah karena tidak berani mengambil tindakan tegas terhadap pelaku teror, rakyat akan terus dilingkupi oleh rasa takut yang meluas, travel warning juga akan diberlakukan lagi oleh beberapa negara asing,pelaku bisnis juga takut menanamkan modalnya di Indonesia, dan citra buruk lain yang akan memojokkan negara dan pemerintah Indonesia.

Presiden tentu tidak menginginkan teror paket bom buku ini juga diletakkan di pelataran rumah kediaman pribadi beliau di Cikeas, Bogor. Jika itu terjadi, mau ditaruh di mana muka Presiden dan aparat keamanan Indonesia?

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Sumber : http://suar.okezone.com/read/2011/03/22/58/437429/misteri-paket-bom-buku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar