Laporan dari Persidangan Bajingan Saiman
Oleh: Hujan Tarigan
Selasa, 15 Maret 2011 , 08:30:00 WIB
SIDANG dibuka kembali. Saiman, sang terdakwa terduduk lesu di kursi yang  penuh hujaman hujatan mata hadirin dan tentunya keluarga korban. Semua  tertuju pada setiap gerak laku Saiman yang masih menimbulkan banyak  tanda tanya dari para tetangga. Bagaimana mungkin lelaki paruh baya yang  baik itu tega melakukannya…
Palu diketok-ketok Pak Hakim.  Semata-mata biar peradilannya kelihatan serius saja. Sebab sejak tadi  ruangan sidang memang senyap dan hening dari suara-suara gaduh. Sinar  blitz terus memancar dari kamera-kamera buatan impor yang dipakai para  hadirin untuk mengambil gambarnya. Tentu Saiman tidak suka hal itu.  Peradilan sama sekali tidak berpihak padanya, pada nasibnya.
"Saudara  Saiman bin Samiun, warga penduduk jalan sehati nomer enambelas. Apakah  anda keberatan dengan tuduhan yang telah diberikan kepada anda?" tanya  Hakim. Kacamatanya menggantung di batang hidung. Saiman menggeleng.  Hadirin masih diam. Begitu pula dengan keluarga korban. Wajah mereka  mendadak cerah, karena ternyata Saiman tidak menunjukkan keberatan  dengan tuduhan yang telah dibacakan oleh jaksa penuntut umum mengenai  tindakan yang telah dilakukan Saiman kepada Basri, tetangganya.
"Saudara  Saiman, apakah itu artinya, saudara mengakui semua kesalahan yang telah  saudara perbuat?" Hakim meneruskan pertanyaannya. Kacamatanya masih  menggantung di ujung hidung. Benar-benar seorang hakim yang mirip di  cerita-cerita sinetron.
Para hadirin gelisah, menantikan reaksi  Saiman selanjutnya. Suara kipas angin di langit-langit ruangan menyentuh  panas telinga Saiman. Dia masih diam. Lelaki berperawakan kurus kecil  itu menundukkan wajah ke lantai. Tulang-tulang rusuknya menonjol dari  balik kemeja tipisnya. Buruh serabutan itu sedang mengumpulkan tenaga  dalam.
Sementara itu, di luar gedung pengadilan semua orang sudah  tak sabar menantikan keputusan hakim. Suara-suara mulai gaduh terdengar  ke dalam ruangan, ketika Saiman masih diam. 
"Saudara Saiman, Apakah saudara tidak memerlukan pembelaan untuk yang terakhir kalinya?" kata hakim lagi. 
Akhirnya salah seorang hadirin menyoraki hakim "Huu…." 
Suara hadirin lainnya ikut memburu hakim. 
"Tenang  saudara-saudara sekalian," kata hakim. Saiman menarik nafasnya lebih  dalam. Kepalanya masih terus digeleng-gelengkan. Meja diketok palu  kembali. 
Di antara para hadirin terlihat Ponirah, istri Saiman.  Wajah perempuan yang sehari-harinya menjadi tukang cuci itu terlihat  kuyu mendampingi suaminya. Kancing bajunya setengah terbuka. Sehingga  terlihat lelehan keringat mulai menuruni belahan dadanya.
Si  Bondan anak sulung mereka yang sudah berusia 19 tahun dan adiknya  Rustinah berusia 9 tahun tidak terlihat hadir di ruangan itu. Ponirah  memang tidak mengijinkan kedua anaknya untuk datang ke pengadilan.  Karena takut anak-anaknya tumbuh dalam kenangan gelap akan bapaknya.
"Saiman…" kata pembela. 
Saiman  mencoba mengangkat kepala. Perlahan-lahan dia fokuskan matanya ke arah  hakim. Setelah benar-benar dapat dilihatnya kacamata hakim yang setengah  menggantung di ujung hidung itu, Saiman mulai tersenyum, tawanya  tertahan. Saiman mengedarkan tatapan matanya ke seluruh ruangan. Kepada  Ponirah, perempuan yang telah hidup bersamanya selama 20 tahun. Dan  terakhir tatapan itu ditujukan kepada Basri, tetangganya, sekaligus  korban dalam kasus ini.
"Saiman," bisik pembela. Saiman menggelengkan kepala. Lalu tiba-tiba dengan suara yang cerah dia mulai bicara, 
"Saya  tak butuh pembelaan," katanya membelah kesunyian. Basri tercengang.  Hadirin mulai gaduh. Pak hakim mengetuk kembali palunya.
"Tenang, tenang saudara-saudara,"
"Yah,  saya tak butuh pembelaan Pak hakim, dan saya sedang tidak melakukan  pembelaan sekarang," katanya, suaranya mengeras. Ponirah menatap  suaminya. Suara meja diketuk palu terdengar untuk kesekian kalinya.  Ruangan sepi. Saiman meneruskan kata-katanya. 
"Benar Pak hakim  saya telah melakukan itu semua, benar Pak jaksa penuntut bahwa saya  telah melakukan kesalahan yang telah Bapak katakan tadi. Benarlah bahwa  malam itu, saya memang telah datang ke rumah Basri…" ingatan Saiman  mengembang dan kembali pada saat peristiwa yang terjadi malam itu.  Nafasnya memberat. 
***
Malam itu Saiman memang telah  menemui Basri di rumahnya. Kedua buruh serabutan itu mulai ngalor-ngidul  di ruang tamu milik Basri yang sempit. Hanya sebuah televisi yang ada  di ruang itu. Maka kedua buruh yang sedang dapat kontrak dari proyek  pemerintah itu saling menceritakan kesusahannya. Saiman mulai  mengeluhkan Bondan, putra sulungnya yang ngebet kepingin telepon  genggam. 
Saiman tentu saja tak bisa memenuhi permintaannya.
"Saya  cuma buruh harian yang dibayar kecil Pak hakim, saya bukan pegawai  negeri, yang walaupun tidak kerja tapi tetap dapat beras. Biar beras  bau, yang penting beras," kata Saiman memelas. 
Para hadirin tertawa. Pak hakim juga.
Malam  itu, setelah Saiman membakar batang rokok kreteknya yang ketiga, dia  memperhatikan tivi yang ada di ruang tamu Basri. Itu adalah tivi warna  14 inch yang dijualnya tiga bulan sebelum peristiwa, dengan harga yang  sangat murah kepada Basri. Malah, kabarnya sampai kasus ini disidangkan,  Basri belum melunaskan sebagian harga pembelian televisi butut itu. 
"Lalu  apa salahnya bila saya menghancurkan televisi itu Pak hakim?" tiba-tiba  Saiman berteriak dan bertanya pada hakim. Para hadirin menyoraki dengan  kata-kata yang kotor.
"Saiman bajingan!!!" umpat mereka dari belakang.
Ponirah menangis. Basri menundukkan wajah. Dia malu, dia belum bisa bayar hutang pada Saiman.
***
"Tenang, tenang…" hakim marah.
"Biarkan  terdakwa meneruskan ceritanya" meja diketok-ketok lagi. Sebutir  keringat sebesar bulir jagung keluar dari dahi Pak Hakim. Suara-suara  lebah masih berseliweran di atas langit-langit ruangan itu. 
"Awalnya saya kira, saya akan hidup bebas dan tenang dengan keadaan seperti sekarang ini," Saiman meneruskan ceritanya. 
"Maka  Pak Hakim, akhirnya saya putuskan untuk menjual barang setan itu kepada  Basri teman baik saya. Saya jual dengan harga paling murah dengan  sistem pembayaran kredit, sepuluh kali bayar. Iya, sepuluh kali bayar,"  katanya. 
Para hadirin tertawa. Basri menundukkan wajah. 
"Tapi  percayalah Pak Hakim, bukan itu alasan saya. Sumpah. Saya tidak  bermaksud menghancurkan kegembiraan teman saya ini. Saya tahu, dan sadar  betul Pak Hakim. Bahwa satu-satunya hal yang dapat menghilangkan  kepenatan kawan saya ini setelah seharian bekerja adalah televisi yang  dikreditnya pada saya. Jadi… tidak Pak Hakim. Tidak, saya memang telah  ditakdirkan untuk menjadi penghancur televisi…" 
Saiman seakan  memberontak. Urat-urat lehernya menegang. Dicengkramnya dengan kencang  sandaran tangan tempat duduknya. Matanya berkaca-kaca. 
"Sampai  pada suatu hari, Bondan anakku pulang dengan berita yang sangat  mengganggu kepalaku Pak Hakim. Oh… televisi laknat!" geram Saiman.
Ruangan semakin hening, di udara terdengar rintihan Saiman berputar bersama kipas angin. 
"Bondan  pulang ke rumah, dan langsung menemui saya, bapaknya yang miskin ini.  Bondan, Bondan, Pak Hakim. Anakku itu sudah tahu merek benda yang bisa  telepon-teloponan sambil semes-semesan, memes-memesan, poto-potoan dan  bisa denger radio itu Pak Hakim. Si Bondan menangis sepanjang malam di  dalam kamarnya. Anakku itu menangis demi benda kecil yang bernama  telepon genggam. Anakku menangis Pak Hakim. Aku juga menangis," air mata  Saiman meleleh. 
Pak Hakim mendengarkan cerita buruh serabutan  itu. Kacamatanya masih menggantung di batang hidung. Dalam benaknya  Saiman ini adalah sosok maniak yang doyan menghancurkan segala barang.  Pengidap sindrom vandalisme akut. Kalau tidak dibuang ke pulau Buru,  mestinya diendapkan di rumah sakit jiwa. Pak Hakim merinding.  Disangganya dagunya dengan lengan kiri. Sebuah jam tangan merek asing  menyembul dari jubah hitamnya.
"Paginya saya utang kepada teman  saya, demi si Bondan. Tapi ketika sorenya saya kasih itu uang kepada  anakku, dia menangis. Menangis Pak Hakim!. Katanya, sekarang sudah ada  yang lebih canggih. Handphone yang di dalamnya ada Inul Daratista." 
Semua hadirin tertawa. 
"Iya  Pak, yang ada Inul Daratistasnya. Saya bingung Pak. Susah payah saya  utang ke sana-ke mari, rupa-rupanya, anak saya bilang ada merek dan  keluaran terbaru lagi. Dalam hitungan jam Pak, apa yang bisa saya  perbuat?" 
Saiman menelan ludahnya. Tenggoraknnya terasa dicekik. Dia ingat ekspresi wajah Bondan sore itu.
"Akhirnya  saya tanyakan pada Bondan dari mana dia lihat kabar itu. Terus dia  bilang, dia lihat dari tivi. Atas alasan itulah saya pergi ke rumah  Basri Pak," semua tertawa.
"Maka hukumlah saya Pak. Saya sudah  tak kuat lagi hidup dilabrak satu batalyon iklan yang berlalu mengisi  kepala saya. Saya tidak sanggup mengejar Pak. Saya tidak sanggup  membeli. Selalu muncul merek-merek baru, tivi-tivi baru, seri-seri baru.  Hukum Pak, saya adalah pasar yang bodoh." Saiman memelas. Tubuh kurus  itu mengguncang isi ruangan. Hadirin terkesiap. 
Saiman turun ke lantai. Wartawan mendekat dan mencuri setiap perubahan ekspresi wajah Saiman. 
"Hukum Bajingan Saiman," seseorang berteriak dari belakang. 
"Hukum  saya Pak. Saya mengaku, saya telah merencanakannya Pak. Kenakan saya  pasal apa saja Pak, yang banyak. Kalau perlu semua pasal Pak," Saiman  beringsut mengarah ke meja hakim. Para petugas mengejarnya. Ruangan  pengadilan menjadi kacau. Ponirah menangis dan menyembunyikan wajahnya  di balik setangan. Basri keluar ruang sidang.
"Demi Tuhan Pak,  hukumlah orang miskin ini, orang yang tidak sanggup membeli ini. Hukum  Pak," katanya semakin keras. Ruangan semakin gaduh.
Pak hakim  menarik kacamatanya. Diketukkannya palu keras-keras… "Diam… diam… diam  semuanya!!!" perlahan suara-suara mulai teredam. 
"Pak Hakim,  saya bersumpah," potong Saiman. "Seandainya saya dihukum ringan, kelak,  ketika saya lepas, saya akan kembali melakukan hal serupa Pak Hakim.  Saya bersumpah. Semua televisi… hahahahaha," Saiman tertawa.
"Bahkan televisi Bapak Hakim juga…" kata Saiman.
Dia memberontak ketika seorang petugas memaksanya untuk duduk. 
***
Suasana kembali hening. Sumpah Saiman masih terngiang di setiap sudut ruang. 
"Baiklah," kata pak hakim mencoba mengusir takutnya sendiri.
"Setelah  saya mendengar, menimbang kemudian memutuskan, bahwa Saudara Saiman bin  Samiun warga jalan sehati nomer enambelas terbukti telah melanggar  pasal-pasal mengenai, perencanaan, pemukulan yang mengakibatkan  hancurnya sebuah televisi. Ancaman kepada khalayak ramai dan yang  terakhir terorisme. Maka untuk semua pasal-pasal itu, pengadilan  memutuskan, kurungan seumur hidup buat Saiman," Hakim mengetuk palu tiga  kali. Tak ada yang berani angkat suara. Ponirah menangis. Saiman lemas  tak berdaya.
Lamat-lamat terdengar suara-suara, dari belakang. "Bebaskan Saiman, Saiman pahlawan kita…"
Saiman dielu-elukan sebagai pahlawan. Ponirah dikerubungi wartawan. Semua hadirin berteriak parau; Saiman sang pahlawan. 
Saiman tak mendengar teriakan itu. Matanya semakin nanar. Kupingnya terbakar. 
Saiman  mendengar: "Kulkas dua pintu, handphone terbaru, tivi plat datar 29  inch, mobil bertenaga 1000 kuda, motor bebek yang kencang larinya,  baterai tahan sampai pagi, jam tangan dari Swiss, bohlam, sepatu necis,  baju baby doll, tembakau Amerika, tempat tidur Italia, obat pilek, obat  congek, minyak ketek, bedak mayat, minyak goreng, sabun mandi, ac alami  serasa di surga, komputer pentium empat, celana dalam, beha, kondom rasa  strawberry, obat penggede tetek…"
 
Sumber : http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=21057
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar