Jumat, 25 Maret 2011

haa iki Semangat Gambaru

Jumat, 25 Maret 2011

Tsunami Jepang dan Pencerahan Media

Khoiri Akhmadi

Semangat gambaru yang ditulis Jansen Sinamo (Kompas, 18/3) terpancar dalam pemberitaan gempa dan tsunami melalui televisi di Jepang.
Selama hampir dua pekan mengamati televisi Jepang, NHK—yang direlai CNN dan Al-Jazeera—seperti seia sekata dengan semangat gambaru dalam kehidupan rakyat Jepang. Gambaru diartikan Jansen, mengutip mahasiswa Indonesia di Jepang, Rouli Esther Pasaribu, berjuang mati-matian sampai titik darah penghabisan, bekerja hingga batas kemampuan terakhir, atau melakukan segala daya upaya, bahkan yang terpahit sekalipun, untuk mencapai yang terbaik.
Stasiun televisi, setidaknya NHK, begitu semangat, cepat, dan detail mengabarkan detik demi detik perjalanan tsunami yang meluluhlantakkan beberapa kota di Jepang utara itu. Teknologi Skype yang luar biasa menyiarkan langsung menggunakan helikopter, sangat bermanfaat bagi korban bencana. Selain menjadi informasi terkini, kecepatan meliput secara langsung ini sekaligus menjadi peringatan dini tsunami bagi masyarakat.
Hebatnya, meski berita dihadirkan melalui siaran langsung, visual-visual yang tragis menyangkut nasib seseorang seperti otomatis teredit. Semangat gambaru dalam mengabarkan bencana terekspresikan dalam kerja keras dan cerdas serta menghindari hal-hal yang melankolis.
Tak ada tangisan di televisi, apalagi tumpukan mayat yang bergelimpangan di jalanan. Yang muncul, gambar-gambar detail tetap dramatis, tetapi tidak membuat orang sedih berkepanjangan. Pers di Jepang seolah ingin mengatakan: kami sakit, tetapi kami bisa bersama-sama mengatasinya. Mereka percaya, tampilan yang bebas dari air mata, darah, dan korban manusia itu akan memberi kontribusi positif dibandingkan dengan tampilan hujan tangis menyayat hati.
Hukum lama media, bad news is good news, dihadirkan dari sisi yang berbeda. Hasilnya, layar NHK dipenuhi upaya evakuasi, perbaikan, dan gotong royong. Media televisi Jepang telah menunjukkan fungsi epistemologi media yang mendorong masyarakat membangun sikap positif pemirsanya. Ini bukti semangat gambaru sudah merasuk ke dalam insan pers Jepang.

Media di Indonesia
Tidak ada salahnya pers Indonesia belajar dari semangat gambaru. Bukan berarti pers Indonesia belum punya semangat untuk bekerja keras memberitakan dengan cepat seputar bencana dan dampaknya. Namun, kerja keras saja tak cukup, harus didukung dengan kerja cerdas.
Bandingkan dengan tsunami di Aceh 2004. Masih banyak ditemui visual di televisi yang menyayat hati menyangkut korban manusia, baik yang masih hidup maupun yang tewas. Tangisan keluarga korban atau korban itu sendiri kerap diulang-ulang. Bahkan mayat-mayat yang ditumpuk juga masih mewarnai layar televisi sepekan pascatsunami.
Memang visual mayat dan tangisan korban adalah fakta. Begitu juga di Jepang, pasti banyak mayat dan banjir air mata korban yang selamat. Akan tetapi, televisi di Jepang berhasil mengemas visual bencana yang mampu menarik simpati dunia tanpa diwarnai gambar-gambar yang mengharu biru, tangisan, atau mayat-mayat di jalanan.
Dampak lain, hampir semua negara mengakui, Jepang hebat menangani bencana gempa dan tsunami. Pengakuan itu bukannya tanpa peran televisi yang berhasil membuat citra positif dalam penanganan pascatsunami melalui siaran-siarannya.
Selama ini media elektronik—radio dan televisi—merupakan salah satu media efektif dan cepat yang memberi peringatan dini tsunami pascagempa. Di Indonesia, ada kewajiban media penyiaran untuk menayangkan stop press peringatan dini tsunami (early warning system) yang diterima dari BMKG pada menit kelima. Mengapa menit kelima pascagempa?
Praktis selama lima menit itulah lembaga penyiaran bergantung pada BMKG yang mengolah data dari detik pertama hingga menit keempat tentang besaran gempa, pencarian titik pusat gempa, dan potensi tsunami. Pada menit kelima, berita baru dikirim ke media televisi dan langsung diudarakan melalui stop press selama 20 detik dengan alarm tinggi. Peringatan dini tsunami ini masih banyak yang harus dievaluasi dan dikoreksi.
Berbeda dengan Jepang, klaim Prof Jim Morid dari Universitas Kyoto, masyarakat hanya perlu 10 detik melalui televisi untuk mengetahui ada potensi tsunami atau tidak. Selain didukung peralatan canggih dalam peringatan dini tsunami, warga Jepang juga mempunyai kearifan lokal. Setiap ada gempa, warga Jepang akan langsung melihat televisi. Dengan melihat televisi, mereka akan tahu ancaman tsunami atau bahaya lain pascagempa.

Jepang telah membuktikan, dengan semangat gambaru, para kru televisi berhasil membuat tontonan sekaligus tuntunan bagi warganya. Semoga apa yang dilakukan media televisi di Jepang bisa menjadi bahan pencerahan bagi media televisi di Indonesia.
Khoiri Akhmadi Produser Sebuah Stasiun Televisi; Peserta Pelatihan Peringatan Dini Tsunami bagi Media oleh LIPI-BMKG-Ristek-Kemkominfo-GTZ 
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/25/04505718/tsunami.jepang.dan.pencerahan.media
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar