Selasa, 02 Februari 2010

haa "Cecak Nguntal Cagak"

sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/01/16541021/.cecak.nguntal.cagak.


Obat Rindu
"Cecak Nguntal Cagak"
Senin, 1 Februari 2010 | 16:54 WIB
Tayangan seputar kasus Bank Century sudah ibarat dejavu. Berulang dan terus berulang tiap hari hingga menumbuhkan kebosanan. Akan tetapi, ketika peristiwa yang telah membuat jenuh mata dan telinga itu disajikan dalam pementasan lakon ketoprak ringkes, penonton dibuat terpikat. Tua muda serius menonton dan kerap dibuat tertawa terbahak-bahak.
Lakon Cecak Nguntal Cagak dipentaskan Komunitas Kethoprak Ringkes Tjap Tjonthong di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta pada Sabtu (30/1). Seluruh kursi terisi penuh dan sebagian penonton rela lesehan beralas tikar, tepat di depan panggung. Hiasan panggung cukup sederhana: dua cagak putih dan beberapa bangku.
Teriakan "huuuu" atau "dagelane wis lawas" atau bahkan "gendeng tenan" semakin menceriakan suasana pementasan. Apalagi wajah-wajah yang tampil di panggung seperti Susilo Den Baguse Ngarso, Marwoto Kawer, dan Yuningsih Yu Beruk sudah akrab di hati penggemar ketoprak maupun masyarakat awam.
Tingkah polah Yuningsih sebagai Yu Beruk yang hampir dipenjara karena mengambil satu butir semangka milik tetangganya, yaitu Susilo, yang memerankan Tumenggung "korup" Nistura tak hanya membuat tertawa, tetapi otomatis menghanyutkan pemikiran penonton untuk mengaitkannya dengan kisah ironis peradilan di Indonesia.
Penyelewengan
Kisah ketoprak dimulai dari unjuk rasa terhadap Prabu Kasmala Negara yang tidak mengambil tindakan apa pun terhadap penyelewengan uang negara. Sindiran terhadap mobilisasi massa pun disampaikan dengan bagi-bagi uang seusai berunjuk rasa. Untuk menghindari tuduhan, sang prabu mengangkat petugas pencari fakta nan jelita Raden Ayu Ratimaya.
Kehadiran Ratimaya semakin memperkeruh persoalan karena sebelumnya Sang Prabu telah memiliki dua penyidik lain, Tumenggung Nistura dan Tumenggung Candramawa. Selanjutnya, lakon ketoprak mengisahkan tentang Tumenggung Nistura yang menggadaikan jabatannya sebagai "hakim" dengan turut menikmati cipratan dana yang diselewengkan pengusaha Digdaya.
Kepura-puraan pejabat publik yang di hadapan khalayak berlagak ibarat malaikat, tetapi berjiwa busuk pun menjadi bahan tertawaan penonton. Tumenggung Nistura dengan lihainya membuat desain skenario jawaban-jawaban penyelidikan bagi Digdaya yang telah merugikan duit negara senilai Rp 5 triliun.
Agar jawaban Digdaya "benar", Nistura rela berpura-pura bertukar peran seolah dia yang didakwa. Bosan terus menerus didikte untuk menjawab semua pertanyaan yang diajukan, Digdaya pun memilih pamit pulang dari penjara demi merayakan hari ulang tahun anaknya.
"Berita acaranya, kamu saja yang tanda tangan. Aku pulang dulu ya, daaa," kata Digdaya yang dengan mudahnya pulang karena pura-pura sakit.
Jika Digdaya mudah melenggang dari penjara, Yu Beruk yang hanya istri penjual angkringan diwajibkan membayar ganti rugi karena mencuri sebutir semangka untuk dimakan dan ditanam bijinya. Nistura pun mencoba menegakkan hukum dengan mewajibkan Yu Beruk menanam biji semangka curian lalu hasil panenannya disita negara.
Di antara tumpukan ketidakbenaran, masih ada orang yang berusaha hidup lurus seperti Tumenggung Candramawa. Berbeda dengan kisah- kisah dongeng sebelum tidur atau film Hollywood yang selalu memenangkan orang "baik" dan mengalahkan orang "jahat", ketoprak ringkes kali ini justru membawa Candramawa menuju jeruji penjara.
Nistura Mati
Nistura akhirnya justru mati di tangan Ratimaya yang ternyata juga berstatus istrinya. Sebagai petugas pencari fakta, Ratimaya tidak ingin kariernya gagal akibat ulah suaminya yang turut mencicipi duit penyelewengan. Kisah ditutup dengan adegan Prabu Kasmala Negara yang mengemis-ngemis kepada rakyat untuk didengar pidatonya.
Alur cerita yang dibiarkan mengambang memang sengaja dilakukan untuk membuat penonton berfikir. Meskipun sarat dengan humor, Susilo sebagai penulis naskah mengaku tetap ingin menyampaikan pesan sosial dan tidak ingin terjebak dalam format ketoprak humor.
Menyaksikan tontonan ketoprak yang dikemas dalam bahasa jawa sehari-hari, menurut penonton muda seperti Ponang (21), justru menjadi keasyikan tersendiri. "Bahasanya merakyat, membuat terpingkal-pingkal. Saya suka karena unik dan sudah jarang dimainkan," kata Ponang.
Bagi mereka yang merindukan suguhan ketoprak yang kini makin sulit direguk, pementasan kali ini memang sungguh menjadi obat mujarab. Seperti nyanyian Ahmad Albar, dunia ini memang hanyalah panggung sandiwara. (Mawar Kusuma)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar