Minggu, 07 Februari 2010

haa iki perjuangan lan kenyataan

sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/06/02544433/ojek.krayan.ojek.termahal
P E R B A T A S A N
Ojek Krayan, Ojek Termahal
Sabtu, 6 Februari 2010 | 02:54 WIB
Perjalanannya cuma dua jam, tetapi jangan terkejut sebab ongkosnya Rp 500.000. Biaya angkut itu pukul rata, apakah membawa orang atau barang. Mahalnya ongkos itu bukan karena maraknya pungutan liar sepanjang lebih dari 100 kilometer jalan dari Longlayu (Kecamatan Krayan Selatan) melalui Longbawan (Kecamatan Krayan), Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, ke perbatasan Indonesia-Malaysia hingga kampung Bakalalan, Serawak, Malaysia.
Tetapi, ini karena biaya hidup dua kecamatan yang dihuni sekitar 11.000 jiwa itu sangat tinggi akibat daerah mereka terisolir karena ketiadaan akses jalan darat dari daerah lain. Dua kecamatan itu hanya bisa ditempuh pesawat perintis dari Nunukan atau Tarakan. Itu sebabnya, untuk menjual sejumlah hasil bumi, terutama beras dan kerbau, sebagai andalan ekonomi, warga di sini melalui jalan darat ke kampung-kampung di perbatasan Malaysia setempat.
Karena sulit dijangkau inilah sejumlah harga barang juga jadi sangat mahal, seperti solar atau bensin saja dijual bisa mencapai Rp 25.000 per liter. Untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari, warga mesti pergi ke beberapa kampung di negeri jiran yang ada di perbatasan tersebut.
Berjalan kaki
Untuk keperluan tersebut, selain berjalan kaki, warga menggunakan sepeda motor. Di dua kecamatan ini warga yang memiliki sepeda motor sekitar 25 orang. Kendaraan itu mereka beli dari Tarakan, dengan terlebih dahulu dipreteli untuk bisa diangkut memakai pesawat.
Di Krayan tidak ada khusus ojek motor. Sebagian sepeda motor itu menjadi ojek dadakan saat diperlukan. ”Ongkos ojek Rp 500.000 itu kalau jalannya kering. Kalau jalannya menjadi bubur, para pengojek menolak beroperasi karena risikonya berat,” kata Eko Yuwono, pengojek asal Longlayu.
Jika rusak, kata Eko, itu bertanda buruk karena harus membeli suku cadangnya ke Tarakan. Artinya, akan berminggu-minggu baru bisa baik lagi. ”Itu pun tergantung kemampuan pengojeknya memperbaikinya. Sebab, di sini tak ada bengkel sepeda motor seperti di kota. Semua ditangani sendiri,” katanya.
Itu sebabnya, jelas Selutan Tadem, Camat Krayan Selatan, warga di sini kalau ingin bepergian ke negeri jiran banyak memilih berjalan kaki dengan perjalanan selama satu hari satu malam. Kalau memilih naik mobil pikap dari Malaysia, ongkosnya bisa tiga kali lipat ongkos ojek motor. Karena sudah terbiasa, warga di sini bisa membawa barang lebih dari 100 kilogram dengan berjalan kaki.
Kondisi ini berbeda dengan di perbatasan Kecamatan Jagoibabang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Pengangkutan barang atau orang dengan ojek dalam sepuluh tahun terakhir justru menjadi usaha tersendiri, terorganisasi layaknya persatuan ojek di perkotaan.
Di sini jumlah mereka lebih dari seratus orang. Tak heran bila mereka memiliki tempat mangkal dengan pos petugas pengatur jadwal antre keberangkatan para pengojek tersebut dengan rute tetap ke Serikin, Serawak.
Pengojek di sini, ungkap Edi (40), warga Jagoibabang, bisa mengangkut barang atau orang. Untuk orang, ongkosnya 30-40 ringgit pergi-pulang ke Serikin. Sedangkan untuk angkut barang, seperti gula, biaya angkut 5-10 ringgit per karung isi 50 kilogram. ”Kalau ada pesanan, sekali angkut bisa tiga sampai lima karung,” katanya.
Pembangunan
Meskipun pembangunan Pos Lintas Batas di Jagoibabang baru dimulai, keramaian lalu lintas perdagangan antarwarga di perbatasan ini lebih ramai dibandingkan dengan Pos Lintas Batas Aruk-Sajingan, Kabupaten Sambas. Bahkan, keramaiannya menempati nomor dua setelah Pos Pemeriksaan Lintas Batas Entikong, Kabupaten Sanggau.
Kondisi ini bisa dipahami karena pihak Malaysia di Serikin menyediakan satu tempat berdagang, seperti pasar akhir pekan setiap hari Sabtu dan Minggu di Serikin. Ratusan pedagang kaki lima asal Indonesia menyeberang ke Serikin dengan naik ojek melalui Jagoibabang setiap akhir pekan. Pasar ini tumbuh pesat sekitar sepuluh tahun terakhir.
Mereka sebagian besar adalah pedagang kaki lima yang dulu menguasai Pos Pemeriksaan Lintas Batas Entikong sehingga kumuh dan semrawut. Mereka meninggalkan kawasan itu setelah tahun 2002 terkena ”pembersihan massal” oleh aparat keamanan setempat.
Lewat Jagoibabang itulah mereka menemukan tempat berjualan untuk melayani warga Malaysia, bahkan Brunei Darussalam, berbelanja murah khas dagangan kaki lima Indonesia. Mereka bukan hanya pedagang dari Entikong, bahkan banyak juga dari Pontianak. ”Dari kegiatan perdagangan inilah para pengojek perbatasan di sini bisa bertahan hidup,” ujarnya.
(M Syaifullah/Ambrosius Harto/C Wahyu Haryo P)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar