Minggu, 28 Februari 2010

haa iki kasunyatan wektu iki

sumber : http://www.mediaindonesia.com/read/2010/02/27/125967/70/13/Rakyat-Yatim-Piatu

Rakyat Yatim Piatu Sabtu, 27 Februari 2010 00:00 WIB 
IBARAT anak ayam kehilangan induk, itulah yang kini dialami rakyat Indonesia. Pemerintah pusat maupun daerah sepertinya lebih disibukkan mengurus berbagai perkara politik dan abai mengurus persoalan-persoalan nyata masyarakat.
Tengoklah betapa lambannya pemerintah menangani bencana longsor di Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Pemerintah Kabupaten Bandung baru menerima informasi bencana itu 6 jam kemudian. Hingga sekitar 12 jam kemudian, Bupati Bandung Obar Sobarna belum tiba di lokasi.

Kenyataan itu sangat mengherankan karena lokasi longsor hanya berjarak 30 kilometer dari Ciwidey yang dikenal sebagai kawasan wisata agrobisnis.
Hal itu semestinya tak boleh terjadi. Sebab, kelambanan menangani bencana akan memperkecil peluang menyelamatkan korban.
Sebagai negara yang berulang kali tertimpa bencana, pemerintah semestinya memiliki standar penanganan bencana.

Bagaimana dengan respons pemerintah pusat? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri lebih memilih menghadiri dan membuka pertemuan Forum Menteri Lingkungan Hidup Sedunia di Bali ketimbang mengunjungi lokasi longsor. Padahal, persoalan nyata lingkungan saat itu ada di lokasi longsor Pasir Jambu, bukan di Bali.

Pemerintah rupanya tidak hanya abai menangani persoalan insidental seperti bencana, tetapi juga abai mengatasi persoalan-persoalan permanen, seperti perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, buruknya pelayanan kesehatan untuk rakyat, serta pengendalian laju pertumbuhan penduduk.

Menurut statistik resmi pemerintah, dewasa ini TKI yang bekerja di luar negeri mencapai 6 juta orang, 70% di antaranya wanita yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Mereka inilah yang acap menjadi sasaran tindak kekerasan dan sangat membutuhkan perlindungan pemerintah tetapi tidak mendapatkannya.

Padahal, pada 2009, TKI menyumbang devisa sekitar Rp162 triliun kepada negara. Itu artinya, pemerintah bersemangat menerima devisa dari para TKI itu, tetapi bersikap setengah-setengah melindungi mereka.

Di bidang kesehatan, pemerintah mematok anggaran kesehatan besarnya 2% dari Rp1.000 triliun APBN 2009. Persentase anggaran kesehatan itu kurang dari separuh standar anggaran yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yakni minimal 5%.

Jangan heran, bila kita menyaksikan pemberitaan media massa ada penderita penyakit pembesaran kepala harus menginap di masjid RSCM untuk menunggu giliran ditangani, atau orang tua yang memasung anggota keluarga mereka yang menderita sakit jiwa akibat ketiadaan biaya.

Pemerintah pun sepertinya tidak mampu menekan laju pertumbuhan penduduk yang masih dalam kisaran 1,3% per tahun. Padahal, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%-10% per tahun, pertumbuhan penduduk harus ditekan hingga di bawah 1% per tahun. Itu artinya, jika pemerintah gagal menekan laju pertumbuhan penduduk, pemerintah sesungguhnya juga gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan membiarkan rakyat hidup miskin.

Terlalu banyak contoh untuk menyebut betapa rakyat seperti yatim piatu. Beruntung, masih ada masyarakat madani, seperti lembaga swadaya masyarakat, yang bersedia 'mengasuh' rakyat.

Akan tetapi, menyerahkan penanggulangan begitu banyak persoalan rakyat kepada masyarakat madani hanya akan menunjukkan betapa lemahnya negara.
Kita membutuhkan negara yang otoritatif dalam melindungi warga negara untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar