Kamis, 11 Februari 2010

haa iki john terry

sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/11/02433278/john.terry
KOLOM OLAHRAGA
John Terry
Kamis, 11 Februari 2010 | 02:43 WIB
Anton Sanjoyo
Media massa di Inggris, khususnya tabloid, memang sangat bawel, jahil, dan cenderung menyerang pribadi, apalagi jika ”korban” mereka adalah pesohor sepak bola yang gaji per pekannya bisa mencapai Rp 2 miliar. Faktor gaji ini menjadi penting karena selalu menjadi olok-olok tabloid jika para pesohor itu berbuat ulah. Sepanjang sejarah sepak bola modern di negeri itu hampir tak ada selebriti bola yang lolos dari sergapan mereka, apalagi jika menyangkut hal-hal berbau perkeliruan, terlebih kasus perselingkuhan dan skandal seks.
John Terry adalah ”korban” terakhir mereka. Bintang Chelsea itu akhirnya kehilangan kebanggaan sebagai kapten tim nasional Inggris. Terry harus rela menyerahkan pita skipper ”The Three Lions” kepada Rio Ferdinand setelah skandal perselingkuhannya dengan Vanessa Perroncel dibongkar habis-habisan tabloid Inggris. Perroncel adalah model cantik asal Perancis yang juga ibu dari seorang anak hasil hubungan tanpa nikah dengan Wayne Bridge, rekan Terry di timnas Inggris.
Terry mengaku terpukul, tetapi memahami keputusan yang dibuat Fabio Capello, bos timnas Inggris. Ia pun tak perlu mendendam kepada pers yang sangat usil pada urusan pribadinya. Terry sadar, sebagai kapten Inggris—yang disandangnya sejak 2007 menggantikan David Beckham—adalah posisi yang sangat terhormat, hampir sama stratanya dengan perdana menteri yang mendiami Downing Street Nomor 10.
Saking terhormatnya, Terry tak boleh berbuat salah, dalam ranah pribadinya sekalipun. Sebagai ayah dari dua bocah kembar, Georgie John dan Summer Rose, serta suami dari Toni, Terry tak boleh punya afair. Sebagai skipper, kapal besar Inggris yang akan melayari Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, Juni mendatang, Terry harus terbebas dari tekanan media massa, dan inilah tampaknya yang menjadi keprihatinan utama Capello.
Tidak seperti mantan Pelatih Inggris Sven-Goran Erikkson yang juga terlibat skandal seks dengan Faria Alam, Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) tak sedikit pun memberikan pembelaan kepada Terry. Pemain berusia 29 tahun ini justru terkesan ”dikorbankan” demi harmonisasi di tim ”St George Cross” menjelang Piala Dunia.
Di luar perilaku media massa Inggris yang cenderung menghakimi, keputusan Capello dan sikap ”cuek” FA, kasus Terry mengingatkan kembali betapa kuatnya hubungan sepak bola dengan nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Inggris yang tradisi sepak bola profesionalnya sudah berusia hampir 200 tahun memang paling kental hubungannya dengan nilai-nilai sosial dan kemasyarakatan.
Sportivitas dan perilaku gentlemanship adalah landasan utama sepak bola Inggris. Hanya di negeri itu, perilaku curang di lapangan, terutama diving (kebanyakan berupa tipuan jatuh), mendapat sorotan sangat intens. Striker Chelsea, Didier Drogba, pernah dijuluki ”Raja Diving” karena kegemarannya melakukan tipuan-tipuan ini. Pelatih Chelsea kala itu, Jose Mourinho, sangat meradang dengan sebutan itu. Namun, sekarang kita melihat Drogba yang sama sekali lain. Jika konsentrasinya hanya untuk mencetak gol, dan bukan diving, Drogba adalah striker paling mematikan di Eropa.
Inggris menjadi pelopor bentuk hukuman kerja sosial bagi pemain yang melanggar code of conduct atau perilaku tercela pemain di lapangan. Eric Cantona, bintang Manchester United tahun 1990-an, pernah menjalani kerja sosial selama 120 jam karena menyerang pendukung Crystal Palace, Matthew Simmons, dengan tendangan kungfu, pada Januari 1995.
Inggris juga pelopor mengheningkan cipta, one minute silence, sebelum kick off untuk memperingati peristiwa-peristiwa atau tragedi sosial yang kadang jauh dari urusan sepak bola. FA juga termasuk organisasi yang paling aktif mengampanyekan fair play, penghapusan rasisme, dan hooliganism yang merebak di Inggris sejak 1980-an.
Di akademi-akademi sepak bola Inggris, khususnya yang menggembleng bakat-bakat muda, pelajaran mengenai sportivitas, fair play, dan gentlemanship menjadi mata pelajaran utama dalam kurikulum mereka. Di akademi milik Manchester United di Carrington, kasus tendangan kungfu Cantona dan aksi sportif yang dilakukan bintang West Ham, Paolo Di Canio—yang mengantarkan pemain asal Italia ini meraih FIFA Fair Play Award tahun 2001—selalu diputar ulang sebagai bahan pelajaran dan diskusi.
Terry, sementara itu, memang bukan produk Carrington. Ia salah satu produk paling cemerlang akademi yunior Chelsea di Cobham yang juga ketat dalam soal disiplin dan sportivitas. Penampilannya yang selalu all-out membuatnya cepat dipromosikan ke tim utama saat usianya belum 18 tahun. Pada 2005 Terry mengambil alih posisi kapten ”The Blues” dari Marcel Desailly setelah dua tahun menjadi skuad inti timnas Inggris. Terry juga memenangi banyak gelar, di antaranya bek terbaik Eropa 2005, 2008, dan 2009.
Namun, sejalan dengan kariernya yang menjulang, gaya hidupnya pun berubah. Terry, meski sangat dihormati di Chelsea, selalu dianggap sebagai figur yang arogan. Dia selalu diasosiasikan dengan seorang pria dengan mobil paling mewah, rumah paling mentereng, dan jam tangan termahal. Gosip tentang dirinya hanya berputar pada masalah keributan, mabuk-mabukan, dan denda dari klub.
Sebagai pemain, Terry tak diragukan kapabilitasnya. Dia menjadi salah satu aktor penting yang membuat Inggris tampil gemilang pada kualifikasi Piala Dunia 2010. Namun, sebagai kapten, Terry bukanlah figur yang ideal untuk dijadikan cermin. Capello telah bertindak benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar