Sabtu, 27 Februari 2010

haa iki energi yang tak akan habis

sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/24/03484644/mari.kita.mengejar.matahari

Mari Kita "Mengejar Matahari"
Rabu, 24 Februari 2010 | 03:48 WIB
ROSARI SALEH
Belum lama ini, tepatnya pada peringatan 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, akhir Januari lalu, Sang Presiden dengan bangganya meresmikan penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Labuan Unit 1 Banten dengan daya 300 megawatt.
Keceriaan mewarnai wajah presiden dan beberapa tokoh terkait bidang energi listrik yang ada di sana. Peresmian PLTU yang merupakan salah satu proyek penyelesaian masalah defisit energi Indonesia membawa kebanggaan dan harapan tersendiri.
Namun, saya rasa senyum itu akan terkembang lebih hangat jika kiranya kita mampu melakukan suatu lompatan teknologi dalam pemenuhan energi listrik. Sudah menjadi isu yang kian memasyarakat bahwa penggunaan bahan bakar fosil akan mencederai bumi tempat kita berpijak ini.
Emisi pembuangannya akan mengumpul di atmosfer dan menjebak panas tetap berada di bumi (efek rumah kaca) sehingga menyebabkan pemanasan global. Selain itu, harga bahan bakar fosil ini—batu bara, minyak bumi, dan gas alam—pastinya akan kian mahal dari waktu ke waktu.
Lompatan teknologi yang saya maksudkan adalah penggunaan tenaga surya sebagai sumber energi pembangkitan listrik (pembangkit listrik tenaga surya/PLTS). Baru sedikit negara berkembang yang memanfaatkan sumber energi yang tak pernah habis ini.
Jika Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang terpandang di dunia (anggota G-20) menjadi salah satu pelopor percontohan tentu akan menarik perhatian dan apresiasi dunia.
Sebenarnya dunia pun sudah mulai mengarah ke alternatif ini. Ketergantungan pada bahan bakar fosil diprediksi hanya akan membuat umat manusia terjerumus lebih jauh dalam ”penyiksaan” bumi.
Keharusan untuk meninggalkan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan penggunaan PLTS sebagai alternatif ini sendiri sudah pernah saya bahas di harian ini (”Bangkit dari Lamunan”, 16/12/2009).
Penundaan hanya akan membuat Indonesia kian tertinggal dan semakin bergantung pada negara maju.
Mengejar matahari
Mungkin pembaca akan bertanya-tanya kenapa artikel ini saya beri judul ”Mengejar Matahari”.
Sebenarnya judul ini terinspirasi judul satu buku yang berbicara tentang penggunaan tenaga matahari untuk pembangkitan listrik di berbagai belahan bumi.
Buku dengan judul Chasing the Sun karya Neville Williams membuat saya makin yakin bahwa cahaya mataharilah yang akan menjadi jalan keluar dari krisis energi Indonesia. Kelak jalan ini akan memberikan dampak positif yang luas pada perekonomian negara dan kesejahteraan rakyat kita.
Dalam bukunya itu, Williams bercerita tentang pengalamannya melanglang buana sebagai duta Solar Electric Light Fund (SELF) untuk mempromosikan penggunaan energi matahari ke seluruh dunia.
Williams dan kolega-koleganya berkeliling dunia hingga 15 tahun untuk menyampaikan kepada masyarakat dunia—terutama di daerah pedesaan dan terpencil—mengenai kemajuan teknologi PLTS yang bisa memajukan kehidupan mereka.
Terus terang saya sendiri terkagum-kagum dengan cara bisnis PLTS ini bisa membantu banyak negara berkembang memajukan tingkat kesejahteraan penduduknya.
Dalam satu kesempatan, misalnya, Williams berkunjung ke Republik Solomon, sebuah negara kepulauan di Samudra Pasifik yang banyak daerahnya belum memiliki listrik. Terbukti kemudian bahwa PLTS memberikan kehidupan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh para nelayan.
Mereka tak lagi menjadi bergantung pada pasokan bahan bakar untuk menyalakan generator dieselnya.
Dalam kesempatan lain William datang ke daerah-daerah terpencil di Nepal dan dengan PLTS-nya dia membawa perubahan yang sangat signifikan bagi penduduk di sana. Betapa tidak! Kondisi geografis Nepal yang berada di pegunungan membuat permukimannya tersebar (scattered).
Penggunaan PLTS yang ringkas dan mudah diaplikasikan serta relatif minim perawatan membuat masyarakat di sana mendapatkan manfaat keberadaan listrik tanpa membuat masyarakat kesusahan.
Membandingkan
Teknologi PLTS tentu tak akan bisa jika dikompetisikan secara head to head dengan pembangkit listrik berbahan bakar fosil.
Jika selalu membandingkan harga listrik per kWh antara hasil PLTS dengan yang berbahan bakar fosil, tentu tak akan ada yang memakainya karena memang dengan PLTS akan lebih mahal. Apalagi, PLTS pun belum dikembangkan untuk skala sangat besar.
Sampai saat ini pun daya pembangkitan PLTS terbesar memang hanya baru mencapai 300 MW yang ada di Gurun Mojave, Amerika Serikat.
Sangat kecil jika dibandingkan dengan pembangkit dengan bahan bakar fosil yang mencapai ratusan watt di tiap pembangkit, atau bahkan PLTN yang mencapai ribuan watt. Upaya yang diawali Carter tersebut kini mulai dikembangkan kembali oleh Barack Obama walaupun dicibir para raja minyak yang tentu saja kelak akan berkurang profitnya.
Jika pola pikir raja minyak ini yang dipakai, meminjam istilah yang sedang tren di negeri ini, akan mengakibatkan ”dampak sistemik” bagi pengembangan teknologi PLTS, yakni perusahaan tak akan melakukan penyerapan, pembaruan teknologi, ataupun investasi proyek percontohan.
Bagaimanapun, pengembangan PLTS membutuhkan insentif dari pemerintah. Hal ini juga dilakukan di Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa. Unit-unit PLTS dijual dengan subsidi, bahkan jika ada kelebihan daya yang dihasilkan di rumah-rumah, akan dibeli oleh perusahaan listrik dengan harga tinggi. Untuk itu, akan lebih baik jika penggunaan tenaga matahari untuk tahap awal ini difokuskan pada skala kecil untuk menerangi Nusantara.
Hal ini akan berjalan beriringan dengan rencana 75-100 PLN yang ingin agar 100 persen wilayah Indonesia telah dialiri listrik pada 75 tahun kemerdekaan Indonesia (2020). Memang tak bisa dinafikan bahwa jika Indonesia langsung melakukan proyek PLTS dalam skala besar, keuangan negara akan terbebani dalam jangka pendek walaupun sebenarnya secara jangka panjang lebih menguntungkan.
Cukup melegakan melihat ada beberapa proyek memasyarakatkan penggunaan PLTS di Indonesia untuk memajukan kehidupan masyarakat telah mulai dilakukan, misalnya di beberapa desa terpencil di NTT, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Riau, yang mendapat bantuan hibah PLTS dari pemerintah sebagai bentuk proyek percontohan.
Sayangnya, umumnya PLTS tersebut merupakan hibrida dengan bantuan diesel karena baterai yang digunakan masih kurang maksimal untuk menyimpan tenaga surya.
Dua keuntungan
Bagi saya, ada dua keuntungan mendasar dari pengembangan PLTS skala kecil di Indonesia yang merupakan negara kepulauan ini.
Pertama, yaitu dari segi memajukan taraf hidup warga Indonesia di daerah terpencil. Indonesia sebagai negara kepulauan tentu akan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan listrik jika selalu bergantung pada bahan bakar fosil.
Selain harganya terus merayap naik, biaya distribusinya juga sangat tinggi. Memang masih ada pilihan lain, seperti energi panas bumi. Namun, penyebaran sumber panas bumi tidak merata. Belum lagi dengan model pembangkitan terpusat akan sangat mahal jika harus membangun jaringan kabel dan peralatan lainnya.
Beda dengan PLTS yang hanya membutuhkan sinar matahari—yang berlimpah ruah di Nusantara—dan sangat mudah dibuat dalam skala mini 50-100 watt untuk dipasang di tiap rumah dan sangat minim biaya perawatan.
Kedua, kesempatan bisnis yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Pada 2005, jumlah penjualan modul sel surya mencapai 11 miliar dollar AS, lalu berkembang menjadi 15 miliar dollar AS pada 2006. Diproyeksikan harga akan meroket menyentuh nilai 60 miliar dollar AS pada 2016 (Scientific American). Perkembangan teknologi telah mendorong efisiensi produksi sel surya yang telah menurunkan harganya dengan sangat drastis.
Pada tahun 1979, harga modul sel surya mencapai 32 dollar AS per watt, tetapi pada 2006 harganya turun jauh menjadi 3 dollar AS per watt. Dalam waktu kurang dari tiga dasawarsa, harganya menyurut menjadi di bawah 10 persen harga awal produksi.
Para ilmuwan percaya bahwa pemanfaatan sinar matahari untuk PLTS saat ini masih jauh dari titik maksimal. Kemajuan bidang nanoteknologi dalam produksi photovoltaic (sel surya) berbahan silikon memberikan harapan yang lebih besar akan kemampuan produksi massal dan kualitas yang lebih bagus untuk memenuhi kebutuhan yang lebih besar.
Sebelum akhirnya kita tertinggal karena terbuai bahan bakar fosil, alangkah baiknya kita mulai bersiap-siap berlari mengejar matahari.
ROSARI SALEH Guru Besar Departemen Fisika FMIPA Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar