Minggu, 07 Februari 2010

haa isih century meneh iki

sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/06/03323477/.hari-hari.century.dan.program.100.hari
KOLOM politik-ekonomi
Hari-hari Century dan Program 100 Hari
Sabtu, 6 Februari 2010 | 03:32 WIB
Oleh budiarto shambazy
Ingar-bingar program 100 hari terjadi lagi mengulangi yang pernah dialami presiden-presiden sebelum ini sepanjang era Reformasi. ”Program 100 Hari Pertama” hanya dikenal di Amerika Serikat ketika Presiden Frank D Roosevelt yang terpilih tahun 1932 dihadang oleh Depresi Besar.
Depresi Besar memerlukan penanganan masif dan ekstra cepat. Roosevelt secara intensif selama 100 hari pertama bertemu Kongres untuk mengegolkan berbagai undang-undang (UU) yang bertujuan memulihkan Depresi Besar. Pemulihan itu tercakup dalam New Deal yang antara lain menciptakan UU Jaminan Sosial (Social Security Act) untuk melindungi warga miskin.
Apakah Depresi Besar di AS mirip dengan krisis moneter 1997-1998 di Indonesia? Mungkin saja iya. Oleh sebab itu, Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri termakan oleh kampanye program 100 hari yang didengang-dengungkan baik dari dalam maupun luar istana.
Sebagai perbandingan, Presiden Soekarno pasca-Dekrit 5 Juli 1959 dan Presiden Soeharto pasca-1965 tidak terjebak dengan program 100 hari. Padahal, situasi ekonomi ketika itu jauh lebih remuk redam dibandingkan dengan krisis moneter 1997-1998. Apalagi situasi politik dan keamanan benar-benar kalut.
Apa pun, Soekarno dan Soeharto masing-masing memiliki program-program GBHN dan rencana pembangunan lima dan sembilan tahun yang bersifat langgeng dan terarah. Sekarang pemerintah tak lagi mempunyai GBHN sebagai rujukan utama penyelenggaraan pemerintah dalam mencapai kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.
Cukup mengherankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali terjebak ke dalam ingar-bingar program 100 hari. Ia terpilih untuk kedua kalinya dengan slogan ”Lanjutkan!” Secara sederhana, ia melanjutkan yang sudah berhasil dan, sebaliknya, menghentikan semua hal yang bersifat negatif sepanjang periode 2004-2009.
Jujur saja, apa yang mampu dikerjakan sebuah pemerintahan dalam waktu 100 hari? Jangankan 100 hari, terbukti kita gagal menyiapkan diri selama lima tahun untuk menyongsong ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) karena minta penundaan dua tahun untuk 228 tarif pos. Padahal, taruhannya PHK atas minimal 2,5 juta buruh pabrik yang terpaksa ditutup.
Misi dan visi duet SBY-Boediono telanjur dicap kurang prorakyat alias ”neolib”. Tudingan neolib dilontarkan gencar oleh lawan politik SBY-Boediono ataupun sejumlah kalangan masyarakat. Oleh sebab itu, muncul kebijakan alternatif ekonomi kerakyatan ala Megawati-Prabowo Subianto atau kemandirian bangsa oleh JK-Wiranto.
Harus diakui, ada respons positif terhadap kritik itu dari kubu SBY-Boediono melalui slogan ”ekonomi jalan tengah”. Sayang konsep ini kurang dijabarkan secara rinci atau setidaknya kurang disosialisasikan sebagaimana mestinya. Salah satu penyebabnya, duet SBY-Boediono terlalu terpukau pada kampanye yang mengandalkan pola ”more style than substance”.
Jadi, sudah ada pengakuan moral ataupun politis bahwa misi dan visi SBY-Boediono berkarakter neolib. Terlepas dari debat benar atau tidak, misi dan visi itulah yang dijadikan sebagai kerangka untuk menyusun program 100 hari berikut rencana aksi 100 hari serta program lima tahunan yang diadopsi menjadi rencana pembangunan jangka menengah (RPJM).
Sosialisasi mengenai apa yang mau dikerjakan SBY-Boediono sesuai janji kampanye mereka ini yang, jika mengandaikan lalu lintas Jakarta, mengalami ”macet total”. Ia tidak diurai tuntas karena tak ada ”humas pemerintah” yang menjelaskan kepada rakyat dari Sabang sampai Merauke.
Padahal, di dalam program aksi 100 hari terdapat puluhan butir program yang menjangkau kepentingan rakyat kecil yang mestinya terwujud pada Februari ini. Contohnya beasiswa untuk mahasiswa kurang mampu, ”citizen service” di mancanegara untuk melindungi TKI, internet untuk sekolah, ketersediaan air minum, dan seterusnya.
Ketidakefektifan sosialisasi tersebut makin dipersulit oleh ingar-bingar Century dan demonstrasi 9 Desember 2009 serta 28 Januari 2010 yang lebih tertuju pada penyelesaian skandal Century. Protes terhadap program 100 hari hanya bersifat kamuflase saja, popular demand mengharapkan Century diusut setuntas-tuntasnya.
Alhamdulillah kedua demonstrasi berjalan aman dan tertib berkat kematangan pendemo dan kesabaran aparat keamanan. Gangguan-gangguan kecil tentu terjadi, itu lumrah di mana pun di dunia ini. Apalagi parlemen jalanan di sini menjadi pilihan karena aspirasi rakyat yang berulang kali disampaikan kepada pemerintah ataupun parlemen sudah terlalu lama tersumbat.
Hari-hari demonstrasi Century masih akan terjadi dan pemerintah perlu memprakarsai dialog dengan pendemo, khususnya mahasiswa. Ada baiknya SBY menawarkan pola komunikasi baru yang lebih responsif menanggapi tuntutan demonstran tanpa perlu terjebak ke dalam polemik seperti ingar-bingar ”kerbau” baru-baru ini.
Bung Karno menghadapi pendemo 17 Oktober 1952 di depan Istana Merdeka, Pak Harto mengajak mahasiswa berdialog di Bina Graha menjelang Malari 1974. Gus Dur dan JK pun tak sungkan menerima mahasiswa yang dianggap sebagai anak sendiri. Tak ada orangtua yang tak mau berbagi rasa dengan anak-anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar