Mandiri dengan Rumput Laut dan Kepiting...
Senin, 1 November 2010 | 04:58 WIB
Lupakan sejenak infrastruktur buruk di  Kawasan Timur Indonesia. Di balik  masalah itu,  penduduk  di tiga  wilayah, yaitu Tual,  Takalar, dan Hoaulu, ternyata punya semangat kemandirian. Begitulah,  saban kali  pulang sekolah di  Desa Fiditan, Kota Tual, Provinsi  Maluku, Nogen Ramaarin (16) bergegas ke pesisir pantai dekat rumahnya.  Memanen rumput laut adalah keseharian remaja sebaya di desanya.   Rumput  laut yang sudah mulai berwarna coklat pekat dipetik helai demi helai  dari bentangan tali sepanjang 100 meter. 
Penduduk setempat  rata-rata punya tiga bentangan tali rumput laut. Setiap panen bisa  menghasilkan 150 kilogram rumput laut. Dengan harga jual sekitar Rp  10.000 per kg, setiap rumah tangga bisa meraup pendapatan bersih sekitar  Rp 600.000, tiap kali panen pada jangka 45 hari atau dua bulan.
Saat  ini 90 persen penduduk Desa Fiditan, atau sekitar  200 keluarga,   ditopang budidaya rumput laut. Memang belum ada pabrik pengolah di sana.  Nelayan sebatas  menjualnya langsung kepada saudagar yang lalu  melegonya ke Surabaya.
Toh, kata Nogen, ia tak  cemas lagi  terancam  putus sekolah. Siswa SMA kelas dua itu yakin   ayah-bundanya  bisa membiayainya sekolah meski mereka nelayan yang setiap saat bisa  paceklik jika cuaca memburuk.
Rumput laut telah menolong  masa  depan Nogen dan 200-an keluarga warga Fiditan lainnya. Dulu mereka  melulu bergantung pada hasil tangkapan di laut. Sekarang ada  tambahan  rumput laut. Memang, hasil rumput laut  belum besar: rata-rata  Rp  300.000 per bulan untuk tiap keluarga. ”Saya yakin, kalau rumput laut  masih terus menghasilkan nanti, dua anak saya pasti bisa kuliah,” kata  Rahma Madilis (38), warga Fiditan, tentang komoditas  yang mereka  budidayakan sejak dua  tahun lalu itu. Awalnya, nelayan belajar dari  nelayan  desa tetangganya.
Setahun terakhir, kata  Anton A Lailossa, Kepala Bidang   Ekonomi, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Maluku, produksi  nelayan meningkat 100 persen. Tak heran jika rumput laut jadi unggulan  Maluku. Saat ini lahan budidaya rumput laut sekitar 10.000 hektar   dengan produksi seluruh Provinsi Maluku sekitar 4.600 ton per tahun.  Areal potensialnya 206.000 ha.
Hal yang sama terjadi pada  warga  Kabupaten Takalar,  Sulawesi Selatan. Muhammad Arfa (38), nelayan  pencari kepiting  di  Desa Bontosunggu,  Galesong Selatan, Kabupaten  Takalar, awalnya tak bisa lepas dari jerat tengkulak. Sepuluh tahun  silam, ayah empat anak itu terpaksa menjual kepiting seharga  Rp 12.000  per kg  dari harga semestinya Rp 18.000 per kg.
Ketiadaan  alternatif pembeli dialami Arfa karena minimnya pengetahuan soal akses  pemasaran. Dengan hasil tangkapan kepiting 7-8 kg sehari, ia hanya  membawa pulang uang Rp 20.000 setelah dipotong biaya membeli solar.  Terlalu kecil untuk menyekolahkan tiga  anaknya, siswa-siswa  SD.
Nasib  perlahan membaik setelah muncul pengusaha Hermawati (32). Bermodal  pinjaman Rp 20 juta dari bank, ibu rumah tangga ini menampung  tangkapan  kepiting dari 20-an nelayan, termasuk Arfa.  Hermawati berani membeli  kepiting Rp 22.000 per kg. Harga itu jauh di atas harga pasar karena  Hermawati telah memiliki akses menjual daging kepiting Rp 125.000 per  kg.
Ia juga memberdayakan sekitar 25 gadis remaja di Desa  Bontosunggu untuk mengupas rajungan. Mereka diberi upah Rp 7.000 per kg  per hari. Berkat  Hermawati, sang perintis desa itu, puluhan keluarga di  Bontosunggu seolah bisa ”menyatukan” kemandirian mereka. Belum besar  hasilnya, tapi menopang kepingan hidup, menjadi jejaring hidup karena  saling bergantung dan gotong-royong. Ini bukan hasil kerja keras aparat  desa atau pemerintah.
Perjuangan Joris Lilimau (48), guru di suku  terasing, Hoaulu, di Taman Nasional Manusela, Maluku Tengah, melengkapi  contoh itu. Dua tahun  lamanya ia bersusah payah mendidik anak-anak  suku terasing. Buku-buku dan perlengkapan belajar diupayakannya sendiri.
Berulang  kali dia mendatangi pejabat Dinas Pendidikan dan DPRD Kabupaten Maluku  Tengah agar mau memerhatikan warga Hoaulu. Padahal, untuk itu, Joris  harus ke Masohi, ibu kota Kabupaten Maluku Tengah yang berjarak 140  kilometer dari Hoaulu. Sekitar setahun  berjuang, April 2009 sekolah  darurat di Hoaulu diakui pemerintah, dan bulan September pemerintah  akhirnya memberi uang untuk membangun dua ruang kelas.   Tapi tak ada  fasilitas selain ruangan. ”Saya sampai menangis meminta barang-barang  itu, tetapi tak pernah diberi,” kata Joris.
Lulusan Sekolah  Pendidikan Guru  Ambon 1982 itu  pun  mengeluarkan uang pribadinya Rp  300.000 untuk membeli dua papan tulis, dan persediaan  spidol  SD Kecil  Hoaulu itu.
Mengapresiasi dan mengaktualisasikan  semangat  kemandirian warga KTI,  lembaga swadaya masyarakat Bursa Pengetahuan  Kawasan Timur Indonesia (Bakti), Senin  dan Selasa  (1-2 November),   menggelar Forum KTI V di Ambon. Forum ini mengangkat tema ”Praktik  Cerdas untuk Kemajuan KTI”,  yang akan diikuti 12 provinsi. 
(APA/REN/RIZ/NAR)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/11/01/04582050/mandiri.dengan.rumput.laut.dan.kepiting...
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar