Senin, 29 November 2010

haa iki Debat Raja dengan "Pemimpin" II

Perspektif Historis Debat Presiden Vs Sultan (2)
Headline
Oleh: Herdi Sahrasad
Nasional - Senin, 29 November 2010 | 20:41 WIB
INILAH.COM, Jakarta - Yogyakarta tidak pernah berhenti memberikan perannya dalam menentukan masa depan bangsa. Dari mulai di masa penjajahan hingga era reformasi. Namun kini demokrasi dan monarki di Yogyakarta dipersoalkan.
Peran Yogyakarta dalam perjuangan kemerdekaan sangatlah krusial. Setelah ibukota RI pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, ternyata membawa serta segala masalah politik nasional yang puncaknya adalah Aksi Militer Belanda ke II.
Dalam aksi militer tersebut, Belanda berhasil menangkap Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Rakyat melanjutkan perlawanan dengan menerapkan strategi gerilya di bawah pimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Perlawanan rakyat di wilayah Yogyakarta dipimpin Letnan Kolonel Soeharto.
Pada 1 Maret 1949, Letnan Kolonel Soeharto memimpin Serangan Umum 1 Maret. Pasukan gerilya tersebut berhasil menguasai Yogyakarta selama 6 jam. Nilai strategis dari penguasaan ini adalah memperlihatkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada di tengah-tengah usaha Belanda untuk berkuasa kembali.
Pada 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kembali ke Yogyakarta, menandai kembalinya ibukota negara ke Yogyakarta. Setelah sekian lama pemerintahan dijalankan dalam keadaan darurat, dengan nama Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), pemerintahan kembali berjalan normal. Normalnya pemerintahan juga ditandai kembalinya Panglima Besar Jenderal Sudirman ke Kota Yogyakarta, 10 Juli 1949, setelah memimpin perang gerilya.
Sewaktu Indonesia menjadi negara federal, sebagai hasil dari konferensi meja bundar, Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merupakan bagian dari negara serikat tersebut.
Namun RIS tidak berlangsung lama, pada 15 Agustus 1950 RIS bubar dan kembali ke bentuk NKRI. Setelah kembali menjadi NKRI, Yogyakarta kembali ke status Daerah Istimewa.
Pemberontakan G30S/PKI di Yogyakarta memakan dua korban, yaitu, Kolonel Katamso yang menjabat sebagai Komandan Korem 72 Pamungkas dan Letnan Kolonel Sugiono, stafnya Katamso. Peristiwa ini memicu antipati terhadap PKI dari berbagai unsur masyarakat, seperti pelajar, mahasiswa, dan pemuda.
Gerakan pelajar, mahasiswa dan pemuda ini kemudian dikenal dengan Angkatan 66. Organisasi-organisasi mahasiswa seperti HMI, PMII, dan PMKRI pada tanggal 17 November 1965 sepakat untuk membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dengan tujuan untuk menyatukan semua potensi Orde Baru dan mengikis sisa-sisa PKI.
Selanjutnya pentas politik Orde Baru dikuasai Golkar, tidak terkecuali di Yogyakarta . Berturut-turut Golkar memenangkan pemilu di Yogyakarta, yaitu, pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997. Inilah legitimasi bagi Presiden Soeharto dan Orde Baru.
Pada era reformasi, Sultan Hamengkubuwono X, yang menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk di antara tokoh reformis. Sultan termasuk di antara empat tokoh yang bertemu di Ciganjur untuk membicarakan masa depan bangsa yang tengah dalam peralihan dari rezim otoriter Orde Baru ke era reformasi yang lebih demokratis.
Ringkas kata, Yogyakarta tidak pernah berhenti memberikan perannya dalam menentukan masa depan bangsa. Kini, Sultan sudah menjelaskan bahwa DIY bukan sistem monarki yang tidak sesuai dengan sistem demokrasi.
Sultan bahkan menegaskan, dirinya tidak mengetahui sistem monarki yang disampaikan dan dimaksud pemerintah pusat, karena Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY itu sama dengan provinsi lain di Indonesia. Seperti dalam organisasi, manajemen, perencanaan, dan pertanggungjawaban pemerintahan.
"Hal itu sesuai dengan konstitusi baik UUD 1945 maupun peraturan pelaksanaannya. Semuanya sama dengan provinsi lain, tidak ada yang berbeda dengan yang lain," katanya.
Lalu, apa maunya SBY dengan kehendak rakyat DIY? Jangan-jangan ini konflik personal SBY dengan Sultan, yang dibawa ke ranah demokrasi prosedural? [mdr/habis)
Sumber : http://nasional.inilah.com/read/detail/1015322/perspektif-historis-debat-presiden-vs-sultan-2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar