Sabtu, 06 November 2010

haa iki Peringatan Pentingnya : Belajar Untuk Memiliki Kejujuran

Pendidikan Jujur Generasi Siap Saji
Sabtu, 6 November 2010 | 03:55 WIB
SIDHARTA SUSILA


Bagi para pendidik di sekolah, adakah yang lebih nikmat daripada melihat para murid mengerjakan ulangan dengan jujur? Namun, kejujuran semacam itu kini kian langka. Meski sesungguhnya para murid pun terpaksa melakukan ketidakjujuran dalam ulangan. Mereka sesungguhnya menderita. Masih mungkinkah mengguratkan karakter jujur pada anak-anak kita? Mengapa menciptakan perilaku jujur di sekolah terasa begitu sulit?
Ketidakjujuran terkait proses kehidupan yang panjang. Setiap anak pada dasarnya lahir dalam kepolosan. Mereka memasuki dunia sekolah sebagai anak yang lugu dan jujur. Kalau pada akhirnya mereka tidak jujur, pasti ada pemicunya.
Anak-anak kita adalah generasi yang hidup dalam dunia modern. Dalam dunia modern, kesuksesan dipahami sebagai money, fame, power and status : uang, kesohoran, kekuasaan, dan status (A Setyo Wibowo pada Arete: Hidup Sukses Menurut Platon, 2010). Keempat hal itu menjadi impian hampir semua manusia modern. Ketidakjujuran murid dalam mencontek dan tindak plagiat, misalnya, dilakukan demi memperoleh kesohoran itu.
Kegagalan, bahkan sekadar sedikit ketidaksempurnaan, terasa demikian menyakitkan bagi anak-anak zaman ini. Apa- lagi mereka tidak punya banyak pengalaman gagal atau seka- dar tidak nyaman. Orangtua pada keluarga kecil dengan dua atau tiga anak tidak pernah tega bila anaknya merengek. Anak diperlakukan bak boneka cantik. Anak tak boleh sedih, apa- lagi terluka. Banyak anak akhirnya tumbuh dalam pembia- saan hidup serba nyaman, mudah, dengan fasilitas nyaris tanpa cela.
Kecanggihan teknologi dalam alat transportasi dan komuni- kasi makin memanjakan anak-anak kita. Handphone memampatkan waktu dan meringkas ruang. Dibandingkan dengan telepon konvensional, telepon genggam membiasakan anak-anak kita berkarakter tidak bisa menunda. Mereka bisa menghubungi siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Menunggu adalah kemustahilan, bahkan kebodohan di zaman ini.
Logika waktu serbacepat menjadi hukum kehidupan. Dahulu, untuk menikmati mi rebus, kita butuh waktu 20 menit. Kini, anak-anak kita hanya butuh waktu 2-3 menit. Kerja dan proses kian tergerus dan tak populer. Dahulu mencatat pelajaran adalah hal lumrah. Dengan mencatat, proses belajar melambat dan sesungguhnya ikut membantu penyerapan gagasan. Teknologi telah menggantikan aktivitas mencatat dengan fotokopi. Kini fotokopi telah banyak berganti dengan transfer file menggunakan flash disk.
Begitulah dinamika hidup generasi siap saji. Mampatnya waktu menghanguskan proses. Mereka tak lagi mampu bersabar dan menunggu. Emosi pun mudah meledak ketika harapan atau keinginan tak segera diwujudkan. Jalan pintas, meski berisiko sering menjadi pilihan.

Jalan berliku kejujuran
Kejujuran mengandaikan proses dan usaha. Di sinilah letak problem besar melahirkan karakter jujur di sekolah pada generasi siap saji. Kejujuran berarti melawan arus perilaku zaman ini yang serbacepat dan mudah.
Kejujuran mensyaratkan proses. Dalam proses dimungkinkan terjadinya penyerapan gagasan yang lebih permanen. Bagi generasi siap saji, mereka butuh mengalami hingga menikmati proses itu. Tantangannya adalah mempertahankan keterlibatan mereka dalam proses. Durasi konsentrasi anak-anak zaman ini demikian singkat. Mereka tak mau bersusah-susah, bersabar, dan menunggu. Akibatnya, mereka mudah bosan lalu seenaknya. Pada kondisi ini, proses tak lagi menarik untuk disetiai.
Karenanya, anak perlu mengalami hingga yakin bahwa proses belajarnya berguna dan dihargai. Ulangan singkat di akhir pelajaran rasanya berguna. Di akhir pelajaran, ingatan anak-anak tentang materi pelajaran masih segar. Nalarnya, mereka lebih dapat mengerjakan soal yang diajukan. Tingkat keberhasilan pun semakin besar. Pada akhirnya, mereka akan memperoleh kesan menyenangkan dan sukses. Kesan semacam ini sangat penting demi konsistensi bertekun dalam proses.
Aneka model evaluasi se- pertinya juga perlu dipertimbangkan. Bentuk soal uraian adalah yang terbaik, meskipun tak terlalu disukai anak-anak zaman ini. Sebab soal uraian menuntut berpikir lebih keras. Barangkali bisa dimulai menggunakan soal dengan tingkat kesulitan sedang. Mungkin ini langkah bijak demi memunculkan kegairahan anak untuk terus setia berproses.
Meskipun demikian, dari pengalaman penulis di sekolah, dibutuhkan kesabaran serta ketelatenan luar biasa. Anak-anak telanjur tidak percaya dengan kemampuan diri sendiri. Karena itu terkadang penulis harus puas dengan menggunakan soal-soal yang ”tidak bermutu”. Itu perlu demi menciptakan keasyikan murid mengerjakan soal uraian. ”Soal tidak bermutu” memungkinkan murid percaya diri dan mampu bekerja dengan jujur. Pengalaman penulis membuktikan mereka mau dan bisa.
Satu dua ulangan belum menjamin lahirnya karakter jujur yang permanen. Satu dua bulan pun barangkali masih terlalu singkat. Karena itu, pendidikan jujur bagi generasi siap saji zaman ini harus menjadi gerakan bersama. Semua tenaga pendidik mesti terlibat dalam gerak dan gaya yang padu lagi harmoni. Targetnya, anak-anak memiliki spontanitas perasaan yang aneh bila melihat dan melakukan ketidakjujuran di sekolah. Namun, kesohoran sekolah bisa jadi dipertaruhkan. Itu artinya status sekolah pun pada akhirnya ikut terpengaruhi.
Pendidikan jujur di zaman ini butuh waktu yang panjang dan usaha keras lagi konsisten. Pendidikan yang jujur bukan usaha instan. Akan tetapi, sadarkah kita bahwa para guru dan siapa saja yang terlibat di lembaga pendidikan saat ini adalah juga manusia-manusia modern, sama seperti anak-anak yang kita dampingi? Kalau demikian, dari manakah sesungguhnya pendidikan jujur ini dimulai?

SIDHARTA SUSILA Pendidik di Yayasan Pangudi Luhur, Tinggal di Muntilan
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/11/06/03551139/pendidikan.jujur.generasi.siap.saji

Tidak ada komentar:

Posting Komentar