Kamis, 11 November 2010

haa iki Yang Tak Terlupakan

Bintang yang Tak Pernah Redup
Kamis, 11 November 2010 | 02:38 WIB
Anton Sanjoyo


Dalam dunia sepak bola, banyak contoh bintang yang runtuh akibat tak kuat menahan terlalu banyak beban mental. Diego Maradona adalah salah satunya. Karier pahlawan Argentina itu hancur akibat narkoba. Belakangan Maradona mengakui, dirinya memang tak sanggup menghadapi perubahan drastis hidupnya saat hijrah ke Barcelona pada usia 22 tahun dan tiba-tiba menemukan dirinya seorang yang kaya raya. ”Saya tumbuh dan besar sebagai anak miskin. Saya tak siap menghadapi perubahan itu,” ujar Maradona, kapten Argentina di Piala Dunia 1986.
Paul Gascoigne adalah contoh yang lain. Si genius ini begitu bersinar saat membela Inggris di Piala Dunia 1990 dan tetap gemilang bersama tim ”Tiga Singa” paling tidak sampai dengan Euro 1996. Namun, ketenaran juga yang membuat hidupnya karut-marut. Mendapat julukan ”Si Badut Pembuat Onar”, Gazza—demikian Paul Gascoigne sering dipanggil—larut dalam dunia alkohol dan menjadi pemabuk. Belakangan, ia terancam masuk penjara akibat mengemudi dalam keadaan mabuk setelah empat kali dibebaskan bersyarat karena kasus yang sama. Sebelumnya, Gazza terlibat kasus kekerasan dalam rumah tangga karena memukuli istrinya.
Namun, contoh kelam tak mendominasi. Sepak bola juga banyak melahirkan bintang yang tak pernah redup. Zinedine Zidane atau Roberto Baggio boleh menjadi inspirasi kaum muda, bukan saja saat kiprah mereka sebagai pemain, melainkan justru saat mereka tak lagi gemerlap di lapangan hijau. Zidane, yang mengakhiri kariernya secara menyedihkan di Piala Dunia 2006, mengisi masa pensiun dengan aktivitas sosial. Bintang Perancis keturunan Aljazair itu menjadi aktivis penanggulangan AIDS serta menjadi duta PBB untuk program-program kesehatan dan pendidikan.
Bagi Perancis, Zidane adalah pahlawan besar. Berkat jasanya, Perancis untuk pertama kalinya menjadi juara dunia pada 1998. Zidane pula yang menjadi inspirator tim saat ”Les Bleus” merebut juara Eropa tahun 2000. Meski Perancis kalah oleh Italia pada final Piala Dunia 2006 setelah Zidane menanduk dada Marco Materazzi, nama Zidane tak pernah dicemooh. Ia kini menjadi penasihat utama Florentino Perez, Presiden Real Madrid, klub yang dibela Zidane pada periode 2001-2006.
Kemudian kita mendapat kabar hebat. Roberto Baggio diumumkan akan menerima hadiah khusus dari peraih Hadiah Nobel Perdamaian. Jumat lalu di Hiroshima, Jepang, nama Baggio muncul dalam Peace Summit Award 2010.
Ingatan paling kuat kita tentang Baggio adalah seorang yang kalah. Dengan paha dibalut akibat cedera, bintang Italia itu gagal menjadi eksekutor penalti saat Italia bertarung melawan Brasil di final Piala Dunia 1994. Begitu tendangannya melesat di atas mistar gawang Claudio Taffarel, Baggio hanya bisa menunduk, menutup wajah dengan kedua belah tangannya, sementara pemain Brasil bersorak di belakangnya. Momen inilah yang paling banyak dimuat media massa kala itu dan Baggio mengaku tak pernah melupakannya. ”Sampai mati ingatan itu akan saya bawa,” ujarnya. Namun, 16 tahun setelah kenangan pahit di Pasadena tersebut, Il Divin Codino alias si Kuda Poni itu kembali memesona lewat penghargaan khusus Nobel.
Perjalanan Baggio sebagai aktivis sosial dimulai begitu berhenti sebagai pemain profesional pada 2004. Praktis menghindar dari sorot lampu, Baggio mengabdikan waktunya sebagai duta PBB untuk program pangan dan pertanian. Mantan bintang Fiorentina, Juventus, AC Milan, dan Inter Milan itu berkeliling dunia berkampanye untuk memberantas kelaparan.
Perjalanan sosial Baggio tak berhenti sampai pada soal pangan. Pria kelahiran Caldogno, 18 Februari 1967, itu juga aktif menggalang dana untuk pembangunan dan perbaikan rumah sakit serta tak pernah berhenti berkampanye saat wabah flu burung melanda. Baggio juga selalu tampil pada program-program penggalangan dana untuk korban bencana alam. Penganut ajaran Buddha ini juga terlibat gerakan prodemokrasi untuk mendukung tokoh Myanmar, Aung San Suu Kyi.
Baggio juga masih aktif menggalang dana untuk Stefano Borgonovo, sahabat karibnya sejak di Fiorentina yunior, yang harus dirawat seumur hidupnya akibat penyakit saraf yang tidak pernah ditemukan obatnya.
Perjalanan hidup Baggio yang sangat berwarna tak lepas dari sejarah karier sepak bolanya yang juga penuh air mata. Dalam otobiografinya yang berjudul Una Porta Nel Cielo, Baggio mengaku menangis saat mendengar kabar puluhan penggemarnya terluka saat memprotes kepindahannya dari Fiorentina ke Juventus. Pada 1990 Baggio, yang menjadi ikon bagi pasukan ungu ”La Viola” Fiorentina, dijual ke Juventus dengan rekor harga kala itu, 13,6 juta dollar AS. Belakangan dia mengaku terpaksa menyetujui penjualan tersebut meski hatinya menolak. ”Jauh di lubuk hati, saya masih berwarna ungu,” ujarnya.
Sejak hijrah secara terpaksa dari Fiorentina akibat desakan bisnis, Baggio tumbuh sebagai manusia yang penuh empati. Menurut pengakuannya, pengalaman paling pahitnya bukanlah gagal melakukan eksekusi penalti ke gawang Taffarel, melainkan perasaan muak merasa sebagai komoditas dagang. Jika yang lain meluapkan kemarahannya pada hal-hal yang destruktif, Baggio mengumpulkan energinya untuk mengabdikan diri kepada sesamanya.
Sungguh bintang yang tak pernah redup.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/11/11/02383443/bintang.yang.tak.pernah.redup

Tidak ada komentar:

Posting Komentar