Jumat, 12 November 2010

haa iki Yang Harus Segera Diperhatikan Pasca Erupsi Merapi

Wajah Baru Pascaerupsi
Jumat, 12 November 2010 | 05:06 WIB
 
 
Kehidupan keseharian di lereng Gunung Merapi, DI Yogyakarta, masih akan lama pulih sekalipun erupsi berhenti besok. Faktor lingkungan adalah penyebabnya.
Kini, rumah warga di puluhan dusun dan desa di lereng Merapi terpendam abu vulkanik. Jalan desa, sungai, ladang, dan sawah tertimbun material vulkanik.
Pepohonan hijau yang dulu meneduhkan, kini menguncup tak berdaya. Dulu tegak, kini terbujur kaku berselimut abu. Sebagian bahkan mengeluarkan asap dari lahar panas.
Tak ada lagi suara binatang bersahut-sahutan menawarkan kedamaian. Siang ataupun malam, kondisinya hampir sama. Sunyi mencekam. Alam yang dulu menenteramkan, 16 hari terakhir berselimutkan kengerian. Semua serba abu-abu.
Badan Geologi Kementerian ESDM memperkirakan, hingga dua pekan erupsi, Merapi memuntahkan 140 juta meter kubik material vulkanik. Entah berapa puluh atau ratus kilometer panjangnya bila material itu diangkut dalam bak-bak truk.
Memang tak semua dusun pada radius bahaya 20 kilometer dalam kondisi mencekam. Sejumlah warga masih beraktivitas di wilayah yang aman dari luncuran awan panas Merapi.
Namun, sejumlah dusun yang disiram hujan abu lebat hampir tak mungkin ditempati dalam waktu dekat karena penopang utama kehidupan warga tak berfungi lagi. Butuh waktu lama mengembalikan denyut kehidupan warga seperti kondisi sebelum Merapi meletus.
”Lingkungan sekitarnya jelas tak mendukung,” kata Wakil Kepala Pusat Studi Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) Eko Sugiharto. Langkah paling memungkinkan adalah memastikan para pengungsi nyaman di lokasi pengungsian.
Dampak kerusakan berskala luas seperti sekarang memang belum pernah terjadi di lereng Merapi dalam kurun waktu satu generasi terakhir. Kerusakan akibat erupsi Merapi seperti sekarang hanya tertandingi erupsi tahun 1872.
Data Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) memperlihatkan, empat hari setelah letusan pertama, 26 Oktober, hutan seluas 3.559 hektar rusak, 459 hektar di antaranya terbakar dan 3.100 hektar lainnya terkena abu vulkanik. Belum ada data kerusakan pascaletusan kedua yang lebih dahsyat, 5 November.
Sebagai pembanding, erupsi Merapi tahun 2006 merusak 350 hektar hutan di kawasan TNGM, masing-masing di Sleman, DI Yogyakarta, dan Klaten, Jawa Tengah.

Dampak jangka pendek
Secara ekologis, letusan Merapi lalu berdampak jangka pendek, seperti perubahan bentang alam, keruhnya air sungai dan air permukaan, hancurnya keanekaragaman hayati, pendangkalan sungai hingga ke kawasan hilir, sampai buruknya kualitas udara karena abu vulkanik mengandung silika dan sulfur.
Meskipun berjangka pendek, dampak langsung terhadap warga teramat dahsyat. Tak ada lagi sumber air bersih permukaan ataupun rumput hijau pakan ternak. Risiko longsor kian tinggi akibat kehancuran vegetasi di bagian lereng atas. Ancaman banjir bandang juga besar, apalagi endapan material sudah menutup cekungan sungai.
”Selain pengerukan sungai, salah satu yang mendesak adalah membersihkan abu vulkanik,” kata Eko, dosen Kimia Lingkungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UGM. Tanpa pembersihan, butuh waktu bertahun-tahun bagi tanaman untuk tumbuh lagi, bahkan bagi rumput sekalipun. Unsur kimia abu vulkanik telah mematikan organisme hidup pengurai tanah.
”Butuh campur tangan manusia untuk mempercepat pemulihan kondisi tanah dan lingkungan. Namun, butuh konsistensi dan kepemimpinan luar biasa,” kata dia. Campur tangan itu pada banyak hal, seperti pembersihan, penyuburan tanah, penanaman, hingga penyelamatan pohon yang terancam mati.
Menurut mantan Koordinator Dewan Kehutanan Nasional Hariadi Kartodihardjo, penyelamatan lingkungan, seperti percepatan tumbuhnya vegetasi, amat penting. Tegakan pohon sangat penting pada kondisi rusak saat ini.
Sebelumnya harus didahului kajian mengenai daerah, lokasi, hingga jenis pohon yang ditanam. Tujuannya, efektivitas dan efisiensi penanaman. Yang penting mendukung keberlanjutan lingkungan dan sosial warga lereng Merapi.
Ada pekerjaan yang harus segera dilakukan pemerintah begitu kondisi Merapi aman. Bersamaan penanganan pengungsi adalah pembersihan abu vulkanik, khususnya yang membebani pepohonan.
Keberadaan pohon vital bagi hidupnya organisme lain secara alami. Membersihkan abu lebih ringan daripada mengganti pohon mati.
Mengenai air tanah, material vulkanik seperti pasir justru menambah serapan air ke tanah. ”Pasir lebih baik menyerap air daripada lempung,” kata peneliti hidrologi Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang, Robert J Kodoatie. Namun, dari sisi vegetasi, media pasir menyulitkan tanaman tumbuh.
Satu-satunya cara mempercepat pertumbuhan pohon adalah campur tangan manusia secara konsisten. Tanpa itu, penghutanan alami membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun, menunggu pelapukan pasir menjadi lempung. (EGI/GAL/GSA)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/11/12/05065294/wajah.baru.pascaerupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar